Lex Specialis
Hari-hari
belakangan kajian mengenai ilmu perundang-undangan kembali mengemuka
kepermukaan, seakan untuk melegitimasi berbagai realita yang terjadi dalam
kehidupan sosial masyarakat, terkait sengkarutnya penyelenggaraan pemerintahan.
Khususnya di
Aceh, pasca pelaksanaan pemilihan kepala daerah serentak yang digelar beberapa
waktu yang lalu.
Berbagai anasir ilmu perundang-undangan
turut didengungkan, tepatnya melalui salah satu asas yang seyogyanya berfungsi
sebagai perekat nilai dalam kehidupan perkembangan
masyarakat, dan tidak jarang diposisikan sebagai dasar untuk memformulasikan
norma yang telah disepakati. Yakni asas “Lex
Specialis Derogat Legi Generalis”, melalui terjemahan bebasnya dapat
ditafsirkan sebagai peraturan yang khusus mengeyampingkan peraturan yang umum.
Hal ini tatkala terjadinya friksi antara satu norma yang diatur melalui
peraturan yang bersifat khusus dengan norma yang diatur melalui peraturan yang
bersifat umum, maka prinsipnya norma yang diamanatkan dalam peraturan khusus
akan diprioritaskan.
Bahwa perjalananan ketatanegaraan Republik
Indonesia telah menempatkan Aceh sebagai salah satu daerah otonom yang
berkarakteristik istimewa dan khusus, perihal tersebut didasari oleh berbagai realitas
dan dinamika sejarah, baik yang terjadi pada saat pra maupun pasca kemerdekaan
Republik Indonesia. Sehingga dewasa ini, dalam rangka menyelenggarakan
pemerintahan yang berlandaskan prinsip otonomi daerah, Aceh memiliki peraturan
tersendiri sejalan asas “Lex Specialis”
melalui Undang-Undang tentang Pemerintahan Aceh, yang secara substansi telah
cukup memadai serta mampu menampung aspirasi dan kepentingan sekaligus keadaan
politik masyarakat Aceh, meskipun kiranya perlu dilakukan revisi minor untuk
menjawab tantangan zaman.
Sengkarut
“Lex Specialis”
“Lex
Specialis” faktanya kini menjadi lazim terdengar di Aceh, terlebih dalam
hiruk pikuk penyelenggaraan pemerintahan yang dinilai kontra oleh sebahagian
kalangan. Tercatat bahwa dalam roda pemerintahan Tahun 2017, anasir “Lex Specialis” pada mulanya sebagai
antitesis dari penyelenggaraan pilkada serentak di bulan Februari yang lalu,
dalam hal ini ketika terjadinya friksi mengenai landasan penyelenggaraan
pilkada dimaksud.
Yaitu ketika
adanya dugaan bahwa pilkada yang dilaksanakan di Aceh didasarkan atas peraturan
Perundang-undang yang bersifat umum, yakni melalui Undang-Undang tentang
pemilihan Gubernur/ Wakil Gubernur, Bupati/Wakil Bupati, dan Walikota/Wakil
Walikota, bukan didasarkan atas peraturan Perundang-undangan yang bersifat
kekhususan, seperti Undang-Undang tentang Pemerintahan Aceh.
Sudah barang
tentu friksi tidak dapat terelakkan oleh sebahagian pemangku kepentingan di
Aceh, pro dan kontra mewarnai hasil pilkada tersebut, meskipun patut disyukuri
bahwa tidak adanya para pihak yang reaktif. Menariknya bahwa atas peristiwa
pilkada, dapat diasumsikan mayoritas masyarakat justru tidak mempermasalahkan
mati surinya asas “Lex Specialis”.
Tidak berselang
waktu lama, adagium “Lex Specialis”
kembali menjadi buah bibir dikalangan pegiat pemerintahan, baik yang
berkecimpung dalam tatanan suprastruktur politik, maupun infrastruktur politik.
