Kamis, 16 Februari 2017

Estafet Pemimpin Daerah

Estafet Pemimpin Daerah
Oleh: Dr. Cakra Arbas, SH.I, MH.[1]

Rabu, 15 Februari 2017 dapat diasumsikan sebagai momentum beberapa daerah otonom, untuk melakukan akselerasi pembangunan dan reformasi birokrasi, serta mewujudkan efektifitas sekaligus efisiensi penyelenggaraan pemerintahan daerah. Dikarenakan untuk beberapa daerah otonom dimaksud akan menggelar hajatan pilkada secara serentak, sehingga tidak menutup kemungkinan akan beralihnya tongkat komando kepemimpinan figur kepala daerah.
Terlebih lagi, diyakini bahwa proses demokrasi di tingkat lokal tersebut merupakan etalase dari penyelenggaraan pemerintahan secara nasional. Tanpa mengeyampingkan daerah otonom lainnya, akan tetapi mengingat bahwa beberapa daerah otonom yang menyandang status kekhususan dan keistimewaan, turut berpartisipasi secara aktif untuk menentukan calon pemimpin di masing-masing daerahnya. Oleh karena itu, bukanlah sesuatu yang berlebihan kiranya pelaksanaan pilkada tersebut telah menjadi episentrum pemberitaan media masa, baik lokal maupun nasional.
    
Democratic Leadership
Praktik penyelenggaraan pemerintahan daerah tidak dapat dipisahkan dari sosok pemimpin di daerah otonom, dalam hal ini adalah kepala daerah. Bahkan baik atau buruknya penyelenggaraan pemerintahan senantiasa dipengaruhi oleh karakteristik kepala daerah, bukan berarti dengan adanya kepala daerah baru hasil pemilihan secara serta merta akan terwujudnya good and clean government, justru tidak jarang dengan adanya kepala daerah baru hasil pemilihan turut memporak-porandakan tata kelola pemerintahan. Begitu juga halnya, belum tentu mempertahankan calon kepala daerah yang lama (incumbent), dapat mewujudkan hakikat otonomi daerah.
Dengan demikian kepemimpinan kepala daerah yang kurang memadai, acapkali menjadi faktor utama hambatan dalam memaksimalkan pelayanan publik, yang sesuai dengan asas otonomi daerah. Oleh karena itu, berbagai hambatan seyogyanya mampu direduksi oleh sosok pemimpin di daerah otonom, diantaranya dengan mengedepankan gaya kepemimpinan yang sejalan dengan “democratic leadership”. Yaitu sebagai gaya kepemimpinan yang menitikberatkan pada kemampuan untuk menciptakan moral dan kepercayaan, baik dari lingkungan birokrat yang dipimpinnya, maupun masyarakat sebagai konstituennya. Tentu disadari tidak seluruh kepala daerah mau dan mampu berposisi sebagai pemimpin yang berkarakteristik demokratis, sehingga bukanlah sesuatu yang berlebihan kiranya menggolongkan kepala daerah dalam beberapa kriteria, diantaranya:
Pertama, ada kepala daerah yang mampu berpikir dan mampu bertindak. Kriteria ini merupakan yang paling ideal dan dicitakan, bahkan dapat diasumsikan sebagai suatu tingkatan yang paling sempurna. Kedua, ada kepala daerah yang mampu berpikir dan tidak mampu bertindak. Kriteria ini dapat diasumsikan sebagai kepala daerah yang tidak memiliki nyali atau oleh karena patut diduga dalam keadaan terpaksa tidak berani bertindak. Ketiga, ada kepala daerah yang tidak mampu berpikir dan mampu bertindak. Kriteria ini dapat diasumsikan sebagai kepala daerah yang lemah akal, tetapi memiliki nyali dan nafsu yang besar dalam bertindak. Keempat, ada kepala daerah yang tidak mampu berpikir dan tidak mampu bertindak. Kriteria ini dapat diasumsikan sebagai kriteria yang terburuk, bahkan bukanlah sesuatu yang berlebihan betapa besarnya kerugian yang dialami masyarakat setempat jika memiliki kepala daerah dengan kriteria tersebut.

Estafet Kepala Daerah
Kepala daerah merupakan salah satu diantara sekian banyak status dan kedudukan yang memiliki nilai prestisius di tengah-tengah masyarakat, tidak dapat dipungkiri bahwa kedudukan sebagai kepala daerah mampu menjadi magnet yang tidak hanya melingkupi lapisan masyarakat berlabel borjuis, akan tetapi faktanya juga diimpikan oleh kalangan masyarakat penyandang ekonomi rendah. Hal ini dapat dipersaksikan diberbagai daerah otonom yang menyelenggarakan hajatan pilkada, bahwa besarnya antusias para tokoh baik yang berkecimpung dibidang pemerintahan, sosial kemasyarakatan, pemuka agama, para saudagar, sekaligus masyarakat biasa, untuk berkontribusi secara aktif maupun pasif dalam kontestasi pilkada.
Pada sisi yang lain, hendaknya dipahami bahwa secara umum kedudukan sebagai kepala daerah bukanlah suatu warisan yang didapat dari turun temurun. Artinya estafet kepemimpinan kepala daerah merupakan suatu keniscayaan, dengan demikian hakikat otonomi daerah yang diimplementasikan melalui berbagai asasnya, sepantasnya dilakukan secara berkesinambungan, dengan catatan hanya seluruh kebijakan periode lalu yang dinilai relevan dan taat asas peraturan perundang-undangan, selayaknya tetap dilanjutkan. Karena acapkali ketika terpilihnya kepala daerah seketika pula membongkar seluruh kebijakan periode yang lalu, tanpa menimbang terlebih dahulu relevansinya dalam kearifan lokal masyarakat. Sehingga ada seperti siklus, bahwa setiap rezim kepala daerah akan berbeda pula kebijakannya, dengan demikian kesinambungan pembangunan akan sulit diwujudkan.
Faktanya tidak jarang efektifitas pemerintahan hanya menjadi pepesan kosong, dan hanya berposisi sebagai simbol komoditas politik bagi daerah otonom yang sedang melangsungkan hajatan pilkada. Terlebih lagi, dewasa ini data menunjukkan bahwa tidak jarang terdapat distorsi antara kebijakan nasional dengan kebijakan daerah, serta belum efektifnya koordinasi antara pemerintah pusat dengan pemerintah daerah. Semoga melalui pilkada 15 Februari 2017, akan lahir kepala daerah yang mampu berpikir rasional serta memiliki mental dan nyali, untuk bertindak demi kepentingan masyarakat umum. Semoga!
*Tulisan ini juga dimuat pada Harian Republika, Kamis 16 Februari 2017  


[1]  Penulis adalah Dosen Pascasarjana Universitas Muhammadiyah Sumatera Utara.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar