Frasa “Pemerintah”
Debat kusir kembali mewarnai dialektika hukum dan
politik, khususnya yang berkaitan dengan kewenangan yang dimiliki oleh lembaga
negara. Menariknya adalah berbagai friksi yang tampil dipermukaan, kadangkala
membuat jurang pemisah antara para pihak yang pro maupun kontra.
Acapkali celah yang berada
diranah ilmu sosial digunakan untuk melegitimasi berbagai dalih argumentasi
yang dikemukakan.
Hal ini antara lain dapat dicermati melalui dinamika
yang sedang bergulir, tentang keberadaan suatu lembaga negara yang notabene
merupakan amanat dari peraturan perundang-undangan, akan tetapi karena
dilandasi berbagai kepentingan menjadi perdebatan tentang wujud keberadaannya.
Perdebatan dimaksud dalam rangka memposisikan lembaga negara, yang mana sesuai
dengan teori keilmuan dikemukakan oleh Montesquieu, bahwa lazimnya negara
moderen dewasa ini menerapkan prinsip pembagian kekuasaan.
Secara normatif, sudah barang tentu Indonesia turut
mengimplementasikan prinsip pembagian kekuasaan, meskipun tidak menutup
kemungkinan berhembus nada sumir bahwa seluruh cabang kekuasan berada pada
simpul yang sama. Akan tetapi terlepas dari simpul kekuasaan, wacana yang
sedang bergulir adalah tentang klasifikasi lembaga negara yang disebut sebagai
“pemerintah”. Sehingga pantas untuk ditelaah, dari perspektif ketatanegaraan
siapakah yang dimaksud dengan pemerintah ? serta cabang kekuasaan apa yang
dikelompokkan sebagai pemerintah ?
Dikotomi “Pemerintah”
Kamus Besar Bahasa Indonesia, menerangkan bahwa pemerintah bermakna sebagai sistem yang menjalankan
wewenang dan kekuasaan untuk mengatur kehidupan sosial, ekonomi, dan politik
suatu negara atau bagian-bagiannya. Dengan kata lain dapat dianalogikan sebagai
suatu organisasi yang memiliki tugas dan fungsi untuk mengelola sistem
pemerintahan sekaligus menetapkan kebijakan untuk mencapai tujuan negara.
Oleh Plato, ditegaskan bahwa negara bertujuan untuk memajukan kesusilaan
manusia, sebagai perseorangan dan juga sebagai mahluk sosial. Dalam Konteks
Negara Kesatuan Republik Indonesia, bertujuan untuk melindungi segenap bangsa
Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia, memajukan kesejahteraan umum,
mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang
berdasarkan kemerdekaan, perdamaian hakiki, serta keadilan sosial.
Mengenai frasa pemerintah, J.C.T Simorangkir menerangkan bahwa adanya pembatasan tentang
frasa pemerintah, dan frasa pemerintahan. Dalam hal ini, pemerintah ditafsirkan
sebagai organ/alat, dan pemerintahan diposisikan sebagai suatu fungsi. Pada
kesempatan yang sama, lazimnya frasa pemerintah digolongkan melalui dua
kriteria, yaitu:
Pertama, pemerintah dalam arti luas bermakna mencakup semua alat kelengkapan negara yang pada
pokoknya terdiri dari cabang-cabang kekuasaan eksekutif, legislatif dan
yudisial atau alat kelengkapan negara lain yang bertindak untuk dan atas nama
negara. Kedua, pemerintah dalam arti sempit
bermakna hanya sebatas cabang kekuasaan eksekutif atau organ/alat
perlengkapan negara yang diserahi tugas pemerintahan untuk melaksanakan undang-undang.
(J.C.T.Simorangkir, 1960)
Indonesia sebagai negara hukum memiliki substansi dasar yang erat
kaitannya dengan konstitusionalisme. M. Solly Lubis (2011) menyatakan bahwa
konstitusionalisme merupakan suatu paham yang berdasarkan pada konstitusi suatu
negara, dilatarbelakangi oleh cita kenegaraan dan perjuangan yang
bibit-bibitnya sejak lama telah tumbuh secara evolusif, serta didorong oleh
amanat penderitaan akibat dirampasnya hak-hak asasi, baik sebagai individu
maupun sebagai bangsa, oleh rezim yang menindasnya.
Dalam kaitannya dengan frasa pemerintah, dewasa ini konstitusi Indonesia
seiring berbagai dinamika yang melingkupinya telah menegaskan, bahwa yang
dimaksud dengan pemerintah merupakan struktur kekuasaan, dan dapat digolongkan
dalam dua klasifikasi yaitu: Pertama,
sebagai pemerintah pusat, sejalan dengan amanat UUDNRI Tahun 1945, khususnya
amanat pasal 4 (1) yang berbunyi “Presiden
Republik Indonesia memegang kekuasaan pemerintahan menurut Undang-Undang Dasar”.
Berikutnya pasal 20 (1) yang berbunyi “Dewan Perwakilan Rakyat memegang
kekuasaan membentuk undang-undang”. Kemudian pasal 24 (1) yang berbunyi “kekuasaan kehakiman merupakan kekuasaan yang
merdeka untuk menyelenggarakan peradilan
guna menegakkan hukum dan keadilan”. Serta pasal 24 (3) yang berbunyi “badan-badan lain yang fungsinya berkaitan
dengan kekuasaan kehakiman diatur dalam undang-undang”.
Kedua, sebagai pemerintah daerah, sejalan
dengan amanat pasal 18 (1) yang berbunyi “Negara
Kesatuan Republik Indonesia dibagi atas daerah-daerah provinsi, dan daerah
Provinsi itu dibagi atas Kabupaten dan Kota, yang tiap-tiap Provinsi,
Kabupaten, dan Kota itu mempunyai pemerintahan daerah yang diatur dengan
undang-undang”. Dalam konteks pemerintah daerah, maka Undang-Undang tentang
Pemerintahan Daerah menyebutkan bahwa frasa pemerintah dimaknai sebagai Kepala
Daerah yang merupakan unsur penyelenggara pemerintahan daerah memimpin
pelaksanaan urusan pemerintahan yang menjadi kewenangan daerah otonom.
Penutup
Berdasarkan
dikotomi pemerintah tersebut, kini menjadi terang kiranya duduk permasalahan
yang hangat diperbincangkan, bahwa pada hakikatnya terdapat klasifikasi antara
makna pemerintah dalam arti sempit dan dalam arti luas. Begitu juga halnya
bahwa berdasarkan konstitusi yang diberlakukan, faktanya juga terdapat
klasifikasi antara frasa pemerintah, sebagai pemerintah pusat maupun sebagai
pemerintah daerah.
Sebagai
negara yang lantang memproklamirkan hukum diatas segala-galanya, seyogyanya
para pemangku kebijakan semoga tanpa tedeng aling-aling, untuk bersikap dan
bertindak sesuai dengan koridor hukum yang telah ditetapkan, sekaligus mampu
menanggalkan berbagai anasir lainnya hanya untuk membenarkan berbagai
kepentingan yang melingkupinya, sehingga jika anasir hukum mampu diwujudkan
sesuai dengan hakikatnya, niscaya telah turut mewujudkan salah satu tujuan dari
konsensus seluruh komponen bangsa, yaitu berikrar dalam bernegara. Semoga!
*Tulisan ini juga dimuat pada Harian Waspada, Jumat 19 Mei 2017
Tidak ada komentar:
Posting Komentar