Sabtu, 24 Desember 2016

Netralitas ASN

Netralitas ASN
Oleh: Dr. Cakra Arbas, SH.I, MH.[1]

Lazimnya  dalam pilkada (pemilihan kepala daerah) tidak hanya menarik minat para calon kandidat yang hendak berkontestasi, juga bukan sekedar kompetisi para sponsor yang melingkupinya, serta tidak sebatas hanya untuk mendeskripsikan pilihan masyarakat melalui jumlah suara yang dikalkulasikan paska pemungutan suara. Akan tetapi, pilkada faktanya juga turut menjadi oase bagi para penyelenggara pemerintahan, khususnya ASN (Aparatur Sipil Negara) yang mengemban tugas diberbagai daerah otonom.
Betapa tidak dapat dipungkiri, bahwa hajatan pilkada akan menjadi batu ujian sekaligus tantangan bagi ASN, dikarenakan telah menjadi rahasia umum bahwa promosi dan mutasi yang ada di daerah otonom, acapkali dipengaruhi atas pertimbangan berada dipihak manakah ASN ketika berlangsungnya periode pesta demokrasi di tingkat lokal, melalui pilkada.
Artinya, meskipun tidak ada satu norma yang menegaskan bahwa jenjang karir ASN berada dalam genggaman rezim kepala daerah yang berkuasa, namun demikian berbagai realita dilapangan mengindikasikan bahwa hasil gerilya ASN dimasa pilkada akan turut menentukan kedudukan jabatannya dalam beberapa tahun anggaran mendatang. Pada sisi yang lain, selalu dalam menghadapi pilkada tidak bosan-bosannya para pejabat pembina kepegawaian menginstruksikan agar ASN bersikap netral dengan tidak memihak pada pasangan calon tertentu. Lantas, bisakah ASN menjunjung tinggi asas netralitas dalam rangka menyukseskan pilkada yang dilaksanakan di daerah otonomnya ?
   
Preseden Aceh Timur
Bagaikan cendawan di musim penghujan, berbagai kisah ketidakmampuan ASN menjunjung netralitas dalam pilkada, selalu menjadi corak penyelenggaraan pemerintahan daerah secara umum dan merata hampir diseluruh daerah otonom, baik yang dilakukan secara terang benderang maupun sembunyi-sembunyi, serta baik yang dilaksanakan secara terstruktur dan terorganisir maupun secara simultan.
Kini sebagai salah satu daerah otonom yang akan menggelar pilkada serentak Tahun 2017, Aceh kembali menjadi sorotan khususnya dalam hal netralitas ASN. Hal ini tidak lain didasari atas preseden yang terjadi dalam salah satu Kabupaten yang secara bersamaan turut menyelenggarakan pilkada serentak, yaitu Kabupaten Aceh Timur.
Bahwa sebagaimana viral diberbagai media, dalam Kabupaten Aceh Timur ada sekelumit peristiwa yang bersinggungan tentang netralitas ASN, dalam hal ini tepatnya medio November yang lalu bersamaan dengan peringatan momentum tertentu, ada beberapa sikap dari sekelompok ASN yang diduga secara simbolik berpihak pada pasangan calon tertentu.
Menariknya adalah berbagai aksi simbolik tidak netralnya ASN, telah menjadi bahan evaluasi oleh panwaslih (panitia pengawas pemilihan) yang berwenang dalam Kabupaten Aceh Timur. Untuk menyikapi preseden dimaksud, maka sesuai dengan kewenangannya panwaslih setelah melalui tahapan klarifikasi, dan telah diplenokan menegaskan bahwa sekelompok ASN tersebut dinyatakan melanggar prinsip profesionalisme ASN.   

Yuridis Normatif
Sikap netralitas bagi ASN, merupakan suatu upaya untuk menjamin keutuhan, kekompakan, dan persatuan ASN, sekaligus dapat memusatkan segala perhatian, pikiran, dan tenaga pada tugas yang dibebankan. Secara umum pentingnya netralitas telah dimanatkan melalui Undang-Undang tentang Aparatur Sipil Negara, khususnya pada Pasal 2 yang berbunyi “penyelenggaraan kebijakan dan manajemen ASN berdasarkan pada asas netralitas”. Serta amanat Pasal 9 (2) berbunyi “pegawai ASN harus bebas dari pengaruh dan intervensi semua golongan dan partai politik”.
Adapun yang dimaksud dengan asas netralitas adalah bahwa setiap pegawai ASN tidak berpihak dari segala bentuk pengaruh manapun dan tidak memihak kepada kepentingan siapapun. Frasa netralitas telah mengindikasikan bahwa ASN diharapkan tetap bersikap loyal hanya pada satu pihak yaitu pemerintah, sehingga sejalan dengan konsep monoloyalitas, dengan demikian ASN tidak dibenarkan ketika bersikap dan bertingkah laku berpihak pada kepentingan politik tertentu.
Bahkan sebagai salah satu peraturan organik, melalui Peraturan Pemerintah tentang Disiplin Pegawai Negeri Sipil, secara gamblang menegaskan bahwa ada beberapa hal yang digolongkan dalam perbuatan terlarang bagi ASN. Hal ini sebagaimana yang diamanatkan melalui Pasal 4 (15) huruf (c) yang berbunyi “setiap PNS dilarang memberikan dukungan kepada calon kepala daerah atau wakil kepala daerah dengan cara membuat keputusan dan tindakan yang menguntungkan atau merugikan salah satu pasangan calon selama masa kampanye”.
Seyogyanya preseden yang terdapat dalam Kabupaten Aceh Timur tidak semestinya terjadi, mengingat berbagai regulasi telah membatasi ruang lingkup ASN dalam hal menyambut pelaksanaan pilkada di masing-masing daerah otonom. Bahkan tidak hanya sebatas norma yang berada pada skala nasional, secara terperinci jauh-jauh hari tepatnya di medio September, Gubernur Aceh telah berupaya melakukan upaya preventif melalui surat edaran, yang pada pokoknya menginstruksikan agar ASN di Aceh tidak terlibat dalam politik praktis.

Penutup
Telah menjadi suatu budaya bagi ASN, jika incumbent tetap berkompetisi melalui pilkada, maka dapat diasumsikan bahwa ASN yang pada periode saat ini menduduki jabatan-jabatan strategis dengan kewenangan yang luas, akan melakukan segala daya upaya agar incumbent tetap terpilih sebagai kepala daerah, sehingga ASN tersebut kembali diamanatkan pada jabatan strategis. Begitu juga sebaliknya, bahwa ASN yang saat ini berada dipinggir kekuasaan maka akan berspekulasi berpihak pada pasangan calon tertentu, dengan harapan esok lusa berada dalam lingkaran kekuasaan yang didambakan.
Tidak jarang harapan ASN mampu menjunjung tinggi sikap netralitas dalam menghadapi pilkada, hanya sebatas jargon dalam penyelenggaraan pemerintahan daerah, bahkan hanya mampu menjadi kumpulan kosakata yang indah pada tataran normatif semata, meskipun benar bahwa ada ancaman hukuman yang menanti ASN jika tidak bersikap netral. Semoga netralitas ASN dapat diwujudkan, dengan catatan promosi dan mutasi yang terjadi dilingkungan ASN pemerintah daerah bukanlah atas pertimbangan politis, yang notabene merupakan derivasi hasil kontestasi pilkada. Semoga!
*Tulisan ini juga dimuat pada Harian Waspada, Rabu 21 Desember 2016



[1]  Penulis adalah PNS di Sekretariat Majelis Permusyawaratan Ulama Aceh Tamiang. Staf Pengajar Program Magister Ilmu Hukum UMA dan UMSU

Tidak ada komentar:

Posting Komentar