Netralitas ASN
Lazimnya
dalam pilkada (pemilihan kepala daerah) tidak hanya menarik minat para
calon kandidat yang hendak berkontestasi, juga bukan sekedar kompetisi para
sponsor yang melingkupinya, serta tidak sebatas hanya untuk mendeskripsikan
pilihan masyarakat melalui jumlah suara yang dikalkulasikan paska pemungutan
suara. Akan tetapi, pilkada faktanya juga turut menjadi oase bagi para
penyelenggara pemerintahan, khususnya ASN (Aparatur Sipil Negara) yang
mengemban tugas diberbagai daerah otonom.
Betapa tidak dapat dipungkiri, bahwa
hajatan pilkada akan menjadi batu ujian sekaligus tantangan bagi ASN,
dikarenakan telah menjadi rahasia umum bahwa promosi dan mutasi yang ada di
daerah otonom, acapkali dipengaruhi atas pertimbangan berada dipihak manakah
ASN ketika berlangsungnya periode pesta demokrasi di tingkat lokal, melalui
pilkada.
Artinya, meskipun tidak ada satu norma
yang menegaskan bahwa jenjang karir ASN berada dalam genggaman rezim kepala
daerah yang berkuasa, namun demikian berbagai realita dilapangan mengindikasikan
bahwa hasil gerilya ASN dimasa pilkada akan turut menentukan kedudukan
jabatannya dalam beberapa tahun anggaran mendatang. Pada sisi yang lain, selalu
dalam menghadapi pilkada tidak bosan-bosannya para pejabat pembina kepegawaian
menginstruksikan agar ASN bersikap netral dengan tidak memihak pada pasangan
calon tertentu. Lantas, bisakah ASN menjunjung tinggi asas netralitas dalam
rangka menyukseskan pilkada yang dilaksanakan di daerah otonomnya ?
Preseden
Aceh Timur
Bagaikan
cendawan di musim penghujan, berbagai kisah ketidakmampuan ASN menjunjung
netralitas dalam pilkada, selalu menjadi corak penyelenggaraan pemerintahan
daerah secara umum dan merata hampir diseluruh daerah otonom, baik yang
dilakukan secara terang benderang maupun sembunyi-sembunyi, serta baik yang
dilaksanakan secara terstruktur dan terorganisir maupun secara simultan.
Kini sebagai
salah satu daerah otonom yang akan menggelar pilkada serentak Tahun 2017, Aceh
kembali menjadi sorotan khususnya dalam hal netralitas ASN. Hal ini tidak lain
didasari atas preseden yang terjadi dalam salah satu Kabupaten yang secara
bersamaan turut menyelenggarakan pilkada serentak, yaitu Kabupaten Aceh Timur.
Bahwa
sebagaimana viral diberbagai media, dalam Kabupaten Aceh Timur ada sekelumit
peristiwa yang bersinggungan tentang netralitas ASN, dalam hal ini tepatnya
medio November yang lalu bersamaan dengan peringatan momentum tertentu, ada
beberapa sikap dari sekelompok ASN yang diduga secara simbolik berpihak pada
pasangan calon tertentu.
Menariknya
adalah berbagai aksi simbolik tidak netralnya ASN, telah menjadi bahan evaluasi
oleh panwaslih (panitia pengawas pemilihan) yang berwenang dalam Kabupaten Aceh
Timur. Untuk menyikapi preseden dimaksud, maka sesuai dengan kewenangannya panwaslih
setelah melalui tahapan klarifikasi, dan telah diplenokan menegaskan bahwa
sekelompok ASN tersebut dinyatakan melanggar prinsip profesionalisme ASN.
