Senin, 27 Maret 2017

Lex Specialis

Lex Specialis
Oleh: Dr. Cakra Arbas, SH.I, MH.[1]

Hari-hari belakangan kajian mengenai ilmu perundang-undangan kembali mengemuka kepermukaan, seakan untuk melegitimasi berbagai realita yang terjadi dalam kehidupan sosial masyarakat, terkait sengkarutnya penyelenggaraan pemerintahan. Khususnya di Aceh, pasca pelaksanaan pemilihan kepala daerah serentak yang digelar beberapa waktu yang lalu.
Berbagai anasir ilmu perundang-undangan turut didengungkan, tepatnya melalui salah satu asas yang seyogyanya berfungsi sebagai perekat nilai  dalam kehidupan perkembangan masyarakat, dan tidak jarang diposisikan sebagai dasar untuk memformulasikan norma yang telah disepakati. Yakni asas “Lex Specialis Derogat Legi Generalis”, melalui terjemahan bebasnya dapat ditafsirkan sebagai peraturan yang khusus mengeyampingkan peraturan yang umum. Hal ini tatkala terjadinya friksi antara satu norma yang diatur melalui peraturan yang bersifat khusus dengan norma yang diatur melalui peraturan yang bersifat umum, maka prinsipnya norma yang diamanatkan dalam peraturan khusus akan diprioritaskan.
Bahwa perjalananan ketatanegaraan Republik Indonesia telah menempatkan Aceh sebagai salah satu daerah otonom yang berkarakteristik istimewa dan khusus, perihal tersebut didasari oleh berbagai realitas dan dinamika sejarah, baik yang terjadi pada saat pra maupun pasca kemerdekaan Republik Indonesia. Sehingga dewasa ini, dalam rangka menyelenggarakan pemerintahan yang berlandaskan prinsip otonomi daerah, Aceh memiliki peraturan tersendiri sejalan asas “Lex Specialis” melalui Undang-Undang tentang Pemerintahan Aceh, yang secara substansi telah cukup memadai serta mampu menampung aspirasi dan kepentingan sekaligus keadaan politik masyarakat Aceh, meskipun kiranya perlu dilakukan revisi minor untuk menjawab tantangan zaman.
     
Sengkarut “Lex Specialis”
 “Lex Specialis” faktanya kini menjadi lazim terdengar di Aceh, terlebih dalam hiruk pikuk penyelenggaraan pemerintahan yang dinilai kontra oleh sebahagian kalangan. Tercatat bahwa dalam roda pemerintahan Tahun 2017, anasir “Lex Specialis” pada mulanya sebagai antitesis dari penyelenggaraan pilkada serentak di bulan Februari yang lalu, dalam hal ini ketika terjadinya friksi mengenai landasan penyelenggaraan pilkada dimaksud.
Yaitu ketika adanya dugaan bahwa pilkada yang dilaksanakan di Aceh didasarkan atas peraturan Perundang-undang yang bersifat umum, yakni melalui Undang-Undang tentang pemilihan Gubernur/ Wakil Gubernur, Bupati/Wakil Bupati, dan Walikota/Wakil Walikota, bukan didasarkan atas peraturan Perundang-undangan yang bersifat kekhususan, seperti Undang-Undang tentang Pemerintahan Aceh.
Sudah barang tentu friksi tidak dapat terelakkan oleh sebahagian pemangku kepentingan di Aceh, pro dan kontra mewarnai hasil pilkada tersebut, meskipun patut disyukuri bahwa tidak adanya para pihak yang reaktif. Menariknya bahwa atas peristiwa pilkada, dapat diasumsikan mayoritas masyarakat justru tidak mempermasalahkan mati surinya asas “Lex Specialis”.
Tidak berselang waktu lama, adagium “Lex Specialis” kembali menjadi buah bibir dikalangan pegiat pemerintahan, baik yang berkecimpung dalam tatanan suprastruktur politik, maupun infrastruktur politik. Bahwa “Lex Specialis” kembali digunakan untuk melegitimasi suatu ketetapan yang dituangkan melalui keputusan, dalam hal ini secara sederhana dapat dipahami sebagai keputusan yang dilakukan oleh Gubernur Aceh, untuk melakukan rotasi dan mutasi pada pejabat tinggi pratama dilingkungan pemerintahan Aceh.
Sontak bagaikan siang dan malam, jika sebelumnya “Lex Specialis” dinilai mati suri dalam proses pilkada Aceh dan tidak terjadi reaktif ditengah-tengah masyarakat, maka untuk peristiwa hukum yang melibatkan keputusan Gubernur Aceh, seketika menuai cibiran dalam sosial kemasyarakatan. Meskipun pada kesempatan yang sama, Gubernur menerangkan bahwa pelantikan pejabat merupakan hal yang biasa dan normatif, serta untuk memotivasi kinerja pemerintahan Aceh yang dinilai berjalan lambat.
Berkaca dari peristiwa tersebut, tentu lumrah tentang substansi dari pelantikan pejabat. Akan tetapi menjadi sesuatu yang tidak biasa, dikarenakan pelantikan pejabat tinggi pratama dilakukan pasca penyelenggara pilkada Aceh merekapitulasi suara sah dari hasil pilkada. Berdasarkan rekapitulasi tersebut Gubernur Aceh (petahana) bukan sebagai pasangan calon yang unggul perolehan suara secara kuantitatif, sehingga pelantikan tersebut kiranya menjadi multi tafsir, terlebih penggantian pejabat tinggi pratama secara normatif bertentangan dalam klausul norma peraturan perundang-undangan yang berlaku umum.
Pada kesempatan yang sama, peristiwa penggantian pejabat tinggi pratama patut diduga akan menjadi preseden buruk bagi pemerintah Kabupaten dan Kota yang ada di Aceh, mengingat realitas usangnya petahana dalam konteks tidak terpilihnya beberapa Bupati/Walikota (petahana) sebagai kepala daerah dua periode, akan menciptakan kelatahan untuk merombak pejabat dilingkungan daerah otonom yang dipimpinnya, dengan dalih “Lex Specialis”.
Atas realita pilkada yang berimplikasi dengan usangnya petahana, kiranya calon kepala daerah petahana dapat bersikap bijaksana atas kekalahan yang diterimanya, yaitu tidak menyalahi siapapun dengan dalih apapun. Sehingga diharapkan mau melakukan introspeksi diri, khususnya dengan menyadari berbagai titik lemah kepemimpinannya, juga dengan memilah berbagai kebijakannya yang dinilai tidak memihak kepada kepentingan masyarakat pada umumnya. Dengan demikian jalannya roda penyelenggaraan pemerintahan akan sesuai dengan hakikat otonomi daerah.
Pada sisi yang lain, seyogyanya pemangku kebijakan dalam merumuskan suatu keputusan agar berpegang teguh dengan sistem hukum, yaitu suatu kesatuan yang terdiri dari unsur-unsur yang mempunyai interaksi satu sama lain dan bekerja sama untuk mencapai tujuan kesatuan, entitas tersebut diterapkan terhadap kompleks unsur-unsur yuridis seperti peraturan hukum, dan asas hukum. (Sudikno Mertokusumo, 2010) Akan tetapi, tidak kalah pentingnya adalah menjunjung budaya hukum sebagai etos kerja dan sikap moral yang dipraktikkan oleh para pemimpin di daerah otonom.
Menyimak berbagai dinamika penyelenggaraan pemerintahan di Aceh, sudah sepantasnya dijadikan sebagai momentum untuk memaksimalkan sekaligus menempatkan makna dari asas “lex Specialis derogat legi generalis” pada porsinya, sehingga dapat diwujudkan sesuai dengan kaidahnya, serta semoga stakeholder terkait mampu menahan diri untuk tidak merumuskan kebijakan yang dinilai meresahkan para penyelenggara pemerintahan. Semoga!
*Tulisan ini juga dimuat pada Harian Waspada, Rabu 22 Maret 2017



[1]  Penulis adalah Dosen Khusus UMSU, dan PNS Pemkab Aceh Tamiang.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar