Terjebak Nostalgia
Lembaran awal tahun
lazimnya diposisikan sebagai momentum untuk mengevaluasi berbagai hal,
sekaligus untuk menuntaskan pekerjaan rumah yang acapkali terbengkalai pada tahun
yang lalu. Hal ini tanpa terkecuali dalam konteks penyelenggaraan pemerintahan,
bahwa besarnya harapan masyarakat agar terwujudnya keselarasan paradigma bagi seluruh
stakeholder yang diberi kesempatan
untuk mengemban amanah jabatan.
Mengingat bahwa penyelenggaraan pemerintahan baik di
pusat maupun di daerah, memiliki koherensi dengan seluruh bentuk paradigma,
yaitu paradigma filosofis, paradigma yuridis, serta paradigma politis. (M.
Solly Lubis, 2009) Pentingnya mewujudkan unsur-unsur paradigma bagi para
penyelenggara pemerintahan, merupakan salah satu langkah untuk terhindar dari
berbagai bentuk perbuatan yang dapat dikategorikan menzalimi cita masyarakat.
Oleh karena itu, kiranya dapat dicermati
bersama-sama apakah pemangku kebijakan yang ada di punca pemerintahan
senantiasa bersikap dan bertindak paradigmatik ? atau justru sebaliknya, yang
mana patut diduga bahwa harapan masyarakat dalam penyelenggaraan pemerintahan
di Tahun 2017, agar menuntaskan berbagai problematika kenegaraan secara
komprehensif, hanya akan tergolong jauh panggang dari api. Sehingga adanya
sikap akumulatif ketidakmampuan stakeholder
dalam mewujudkan cita masyarakat, tidak jarang menjadi stimulan untuk
mengkomparasikan seluruh kegemilangan penyelenggaraan pemerintahan di masa yang
lampau, atau terjebak nostalgia dari pemerintahan yang lampau.
Nostalgia
Pemerintahan
Dalam rangka
menyatukan persepsi, Kamus Besar Bahasa Indonesia mendefiniskan frasa nostalgia
sebagai kerinduan (kadang-kadang berlebihan) pada sesuatu yang sangat jauh
letaknya atau yang sudah tidak ada pada sekarang ini, serta kenangan manis pada
masa yang telah lama silam. Dengan demikian nostalgia pemerintahan hakikatnya
dapat dianalogikan sebagai suatu kerinduan baik itu yang dikategorikan terhadap
tokoh/figur yang pada masanya dijadikan suri tauladan, atau yang dikategorikan
dalam bentuk patron dari penyelenggaraan pemerintahan pada periode lampau,
dengan seluruh kenangan manis yang melingkupinya.
Terjebak
nostalgia, khususnya dalam penyelenggaraan pemerintahan bukanlah sesuatu yang
terlarang, mengingat salah satu founding
father (Soekarno) pada suatu masa dalam penggalan pidatonya ketika
HUT Republik Indonesia ke-21 (Tahun 1966) berujar bahwa “…bangsa yang besar adalah bangsa yang menghargai sejarah bangsanya … janganlah
melihat ke masa depan dengan mata buta! Masa yang lampau adalah berguna sekali
untuk menjadi kaca benggala dari pada masa yang akan datang”.
Artinya dapat dipahami
bahwa dengan bernostalgia ke periode-periode penyelenggaraan pemerintahan
dimasa lalu, seyogyanya pada satu sisi dapat dijadikan sebagai kerangka acuan oleh
penyelenggara pemerintahan periode saat ini, dengan memilah beberapa kebijakan
yang tergolong mengakomodir cita masyarakat, sekaligus dapat terhindar dari kebijakan
yang terindikasi berpihak pada kepentingan asing.
Menariknya bahwa pada sisi
yang lain, terjebak nostalgia sering disalah artikan terlepas apakah dilakukan
secara gamblang maupun samar-samar, baik itu ketika bersinggungan dengan
penyelenggaraan pemerintahan di pusat mapun di daerah. Dalam konteks tersebut,
misalnya dalam penyelenggaraan pemerintahan daerah, bahwa konsensus bangsa
Indonesia telah menyepakati desentralisasi dilaksanakan secara asimetris, tanpa
terkecuali dalam hal pemilihan kepala daerah, bahwa tidak dapat dipungkiri
terdapat daerah otonom yang melakukan pemilihan kepala daerah secara langsung
oleh masyarakatnya, dan terdapat daerah otonom yang menerapkan proses pemilihan
kepala daerahnya dilakukan secara khusus dan istimewa.
Ironinya dalam hal ini
bahwa terjebak nostalgia dalam penyelenggaraan pemerintahan daerah, salah
satunya acapkali terjadi dalam proses pemilihan kepala daerah secara langsung,
sebagaimana viral di berbagai media bahwa telah menjadi rahasia umum di
beberapa daerah otonom menjamurnya praktik-praktik politik dinasti, atau estafet
kepemimpinan baik yang memiliki ikatan sebagai hubungan darah, maupun sebagai
hubungan pernikahan.
Tentu
benar bahwa dari sudut hak asasi manusia, seluruh masyarakat berkedudukan sama
dalam pemerintahan, juga benar bahwa tidak ada norma peraturan perundang-undangan
yang membatasi estafet kepemimpinan, serta benar bahwa kompetisi pemilihan
kepala daerah secara langsung telah menggiring para kontestan dalam persaingan
kompetitif.
Akan tetapi, sangat
disayangkan ketika estafet kepemimpinan di daerah otonom dilakukan dengan cara
yang manipulatif, salah satunya tatkala berkutat dalam ruang nostalgia di masa
lampau. Dalam hal ini dengan mendompleng nama besar tokoh/figur
(hubungan darah, pernikahan) yang pada masanya dijadikan suri tauladan, dari
penyelenggaraan pemerintahan dimasanya, dengan seluruh memori yang
melingkupinya.
Pada kesempatan
yang sama, merujuk penyelenggaraan pemerintahan di pusat juga tidak jarang turut
terjebak nostalgia, misalnya ketika berbagai kebijakan yang ditetapkan justru mencerminkan
praktik dari periode pemerintahan yang lalu, khususnya kebijakan yang tidak
berpihak pada nilai yang hidup dan berkembang di masyarakat, bahkan dengan
mengeliminir kearifan lokal, maupun dengan mengedepankan upaya represif dalam
menyelesaikan problematika yang bergulir, sekaligus menanggalkan tujuan dan
hakikat dari bentuk pemerintahan yang telah diparipurnakan.
Penutup
Sebagaimana adagium sejarah, bahwa peristiwa yang
terjadi pada masa sekarang ini merupakan suatu bentuk pengulangan dari sejarah
masa lalu, dalam hal ini segenap komponen bangsa sudah sepantasnya memetik
hikmah dari setiap peristiwa yang ada, sembari berkomitmen untuk menciptakan
penyelenggaraan pemerintahan yang sesuai dengan hakikatnya.
Berdasarkan orasi Soekarno tentang pentingnya bernostalgia
khususnya dalam perihal kenegaraan, maka sudah sepantasnya tanpa terkecuali
pemangku kebijakan baik yang berada di pusat maupun di daerah, semoga dapat
membuka goresan sejarah dimasa lampau, menelaah dengan perspektif yang luas dan
terbuka, sekaligus bijaksana dalam memilah relevansi yang digunakan sebagai
rujukan untuk menyelesaikan permasalahan yang bergulir dalam hidup
bermasyarakat dan bernegara. Semoga!
*Tulisan ini juga dimuat pada Harian Waspada, Rabu 18 Januari 2016
Tidak ada komentar:
Posting Komentar