Bahwa “Lex Specialis” kembali
digunakan untuk melegitimasi suatu ketetapan yang dituangkan melalui keputusan,
dalam hal ini secara sederhana dapat dipahami sebagai keputusan yang dilakukan
oleh Gubernur Aceh, untuk melakukan rotasi dan mutasi pada pejabat tinggi
pratama dilingkungan pemerintahan Aceh.
Sontak bagaikan
siang dan malam, jika sebelumnya “Lex
Specialis” dinilai mati suri dalam proses pilkada Aceh dan tidak terjadi
reaktif ditengah-tengah masyarakat, maka untuk peristiwa hukum yang melibatkan
keputusan Gubernur Aceh, seketika menuai cibiran dalam sosial kemasyarakatan.
Meskipun pada kesempatan yang sama, Gubernur menerangkan bahwa pelantikan
pejabat merupakan hal yang biasa dan normatif, serta untuk memotivasi kinerja
pemerintahan Aceh yang dinilai berjalan lambat.
Berkaca dari
peristiwa tersebut, tentu lumrah tentang substansi dari pelantikan pejabat.
Akan tetapi menjadi sesuatu yang tidak biasa, dikarenakan pelantikan pejabat
tinggi pratama dilakukan pasca penyelenggara pilkada Aceh merekapitulasi suara
sah dari hasil pilkada. Berdasarkan rekapitulasi tersebut Gubernur Aceh (petahana)
bukan sebagai pasangan calon yang unggul perolehan suara secara kuantitatif,
sehingga pelantikan tersebut kiranya menjadi multi tafsir, terlebih penggantian
pejabat tinggi pratama secara normatif bertentangan dalam klausul norma
peraturan perundang-undangan yang berlaku umum.
Pada kesempatan
yang sama, peristiwa penggantian pejabat tinggi pratama patut diduga akan
menjadi preseden buruk bagi pemerintah Kabupaten dan Kota yang ada di Aceh,
mengingat realitas usangnya petahana dalam konteks tidak terpilihnya beberapa Bupati/Walikota (petahana) sebagai kepala
daerah dua periode, akan menciptakan kelatahan untuk merombak pejabat
dilingkungan daerah otonom yang dipimpinnya, dengan dalih “Lex Specialis”.
Atas realita pilkada yang berimplikasi dengan usangnya
petahana, kiranya calon kepala daerah petahana dapat bersikap bijaksana atas
kekalahan yang diterimanya, yaitu tidak menyalahi siapapun dengan dalih apapun.
Sehingga diharapkan mau melakukan introspeksi diri, khususnya dengan menyadari
berbagai titik lemah kepemimpinannya, juga dengan memilah berbagai kebijakannya
yang dinilai tidak memihak kepada kepentingan masyarakat pada umumnya. Dengan
demikian jalannya roda penyelenggaraan pemerintahan akan sesuai dengan hakikat
otonomi daerah.
Pada sisi yang lain, seyogyanya pemangku
kebijakan dalam merumuskan suatu keputusan agar berpegang teguh dengan sistem
hukum, yaitu suatu kesatuan yang terdiri dari unsur-unsur yang mempunyai
interaksi satu sama lain dan bekerja sama untuk mencapai tujuan kesatuan,
entitas tersebut diterapkan terhadap kompleks unsur-unsur yuridis seperti
peraturan hukum, dan asas hukum. (Sudikno Mertokusumo, 2010) Akan tetapi, tidak
kalah pentingnya adalah menjunjung budaya hukum
sebagai etos kerja dan sikap moral yang dipraktikkan oleh para
pemimpin di daerah otonom.
Menyimak berbagai
dinamika penyelenggaraan pemerintahan di Aceh, sudah sepantasnya dijadikan
sebagai momentum untuk memaksimalkan sekaligus menempatkan makna dari asas “lex Specialis derogat legi generalis” pada
porsinya, sehingga dapat diwujudkan sesuai dengan kaidahnya, serta semoga stakeholder terkait mampu menahan diri
untuk tidak merumuskan kebijakan yang dinilai meresahkan para penyelenggara
pemerintahan. Semoga!
*Tulisan ini juga dimuat pada Harian Waspada, Rabu 22 Maret 2017
Tidak ada komentar:
Posting Komentar