Estafet Pemimpin Daerah
Rabu,
15 Februari 2017 dapat diasumsikan sebagai momentum beberapa daerah otonom,
untuk melakukan akselerasi pembangunan dan reformasi birokrasi, serta
mewujudkan efektifitas sekaligus efisiensi penyelenggaraan pemerintahan daerah.
Dikarenakan untuk beberapa daerah otonom dimaksud akan menggelar hajatan
pilkada secara serentak, sehingga tidak menutup kemungkinan akan beralihnya
tongkat komando kepemimpinan figur kepala daerah.
Terlebih lagi, diyakini bahwa proses
demokrasi di tingkat lokal tersebut merupakan etalase dari penyelenggaraan
pemerintahan secara nasional. Tanpa mengeyampingkan daerah otonom lainnya, akan
tetapi mengingat bahwa beberapa daerah otonom yang menyandang status kekhususan
dan keistimewaan, turut berpartisipasi secara aktif untuk menentukan calon
pemimpin di masing-masing daerahnya. Oleh karena itu, bukanlah sesuatu yang
berlebihan kiranya pelaksanaan pilkada tersebut telah menjadi episentrum
pemberitaan media masa, baik lokal maupun nasional.
Democratic Leadership
Praktik penyelenggaraan pemerintahan daerah tidak
dapat dipisahkan dari sosok pemimpin di daerah otonom, dalam hal ini adalah
kepala daerah. Bahkan baik atau buruknya penyelenggaraan pemerintahan
senantiasa dipengaruhi oleh karakteristik kepala daerah, bukan berarti dengan
adanya kepala daerah baru hasil pemilihan secara serta merta akan terwujudnya good and clean government, justru tidak
jarang dengan adanya kepala daerah baru hasil pemilihan turut
memporak-porandakan tata kelola pemerintahan. Begitu juga halnya, belum tentu
mempertahankan calon kepala daerah yang lama (incumbent), dapat mewujudkan hakikat otonomi daerah.
Dengan demikian kepemimpinan kepala daerah yang kurang
memadai, acapkali menjadi faktor utama hambatan dalam memaksimalkan pelayanan
publik, yang sesuai dengan asas otonomi daerah. Oleh karena itu, berbagai
hambatan seyogyanya mampu direduksi oleh sosok pemimpin di daerah otonom,
diantaranya dengan mengedepankan gaya kepemimpinan yang sejalan dengan “democratic leadership”. Yaitu sebagai
gaya kepemimpinan yang menitikberatkan pada kemampuan untuk menciptakan moral
dan kepercayaan, baik dari lingkungan birokrat yang dipimpinnya, maupun
masyarakat sebagai konstituennya. Tentu disadari tidak seluruh kepala daerah
mau dan mampu berposisi sebagai pemimpin yang berkarakteristik demokratis,
sehingga bukanlah sesuatu yang berlebihan kiranya menggolongkan kepala daerah
dalam beberapa kriteria, diantaranya:
Pertama, ada kepala daerah yang mampu berpikir dan mampu
bertindak. Kriteria ini merupakan yang paling ideal dan dicitakan, bahkan dapat
diasumsikan sebagai suatu tingkatan yang paling sempurna. Kedua, ada kepala daerah yang mampu berpikir dan tidak mampu
bertindak. Kriteria ini dapat diasumsikan sebagai kepala daerah yang tidak
memiliki nyali atau oleh karena patut diduga dalam keadaan terpaksa tidak
berani bertindak. Ketiga, ada kepala
daerah yang tidak mampu berpikir dan mampu bertindak. Kriteria ini dapat
diasumsikan sebagai kepala daerah yang lemah akal, tetapi memiliki nyali dan
nafsu yang besar dalam bertindak. Keempat,
ada kepala daerah yang tidak mampu berpikir dan tidak mampu bertindak. Kriteria
ini dapat diasumsikan sebagai kriteria yang terburuk, bahkan bukanlah sesuatu
yang berlebihan betapa besarnya kerugian yang dialami masyarakat setempat jika
memiliki kepala daerah dengan kriteria tersebut.
Estafet
Kepala Daerah
Kepala daerah
merupakan salah satu diantara sekian banyak status dan kedudukan yang memiliki
nilai prestisius di tengah-tengah masyarakat, tidak dapat dipungkiri bahwa
kedudukan sebagai kepala daerah mampu menjadi magnet yang tidak hanya
melingkupi lapisan masyarakat berlabel borjuis, akan tetapi faktanya juga
diimpikan oleh kalangan masyarakat penyandang ekonomi rendah. Hal ini dapat
dipersaksikan diberbagai daerah otonom yang menyelenggarakan hajatan pilkada,
bahwa besarnya antusias para tokoh baik yang berkecimpung dibidang
pemerintahan, sosial kemasyarakatan, pemuka agama, para saudagar, sekaligus
masyarakat biasa, untuk berkontribusi secara aktif maupun pasif dalam
kontestasi pilkada.
Pada sisi yang
lain, hendaknya dipahami bahwa secara umum kedudukan sebagai kepala daerah
bukanlah suatu warisan yang didapat dari turun temurun. Artinya estafet
kepemimpinan kepala daerah merupakan suatu keniscayaan, dengan demikian hakikat
otonomi daerah yang diimplementasikan melalui berbagai asasnya, sepantasnya
dilakukan secara berkesinambungan, dengan catatan hanya seluruh kebijakan
periode lalu yang dinilai relevan dan taat asas peraturan perundang-undangan,
selayaknya tetap dilanjutkan. Karena acapkali ketika terpilihnya kepala daerah
seketika pula membongkar seluruh kebijakan periode yang lalu, tanpa menimbang
terlebih dahulu relevansinya dalam kearifan lokal masyarakat. Sehingga ada
seperti siklus, bahwa setiap rezim kepala daerah akan berbeda pula kebijakannya,
dengan demikian kesinambungan pembangunan akan sulit diwujudkan.
Faktanya
tidak jarang efektifitas pemerintahan hanya menjadi pepesan kosong, dan hanya berposisi
sebagai simbol komoditas politik bagi daerah otonom yang sedang melangsungkan
hajatan pilkada. Terlebih lagi, dewasa ini data menunjukkan bahwa tidak jarang
terdapat distorsi antara kebijakan nasional dengan kebijakan daerah, serta
belum efektifnya koordinasi antara pemerintah pusat dengan pemerintah daerah. Semoga melalui pilkada 15 Februari 2017, akan lahir kepala
daerah yang mampu berpikir rasional serta memiliki mental dan nyali, untuk
bertindak demi kepentingan masyarakat umum. Semoga!
*Tulisan ini juga dimuat pada Harian Republika, Kamis 16 Februari 2017
Tidak ada komentar:
Posting Komentar