Minggu, 20 November 2016

Benalu Pemerintah

Benalu Pemerintah
Oleh: Dr. Cakra Arbas, SH.I, MH.[1]

Aksi masyarakat yang menyampaikan sekelumit aspirasinya kepada pemerintah beberapa hari yang lalu, tentu dapat dinilai dari berbagai sudut pandang, yang notabene turut memantik pro dan kontra dikalangan masyarakat. Dapat diasumsikan bahwa atas realita tersebut, tidak dapat dilepaskan dari berbagai situasi dan kondisi yang melingkupi penyelenggaraan pemerintahan pada hari-hari belakangan ini.
Betapa tidak, pemerintah yang seyogyanya menjadi payung bagi selurunh komponen bangsa, nyatanya tidak mampu bertindak objektif secara lugas dan tegas, dalam merespon berbagai dinamika yang menggelinding secara liar. Bahkan hukum yang semula dikonsensuskan sebagai panglima dalam hidup bermasyarakat, khususnya sebagai paradigma dalam mewujudkan nilai keadilan, nyatanya hanya mampu menjadi goresan ditataran normatif semata.
Ironinya, betapa besar beban dan tanggung jawab yang disematkan pada pundak pemerintah, dikarenakan tidak adanya political will dalam bertindak secara cepat untuk menyelesaikan akar permasalahan yang sesungguhnya. Uniknya pada kesempatan yang berbeda, dan pada periode waktu yang tidak jauh berselang, betapa mudahnya memutarbalikkan nasib seseorang seperti membalik telapak tangan, sehingga individu tersebut disematkan label pesakitan dimata hukum.
Kini beban yang ada dipundak pemerintah, dapat dianalogikan seperti benalu dalam konteks penyelenggaraan pemerintahan, terkait hal ini secara etimologi benalu dapat didefinisikan sebagai individu perorangan yang seluruh sikap dan tindak tanduk perbuatannya dapat dikualifikasikan menjadi beban dan tanggung jawab pemerintah. Lantas, yang menjadi pertanyaan seluruh masyarakat mengapa pemerintah diduga tidak mampu melepaskan dirinya dari benalu ? atau jangan-jangan patut diduga bahwa benalu dimaksud memiliki peranan sentral atas kotak pandora penyelenggaraan pemerintahan ?
   
Kebijaksanaaan
Menyikapi berbagai reaksi yang didengungkan oleh segenap lapisan masyarakat, yang telah dilakukan secara terstruktur dan masif hampir diseluruh daerah otonom. Hal ini telah mengindikasikan bahwa seyogyanya ada yang mesti dibenahi dari corak penyelenggaran pemerintahan yang dijalankan pada saat sekarang ini, mengingat petuah pribahasa lampau “tidak mungkin ada asap, jika tidak ada api”.
Oleh karena itu, pemerintah dituntut mampu menyelesaikan akar permasalahan dengan tidak mengenyampingkan berbagai norma perundang-undangan, sekaligus bersikap serta bertindak dengan komprehensif secara arif dan bijaksana. Mengingat jika pemerintah tidak mampu bersikap bijaksana atas aksi tersebut, tidak menutup kemungkinan pada hari mendatang akan digelar berbagai aksi lanjutan, bahkan tanpa terkecuali meluas terhadap tuntutan yang lebih besar.
Pentingnya hikmat kebijaksanaan, telah ditegaskan HAMKA (2014) bahwa berkedudukan sebagai tiang yang kukuh, baik karena ilmu, ketetapan hati, meletakkan sesuatu pada tempatnya, serta menilik sesuatu pada nilainya, dengan kebijaksanaan dapat memilih mana yang benar dan mana yang salah, memilih mana yang patut dikerjakan, dan mana yang patut ditinggalkan, serta kenal tempat dan sadar waktu. Tampak padanya lubang yang akan dimasukinya, dan jalan yang akan dilaluinya, ketika menegakkan suatu hukum maka tidak terperdaya hawa nafsu, dan tidak berudang dibalik batu.
Pada kesempatan yang sama, tidaklah bijaksana manusia yang membenarkan perkara yang dusta, atau meluruskan benda yang telah bengkok, atau berupaya mendidik manusia yang memang tidak beradab, atau yang melakukan pekerjaan tetapi bukanlah sebagai keahliannya. Atas pertimbangan tersebut, hendaknya kebijaksanaan melekat pada diri pengemban tongkat komando tertinggi di bumi pertiwi. Mengingat bahwa output penyelesaian akar masalah, akan diawali dari political will yang nantinya dijabarkan sang empunya titah komando.
Berdasarkan paradigma ketatanegaraan, pada hakikatnya konsensus bangsa telah menyepakati bahwa titah komando ada di genggaman tangan Presiden, dalam hal ini Presiden di Republik Indonesia memiliki dua kualifikasi, yaitu: Pertama, berkedudukan sebagai kepala negara. Kedua, berkedudukan sebagai kepala pemerintahan. Oleh karena itu, tepat kiranya relevansi aksi masyarakat dalam menyampaikan aspirasinya,  ditujukan kepada Presiden, dikarenakan Presiden adalah pemegang kendali dalam pemerintahan.
Meskipun realitanya dalam penyelenggaraan pemerintahan, dewasa ini telah menerapkan prinsip trias politika, namun demikian dalam menjalankan pemerintahan negara, kekuasaan dan tanggung jawab adalah berada ditangan Presiden, dengan tetap berpedoman pada peraturan perundang-undangan, sejalan dengan amanat bahwa negara Indonesia adalah negara hukum.

Penutup
Sebagaimana viral diberbagai media, yang pada intinya mengingatkan kepada Presiden dalam hal berkedudukan sebagai kepala pemerintahan, bahwa jangan menyepelekan terlebih lagi menganggap enteng berbagai dinamika yang terus bergulir ditengah-tengah masyarakat. Oleh karena adanya kekhawatiran bahwa jika akar permasalahan tidak mampu diselesaikan secara komprehensif, akan menjadi stimulan lunturnya paham kebhinnekaan, bahkan lebih luas lagi akan memicu terciptanya disintegrasi bangsa.
Pada kesempatan yang sama, untuk meringankan beban dan tanggung jawab penyelenggaraan pemerintahan, sudah sepantasnya Presiden mampu menanggalkan berbagai benalu yang selama ini tanpa disadari telah  melumpuhkan berbagai kewibawaan simbol negara, sekaligus menjadi penghambat akselerasi pembangunan khususnya yang berimbas pada sektor perekonomian.
Dalam hal ini Presiden sebagai top eksekutif dituntut mampu memberikan contoh bagi seluruh putra-putri ibu pertiwi, terkait tentang mempraktikkan sikap kenegarawanan, yang diantaranya dengan mengedepankan kebijaksanaan. Sehingga dalam penjabaran titah komando, kiranya dapat diemban dengan mengutamakan konfigurasi politik yang demokratis, dan bermuara pada penerapan hukum yang bernuansa responsif dengan mengakomodir kepentingan masyarakat luas. Terakhir, semoga saja dengan menyelesaikan akar permasalahan dapat menjaga keutuhan sekaligus kesatuan dan persatuan seluruh komponen bangsa, seperti sediakala sebelum terjadinya peristiwa yang telah menguras banyak energi dan waktu. Semoga!
*Tulisan ini juga dimuat pada Harian Waspada, Rabu 16 November 2016



[1]  Penulis adalah PNS di Sekretariat Majelis Permusyawaratan Ulama Aceh Tamiang. Staf Pengajar Program Magister Ilmu Hukum UMA dan UMSU

Tidak ada komentar:

Posting Komentar