Reorientasi
Otonomi Daerah
Berdasarkan
amanat Menteri Dalam Negeri, tema yang disematkan pada peringatan Hari Otonomi
Daerah ke XXII adalah “mewujudkan nawa
cita melalui penyelenggaraan otonomi daerah yang bersih dan demokratis”.
Pemilhan tema dimaksud mengindikasikan bahwa otonomi daerah saat ini sudah
begitu banyak menyemai manfaat dan kebaikan bagi seluruh rakyat. Bangsa
Indonesia semakin dewasa dalam menyadari bahwa cara utama yang paling efektif
mewujudkan kesejahteraan rakyat adalah melalui penyelenggaraan otonomi daerah
yang bersih dan demokratis.
Pada kesempatan
yang sama, memaknai penyelenggaraan otonomi daerah yang bersih dan demokratis,
antara lain meningkatkan kesadaran kolektif tentang implementasi otonomi daerah
dengan menjunjung aspek kelembagaan, bukan atas kehendak sesorang atau kelompok
tertentu. Adapun mewujudkan nawa cita, sama artinya dengan mewujudkan
kesejahteraan rakyat di setiap jengkal tanah air kita. Mewujudkan kesejahteraan
akan menjadi sebuah keniscayaan jika otonomi daerah diselenggarakan secara
akuntabel, transparan, berkepastian hukum, dan partisipatif.
Tidak dapat
dipungkiri, bahwa selama dua puluh dua tahun implementasi otonomi daerah, telah begitu banyak hal
positif yang dirasakan oleh rakyat, baik pembangunan sarana dan prasarana yang
semakin menggeliat, juga menstimulasi proses pengambilan keputusan publik yang
lebih partisipatif, serta demokratisasi mekanisme pemilihan kepala daerah.
Reorientasi Otonomi Daerah
Belakangan ini mulai terdengar nada sumbang yang
diekspresikan rakyat daerah otonom, sembari mengkritisi bahwa otonomi daerah
hanya berorientasi melahirkan berbagai “raja kecil di daerah”. Tidak dapat
dihindari pada beberapa daerah tertentu, besarnya naluri untuk menjadi raja
kecil berdampak adanya konflik horizontal, baik dalam proses demokrasi maupun
berbagai upaya untuk melahirkan daerah-daerah otonom yang baru.
Sudah saatnya perlu digagas kembali tentang
demokratisasi dari bentuk mekanisme pemilihan kepala daerah. Setidak-tidaknya
dengan merefleksikan falsafah hidup bangsa Indonesia yang diabstraksikan oleh founding father, sebagaimana yang
terangkum melalui rumusan sila ke-4 yang berbunyi “kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam
permusyawaratan /perwakilan”.
Walaupun UUDNRI Tahun 1945
melalui pasal 1
(2) mengamanatkan bahwa “kedaulatan
di tangan rakyat dan dilaksanakan sepenuhnya menurut Undang-Undang Dasar”, tetapi rumusan norma berikutnya yang
mengetengahkan tentang otonomi daerah, khususnya melalui pasal 18 (4) berbunyi
“Gubernur, Bupati, dan Walikota
masing-masing sebagai kepala pemerintahan provinsi, kabupaten, dan kota dipilih
secara demokratis”
Tentu benar bahwa tidak disebutkan secara tegas tentang sistem
demokrasi
dalam pemilihan kepala daerah. Namun dalam hal ini,
kedaulatan rakyat adalah prinsipnya dan wujudnya adalah
demokrasi, adapun implementasinya dewasa ini menurut M. Solly Lubis dapat
direalisasikan dalam dua tahap, yaitu: (M. Solly Lubis, 2007) Pertama, demokrasi yang mempunyai sifat
langsung. Kedua, demokrasi yang mempunyai sifat tidak
langsung.
Menelisik demokrasi Indonesia, founding fathers (Moh. Hatta) menyebutkan bahwa demokrasi
asli Indonesia, setidak-tidaknya terdiri dari beberapa unsur, yaitu: Pertama, rapat. Kedua,
mufakat. Ketiga, gotong royong. Keempat,
hak menyatakan protes. Dalam
konteks politik dilaksanakan melalui sistem perwakilan rakyat dengan konsep
musyawarah, dan berdasarkan kepentingan umum. (Moh. Hatta, 2002)
Khazanah demokrasi yang telah disemai
dalam berbagai kontestasi pemilihan kepala daerah, sudah barang tentu terdapat
plus dan minus, oleh karena itu perlu dilakukan kajian apakah selama ini lebih
banyak sisi maslahatnya, atau jangan-jangan patut diduga bahwa hanya berdampak
mudharat bagi segenap tumpah darah rakyat daerah otonom ?
Elok kiranya bercermin kembali dalam berbagai
buah pemikiran Plato mengenai demokrasi, diantaranya dapat dianalisa
berdasarkan: (Plato, 2015) Demokrasi dikategorikan sebagai suatu bentuk
pemerintahan yang paling menarik, penuh dengan keanekaragaman dan kekacauan,
yang mana memberikan kesamaan derajat pada setiap individu yang berbeda.
Sehingga dengan demokrasi, dapat terlihat bahwa antara rakyat biasa dan
pemimpin akan memiliki kedudukan yang egaliter, oleh karena itu tidak jarang
ditemui adanya rakyat yang bertingkah laku mirip dengan pemimpin, dan terdapat
pula pemimpin yang bertindak seperti rakyat.
Penutup
Otonomi daerah seyogyanya dilaksanakan dalam wujud
merepresentasikan daerah otonom sebagai entitas negara kesatuan, sehingga kepentingan
pemerintah pusat dapat dijabarkan oleh pemerintah daerah secara totalitas.
Sekaligus dapat terwujud keterpaduan dan adanya sinergitas pembanguan secara
nasional. Tidak kalah pentingnya dengan mereview terkait penyelenggaraan
pemerintahan daerah, khususnya yang bersinggungan dengan efektifitas
penyelenggaraan pemerintahan.
Oleh karena itu dari berbagai hal yang telah digapai,
Mendagri mengutarakan bahwa masih banyak yang menjadi perhatian bersama, yaitu:
Pertama, integritas dan etika
profesionalisme para pemimpin daerah otonom dan aparatur penyelenggaraan
pemerintahan, dengan mengedepankan etos kerja dan gotong royong. Kedua, reformasi birokrasi agar terus
dilakukan baik dibidang kelembagaan, peningkatan kapasitas aparatur, serta
akuntabilitas pengelolaan keuangan daerah. Ketiga,
peningkatan kualitas pelayanan publik, peningkatan pemberdayaan masyarakat,
sekaligus peningkatan daya saing perekonomian daerah.
Dengan demikian, semoga melalui peringatan hari
otonomi daerah tidak hanya sekedar seremoni upacara belaka, melainkan momentum
reorientasi otonomi daerah dalam mengevaluasi, sudah sejauh mana
penyelenggaraan otonomi daerah bermuara kepada kesejahteraan rakyat di setiap
jengkal wilayah negara kesatuan Republik Indonesia. Semoga!
*Tulisan ini juga dimuat pada harian Media Indonesia, Selasa 24 April 2018.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar