Minggu, 06 November 2016

Menanti Hukum Responsif

Menanti Hukum Responsif
Oleh: Dr. Cakra Arbas, SH.I, MH.[1]

Hukum tidak dapat dipisahkan dari individu manusia yang notabene melekat sebagai salah satu subjek hukum, dan masing-masing individu manusia dapat dipastikan tidak akan mungkin melepaskan dirinya dalam hukum. Bahkan kadangkala manusia menjadi penentu sekaligus episentrum dari pengembanan hukum dalam mewujudkan law enforcement.
Berdasarkan paradigma tersebut, dapat dipahami bahwa seluruh subjek hukum mau tidak mau, telah melekat pada dirinya hak dan kewajiban dalam hukum. Di pihak lain, perihal tersebut mengindikasikan bahwa semestinya seluruh subjek hukum berkedudukan sama dimata hukum. Sehingga pada hakikatnya penyelenggaraan kehidupan bernegara dan bermasyarakat dapat saling menjaga relasi sesama subjek hukum.
Terlebih lagi sebagai bangsa dan negara yang berdaulat, dalam konteks penyelenggaraan pemerintahan konsensus masyarakat Indonesia yang diformulasikan melalui norma dasar dan dijadikan sebagai payung hukum untuk peraturan organik, telah mengamanatkan bahwa setiap individu manusia berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan dan kepastian hukum yang adil, serta perlakuan yang sama dihadapan hukum.
Artinya dapat dipahami bahwa seyogyanya tidak ada satupun individu manusia yang mampu memiliki imunitas, atau memiliki berbagai privilege, dalam hal perlakuan dimata hukum. Lantas yang memantik perhatian masyarakat, benarkah seluruh subjek hukum diperlakukan sama dihadapan hukum ? atau benarkah tidak ada berbagai macam praktik yang patut diduga dilakukan oleh oknum pengemban hukum, yang tanpa disadari telah mengkebiri norma hukum ?

Kompleksitas Hukum
Berwacana tentang hukum disadari tidak dapat dilakukan hanya melalui satu paradigma, dikarenakan ilmuwan hukum memiliki dikotomi dalam memaknai hukum, sesuai dengan aliran pemahaman dan mazhab pemikiran hukum yang diembannya. Namun demikian, ketika hukum dikaitkan dalam praktik penyelenggaraan pemerintahan, baik pada level nasional dan daerah, lazimnya ilmuwan ketatanegaraan memiliki kesepahaman bahwa hukum memiliki koherensi dengan kebijakan politik yang dilakukan oleh kekuasaan pemerintah.
Terkait hal ini, dapat dicermati dari pandangan Mahfud MD yang pada prinsipnya menerangkan bahwa pengembanan hukum memiliki korelasi dengan kekuasaan politik yang ditransformasikan melalui kebijakan pemerintah,  yang diantaranya: (Mahfud MD, 2011) Pertama, Konfigurasi politik demokratis, yakni konfigurasi yang membuka peluang bagi berperannya potensi masyarakat secara maksimal untuk turut aktif menentukan kebijakan negara.
Adapun output dari konfigurasi politik yang berkarakteristik demokratis dapat ditelaah melalui political will pemerintah dalam berbagai macam produk hukumnya. Jika konfigurasi ini yang diterapkan, maka akan tergolong pada produk hukum yang bersifat responsif/otonom, yakni produk hukum yang karakternya mencerminkan pemenuhan atas tuntutan-tuntutan individu maupun berbagai kelompok sosial masyarakat sehingga lebih mampu mencerminkan rasa keadilan di dalam masyarakatnya.
 Kedua, Konfigurasi politik otoriter, yakni konfigurasi yang menempatkan pemerintah pada posisi yang sangat dominan dengan sifat yang intervensionis dalam penentuan dan pelaksanaan kebijakan negara sehingga potensi dan aspirasi masyarakat tidak teragresi dan terartikulasi secara proporsional. Jika konfigurasi ini yang dikedepankan, maka akan tercermin melalui political will sekaligus produk hukum yang bersifat konservatif/ortodoks, yakni produk hukum yang karakternya mencerminkan visi politik pemegang kekuasaan dominan sehingga pembuatnya tidak mengundang partisipasi dan aspirasi masyarakat secara sungguh-sungguh.
   
Hukum Yang Responsif
Pada tataran normatif, gagasan yang berkaitan erat dengan hukum responsif, akan tertuju dalam berbagai pemahaman yang dicetuskan oleh Philippe Nonet dan Philip Selznick (2011). Melalui doktrin yang dikemukakannya, menegaskan bahwa seyogyanya hukum menjadi sarana dalam merespons atas ketentuan-ketentuan sosial serta aspirasi yang hidup dan berkembang dalam masyarakat. Sesuai dengan sifatnya yang terbuka, maka produk hukum yang bersifat responsif akan mengakomodir dan menerima realitas sosial sekaligus dinamika dari aspirasi masyarakat, demi mencapai tujuan hukum yang berupa keadilan.
Pada kesempatan yang sama, tatanan hukum responsif akan difokuskan melalui beberapa hal diantaranya: Pertama, keadilan substantif sebagai dasar legitimasi hukum. Kedua, pertimbangan hukum harus berorientasi pada tujuan dan akibat bagi kemaslahatan masyarakat. Ketiga, kekuasaan didayagunakan untuk mendukung vitalitas hukum dalam melayani masyarakat. Keempat, terjaminnya akses partisipasi publik, dalam rangka terintegrasinya advokasi hukum dan sosial.
Berdasarkan gagasan tentang hukum responsif, kiranya dewasa ini dapat dijadikan sebagai salah satu paradigma dalam pengembanan hukum, khususnya dalam menjawab berbagai kekhawatiran tentang dinamika hidup berbangsa dan bernegara, sekaligus mampu merespons berbagai aspirasi yang bergulir ditengah-tengah masyarakat, agar terwujudnya perlakuan yang sama terhadap seluruh subjek hukum.
Mengingat tidak jarang bahwa baik penyelenggara pemerintahan di pusat maupun di daerah, acapkali dengan penuh kesadaran diduga melakukan berbagai perbuatan yang diindikasikan dalam kategori pelanggaran atas norma hukum. Namun demikian, faktanya memiliki imunitas atas hukum, sehingga frasa seluruh subjek hukum memiliki kedudukan yang sama dimata hukum hanya menjadi angin lalu. Ironinya, dalam pengembanan hukum yang tidak bersifat responsif, bahkan yang diduga berpihak pada subjek hukum tertentu, seakan dapat dianalogikan dengan pribahasa lampau yang berbunyi “gajah dipelupuk mata tak tampak, semut diseberang lautan tampak”.
Berbagai peristiwa yang melingkupi pengembanan hukum hari-hari belakangan ini, tanpa disadari telah menjadi ujian dalam hidup berbangsa dan bernegara, akan mampukah pengembanan hukum bersifat responsif atas aspirasi masyarakat ? tidak kalah pentingnya, semoga aparatur penegak hukum, yang diposisikan sebagai struktur hukum mampu bersikap profesional. Oleh karena berkedudukan sebagai garda terdepan dalam pengembanan hukum, berkewajiban untuk meluruskan stigma masyarakat, bahwa imunitas dan privilege terhadap subjek hukum tertentu, tidak benar adanya. Semoga!
*Tulisan ini juga dimuat pada Harian Waspada, Jumat 4 November 2016



[1]  Penulis adalah PNS di Sekretariat Majelis Permusyawaratan Ulama Aceh Tamiang. Staf Pengajar Program Magister Ilmu Hukum UMA dan UMSU

Tidak ada komentar:

Posting Komentar