Yuridis
Normatif
Sikap netralitas bagi ASN, merupakan suatu upaya untuk
menjamin keutuhan, kekompakan, dan persatuan ASN, sekaligus dapat memusatkan
segala perhatian, pikiran, dan tenaga pada tugas yang dibebankan. Secara umum
pentingnya netralitas telah dimanatkan melalui Undang-Undang tentang Aparatur
Sipil Negara, khususnya pada Pasal 2 yang berbunyi “penyelenggaraan kebijakan dan manajemen ASN berdasarkan pada asas
netralitas”. Serta amanat Pasal 9 (2) berbunyi “pegawai ASN harus bebas dari pengaruh dan intervensi semua golongan dan
partai politik”.
Adapun yang dimaksud dengan asas netralitas adalah
bahwa setiap pegawai ASN tidak berpihak dari segala bentuk pengaruh manapun dan
tidak memihak kepada kepentingan siapapun. Frasa netralitas telah
mengindikasikan bahwa ASN diharapkan tetap bersikap loyal hanya pada satu pihak
yaitu pemerintah, sehingga sejalan dengan konsep monoloyalitas, dengan demikian
ASN tidak dibenarkan ketika bersikap dan bertingkah laku berpihak pada
kepentingan politik tertentu.
Bahkan sebagai salah satu peraturan organik, melalui
Peraturan Pemerintah tentang Disiplin Pegawai Negeri Sipil, secara gamblang
menegaskan bahwa ada beberapa hal yang digolongkan dalam perbuatan terlarang
bagi ASN. Hal ini sebagaimana yang diamanatkan melalui Pasal 4 (15) huruf (c)
yang berbunyi “setiap PNS dilarang memberikan
dukungan kepada calon kepala daerah atau wakil kepala daerah dengan cara
membuat keputusan dan tindakan yang menguntungkan atau merugikan salah satu
pasangan calon selama masa kampanye”.
Seyogyanya preseden yang terdapat dalam Kabupaten Aceh
Timur tidak semestinya terjadi, mengingat berbagai regulasi telah membatasi
ruang lingkup ASN dalam hal menyambut pelaksanaan pilkada di masing-masing
daerah otonom. Bahkan tidak hanya sebatas norma yang berada pada skala
nasional, secara terperinci jauh-jauh hari tepatnya di medio September,
Gubernur Aceh telah berupaya melakukan upaya preventif melalui surat edaran,
yang pada pokoknya menginstruksikan agar ASN di Aceh tidak terlibat dalam
politik praktis.
Penutup
Telah menjadi suatu budaya bagi ASN, jika incumbent tetap berkompetisi melalui
pilkada, maka dapat diasumsikan bahwa ASN yang pada periode saat ini menduduki
jabatan-jabatan strategis dengan kewenangan yang luas, akan melakukan segala
daya upaya agar incumbent tetap
terpilih sebagai kepala daerah, sehingga ASN tersebut kembali diamanatkan pada
jabatan strategis. Begitu juga sebaliknya, bahwa ASN yang saat ini berada
dipinggir kekuasaan maka akan berspekulasi berpihak pada pasangan calon
tertentu, dengan harapan esok lusa berada dalam lingkaran kekuasaan yang
didambakan.
Tidak jarang harapan ASN mampu menjunjung tinggi sikap
netralitas dalam menghadapi pilkada, hanya sebatas jargon dalam penyelenggaraan
pemerintahan daerah, bahkan hanya mampu menjadi kumpulan kosakata yang indah
pada tataran normatif semata, meskipun benar bahwa ada ancaman hukuman yang
menanti ASN jika tidak bersikap netral. Semoga netralitas ASN dapat diwujudkan,
dengan catatan promosi dan mutasi yang terjadi dilingkungan ASN pemerintah
daerah bukanlah atas pertimbangan politis, yang notabene merupakan derivasi
hasil kontestasi pilkada. Semoga!
*Tulisan ini juga dimuat pada Harian Waspada, Rabu 21 Desember 2016
[1]
Penulis adalah PNS di Sekretariat Majelis Permusyawaratan Ulama
Aceh Tamiang. Staf Pengajar
Program
Magister Ilmu Hukum UMA dan UMSU
Tidak ada komentar:
Posting Komentar