Senin, 06 November 2017

Rekonstruksi Regulasi

Rekonstruksi Regulasi
Oleh: Dr. Cakra Arbas, SH.I, MH.[1]

Pembentukan hukum yang ditransformasikan dalam bentuk peraturan perundang-undangan, faktanya dalam konteks Indonesia kekinian telah menimbulkan kekhawatiran sejumlah pihak khususnya yang diduga berdampak terhadap aspek perekonomian. Sebagaimana yang diutarakan Thomas Lembong (news.detik.com) bahwa salah satu faktor penyebab terhambatnya investasi di Indonesia saat ini, antara lain disebabkan terjadinya obesitas regulasi yang membengkak.
Berdasarkan realita tersebut, prinsipnya pemerintah jauh-jauh hari telah berupaya untuk mencegah sekaligus menanggulangi terjadinya obesitas regulasi. Antara lain dapat dicermati melalui political will dalam kebijakan reformasi hukum jilid dua, dengan berfokus pada penataan regulasi. Sebagaimana yang diungkapkan Wiranto (cnnindonesia.com) bahwa saat ini terdapat empat puluh satu ribu peraturan yang diduga saling tumpang tindih, bahkan banyak yang bersifat absurd, sehingga perlu dievaluasi dan ditata kembali.
Atas berbagai dinamika yang terjadi beberapa waktu belakangan ini, kiranya tepat untuk dijadikan momentum dalam melakukan evaluasi sekaligus rekonstruksi regulasi, khususnya melalui penataan jenis dan hierarki perundang-undangan, sebagai salah satu upaya untuk menyikapi lambannya pertumbuhan ekonomi, serta mendorong efektifitas dalam melakukan pelayanan publik secara maksimal.
Aktualisasi Hans Nawiasky
Hakikatnya peraturan perundang-undangan memiliki norma hukum yang berjenjang dan berlapis, Hans Nawiasky dalam Maria Farida Indrati (2007)  menegaskan bahwa suatu norma hukum dari negara manapun selalu berlapis dan berjenjang. Adapun tingkatan norma hukum, diantaranya: Pertama, Norma fundamental negara, merupakan norma tertinggi dalam suatu negara merupakan norma yang tidak dibentuk oleh suatu norma yang lebih tinggi lagi, tetapi bersifat “pre-supposed” atau “ditetapkan terlebih dahulu” oleh masyarakat dalam suatu negara dan merupakan norma yang menjadi tempat bergantungnya norma-norma hukum di bawahnya.
Kedua, Aturan dasar negara, menurut Hans Nawiasky bahwa suatu aturan dasar negara dapat dituangkan dalam suatu dokumen negara yang disebut sebagai “staasverfassung” atau dapat juga dituangkan dalam beberapa dokumen negara yang tersebar-sebar dan disebut dengan istilah “Staatsgrundgesetz”. Ketiga, Undang-Undang formal, merupakan norma dalam suatu Undang-Undang yang sudah lebih kongkret dan terperinci, serta dapat langsung berlaku di dalam masyarakat. Dengan demikian dalam suatu Undang-Undang sudah dapat dicantumkan norma-norma yang bersifat sanksi, seperti sanksi pidana. Keempat, Peraturan pelaksana dan peraturan otonom, merupakan jenis peraturan yang terletak di bawah Undang-Undang dan berfungsi menyelenggarakan ketentuan-ketentuan dalam Undang-Undang. Peraturan pelaksanaan bersumber dari kewenangan delegasi, sedangkan peraturan otonom bersumber dari kewenangan atribusi.
Oleh karena itu, salah satu upaya yang dapat dilakukan untuk meredam gejala obesitas peraturan perundang-undangan, diantaranya mendorong political will pemerintah untuk melakukan rekonstruksi reguliasi, dengan cara kembali mengaktualisasikan hakikat dari hierarki norma, seperti yang telah diuraikan oleh Hans Nawiasky tentang teori perjenjangan norma peraturan perundang-undangan. Yaitu hanya memposisikan peraturan perundang-undangan atas empat klasifikasi tingkatan peraturan perundang-undangan, antara lain: Pertama, Norma fundamental negara. Kedua, Aturan dasar negara. Ketiga, Undang-Undang formal. Keempat, Peraturan pelaksana dan peraturan otonom.
Berbagai klasifikasi tingkatan peraturan perundang-undangan yang diuraikan Hans Nawiasky, jika dianalogikan dalam konteks Negara Kesatuan Republik Indonesia, maka setidak-tidaknya akan dideskripsikan melalui empat tingkatan norma, yaitu: Pertama, Pancasila. Kedua, Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia (UUDNRI) Tahun 1945. Ketiga, Undang-Undang dan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu). Keempat, Aturan pelaksana dan aturan hukum, seperti Peraturan Pemerintah, Peraturan Presiden, dan Peraturan Daerah (Provinsi, Kabupaten, Kota).

Penutup
Perundang-undangan merupakan salah satu produk politik oleh karenanya karakter isi setiap produk hukum akan sangat dipengaruhi dengan corak kekuasaan atau konfigurasi politik yang mengembannya, konfigurasi politik turut mewarnai dalam proses perumusan norma hukum yang notabene sebagai suatu komponen atau subsistem atau entitas dari seluruh rangkaian pembentukan norma hukum.  Sehingga peraturan perundang-undangan dapat dilihat sebagai kristalisasi dari pemikiran politik yang saling berinteraksi dikalangan struktur politik. Pada kesempatan yang sama pembentuk peraturan perundang-undangan hendaknya berlaku arif dan bijaksana dalam menderivasikan nilai ketika membentuk suatu karya seni hukum (peraturan perundang-undangan), sehingga nantinya karya seni hukum tersebut dapat diterima dan diterapkan bagi seluruh lapisan masyarakat.
Obesitas regulasi yang terjadi selama ini, faktanya berada pada level aturan pelaksana dan aturan hukum, oleh karena itu ketika teori Hans Nawiasky kembali diaktualisasikan, maka seyogyanya berbagai obesitas peraturan perundang-undangan yang berada pada level aturan pelaksana dan aturan hukum, akan mampu diminimalisir. Mengingat bahwa pada tataran konsep teori dimaksud, aturan pelaksana dan aturan hukum hanya menjabarkan amanat dari Undang-Undang Formal (Undang-Undang), atau dengan kata lain aturan pelaksana dan aturan hukum tidak lagi menjabarkan amanat sesama level aturan pelaksana dan aturan hukum itu sendiri.
Disisi lain, peraturan perundang-undangan merupakan salah satu entitas atau sub sistem dari sistem hukum nasional, oleh karena itu ketika jenis dan hierarki peraturan perundang-undangan telah diposisikan sebagaimana yang diamanatkan Hans Nawiasky, seyogyanya sistem hukum akan kembali bersinergi dengan sub sistem lainnya, tanpa terkecuali perundang-undangan baik yang terdapat di level pusat maupun daerah. Semoga upaya rekonstruksi regulasi kiranya berkontribusi sebagai salah satu wujud nyata dari program penataan regulasi nasional, yang diharapkan mampu berdampak positif dengan meningkatkan laju pertumbuhan ekonomi, dan terlaksananya pelayanan publik secara maksimal. Semoga!
*Tulisan ini juga dimuat pada Harian Waspada, Rabu 18 Oktober 2017



[1]     Penulis adalah Dosen Khusus UMSU, dan PNS Pemkab Aceh Tamiang.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar