Benalu
Pemerintah
Aksi masyarakat yang menyampaikan sekelumit
aspirasinya kepada pemerintah beberapa hari yang lalu, tentu dapat dinilai dari
berbagai sudut pandang, yang notabene turut memantik pro dan kontra dikalangan masyarakat.
Dapat diasumsikan bahwa atas realita tersebut, tidak dapat dilepaskan dari
berbagai situasi dan kondisi yang melingkupi penyelenggaraan pemerintahan pada
hari-hari belakangan ini.
Betapa tidak, pemerintah yang seyogyanya
menjadi payung bagi selurunh komponen bangsa, nyatanya tidak mampu bertindak
objektif secara lugas dan tegas, dalam merespon berbagai dinamika yang
menggelinding secara liar. Bahkan hukum yang semula dikonsensuskan sebagai panglima
dalam hidup bermasyarakat, khususnya sebagai paradigma dalam mewujudkan nilai
keadilan, nyatanya hanya mampu menjadi goresan ditataran normatif semata.
Ironinya, betapa besar beban dan tanggung
jawab yang disematkan pada pundak pemerintah, dikarenakan tidak adanya political will dalam bertindak secara cepat
untuk menyelesaikan akar permasalahan yang sesungguhnya. Uniknya pada
kesempatan yang berbeda, dan pada periode waktu yang tidak jauh berselang,
betapa mudahnya memutarbalikkan nasib seseorang seperti membalik telapak
tangan, sehingga individu tersebut disematkan label pesakitan dimata hukum.
Kini beban yang ada dipundak pemerintah,
dapat dianalogikan seperti benalu dalam konteks penyelenggaraan pemerintahan,
terkait hal ini secara etimologi benalu dapat didefinisikan sebagai individu
perorangan yang seluruh sikap dan tindak tanduk perbuatannya dapat
dikualifikasikan menjadi beban dan tanggung jawab pemerintah. Lantas, yang
menjadi pertanyaan seluruh masyarakat mengapa pemerintah diduga tidak mampu
melepaskan dirinya dari benalu ? atau jangan-jangan patut diduga bahwa benalu
dimaksud memiliki peranan sentral atas kotak pandora penyelenggaraan
pemerintahan ?
Kebijaksanaaan
Menyikapi berbagai reaksi yang didengungkan oleh
segenap lapisan masyarakat, yang telah dilakukan secara terstruktur dan masif
hampir diseluruh daerah otonom. Hal ini telah mengindikasikan bahwa seyogyanya
ada yang mesti dibenahi dari corak penyelenggaran pemerintahan yang dijalankan
pada saat sekarang ini, mengingat petuah pribahasa lampau “tidak mungkin ada asap, jika tidak ada api”.
Oleh karena itu, pemerintah dituntut mampu
menyelesaikan akar permasalahan dengan tidak mengenyampingkan berbagai norma
perundang-undangan, sekaligus bersikap serta bertindak dengan komprehensif
secara arif dan bijaksana. Mengingat jika pemerintah tidak mampu bersikap
bijaksana atas aksi tersebut, tidak menutup kemungkinan pada hari mendatang
akan digelar berbagai aksi lanjutan, bahkan tanpa terkecuali meluas terhadap
tuntutan yang lebih besar.
Pentingnya hikmat kebijaksanaan, telah ditegaskan
HAMKA (2014) bahwa berkedudukan sebagai tiang yang kukuh, baik karena ilmu,
ketetapan hati, meletakkan sesuatu pada tempatnya, serta menilik sesuatu pada
nilainya, dengan kebijaksanaan dapat memilih mana yang benar dan mana yang
salah, memilih mana yang patut dikerjakan, dan mana yang patut ditinggalkan,
serta kenal tempat dan sadar waktu. Tampak padanya lubang yang akan
dimasukinya, dan jalan yang akan dilaluinya, ketika menegakkan suatu hukum maka
tidak terperdaya hawa nafsu, dan tidak berudang dibalik batu.
Pada kesempatan yang sama, tidaklah bijaksana manusia
yang membenarkan perkara yang dusta, atau meluruskan benda yang telah bengkok,
atau berupaya mendidik manusia yang memang tidak beradab, atau yang melakukan
pekerjaan tetapi bukanlah sebagai keahliannya. Atas pertimbangan tersebut,
hendaknya kebijaksanaan melekat pada diri pengemban tongkat komando tertinggi
di bumi pertiwi. Mengingat bahwa output penyelesaian akar masalah, akan diawali
dari political will yang nantinya
dijabarkan sang empunya titah komando.
Berdasarkan paradigma ketatanegaraan, pada hakikatnya
konsensus bangsa telah menyepakati bahwa titah komando ada di genggaman tangan
Presiden, dalam hal ini Presiden di Republik Indonesia memiliki dua
kualifikasi, yaitu: Pertama,
berkedudukan sebagai kepala negara. Kedua,
berkedudukan sebagai kepala pemerintahan. Oleh karena itu, tepat kiranya
relevansi aksi masyarakat dalam menyampaikan aspirasinya, ditujukan kepada Presiden, dikarenakan
Presiden adalah pemegang kendali dalam pemerintahan.
Meskipun realitanya dalam penyelenggaraan
pemerintahan, dewasa ini telah menerapkan prinsip trias politika, namun demikian dalam menjalankan pemerintahan
negara, kekuasaan dan tanggung jawab adalah berada ditangan Presiden, dengan
tetap berpedoman pada peraturan perundang-undangan, sejalan dengan amanat bahwa
negara Indonesia adalah negara hukum.
Penutup
Sebagaimana viral diberbagai media, yang pada intinya
mengingatkan kepada Presiden dalam hal berkedudukan sebagai kepala
pemerintahan, bahwa jangan menyepelekan terlebih lagi menganggap enteng
berbagai dinamika yang terus bergulir ditengah-tengah masyarakat. Oleh karena
adanya kekhawatiran bahwa jika akar permasalahan tidak mampu diselesaikan
secara komprehensif, akan menjadi stimulan lunturnya paham kebhinnekaan, bahkan
lebih luas lagi akan memicu terciptanya disintegrasi bangsa.
Pada kesempatan yang sama, untuk meringankan beban dan
tanggung jawab penyelenggaraan pemerintahan, sudah sepantasnya Presiden mampu
menanggalkan berbagai benalu yang selama ini tanpa disadari telah melumpuhkan berbagai kewibawaan simbol negara,
sekaligus menjadi penghambat akselerasi pembangunan khususnya yang berimbas
pada sektor perekonomian.
Dalam hal ini Presiden sebagai top eksekutif dituntut mampu
memberikan contoh bagi seluruh putra-putri ibu pertiwi, terkait tentang
mempraktikkan sikap kenegarawanan, yang diantaranya dengan mengedepankan
kebijaksanaan. Sehingga dalam penjabaran titah komando, kiranya dapat diemban
dengan mengutamakan konfigurasi politik yang demokratis, dan bermuara pada
penerapan hukum yang bernuansa responsif dengan mengakomodir kepentingan
masyarakat luas. Terakhir, semoga saja dengan menyelesaikan akar permasalahan
dapat menjaga keutuhan sekaligus kesatuan dan persatuan seluruh komponen
bangsa, seperti sediakala sebelum terjadinya peristiwa yang telah menguras
banyak energi dan waktu. Semoga!
*Tulisan ini juga dimuat pada Harian Waspada, Rabu 16 November 2016
[1]
Penulis adalah PNS di Sekretariat Majelis Permusyawaratan Ulama
Aceh Tamiang. Staf Pengajar
Program
Magister Ilmu Hukum UMA dan UMSU
Tidak ada komentar:
Posting Komentar