Rabu, 25 April 2018

Reorientasi Otonomi Daerah


Reorientasi Otonomi Daerah
Oleh: Dr. Cakra Arbas, SH.I, MH.[1]

Berdasarkan amanat Menteri Dalam Negeri, tema yang disematkan pada peringatan Hari Otonomi Daerah ke XXII adalah “mewujudkan nawa cita melalui penyelenggaraan otonomi daerah yang bersih dan demokratis”. Pemilhan tema dimaksud mengindikasikan bahwa otonomi daerah saat ini sudah begitu banyak menyemai manfaat dan kebaikan bagi seluruh rakyat. Bangsa Indonesia semakin dewasa dalam menyadari bahwa cara utama yang paling efektif mewujudkan kesejahteraan rakyat adalah melalui penyelenggaraan otonomi daerah yang bersih dan demokratis.
Pada kesempatan yang sama, memaknai penyelenggaraan otonomi daerah yang bersih dan demokratis, antara lain meningkatkan kesadaran kolektif tentang implementasi otonomi daerah dengan menjunjung aspek kelembagaan, bukan atas kehendak sesorang atau kelompok tertentu. Adapun mewujudkan nawa cita, sama artinya dengan mewujudkan kesejahteraan rakyat di setiap jengkal tanah air kita. Mewujudkan kesejahteraan akan menjadi sebuah keniscayaan jika otonomi daerah diselenggarakan secara akuntabel, transparan, berkepastian hukum, dan partisipatif.
Tidak dapat dipungkiri, bahwa selama dua puluh dua tahun implementasi  otonomi daerah, telah begitu banyak hal positif yang dirasakan oleh rakyat, baik pembangunan sarana dan prasarana yang semakin menggeliat, juga menstimulasi proses pengambilan keputusan publik yang lebih partisipatif, serta demokratisasi mekanisme pemilihan kepala daerah.
  
Reorientasi Otonomi Daerah
Belakangan ini mulai terdengar nada sumbang yang diekspresikan rakyat daerah otonom, sembari mengkritisi bahwa otonomi daerah hanya berorientasi melahirkan berbagai “raja kecil di daerah”. Tidak dapat dihindari pada beberapa daerah tertentu, besarnya naluri untuk menjadi raja kecil berdampak adanya konflik horizontal, baik dalam proses demokrasi maupun berbagai upaya untuk melahirkan daerah-daerah otonom yang baru.
Sudah saatnya perlu digagas kembali tentang demokratisasi dari bentuk mekanisme pemilihan kepala daerah. Setidak-tidaknya dengan merefleksikan falsafah hidup bangsa Indonesia yang diabstraksikan oleh founding father, sebagaimana yang terangkum melalui rumusan sila ke-4 yang berbunyi “kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan /perwakilan”.
Walaupun UUDNRI Tahun 1945 melalui pasal 1 (2) mengamanatkan bahwa kedaulatan di tangan rakyat dan dilaksanakan sepenuhnya menurut Undang-Undang Dasar”, tetapi rumusan norma berikutnya yang mengetengahkan tentang otonomi daerah, khususnya melalui pasal 18 (4) berbunyi “Gubernur, Bupati, dan Walikota masing-masing sebagai kepala pemerintahan provinsi, kabupaten, dan kota dipilih secara demokratis
Tentu benar bahwa tidak disebutkan secara tegas tentang sistem demokrasi dalam pemilihan kepala daerah. Namun dalam hal ini, kedaulatan rakyat adalah prinsipnya dan wujudnya adalah demokrasi, adapun implementasinya dewasa ini menurut M. Solly Lubis dapat direalisasikan dalam dua tahap, yaitu: (M. Solly Lubis, 2007) Pertama, demokrasi yang mempunyai sifat langsung. Kedua, demokrasi yang mempunyai sifat tidak langsung.
Menelisik demokrasi Indonesia, founding fathers (Moh. Hatta)  menyebutkan bahwa demokrasi asli Indonesia, setidak-tidaknya terdiri dari beberapa unsur, yaitu: Pertama, rapat. Kedua, mufakat. Ketiga, gotong royong. Keempat, hak menyatakan protes. Dalam konteks politik dilaksanakan melalui sistem perwakilan rakyat dengan konsep musyawarah, dan berdasarkan kepentingan umum. (Moh. Hatta, 2002)
Khazanah demokrasi yang telah disemai dalam berbagai kontestasi pemilihan kepala daerah, sudah barang tentu terdapat plus dan minus, oleh karena itu perlu dilakukan kajian apakah selama ini lebih banyak sisi maslahatnya, atau jangan-jangan patut diduga bahwa hanya berdampak mudharat bagi segenap tumpah darah rakyat daerah otonom ?
Elok kiranya bercermin kembali dalam berbagai buah pemikiran Plato mengenai demokrasi, diantaranya dapat dianalisa berdasarkan: (Plato, 2015) Demokrasi dikategorikan sebagai suatu bentuk pemerintahan yang paling menarik, penuh dengan keanekaragaman dan kekacauan, yang mana memberikan kesamaan derajat pada setiap individu yang berbeda. Sehingga dengan demokrasi, dapat terlihat bahwa antara rakyat biasa dan pemimpin akan memiliki kedudukan yang egaliter, oleh karena itu tidak jarang ditemui adanya rakyat yang bertingkah laku mirip dengan pemimpin, dan terdapat pula pemimpin yang bertindak seperti rakyat.

Penutup
Otonomi daerah seyogyanya dilaksanakan dalam wujud merepresentasikan daerah otonom sebagai entitas negara kesatuan, sehingga kepentingan pemerintah pusat dapat dijabarkan oleh pemerintah daerah secara totalitas. Sekaligus dapat terwujud keterpaduan dan adanya sinergitas pembanguan secara nasional. Tidak kalah pentingnya dengan mereview terkait penyelenggaraan pemerintahan daerah, khususnya yang bersinggungan dengan efektifitas penyelenggaraan pemerintahan.
Oleh karena itu dari berbagai hal yang telah digapai, Mendagri mengutarakan bahwa masih banyak yang menjadi perhatian bersama, yaitu: Pertama, integritas dan etika profesionalisme para pemimpin daerah otonom dan aparatur penyelenggaraan pemerintahan, dengan mengedepankan etos kerja dan gotong royong. Kedua, reformasi birokrasi agar terus dilakukan baik dibidang kelembagaan, peningkatan kapasitas aparatur, serta akuntabilitas pengelolaan keuangan daerah. Ketiga, peningkatan kualitas pelayanan publik, peningkatan pemberdayaan masyarakat, sekaligus peningkatan daya saing perekonomian daerah.
Dengan demikian, semoga melalui peringatan hari otonomi daerah tidak hanya sekedar seremoni upacara belaka, melainkan momentum reorientasi otonomi daerah dalam mengevaluasi, sudah sejauh mana penyelenggaraan otonomi daerah bermuara kepada kesejahteraan rakyat di setiap jengkal wilayah negara kesatuan Republik Indonesia.  Semoga! 
*Tulisan ini juga dimuat pada harian Media Indonesia, Selasa 24 April 2018.


[1]  Penulis adalah Dosen Pascasarjana UMSU dan PNS Pemkab Aceh Tamiang.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar