Selasa, 20 Februari 2018

Menanti APBA 2018



Menanti APBA 2018
Oleh: Dr. Cakra Arbas, SH.I, MH.[1]

Salah satu pekerjaan rumah yang seyogyanya dituntaskan oleh pemerintahan daerah, khususnya pada semester pertama dibulan Januari adalah berkaitan dengan dasar hukum pengelolaan keuangan daerah dimasing-masing daerah otonom. Pada prinsipnya Menteri Dalam Negeri (Mendagri) melalui berbagai regulasi telah mengatur mekanisme tentang pengelolaan keuangan daerah, baik yang berkaitan dengan tahapan, jadwal penyusunan, maupun penetapannya.
Hakikatnya seluruh daerah otonom semestinya telah menetapkan dasar hukum atas pengelolaan keuangan daerah, pada waktu penghujung tahun anggaran yang sedang dijalankan, atau pada bulan Desember tahun sebelumnya, mengingat akan timbul efek domino manakala dasar hukum pengelolaan keuangan daerah tidak dilakukan secara tepat waktu.
Oleh karena itu untuk menghindari efek domino, Mendagri sebagai pengawal otonomi daerah memiliki kewenangan untuk pembinaan dan pengawasan, telah berupaya menggulirkan berbagai sangsi atau punishment bagi pemerintahan daerah yang terkatung-katung dalam menetapkan dasar hukum pengelolaan keuangan daaerahnya.
Lantas mengapa dalam praktiknya acapkali masih terdapat pemerintahan daerah, yang tidak mampu merampungkan dasar hukum atas pengelolaan keuangan daerah di daerah otonomnya secara tepat waktu ? tanpa terkecuali sebagaimana viral di berbagai media, bahwa pemerintahan Aceh merupakan salah satu daerah otonom yang saat ini mengalami friksi dalam menuntaskan dasar hukum untuk pengelolaan keuangan daerah Tahun anggaran 2018.
     
Persetujuan Bersama
Secara normatif, Undang-Undang tentang Pemerintahan Daerah telah menegaskan bahwa pemerintahan daerah adalah penyelenggaraan urusan pemerintahan oleh pemerintah daerah (kepala daerah), dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah menurut asas otonomi dan tugas pembantuan, dengan prinisp otonomi seluas-luasnya dalam sistem dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Aceh sebagai salah satu daerah otonom yang sejalan dengan asas “lex specialis derogat legi generali”, melalui Undang-Undang tentang Pemerintahan Aceh turut menegaskan bahwa pemerintahan Aceh adalah pemerintah daerah provinsi yang menyelenggarakan urusan pemerintahan, dilaksanakan oleh pemerintah daerah Aceh (Gubernur) dan Dewan Perwakilan Rakyat Aceh (DPRA) sesuai dengan fungsi dan kewenangan masing-masing.
Berdasarkan uraian tersebut, Gubernur memiliki kewenangan yang diantaranya menyusun dan mengajukan rancangan Qanun tentang Anggaran Pendapatan dan Belanja Aceh (APBA) kepada DPRA. Pada kesempatan yang sama, DPRA memiliki kewenangan yang diantaranya membentuk Qanun Aceh (tentang APBA) yang dibahas dengan Gubernur untuk mendapat persetujuan bersama.
Artinya frasa “mendapat persetujuan bersama” sepantasnya diposisikan sebagai paradigma dalam pembentukan  Qanun Aceh tentang APBA Tahun 2018, dikarenakan Gubernur dan DPRA berkedudukan sebagai unsur penyelenggara pemerintahan daerah yang diberi mandat oleh rakyat secara langsung, untuk melaksanakan berbagai kewenangan yang telah diserahkan oleh pemerintah pusat, dengan demikian Gubernur dan DPRA berkedudukan sebagai mitra sejajar tetapi memiliki fungsi yang berbeda.
Pada sisi yang lain, memaknai persetujuan bersama tentu tidak semudah membalikkan telapak tangan, melainkan perlu dilakukan komunikasi dua arah secara efektif dan komprehensif, dengan menanggalkan kepentingan pribadi dan golongan demi kepentingan umum. Terlebih lagi, pembahasan APBA Tahun 2018 melibatkan figur Gubernur hasil Pilkada Tahun 2017 dengan komposisi anggota DPRA hasil pemilihan umum Tahun 2014.
Sebagai indikasi diperlukannya persetujuan bersama, yaitu terdapat sangsi bagi kedua belah pihak apabila tidak melaksanakan proses pembentukan Qanun tentang APBA. Misalnya bagi Gubernur dan anggota DPRA jika tidak menyetujui rancangan Qanun tentang APBA, maka tidak dibayarkan berbagai hak-hak keuangannya selama enam bulan.

Qanun atau Pergub ?
Mengingat prinsip Undang-Undang tentang Pemerintahan Aceh, telah menegaskan bahwa APBA merupakan rencana keuangan tahunan pemerintahan daerah provinsi Aceh yang ditetapkan dengan Qanun Aceh. Keberadaan Qanun tentang APBA tidak bisa dipisahkan dari kerangka sistem peraturan perundang-undangan, sekaligus merupakan bahagian yang terintegralistik dari peraturan perundang-undangan di Indonesia.
Akan tetapi mengingat rumitnya konfigurasi politik yang lazimnya mewabah di daerah otonom, tanpa terkecuali di Aceh. Sekaligus dikhawatirkan yang akan menjadi korban dari friksi para elit di tataran suprastruktur politik adalah masyarakat. Maka pemerintah telah berupaya untuk mengantisipasi kekhawatiran tersebut dengan membuat berbagai alternatif, sehingga pengelolaan keuangan daerah tetap memiliki dasar hukum.
Oleh karenanya dasar hukum yang mengatur tentang pengelolaan keuangan daerah, terdapat celah sebagai upaya untuk mengurai stagnannya pengesahan Qanun tentang APBA. Celah dimaksud diantaranya memberikan izin, kepada Gubernur untuk menetapkan Peraturan Gubernur (Pergub) Aceh tentang APBA Tahun anggaran 2018, dengan catatan tetap merujuk pada angka tertinggi dari Qanun Aceh tentang APBA tahun sebelumnya (Tahun 2017).
Terdapatnya friksi dalam penetapan Qanun Aceh tentang APBA, selain dipengaruhi oleh polarisasi konfigurasi politik. Faktanya juga turut dipengaruhi oleh minimnya sangsi yang diberikan, baik untuk Gubernur maupun anggota DPRA, dikarenakan kedua belah pihak hanya dibebankan sangsi administratif dalam hal keuangan. Oleh karena itu, perlu didorong untuk memunculkan sangsi lainnya sebagai stimulus dalam pembahasan dan penetapan Qanun Aceh tentang APBA.
Meskipun terdapat celah untuk menetapkan APBA Tahun 2018 melalui Pergub, namun demikian semoga menjadi pedoman bahwa Pergub merupakan jalan terakhir. Dengan demikian, seyogyanya baik Gubernur maupun anggota DPRA dituntut mampu memiliki paradigma yang sama, dalam penyelenggaraan pemerintahan di Aceh, sehingga dapat terwujudnya kata mufakat sekaligus “persetujuan bersama” tentang APBA yang responsif dalam mengakomodir kepentingan masyarakat. Semoga!
*Tulisan ini juga dimuat pada Harian Waspada, Jum'at 9 Februari 2018


[1]  Penulis adalah Dosen Pascasarjana Universitas Muhammadiyah Sumatera Utara.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar