Menanti APBA 2018
Salah satu pekerjaan rumah yang seyogyanya
dituntaskan oleh pemerintahan daerah, khususnya pada semester pertama dibulan
Januari adalah berkaitan dengan dasar hukum pengelolaan keuangan daerah
dimasing-masing daerah otonom. Pada prinsipnya Menteri Dalam Negeri (Mendagri)
melalui berbagai regulasi telah mengatur mekanisme tentang pengelolaan keuangan
daerah, baik yang berkaitan dengan tahapan, jadwal penyusunan, maupun
penetapannya.
Hakikatnya seluruh daerah otonom
semestinya telah menetapkan dasar hukum atas pengelolaan keuangan daerah, pada
waktu penghujung tahun anggaran yang sedang dijalankan, atau pada bulan
Desember tahun sebelumnya, mengingat akan timbul efek domino manakala dasar
hukum pengelolaan keuangan daerah tidak dilakukan secara tepat waktu.
Oleh karena itu untuk menghindari efek
domino, Mendagri sebagai pengawal otonomi daerah memiliki kewenangan untuk
pembinaan dan pengawasan, telah berupaya menggulirkan berbagai sangsi atau punishment bagi pemerintahan daerah yang
terkatung-katung dalam menetapkan dasar hukum pengelolaan keuangan daaerahnya.
Lantas mengapa dalam praktiknya acapkali masih
terdapat pemerintahan daerah, yang tidak mampu merampungkan dasar hukum atas
pengelolaan keuangan daerah di daerah otonomnya secara tepat waktu ? tanpa
terkecuali sebagaimana viral di berbagai media, bahwa pemerintahan Aceh merupakan
salah satu daerah otonom yang saat ini mengalami friksi dalam menuntaskan dasar
hukum untuk pengelolaan keuangan daerah Tahun anggaran 2018.
Persetujuan
Bersama
Secara normatif,
Undang-Undang tentang Pemerintahan Daerah telah menegaskan bahwa pemerintahan
daerah adalah penyelenggaraan urusan pemerintahan oleh pemerintah daerah
(kepala daerah), dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah menurut asas otonomi dan
tugas pembantuan, dengan prinisp otonomi seluas-luasnya dalam sistem dan
prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Aceh sebagai
salah satu daerah otonom yang sejalan dengan asas “lex specialis derogat legi generali”, melalui Undang-Undang tentang
Pemerintahan Aceh turut menegaskan bahwa pemerintahan Aceh adalah pemerintah
daerah provinsi yang menyelenggarakan urusan pemerintahan, dilaksanakan oleh
pemerintah daerah Aceh (Gubernur) dan Dewan Perwakilan Rakyat Aceh (DPRA) sesuai
dengan fungsi dan kewenangan masing-masing.
Berdasarkan
uraian tersebut, Gubernur memiliki kewenangan yang diantaranya menyusun dan
mengajukan rancangan Qanun tentang Anggaran Pendapatan dan Belanja Aceh (APBA)
kepada DPRA. Pada kesempatan yang sama, DPRA memiliki kewenangan yang
diantaranya membentuk Qanun Aceh (tentang APBA) yang dibahas dengan Gubernur
untuk mendapat persetujuan bersama.
Artinya frasa
“mendapat persetujuan bersama” sepantasnya diposisikan sebagai paradigma dalam
pembentukan Qanun Aceh tentang APBA
Tahun 2018, dikarenakan Gubernur dan DPRA berkedudukan sebagai unsur
penyelenggara pemerintahan daerah yang diberi mandat oleh rakyat secara
langsung, untuk melaksanakan berbagai kewenangan yang telah diserahkan oleh
pemerintah pusat, dengan demikian Gubernur dan DPRA berkedudukan sebagai mitra
sejajar tetapi memiliki fungsi yang berbeda.
Pada sisi yang
lain, memaknai persetujuan bersama tentu tidak semudah membalikkan telapak
tangan, melainkan perlu dilakukan komunikasi dua arah secara efektif dan
komprehensif, dengan menanggalkan kepentingan pribadi dan golongan demi
kepentingan umum. Terlebih lagi, pembahasan APBA Tahun 2018 melibatkan figur
Gubernur hasil Pilkada Tahun 2017 dengan komposisi anggota DPRA hasil pemilihan
umum Tahun 2014.
Sebagai
indikasi diperlukannya persetujuan bersama, yaitu terdapat sangsi bagi kedua
belah pihak apabila tidak melaksanakan proses pembentukan Qanun tentang APBA. Misalnya
bagi Gubernur dan anggota DPRA jika tidak menyetujui rancangan Qanun tentang
APBA, maka tidak dibayarkan berbagai hak-hak keuangannya selama enam bulan.
Qanun
atau Pergub ?
Mengingat prinsip Undang-Undang tentang
Pemerintahan Aceh, telah menegaskan bahwa APBA merupakan rencana keuangan
tahunan pemerintahan daerah provinsi Aceh yang ditetapkan dengan Qanun Aceh.
Keberadaan Qanun tentang APBA tidak bisa dipisahkan dari kerangka sistem
peraturan perundang-undangan, sekaligus merupakan bahagian yang
terintegralistik dari peraturan perundang-undangan di Indonesia.
Akan tetapi mengingat rumitnya konfigurasi
politik yang lazimnya mewabah di daerah otonom, tanpa terkecuali di Aceh. Sekaligus
dikhawatirkan yang akan menjadi korban dari friksi para elit di tataran
suprastruktur politik adalah masyarakat. Maka pemerintah telah berupaya untuk
mengantisipasi kekhawatiran tersebut dengan membuat berbagai alternatif,
sehingga pengelolaan keuangan daerah tetap memiliki dasar hukum.
Oleh karenanya dasar hukum yang mengatur
tentang pengelolaan keuangan daerah, terdapat celah sebagai upaya untuk mengurai
stagnannya pengesahan Qanun tentang APBA. Celah dimaksud diantaranya memberikan
izin, kepada Gubernur untuk menetapkan Peraturan Gubernur (Pergub) Aceh tentang
APBA Tahun anggaran 2018, dengan catatan tetap merujuk pada angka tertinggi
dari Qanun Aceh tentang APBA tahun sebelumnya (Tahun 2017).
Terdapatnya friksi dalam penetapan Qanun
Aceh tentang APBA, selain dipengaruhi oleh polarisasi konfigurasi politik.
Faktanya juga turut dipengaruhi oleh minimnya sangsi yang diberikan, baik untuk
Gubernur maupun anggota DPRA, dikarenakan kedua belah pihak hanya dibebankan
sangsi administratif dalam hal keuangan. Oleh karena itu, perlu didorong untuk
memunculkan sangsi lainnya sebagai stimulus dalam pembahasan dan penetapan
Qanun Aceh tentang APBA.
Meskipun terdapat celah untuk menetapkan
APBA Tahun 2018 melalui Pergub, namun demikian semoga menjadi pedoman bahwa
Pergub merupakan jalan terakhir. Dengan demikian, seyogyanya baik Gubernur
maupun anggota DPRA dituntut mampu memiliki paradigma yang sama, dalam
penyelenggaraan pemerintahan di Aceh, sehingga dapat terwujudnya kata mufakat
sekaligus “persetujuan bersama” tentang APBA yang responsif dalam mengakomodir
kepentingan masyarakat. Semoga!
*Tulisan ini juga dimuat pada Harian Waspada, Jum'at 9 Februari 2018
Tidak ada komentar:
Posting Komentar