Sabtu, 03 Desember 2016

Logika Demokrasi

Logika Demokrasi
Oleh: Dr. Cakra Arbas, SH.I, MH.[1]

Konsensus bangsa Indonesia telah menyepakati, bahwa dalam menyelenggarakan pemerintahan kedaulatan berada di tangan rakyat. Terlebih lagi pada praktiknya rakyat diberikan ruang seluas-luasnya untuk berpartisipasi secara aktif, dalam rangka menentukan kelanjutan estafet kepemimpinan untuk jabatan-jabatan publik melalui sarana pemilihan umum, yang notabene tanpa disadari telah mengimplementasikan prinsip demokrasi secara langsung.
Menariknya bahwa dalam konteks pemilihan umum, rakyat seakan mendapat kedudukan istimewa, bahkan pihak yang berkepentingan mendorong partisipasi rakyat, untuk mendulang suara rakyat secara masif pada kontestasi tertentu. Pada sisi yang lainnya, pihak yang berkepentingan seakan lupa bahwa konsekuensi logis dari penerapan demokrasi, salah satunya dengan memberi kebebasan kepada rakyat untuk berserikat dan berkumpul, yang diantaranya diaktualisasikan dalam bentuk demonstrasi. Lantas, mengapa demonstrasi yang melekat pada prinsip demokrasi kadangkala menjadi momok yang mengkhawatirkan, sehingga perlu untuk diminimalisir ?
   
Sepintas Demokrasi
Hakikat demokrasi (kedaulatan rakyat) sebagai suatu sistem bermasyarakat dan bernegara, memberikan penekanan pada keberadaan kekuasaan di tangan rakyat baik dalam penyelenggaraan negara maupun pemerintahan. Merujuk pandangan J.J.Rousseau yang pada intinya menekankan bahwa negara dianalogikan sebagai suatu perwakilan rakyat, sehingga prinsipnya yang berdaulat ialah rakyat, adapun pemerintah hanya diposisikan sebagai wakilnya rakyat.
Mencermati uraian tersebut, dalam konteks penyelenggaraan pemerintahan di Indonesia, sebagaimana yang diamanatkan melalui UUDNRI Tahun 1945, khususnya Pasal 1 (2), menegaskan bahwa “Kedaulatan berada ditangan rakyat, dan dilaksanakan sepenuhnya menurut Undang-Undang Dasar”. Bahwa benar tidak disebutkan secara tegas sistem demokrasinya. Namun demikian, seyogyanya dipahami bahwa kedaulatan rakyat adalah prinsipnya, yang diwujudkan melalui demokrasi.
Demokrasi hanya dapat tumbuh dan berkembang dalam kehidupan berbangsa dan bernegara apabila rakyat dan seluruh komponennya berpartisipasi, yaitu melalui budaya yang kondusif sebagai paradigma yang mempadupadankan antara kerangka berpikir dengan berbagai rancangan kemasyarakatan. Bentuk kongkret dari paradigma tersebut adalah dijadikannya demokrasi sebagai parameter dalam seluk beluk berbangsa dan bernegara, baik oleh rakyat maupun oleh pemerintah.
Pada kesempatan yang sama, Arbi Sanit (1985) menerangkan bahwa demokrasi tidak akan ideal sebagai suatu gagasan kehidupan, manakala tidak mampu mengakomodir beberapa nilai yang bersifat fundamental, yaitu: Pertama, kemerdekaan. Kedua, persamaan. Ketiga, keadilan. Oleh karena itu, demokrasi merupakan wujud representasi dari proses abstraksi nilai kemerdekaan-persamaan-keadilan, serta dapat dipahami bahwa demokrasi hanya menjadi suatu keniscayaan ketika tidak adanya koherensi dari ketiga nilai tersebut.
Demokrasi yang diidealkan semestinya diletakkan dalam koridor hukum. Tanpa hukum, demokrasi justru dapat berkembang kearah yang keliru karena hukum dapat ditafsirkan secara sepihak oleh kepentingan penguasa atas nama demokrasi. Bahwa pada dasarnya demokrasi dan penegakan hukum tidak dapat dipisahkan, hal ini yang selanjutnya dijadikan paradigma dalam penyelenggaraan pemerintahan di Indonesia.
Sebagaimana yang diamanatkan melalui UUDNRI Tahun 1945, khususnya Pasal 1 (3) yang berbunyiNegara Indonesia adalah negara hukum”. Dengan demikian Negara Indonesia adalah negara hukum yang demokratis, keduanya diharapkan mampu melangkah beriringan secara seimbang, demokrasi harus diayomi oleh hukum agar tidak mengarah ke anarkisme, sedangkan disisi lainnya hukum harus didasari oleh demokrasi, agar tidak mengarah ke otoritarisme maupun absolutisme.

Partisipasi Rakyat
Hidup bermasyarakat dan bernegara yang diaktualisasikan dalam iklim penyelenggaraan pemerintahan bernafaskan demokrasi, tentu tidak dapat dilepaskan dari prinsip kebebasan berkumpul dan berserikat, dikarenakan  perjuangan secara sendiri-sendiri tidak akan berdampak luas, dan pengaruhnya tidak akan signifikan. Oleh karena itu, berbagai kegiatan dalam bentuk berkumpul dan berserikat dapat meningkatkan partisipasi politik rakyat, dalam rangka sumbangsih pemikiran dan gagasan.
Partisipasi politik rakyat oleh Samuel P. Huntington (1984) dimaknai sebagai kegiatan oleh rakyat yang bertindak sebagai pribadi-pribadi, dimaksudkan untuk mempengaruhi pembuatan keputusan oleh pemerintah. Dalam hal ini, partisipasi bisa bersifat individual atau kolektif, bahkan terorganisir atau spontan, damai atau dengan kekerasan, legal atau ilegal, efektif atau tidak efektif. Bahwa partisipasi politik rakyat tersebut salah satunya dapat diwujudkan melalui aksi-aksi demonstrasi.
Demonstrasi dapat dimaknai sebagai sarana penyampaian pendapat dimuka umum, lazimnya adalah bentuk pernyataan protes yang dikemukakan secara massal. Demonstrasi di Indonesia pada hakikatnya dijamin melalui UUDNRI Tahun 1945, sebagaimana yang ditegaskan dalam Pasal 28, yang berbunyi “kemerdekaan berserikat dan berkumpul, mengeluarkan pikiran dengan lisan dan tulisan, dan sebagainya ditetapkan dengan undang-undang”. Oleh karena itu, demonstrasi seyogyanya dilakukan dengan tetap berpedoman pada berbagai amanat peraturan perundang-undangan yang mengayominya.
Pada kesempatan yang sama, demonstrasi hendaknya dilakukan dengan mempertimbangkan beberapa hal, yaitu: Pertama, demonstrasi dilaksanakan secara damai dan bermartabat, tidak bertindak anarki, sehingga mampu menarik simpati rakyat keseluruhan. Kedua, demonstrasi jika memungkinkan perlu dilakukan secara berkesinambungan, sehingga mampu berdampak secara massif yang selanjutnya akan mempengaruhi keputusan pihak yang berkepentingan.
Dengan demikian dapat dipahami, bahwa antara demokrasi dan demonstrasi dapat dianalogikan seperti dua sisi mata uang yang satu sama lain tidak dapat dipisahkan, dalam hal ini disatu sisi adalah fragmen demokrasi, dan disisi lainnya adalah fragmen demonstrasi. Oleh karena itu, semoga saja seiring berjalannya waktu akan timbul kesadaran bahwa pentingnya partisipasi politik oleh rakyat, tanpa terkecuali melalui demonstrasi untuk penguatan nilai demokrasi. Semoga!
*Tulisan ini juga dimuat pada Harian Waspada, Rabu 30 November 2016



[1]  Penulis adalah PNS di Sekretariat Majelis Permusyawaratan Ulama Aceh Tamiang. Staf Pengajar Program Magister Ilmu Hukum UMA dan UMSU

Tidak ada komentar:

Posting Komentar