Rekonstruksi Regulasi
Pembentukan
hukum yang ditransformasikan dalam bentuk peraturan perundang-undangan,
faktanya dalam konteks Indonesia kekinian telah menimbulkan kekhawatiran
sejumlah pihak khususnya yang diduga berdampak terhadap aspek perekonomian.
Sebagaimana yang diutarakan Thomas Lembong (news.detik.com) bahwa salah satu
faktor penyebab terhambatnya investasi di Indonesia saat ini, antara lain
disebabkan terjadinya obesitas regulasi yang membengkak.
Berdasarkan
realita tersebut, prinsipnya pemerintah jauh-jauh hari telah berupaya untuk
mencegah sekaligus menanggulangi terjadinya obesitas regulasi. Antara lain
dapat dicermati melalui political will dalam kebijakan reformasi hukum
jilid dua, dengan berfokus pada penataan regulasi. Sebagaimana yang diungkapkan
Wiranto (cnnindonesia.com) bahwa saat ini terdapat empat puluh satu ribu
peraturan yang diduga saling tumpang tindih, bahkan banyak yang bersifat
absurd, sehingga perlu dievaluasi dan ditata kembali.
Atas
berbagai dinamika yang terjadi beberapa waktu belakangan ini, kiranya tepat
untuk dijadikan momentum dalam melakukan evaluasi sekaligus rekonstruksi regulasi,
khususnya melalui penataan jenis
dan hierarki perundang-undangan, sebagai salah satu upaya untuk
menyikapi lambannya pertumbuhan ekonomi, serta mendorong efektifitas dalam melakukan pelayanan publik secara
maksimal.
Aktualisasi
Hans Nawiasky
Hakikatnya peraturan
perundang-undangan memiliki norma hukum yang berjenjang dan berlapis, Hans
Nawiasky dalam Maria Farida Indrati (2007)
menegaskan bahwa suatu norma hukum dari negara manapun selalu berlapis
dan berjenjang. Adapun
tingkatan norma hukum,
diantaranya: Pertama, Norma fundamental negara, merupakan norma
tertinggi dalam suatu negara merupakan norma yang tidak dibentuk oleh suatu
norma yang lebih tinggi lagi, tetapi bersifat “pre-supposed” atau
“ditetapkan terlebih dahulu” oleh masyarakat dalam suatu negara dan merupakan
norma yang menjadi tempat bergantungnya norma-norma hukum di bawahnya.
Kedua,
Aturan dasar negara, menurut Hans Nawiasky bahwa suatu aturan dasar negara
dapat dituangkan dalam suatu dokumen negara yang disebut sebagai “staasverfassung”
atau dapat juga dituangkan dalam beberapa dokumen negara yang tersebar-sebar
dan disebut dengan istilah “Staatsgrundgesetz”. Ketiga,
Undang-Undang formal, merupakan norma dalam suatu Undang-Undang yang sudah lebih kongkret dan
terperinci, serta dapat langsung berlaku di dalam masyarakat. Dengan demikian
dalam suatu Undang-Undang sudah dapat dicantumkan norma-norma yang bersifat
sanksi, seperti sanksi pidana. Keempat,
Peraturan pelaksana dan peraturan otonom, merupakan jenis peraturan yang terletak di bawah
Undang-Undang dan berfungsi
menyelenggarakan ketentuan-ketentuan dalam Undang-Undang. Peraturan pelaksanaan
bersumber dari kewenangan delegasi, sedangkan peraturan otonom bersumber dari
kewenangan atribusi.
Oleh
karena itu, salah satu upaya yang dapat dilakukan untuk meredam gejala obesitas
peraturan perundang-undangan, diantaranya mendorong political will pemerintah untuk melakukan rekonstruksi reguliasi, dengan cara kembali
mengaktualisasikan hakikat dari hierarki norma, seperti yang telah diuraikan
oleh Hans Nawiasky tentang teori perjenjangan norma peraturan
perundang-undangan. Yaitu hanya memposisikan peraturan perundang-undangan atas
empat klasifikasi tingkatan peraturan perundang-undangan, antara lain: Pertama,
Norma fundamental negara. Kedua, Aturan dasar negara. Ketiga,
Undang-Undang formal. Keempat, Peraturan pelaksana dan peraturan otonom.
Berbagai
klasifikasi tingkatan peraturan perundang-undangan yang diuraikan Hans
Nawiasky, jika dianalogikan dalam konteks Negara Kesatuan Republik Indonesia,
maka setidak-tidaknya akan dideskripsikan melalui empat tingkatan norma,
yaitu: Pertama, Pancasila. Kedua, Undang-Undang Dasar Negara
Republik Indonesia (UUDNRI) Tahun 1945. Ketiga, Undang-Undang dan
Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu). Keempat, Aturan
pelaksana dan aturan hukum, seperti Peraturan Pemerintah, Peraturan Presiden,
dan Peraturan Daerah (Provinsi, Kabupaten, Kota).
Penutup
Perundang-undangan merupakan salah satu produk politik
oleh karenanya karakter isi setiap produk hukum akan sangat dipengaruhi dengan
corak kekuasaan atau konfigurasi politik yang mengembannya, konfigurasi politik
turut mewarnai dalam proses perumusan norma hukum yang notabene sebagai suatu
komponen atau subsistem atau entitas dari seluruh rangkaian pembentukan norma
hukum. Sehingga peraturan
perundang-undangan dapat dilihat sebagai kristalisasi dari pemikiran politik
yang saling berinteraksi dikalangan struktur politik. Pada kesempatan yang sama
pembentuk peraturan perundang-undangan hendaknya berlaku arif dan bijaksana
dalam menderivasikan nilai ketika membentuk suatu karya seni hukum (peraturan
perundang-undangan), sehingga nantinya karya seni hukum tersebut dapat diterima
dan diterapkan bagi seluruh lapisan masyarakat.
Obesitas regulasi yang terjadi selama ini, faktanya
berada pada level aturan pelaksana dan aturan hukum, oleh karena itu ketika
teori Hans Nawiasky kembali diaktualisasikan, maka seyogyanya berbagai obesitas
peraturan perundang-undangan yang berada pada level aturan pelaksana dan aturan
hukum, akan mampu diminimalisir. Mengingat bahwa pada tataran konsep teori dimaksud,
aturan pelaksana dan aturan hukum hanya menjabarkan amanat dari Undang-Undang
Formal (Undang-Undang), atau dengan kata lain aturan pelaksana dan aturan hukum
tidak lagi menjabarkan amanat sesama level aturan pelaksana dan aturan hukum
itu sendiri.
Disisi
lain, peraturan perundang-undangan merupakan salah satu entitas atau sub sistem
dari sistem hukum nasional, oleh karena itu ketika jenis dan hierarki peraturan
perundang-undangan telah diposisikan sebagaimana yang diamanatkan Hans
Nawiasky, seyogyanya sistem hukum akan kembali bersinergi dengan sub sistem
lainnya, tanpa terkecuali perundang-undangan baik yang terdapat di level pusat
maupun daerah. Semoga upaya
rekonstruksi regulasi
kiranya berkontribusi sebagai salah satu wujud nyata dari
program penataan regulasi nasional, yang diharapkan mampu berdampak positif
dengan meningkatkan
laju pertumbuhan ekonomi, dan terlaksananya pelayanan publik secara maksimal. Semoga!
*Tulisan ini juga dimuat pada Harian Waspada, Rabu 18 Oktober 2017
Tidak ada komentar:
Posting Komentar