Ironi Pengemban
Amanat
Medio September praktik penyelenggaraan pemerintahan
daerah kembali menjadi sorotan, bukan dikarenakan sedang berlangsungnya pentas
demokrasi dalam memilih “raja kecil” dimasing-masing daerah otonom, melainkan akibat
adanya rentetan peristiwa yang berimplikasi hukum, meskipun atas berbagai fakta
yang terungkap bahwa peristiwa tersebut berdiri sendiri.
Peristiwa hukum yang dimaksud adalah terdapatnya
beberapa oknum dari pengemban amanat rakyat, dalam hal ini diduga menyalahgunakan
kewenangan yang melekat pada jabatannya. Yakni sebagaimana masifnya pemberitaan
media masa bahwa minggu yang lalu lembaga KPK (Komisi Pemberantasan Korupsi),
berhasil mengamankan beberapa penyelenggara pemerintahan daerah, pada daerah
otonom yang berbeda-beda dengan dugaan tertangkap tangan melakukan perbuatan
tindak pidana.
Dialektika tentang peristiwa hukum tertangkap tangan
bagi para penyelenggara pemerintahan, tanpa terkecuali di daerah otonom lazimnya
bukanlah sesuatu yang tabu dan bukannya baru diperbincangkan. Akan tetapi pasca
reformasi khususnya melalui keberadaan lembaga KPK, peristiwa tertangkap tangan
seakan menjadi hal yang lumrah, oleh karena peristiwa tersebut tidak lagi
berbilang jari, terlebih belakangan ini hampir setiap bulan berbagai peristiwa
tertangkap tangan selalu menghiasi layar kaca.
Ironi Pemerintahan Daerah
Berdasarkan amanat Undang-Undang tentang Pemerintahan
Daerah, maka pemerintahan daerah merupakan penyelenggaraan urusan pemerintahan oleh
pemerintah daerah (kepala daerah) bersama DPRD (dewan perwakilan rakyat
daerah), sejalan dengan asas otonomi dan tugas pembantuan. Menariknya corak
pemerintahan daerah pasca reformasi telah mengimplementasikan pelaksanaan
pemilihan kepala daerah secara demokratis, serta pemilihan anggota DPRD secara
langsung.
Dengan kata lain, baik kepala daerah maupun anggota
DPRD sejatinya pantas diposisikan sebagai pengemban amanat dari masing-masing
rakyat pada daerah otonom yang dipimpinnya. Tepatnya bagi daerah otonom yang melaksanakan
kontestasi pilkada secara langsung, maka konsekuensi logis kepala daerah serta
anggota DPRD yang terpilih merupakan bentuk akumulasi amanat serta kepercayaan
yang diberikan oleh rakyatnya, dalam rangka melakukan akselerasi hakikat
otonomi daerah.
Akan tetapi, faktanya telah menjadi suatu ironi
tatkala peristiwa tertangkap tangan melibatkan para oknum penyelenggara
pemerintahan daerah, seakan tidak disadari sekaligus tidak adanya itikad untuk
memahami bahwa kedudukan yang dimiliki bukannya suatu keadaan yang didapat
secara turun temurun, melainkan bentuk kepercayaan rakyat. Oleh karena itu
bercermin dari berbagai peristiwa tertangkap tangannya oknum penyelenggara
pemerintahan daerah, bukannya tidak mungkin menjadi stimulan atas sikap apatis
rakyat di daerah otonom, dan secara tidak langsung akan mempengaruhi tingkat partisipasi
rakyat dalam menentukan calon pemimpin dimasa mendatang.
Realitas
Pilkada
Tidak sedikit kajian tentang pemerintahan daerah,
misalnya yang berfokus pada pelaksanaan amanat pilkada yang dilaksanakan secara
demokratis, mengungkapkan bahwa terdapat plus minus dari implementasi pilkada
dimaksud, yang salah satunya bahwa praktik pilkada tersebut membutuhkan biaya
yang tidak sedikit, atau dengan kata lain setiap calon kepala daerah dituntut
mampu mempersiapkan modal yang relatif besar. Walaupun tentu benar ada beberapa
calon kepala daerah yang melenggang menjadi pemimpin di daerah, tanpa
mengeluarkan modal besar, namun faktanya tetap memerlukan biaya.
Modal tersebut antara lain diperuntukkan sebagai biaya
mahar agar dapat diusung oleh partai politik atau gabungan partai politik,
biaya untuk operasional dan konsolidasi mesin partai, biaya untuk tim
pemenangan atau relawan maupun tim sukses, biaya untuk kampanye sekaligus
pencitraan, serta biaya untuk membayar atau pengawalan yang dilakukan saksi
dalam proses pemungutan suara baik pra maupun pasca pemilihan.
Merujuk atas
berbagai realita pilkada, maka dapat dipahami bahwa bagi kepala daerah yang
terpilih dalam tempo sesingkat-singkatnya akan berusaha untuk mengembalikan
modal pilkada, baik ke kantong pribadi maupun kepada sponsor yang telah
memberikan sumbangsih pada saat kontestasi pilkada. Siklus ini yang menggiurkan
oknum kepala daerah untuk bermain mata, serta memanipulasi program atau
kegiatan dalam tahun anggaran yang dikelolanya.
Menariknya adalah dugaan praktik manipulasi program
atau kegiatan ini tidak hanya dilakukan oleh oknum kepala daerah terpilih,
melainkan juga menjadi secercah harapan bagi petahana yang nyata-nyata tidak
terpilih pada periode berikutnya, sehingga menggiurkan untuk mengemas sisa
anggaran yang dikelolanya demi kepentingan pribadi.
Faktanya bahwa imbas dari praktik pilkada serentak
yang lalu, turut berimplikasi di beberapa daerah otonom atas gagalnya petahana
mempertahankan kekuasaannya. Gagalnya petahana merupakan dalam konteks tidak
terpilih kembali sebagai kepala daerah dua periode, atau sebagai pasangan calon
yang tidak mampu meraup suara terbanyak dengan persentase tertinggi dari
sejumlah suara yang dikategorikan keabsahannya. Tentu realita ini merupakan
antitesis atas adagium, jika calon petahana adalah calon yang mendapat karpet
merah serta diproyeksikan akan melenggang kembali menduduki singgasana kepala
daerah, karena patut diduga dengan mudah menggerakan satuan kerja perangkat
daerah secara terstruktur, sistematis dan masif.
Oleh karena itu, terlepas dari polemik yang melingkupi
eksistensi lembaga KPK pada hari-hari belakangan ini, maka pada satu sisi patut
diacungi jempol karena telah menyadarkan publik. Bahwa praktik tindak pidana
korupsi sejatinya tidak hanya santapan dikalangan penyelenggaran yang berada
pada pusaran kekuasaan nasional, akan tetapi nyatanya turut digemari oleh oknum
pemerintahan daerah. Dengan demikian semoga preseden dugaan tertangkap
tangannya oknum pemerintahan daerah dalam melakukan perbuatan tindak pidana,
dapat mendorong infra-supra struktur politik untuk memformulasikan suatu
restorasi atas sistem pemerintahan daerah. Semoga!
*Tulisan ini juga dimuat pada Harian Waspada, Rabu 20 September 2017
Tidak ada komentar:
Posting Komentar