Jumat, 20 Januari 2017

Terjebak Nostalgia

Terjebak Nostalgia
Oleh: Dr. Cakra Arbas, SH.I, MH.[1]

Lembaran awal tahun lazimnya diposisikan sebagai momentum untuk mengevaluasi berbagai hal, sekaligus untuk menuntaskan pekerjaan rumah yang acapkali terbengkalai pada tahun yang lalu. Hal ini tanpa terkecuali dalam konteks penyelenggaraan pemerintahan, bahwa besarnya harapan masyarakat agar terwujudnya keselarasan paradigma bagi seluruh stakeholder yang diberi kesempatan untuk mengemban amanah jabatan.
Mengingat bahwa penyelenggaraan pemerintahan baik di pusat maupun di daerah, memiliki koherensi dengan seluruh bentuk paradigma, yaitu paradigma filosofis, paradigma yuridis, serta paradigma politis. (M. Solly Lubis, 2009) Pentingnya mewujudkan unsur-unsur paradigma bagi para penyelenggara pemerintahan, merupakan salah satu langkah untuk terhindar dari berbagai bentuk perbuatan yang dapat dikategorikan menzalimi cita masyarakat.
Oleh karena itu, kiranya dapat dicermati bersama-sama apakah pemangku kebijakan yang ada di punca pemerintahan senantiasa bersikap dan bertindak paradigmatik ? atau justru sebaliknya, yang mana patut diduga bahwa harapan masyarakat dalam penyelenggaraan pemerintahan di Tahun 2017, agar menuntaskan berbagai problematika kenegaraan secara komprehensif, hanya akan tergolong jauh panggang dari api. Sehingga adanya sikap akumulatif ketidakmampuan stakeholder dalam mewujudkan cita masyarakat, tidak jarang menjadi stimulan untuk mengkomparasikan seluruh kegemilangan penyelenggaraan pemerintahan di masa yang lampau, atau terjebak nostalgia dari pemerintahan yang lampau.
     
Nostalgia Pemerintahan
Dalam rangka menyatukan persepsi, Kamus Besar Bahasa Indonesia mendefiniskan frasa nostalgia sebagai kerinduan (kadang-kadang berlebihan) pada sesuatu yang sangat jauh letaknya atau yang sudah tidak ada pada sekarang ini, serta kenangan manis pada masa yang telah lama silam. Dengan demikian nostalgia pemerintahan hakikatnya dapat dianalogikan sebagai suatu kerinduan baik itu yang dikategorikan terhadap tokoh/figur yang pada masanya dijadikan suri tauladan, atau yang dikategorikan dalam bentuk patron dari penyelenggaraan pemerintahan pada periode lampau, dengan seluruh kenangan manis yang melingkupinya.
Terjebak nostalgia, khususnya dalam penyelenggaraan pemerintahan bukanlah sesuatu yang terlarang, mengingat salah satu founding father (Soekarno) pada suatu masa dalam penggalan pidatonya ketika HUT Republik Indonesia ke-21 (Tahun 1966) berujar bahwa “…bangsa yang besar adalah bangsa yang menghargai sejarah bangsanya … janganlah melihat ke masa depan dengan mata buta! Masa yang lampau adalah berguna sekali untuk menjadi kaca benggala dari pada masa yang akan datang”.
Artinya dapat dipahami bahwa dengan bernostalgia ke periode-periode penyelenggaraan pemerintahan dimasa lalu, seyogyanya pada satu sisi dapat dijadikan sebagai kerangka acuan oleh penyelenggara pemerintahan periode saat ini, dengan memilah beberapa kebijakan yang tergolong mengakomodir cita masyarakat, sekaligus dapat terhindar dari kebijakan yang terindikasi berpihak pada kepentingan asing.
Menariknya bahwa pada sisi yang lain, terjebak nostalgia sering disalah artikan terlepas apakah dilakukan secara gamblang maupun samar-samar, baik itu ketika bersinggungan dengan penyelenggaraan pemerintahan di pusat mapun di daerah. Dalam konteks tersebut, misalnya dalam penyelenggaraan pemerintahan daerah, bahwa konsensus bangsa Indonesia telah menyepakati desentralisasi dilaksanakan secara asimetris, tanpa terkecuali dalam hal pemilihan kepala daerah, bahwa tidak dapat dipungkiri terdapat daerah otonom yang melakukan pemilihan kepala daerah secara langsung oleh masyarakatnya, dan terdapat daerah otonom yang menerapkan proses pemilihan kepala daerahnya dilakukan secara khusus dan istimewa.
Ironinya dalam hal ini bahwa terjebak nostalgia dalam penyelenggaraan pemerintahan daerah, salah satunya acapkali terjadi dalam proses pemilihan kepala daerah secara langsung, sebagaimana viral di berbagai media bahwa telah menjadi rahasia umum di beberapa daerah otonom menjamurnya praktik-praktik politik dinasti, atau estafet kepemimpinan baik yang memiliki ikatan sebagai hubungan darah, maupun sebagai hubungan pernikahan.
Tentu benar bahwa dari sudut hak asasi manusia, seluruh masyarakat berkedudukan sama dalam pemerintahan, juga benar bahwa tidak ada norma peraturan perundang-undangan yang membatasi estafet kepemimpinan, serta benar bahwa kompetisi pemilihan kepala daerah secara langsung telah menggiring para kontestan dalam persaingan kompetitif.
Akan tetapi, sangat disayangkan ketika estafet kepemimpinan di daerah otonom dilakukan dengan cara yang manipulatif, salah satunya tatkala berkutat dalam ruang nostalgia di masa lampau. Dalam hal ini dengan mendompleng nama besar tokoh/figur (hubungan darah, pernikahan) yang pada masanya dijadikan suri tauladan, dari penyelenggaraan pemerintahan dimasanya, dengan seluruh memori yang melingkupinya.
Pada kesempatan yang sama, merujuk penyelenggaraan pemerintahan di pusat juga tidak jarang turut terjebak nostalgia, misalnya ketika berbagai kebijakan yang ditetapkan justru mencerminkan praktik dari periode pemerintahan yang lalu, khususnya kebijakan yang tidak berpihak pada nilai yang hidup dan berkembang di masyarakat, bahkan dengan mengeliminir kearifan lokal, maupun dengan mengedepankan upaya represif dalam menyelesaikan problematika yang bergulir, sekaligus menanggalkan tujuan dan hakikat dari bentuk pemerintahan yang telah diparipurnakan.

Penutup
Sebagaimana adagium sejarah, bahwa peristiwa yang terjadi pada masa sekarang ini merupakan suatu bentuk pengulangan dari sejarah masa lalu, dalam hal ini segenap komponen bangsa sudah sepantasnya memetik hikmah dari setiap peristiwa yang ada, sembari berkomitmen untuk menciptakan penyelenggaraan pemerintahan yang sesuai dengan hakikatnya.
Berdasarkan orasi Soekarno tentang pentingnya bernostalgia khususnya dalam perihal kenegaraan, maka sudah sepantasnya tanpa terkecuali pemangku kebijakan baik yang berada di pusat maupun di daerah, semoga dapat membuka goresan sejarah dimasa lampau, menelaah dengan perspektif yang luas dan terbuka, sekaligus bijaksana dalam memilah relevansi yang digunakan sebagai rujukan untuk menyelesaikan permasalahan yang bergulir dalam hidup bermasyarakat dan bernegara. Semoga!
*Tulisan ini juga dimuat pada Harian Waspada, Rabu 18 Januari 2016



[1]  Penulis adalah Dosen Khusus UMSU, dan PNS Pemkab Aceh Tamiang.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar