Logika Demokrasi
Konsensus bangsa Indonesia telah
menyepakati, bahwa dalam menyelenggarakan pemerintahan
kedaulatan berada di tangan rakyat. Terlebih lagi pada praktiknya rakyat
diberikan ruang seluas-luasnya untuk berpartisipasi secara aktif, dalam rangka
menentukan kelanjutan estafet kepemimpinan untuk jabatan-jabatan publik melalui
sarana pemilihan umum, yang notabene tanpa disadari telah mengimplementasikan
prinsip demokrasi secara langsung.
Menariknya bahwa dalam konteks pemilihan
umum, rakyat seakan mendapat kedudukan istimewa, bahkan pihak yang
berkepentingan mendorong partisipasi rakyat, untuk mendulang suara rakyat secara
masif pada kontestasi tertentu. Pada sisi yang lainnya, pihak yang
berkepentingan seakan lupa bahwa konsekuensi logis dari penerapan demokrasi,
salah satunya dengan memberi kebebasan kepada rakyat untuk berserikat dan
berkumpul, yang diantaranya diaktualisasikan dalam bentuk demonstrasi. Lantas,
mengapa demonstrasi yang melekat pada prinsip demokrasi kadangkala menjadi
momok yang mengkhawatirkan, sehingga perlu untuk diminimalisir ?
Sepintas
Demokrasi
Hakikat demokrasi (kedaulatan rakyat)
sebagai suatu sistem bermasyarakat dan bernegara, memberikan penekanan pada keberadaan
kekuasaan di tangan rakyat baik dalam penyelenggaraan negara maupun
pemerintahan. Merujuk pandangan J.J.Rousseau yang pada intinya menekankan bahwa
negara dianalogikan sebagai suatu perwakilan rakyat, sehingga prinsipnya yang
berdaulat ialah rakyat, adapun pemerintah hanya diposisikan sebagai wakilnya rakyat.
Mencermati uraian tersebut, dalam
konteks penyelenggaraan pemerintahan di Indonesia, sebagaimana yang diamanatkan
melalui UUDNRI Tahun 1945, khususnya Pasal 1 (2), menegaskan bahwa “Kedaulatan berada ditangan rakyat, dan dilaksanakan
sepenuhnya menurut Undang-Undang Dasar”. Bahwa benar tidak disebutkan
secara tegas sistem demokrasinya. Namun demikian, seyogyanya dipahami bahwa
kedaulatan rakyat adalah prinsipnya, yang diwujudkan melalui demokrasi.
Demokrasi hanya dapat tumbuh dan
berkembang dalam kehidupan berbangsa dan bernegara apabila rakyat dan seluruh
komponennya berpartisipasi, yaitu melalui budaya yang kondusif sebagai paradigma
yang mempadupadankan antara kerangka berpikir dengan berbagai rancangan
kemasyarakatan. Bentuk kongkret dari paradigma tersebut adalah dijadikannya demokrasi
sebagai parameter dalam seluk beluk berbangsa dan bernegara, baik oleh rakyat maupun oleh
pemerintah.
Pada kesempatan
yang sama, Arbi Sanit (1985) menerangkan bahwa demokrasi tidak akan ideal
sebagai suatu gagasan kehidupan, manakala tidak mampu mengakomodir beberapa
nilai yang bersifat fundamental, yaitu: Pertama,
kemerdekaan. Kedua, persamaan. Ketiga, keadilan. Oleh karena itu,
demokrasi merupakan wujud representasi dari proses abstraksi nilai
kemerdekaan-persamaan-keadilan, serta dapat dipahami bahwa demokrasi hanya
menjadi suatu keniscayaan ketika tidak adanya koherensi dari ketiga nilai
tersebut.
Demokrasi yang diidealkan semestinya diletakkan dalam koridor hukum. Tanpa
hukum, demokrasi justru dapat berkembang kearah yang keliru karena hukum dapat
ditafsirkan secara sepihak oleh kepentingan penguasa atas nama demokrasi. Bahwa
pada dasarnya demokrasi dan penegakan hukum tidak dapat dipisahkan, hal ini yang
selanjutnya dijadikan paradigma dalam penyelenggaraan pemerintahan di
Indonesia.
Sebagaimana
yang diamanatkan melalui UUDNRI Tahun 1945, khususnya Pasal 1 (3) yang
berbunyi “Negara Indonesia adalah negara
hukum”. Dengan demikian Negara Indonesia adalah
negara hukum yang demokratis, keduanya diharapkan
mampu melangkah beriringan secara seimbang, demokrasi harus
diayomi oleh hukum agar tidak mengarah ke anarkisme, sedangkan disisi lainnya hukum
harus didasari oleh demokrasi, agar tidak mengarah ke otoritarisme maupun absolutisme.
Partisipasi
Rakyat
Hidup bermasyarakat dan bernegara yang
diaktualisasikan dalam iklim penyelenggaraan pemerintahan bernafaskan
demokrasi, tentu tidak dapat dilepaskan dari prinsip kebebasan berkumpul dan
berserikat, dikarenakan perjuangan secara
sendiri-sendiri tidak akan berdampak luas, dan pengaruhnya tidak akan
signifikan. Oleh karena itu, berbagai kegiatan dalam bentuk berkumpul dan
berserikat dapat meningkatkan partisipasi politik rakyat, dalam rangka
sumbangsih pemikiran dan gagasan.
Partisipasi politik rakyat oleh Samuel P. Huntington
(1984) dimaknai sebagai kegiatan oleh rakyat yang bertindak sebagai
pribadi-pribadi, dimaksudkan untuk mempengaruhi pembuatan keputusan oleh
pemerintah. Dalam hal ini, partisipasi bisa bersifat individual atau kolektif,
bahkan terorganisir atau spontan, damai atau dengan kekerasan, legal atau
ilegal, efektif atau tidak efektif. Bahwa partisipasi politik rakyat tersebut
salah satunya dapat diwujudkan melalui aksi-aksi demonstrasi.
Demonstrasi dapat dimaknai sebagai sarana penyampaian
pendapat dimuka umum, lazimnya adalah bentuk pernyataan protes yang dikemukakan
secara massal. Demonstrasi di Indonesia pada hakikatnya dijamin melalui UUDNRI
Tahun 1945, sebagaimana yang ditegaskan dalam Pasal 28, yang berbunyi “kemerdekaan berserikat dan berkumpul,
mengeluarkan pikiran dengan lisan dan tulisan, dan sebagainya ditetapkan dengan
undang-undang”. Oleh karena itu, demonstrasi seyogyanya dilakukan dengan
tetap berpedoman pada berbagai amanat peraturan perundang-undangan yang
mengayominya.
Pada kesempatan yang sama, demonstrasi hendaknya
dilakukan dengan mempertimbangkan beberapa hal, yaitu: Pertama, demonstrasi dilaksanakan secara damai dan bermartabat,
tidak bertindak anarki, sehingga mampu menarik simpati rakyat keseluruhan. Kedua, demonstrasi jika memungkinkan
perlu dilakukan secara berkesinambungan, sehingga mampu berdampak secara massif
yang selanjutnya akan mempengaruhi keputusan pihak yang berkepentingan.
Dengan demikian dapat dipahami, bahwa antara demokrasi
dan demonstrasi dapat dianalogikan seperti dua sisi mata uang yang satu sama
lain tidak dapat dipisahkan, dalam hal ini disatu sisi adalah fragmen
demokrasi, dan disisi lainnya adalah fragmen demonstrasi. Oleh karena itu,
semoga saja seiring berjalannya waktu akan timbul kesadaran bahwa pentingnya partisipasi
politik oleh rakyat, tanpa terkecuali melalui demonstrasi untuk penguatan nilai
demokrasi. Semoga!
*Tulisan ini juga dimuat pada Harian Waspada, Rabu 30 November 2016
[1]
Penulis adalah PNS di Sekretariat Majelis Permusyawaratan Ulama
Aceh Tamiang. Staf Pengajar
Program
Magister Ilmu Hukum UMA dan UMSU
Tidak ada komentar:
Posting Komentar