Kamis, 28 September 2017

Ironi Pengemban Amanat

Ironi Pengemban Amanat
Oleh: Dr. Cakra Arbas, SH.I, MH.[1]

Medio September praktik penyelenggaraan pemerintahan daerah kembali menjadi sorotan, bukan dikarenakan sedang berlangsungnya pentas demokrasi dalam memilih “raja kecil” dimasing-masing daerah otonom, melainkan akibat adanya rentetan peristiwa yang berimplikasi hukum, meskipun atas berbagai fakta yang terungkap bahwa peristiwa tersebut berdiri sendiri.
Peristiwa hukum yang dimaksud adalah terdapatnya beberapa oknum dari pengemban amanat rakyat, dalam hal ini diduga menyalahgunakan kewenangan yang melekat pada jabatannya. Yakni sebagaimana masifnya pemberitaan media masa bahwa minggu yang lalu lembaga KPK (Komisi Pemberantasan Korupsi), berhasil mengamankan beberapa penyelenggara pemerintahan daerah, pada daerah otonom yang berbeda-beda dengan dugaan tertangkap tangan melakukan perbuatan tindak pidana.
Dialektika tentang peristiwa hukum tertangkap tangan bagi para penyelenggara pemerintahan, tanpa terkecuali di daerah otonom lazimnya bukanlah sesuatu yang tabu dan bukannya baru diperbincangkan. Akan tetapi pasca reformasi khususnya melalui keberadaan lembaga KPK, peristiwa tertangkap tangan seakan menjadi hal yang lumrah, oleh karena peristiwa tersebut tidak lagi berbilang jari, terlebih belakangan ini hampir setiap bulan berbagai peristiwa tertangkap tangan selalu menghiasi layar kaca.

Ironi Pemerintahan Daerah
Berdasarkan amanat Undang-Undang tentang Pemerintahan Daerah, maka pemerintahan daerah merupakan penyelenggaraan urusan pemerintahan oleh pemerintah daerah (kepala daerah) bersama DPRD (dewan perwakilan rakyat daerah), sejalan dengan asas otonomi dan tugas pembantuan. Menariknya corak pemerintahan daerah pasca reformasi telah mengimplementasikan pelaksanaan pemilihan kepala daerah secara demokratis, serta pemilihan anggota DPRD secara langsung.
Dengan kata lain, baik kepala daerah maupun anggota DPRD sejatinya pantas diposisikan sebagai pengemban amanat dari masing-masing rakyat pada daerah otonom yang dipimpinnya. Tepatnya bagi daerah otonom yang melaksanakan kontestasi pilkada secara langsung, maka konsekuensi logis kepala daerah serta anggota DPRD yang terpilih merupakan bentuk akumulasi amanat serta kepercayaan yang diberikan oleh rakyatnya, dalam rangka melakukan akselerasi hakikat otonomi daerah.
Akan tetapi, faktanya telah menjadi suatu ironi tatkala peristiwa tertangkap tangan melibatkan para oknum penyelenggara pemerintahan daerah, seakan tidak disadari sekaligus tidak adanya itikad untuk memahami bahwa kedudukan yang dimiliki bukannya suatu keadaan yang didapat secara turun temurun, melainkan bentuk kepercayaan rakyat. Oleh karena itu bercermin dari berbagai peristiwa tertangkap tangannya oknum penyelenggara pemerintahan daerah, bukannya tidak mungkin menjadi stimulan atas sikap apatis rakyat di daerah otonom, dan secara tidak langsung akan mempengaruhi tingkat partisipasi rakyat dalam menentukan calon pemimpin dimasa mendatang.

Realitas Pilkada
Tidak sedikit kajian tentang pemerintahan daerah, misalnya yang berfokus pada pelaksanaan amanat pilkada yang dilaksanakan secara demokratis, mengungkapkan bahwa terdapat plus minus dari implementasi pilkada dimaksud, yang salah satunya bahwa praktik pilkada tersebut membutuhkan biaya yang tidak sedikit, atau dengan kata lain setiap calon kepala daerah dituntut mampu mempersiapkan modal yang relatif besar. Walaupun tentu benar ada beberapa calon kepala daerah yang melenggang menjadi pemimpin di daerah, tanpa mengeluarkan modal besar, namun faktanya tetap memerlukan biaya.
Modal tersebut antara lain diperuntukkan sebagai biaya mahar agar dapat diusung oleh partai politik atau gabungan partai politik, biaya untuk operasional dan konsolidasi mesin partai, biaya untuk tim pemenangan atau relawan maupun tim sukses, biaya untuk kampanye sekaligus pencitraan, serta biaya untuk membayar atau pengawalan yang dilakukan saksi dalam proses pemungutan suara baik pra maupun pasca pemilihan.
 Merujuk atas berbagai realita pilkada, maka dapat dipahami bahwa bagi kepala daerah yang terpilih dalam tempo sesingkat-singkatnya akan berusaha untuk mengembalikan modal pilkada, baik ke kantong pribadi maupun kepada sponsor yang telah memberikan sumbangsih pada saat kontestasi pilkada. Siklus ini yang menggiurkan oknum kepala daerah untuk bermain mata, serta memanipulasi program atau kegiatan dalam tahun anggaran yang dikelolanya.
Menariknya adalah dugaan praktik manipulasi program atau kegiatan ini tidak hanya dilakukan oleh oknum kepala daerah terpilih, melainkan juga menjadi secercah harapan bagi petahana yang nyata-nyata tidak terpilih pada periode berikutnya, sehingga menggiurkan untuk mengemas sisa anggaran yang dikelolanya demi kepentingan pribadi.
Faktanya bahwa imbas dari praktik pilkada serentak yang lalu, turut berimplikasi di beberapa daerah otonom atas gagalnya petahana mempertahankan kekuasaannya. Gagalnya petahana merupakan dalam konteks tidak terpilih kembali sebagai kepala daerah dua periode, atau sebagai pasangan calon yang tidak mampu meraup suara terbanyak dengan persentase tertinggi dari sejumlah suara yang dikategorikan keabsahannya. Tentu realita ini merupakan antitesis atas adagium, jika calon petahana adalah calon yang mendapat karpet merah serta diproyeksikan akan melenggang kembali menduduki singgasana kepala daerah, karena patut diduga dengan mudah menggerakan satuan kerja perangkat daerah secara terstruktur, sistematis dan masif.
Oleh karena itu, terlepas dari polemik yang melingkupi eksistensi lembaga KPK pada hari-hari belakangan ini, maka pada satu sisi patut diacungi jempol karena telah menyadarkan publik. Bahwa praktik tindak pidana korupsi sejatinya tidak hanya santapan dikalangan penyelenggaran yang berada pada pusaran kekuasaan nasional, akan tetapi nyatanya turut digemari oleh oknum pemerintahan daerah. Dengan demikian semoga preseden dugaan tertangkap tangannya oknum pemerintahan daerah dalam melakukan perbuatan tindak pidana, dapat mendorong infra-supra struktur politik untuk memformulasikan suatu restorasi atas sistem pemerintahan daerah. Semoga!
*Tulisan ini juga dimuat pada Harian Waspada, Rabu 20 September 2017




[1]  Penulis adalah Dosen Khusus UMSU, dan PNS Pemkab Aceh Tamiang.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar