Menanti Hukum
Responsif
Hukum tidak dapat dipisahkan dari individu
manusia yang notabene melekat sebagai salah satu subjek hukum, dan
masing-masing individu manusia dapat dipastikan tidak akan mungkin melepaskan
dirinya dalam hukum. Bahkan kadangkala manusia menjadi penentu sekaligus
episentrum dari pengembanan hukum dalam mewujudkan law enforcement.
Berdasarkan paradigma tersebut, dapat
dipahami bahwa seluruh subjek hukum mau tidak mau, telah melekat pada dirinya
hak dan kewajiban dalam hukum. Di pihak lain, perihal tersebut mengindikasikan
bahwa semestinya seluruh subjek hukum berkedudukan sama dimata hukum. Sehingga
pada hakikatnya penyelenggaraan kehidupan bernegara dan bermasyarakat dapat
saling menjaga relasi sesama subjek hukum.
Terlebih lagi sebagai bangsa dan negara
yang berdaulat, dalam konteks penyelenggaraan pemerintahan konsensus masyarakat
Indonesia yang diformulasikan melalui norma dasar dan dijadikan sebagai payung
hukum untuk peraturan organik, telah mengamanatkan bahwa setiap individu
manusia berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan dan kepastian hukum yang
adil, serta perlakuan yang sama dihadapan hukum.
Artinya dapat dipahami bahwa seyogyanya
tidak ada satupun individu manusia yang mampu memiliki imunitas, atau memiliki
berbagai privilege, dalam hal
perlakuan dimata hukum. Lantas yang memantik perhatian masyarakat, benarkah
seluruh subjek hukum diperlakukan sama dihadapan hukum ? atau benarkah tidak
ada berbagai macam praktik yang patut diduga dilakukan oleh oknum pengemban hukum,
yang tanpa disadari telah mengkebiri norma hukum ?
Kompleksitas
Hukum
Berwacana tentang hukum disadari tidak dapat dilakukan
hanya melalui satu paradigma, dikarenakan ilmuwan hukum memiliki dikotomi dalam
memaknai hukum, sesuai dengan aliran pemahaman dan mazhab pemikiran hukum yang
diembannya. Namun demikian, ketika hukum dikaitkan dalam praktik
penyelenggaraan pemerintahan, baik pada level nasional dan daerah, lazimnya
ilmuwan ketatanegaraan memiliki kesepahaman bahwa hukum memiliki koherensi
dengan kebijakan politik yang dilakukan oleh kekuasaan pemerintah.
Terkait hal ini, dapat dicermati dari pandangan Mahfud
MD yang pada prinsipnya menerangkan bahwa pengembanan hukum memiliki korelasi
dengan kekuasaan politik yang ditransformasikan melalui kebijakan pemerintah, yang diantaranya: (Mahfud MD, 2011) Pertama, Konfigurasi politik demokratis,
yakni konfigurasi yang membuka peluang bagi berperannya potensi masyarakat
secara maksimal untuk turut aktif menentukan kebijakan negara.
Adapun output dari konfigurasi politik yang
berkarakteristik demokratis dapat ditelaah melalui political will pemerintah dalam berbagai macam produk hukumnya. Jika
konfigurasi ini yang diterapkan, maka akan tergolong pada produk hukum yang
bersifat responsif/otonom, yakni produk hukum yang karakternya mencerminkan
pemenuhan atas tuntutan-tuntutan individu maupun berbagai kelompok sosial masyarakat
sehingga lebih mampu mencerminkan rasa keadilan di dalam masyarakatnya.
Kedua, Konfigurasi politik otoriter,
yakni konfigurasi yang menempatkan pemerintah pada posisi yang sangat dominan
dengan sifat yang intervensionis dalam penentuan dan pelaksanaan kebijakan
negara sehingga potensi dan aspirasi masyarakat tidak teragresi dan
terartikulasi secara proporsional. Jika konfigurasi ini yang dikedepankan, maka
akan tercermin melalui political will
sekaligus produk hukum yang bersifat konservatif/ortodoks, yakni produk hukum
yang karakternya mencerminkan visi politik pemegang kekuasaan dominan sehingga
pembuatnya tidak mengundang partisipasi dan aspirasi masyarakat secara
sungguh-sungguh.
Hukum Yang Responsif
Pada tataran normatif, gagasan yang berkaitan erat
dengan hukum responsif, akan tertuju dalam berbagai pemahaman yang dicetuskan
oleh Philippe Nonet dan Philip Selznick (2011). Melalui doktrin yang
dikemukakannya, menegaskan bahwa seyogyanya hukum menjadi sarana dalam
merespons atas ketentuan-ketentuan sosial serta aspirasi yang hidup dan
berkembang dalam masyarakat. Sesuai dengan sifatnya yang terbuka, maka produk
hukum yang bersifat responsif akan mengakomodir dan menerima realitas sosial
sekaligus dinamika dari aspirasi masyarakat, demi mencapai tujuan hukum yang
berupa keadilan.
Pada kesempatan yang sama, tatanan hukum responsif
akan difokuskan melalui beberapa hal diantaranya: Pertama, keadilan substantif sebagai dasar legitimasi hukum. Kedua, pertimbangan hukum harus
berorientasi pada tujuan dan akibat bagi kemaslahatan masyarakat. Ketiga, kekuasaan didayagunakan untuk
mendukung vitalitas hukum dalam melayani masyarakat. Keempat, terjaminnya akses partisipasi publik, dalam rangka
terintegrasinya advokasi hukum dan sosial.
Berdasarkan gagasan tentang hukum responsif, kiranya
dewasa ini dapat dijadikan sebagai salah satu paradigma dalam pengembanan
hukum, khususnya dalam menjawab berbagai kekhawatiran tentang dinamika hidup
berbangsa dan bernegara, sekaligus mampu merespons berbagai aspirasi yang
bergulir ditengah-tengah masyarakat, agar terwujudnya perlakuan yang sama terhadap
seluruh subjek hukum.
Mengingat tidak jarang bahwa baik penyelenggara
pemerintahan di pusat maupun di daerah, acapkali dengan penuh kesadaran diduga
melakukan berbagai perbuatan yang diindikasikan dalam kategori pelanggaran atas
norma hukum. Namun demikian, faktanya memiliki imunitas atas hukum, sehingga
frasa seluruh subjek hukum memiliki kedudukan yang sama dimata hukum hanya
menjadi angin lalu. Ironinya, dalam pengembanan hukum yang tidak bersifat
responsif, bahkan yang diduga berpihak pada subjek hukum tertentu, seakan dapat
dianalogikan dengan pribahasa lampau yang berbunyi “gajah dipelupuk mata tak
tampak, semut diseberang lautan tampak”.
Berbagai peristiwa yang melingkupi pengembanan hukum
hari-hari belakangan ini, tanpa disadari telah menjadi ujian dalam hidup
berbangsa dan bernegara, akan mampukah pengembanan hukum bersifat responsif
atas aspirasi masyarakat ? tidak kalah pentingnya, semoga aparatur penegak
hukum, yang diposisikan sebagai struktur hukum mampu bersikap profesional. Oleh
karena berkedudukan sebagai garda terdepan dalam pengembanan hukum, berkewajiban
untuk meluruskan stigma masyarakat, bahwa imunitas dan privilege terhadap subjek hukum tertentu, tidak benar adanya. Semoga!
*Tulisan ini juga dimuat pada Harian Waspada, Jumat 4 November 2016
[1]
Penulis adalah PNS di Sekretariat Majelis Permusyawaratan Ulama
Aceh Tamiang. Staf Pengajar
Program
Magister Ilmu Hukum UMA dan UMSU
Tidak ada komentar:
Posting Komentar