Amanat Kemerdekaan

Amanat Kemerdekaan

Oleh: Dr. Cakra Arbas, SH.I, MH.[1]

Bulan Agustus diidentikkan sebagai tonggak perjuangan bangsa Indonesia dalam menggapai kemerdekaan, serta spirit menanggalkan belenggu penjajahan. Perihal ini salah satunya merupakan petikan orasi Soekarno – Hatta ketika memproklamirkan kemerdekaan Republik Indonesia, pada tanggal 17 Agustus 1945. Bahwa melalui proklamasi tersebut, telah mengindikasikan adanya keinginan luhur dari seluruh komponen bangsa Indonesia, untuk bernaung dalam suatu wadah formil yang disebut sebagai negara, dengan dasar memiliki pandangan serta falsafah hidup yang sama.

Meskipun berdasarkan catatan sejarah terdapat beberapa daerah yang nyatanya tidak rela terintegrasi dalam suatu negara yang bernama Indonesia. Terkait hal ini dapat dicermati dalam dinamika ketatanegaraan Indonesia, bahwa difase awal kemerdekaan terjadinya berbagai peristiwa yang dapat digolongkan sebagai upaya disintegrasi, baik berbagai aksi yang tergolong internal maupun aksi eksternal. Terlepas dari berbagai peristiwa yang pernah melingkupi penyelenggaraan pemerintahan, patut disyukuri bahwa bangsa Indonesia mampu melewati berbagai tantangan zaman tersebut.

Kemerdekaan yang diraih bangsa Indonesia, sudah barang tentu memiliki latar belakang perjuangan yang berbeda dengan negara lainnya, meskipun pada hakikatnya diasumsikan terdapat persamaan yaitu hak azasi universal yang berupa penentuan nasib sendiri. Oleh karena itu, dalam rangka mengisi kemerdekaan pantas kiranya segenap komponen bangsa untuk melakukan review atas amanat kemerdekaan, yang telah dipropagandakan para leluhur terdahulu.  

Amanat Dalam Pembukaan

 Berdasarkan kajian ilmu negara, Padmo Wahjono (1982) menerangkan bahwa amanat kemerdekaan bangsa Indonesia telah dituangkan dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (UUDNRI Tahun 1945), khususnya pada masing-masing alinea dipembukaannya, antara lain: Pertama, bahwa merdeka atau bernegara adalah hak setiap bangsa, pandangan ini merupakan sesuai dengan teori moderen dalam ilmu negara yang menegaskan bahwa kemerdekaan atau bernegara hak azasinya setiap bangsa yang berpangkal dari hak untuk menentukan nasib sendiri.

Kedua, bahwa pernyataan kemerdekaan bangsa Indonesia sebagaimana yang dinyatakan dalam proklamasi, mempunyai rentetan sejarah serta merupakan hasil dari perjuangan kemerdekaan bangsa Indonesia. Sehingga yang diartikan dengan kemerdekaan atau bernegara oleh bangsa Indonesia adalah merdeka, bersatu, berdaulat, adil dan makmur.

Ketiga, bahwa pernyataan kemerdekaan bangsa Indonesia bukanlah sekedar suatu perjanjian kemasyarakatan, atau bukan sekedar hitungan matematis yang ketika itu terdapat tujuh puluh juta rakyat Indonesia telah mengikrarkannya. Akan tetapi, ada faktor lain turut menghantarkan kemerdekaan Indonesia, yaitu atas berkat rahmat Allah Yang Maha Kuasa dan adanya motivasi yang kuat dengan didorong oleh keinginan luhur, supaya berkehidupan kebangsaan yang bebas dan tidak terjajah.

Keempat, bahwa pada prinsipnya secara tuntas pandangan bernegara bangsa Indonesia telah dirumuskan melalui alinea terakhir, yakni tentang pemerintah harus melindungi segenap bangsa dan seluruh tumpah darah Indonesia. Pemerintah juga harus memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan atas kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial. Serta mengagungkan kedaulatan rakyat yang didasari melalui kelima sila yang termaktub dalam Pancasila.

Oleh karena itu, jika ditinjau seluruh frasa baik dari alinea pertama sampai alinea terakhir, maka akan tampak bahwa negara Indonesia yang berdasarkan Pancasila bukanlah semata-mata tujuan, melainkan diposisikan sebagai alat untuk mencapai tujuan dari bernegara yang telah diamanatkan dalam pembukaan UUDNRI Tahun 1945.

Refleksi Kemerdekaan

Bercermin dari amanat kemerdekaan, yang prinsipnya telah digariskan dalam pembukaan UUDNRI Tahun 1945, bahkan senada dengan pesan Soekarno yang pada intinya mengingatkan, bahwa “perjuanganku lebih mudah karena mengusir penjajah, tapi perjuanganmu akan lebih sulit karena melawan bangsamu sendiri”, faktanya cukup aktual dijadikan acuan ketika merespon berbagai situasi dan kondisi dari penyelenggaraan pemerintahan saat ini.

Dengan kata lain, sebagai generasi penerus hendaknya melakukan introspeksi, khususnya yang sedang mengemban amanah sebagai penentu kebijakan, agar melakukan pertimbangan secara matang dan mendalam melalui proses derivasi nilai, sebelum menetapkan suatu keputusan yang terkait dengan berbagai kebijakan pemerintahan, tanpa mendikotomikan kebijakan pembangunan ataupun peraturan perundang-undangan.

Bukannya tidak mungkin kekeliruan dalam memutuskan permasalahan akan memicu lunturnya nilai persatuan dan kesatuan, yang disebabkan minimnya political will untuk mencabut akar pertentangan. Mengingat dalam konteks kekinian beberapa waktu yang lalu, masifnya energi yang terkuras untuk menyelesaikan berbagai peristiwa yang mengarah pada perpecahan sesama putera-puteri bangsa.

Pada sisi yang lain, sejalan dengan pengakuan dunia yang telah memposisikan Indonesia sebagai negara kepulauan terbesar, atau lazim dipopulerkan dengan istilah nusantara. Seyogyanya memiliki potensi sumber daya yang melimpah, sehingga menjadi wajar kiranya mendorong agar terwujudnya kemandirian disegala bidang, dengan demikian akan terdistorsi upaya untuk ketergantungan terhadap negara asing.

Oleh karena itu, melalui momentum perayaan kemerdekaan Indonesia ke-72, senantiasa diharapkan munculnya kesadaran untuk mewujudkan cita leluhur bangsa, khususnya tentang penghapusan penjajahan dibumi pertiwi dalam bentuk apapun. Sehingga penentuan nasib sendiri bukan sebatas jargon yang tak mampu diraih, melainkan wujud nyata dari amanat kemerdekaan, maka besar harapan dengan hilangnya ketergantungan terhadap negara asing,  akan menjadi stimulan untuk akselerasi menuju negara yang berdaulat, adil, dan makmur. Merdeka!!!

*Tulisan ini juga dimuat pada Harian Waspada, Jum'at 18 Agustus 2017

---

[1]  Penulis adalah Dosen Khusus UMSU, dan PNS Pemkab Aceh Tamiang.