Rabu, 05 Oktober 2016

Pentas Pribadi Hebat

Pentas Pribadi Hebat
Oleh: Dr. Cakra Arbas, SH.I, MH.[1]

Pemilihan kepala daerah secara langsung tidak hanya sekedar memenuhi kewajiban dari peraturan perundang-undangan, tidak hanya sekedar meningkatkan partisipasi masyarakat daerah otonom untuk sadar akan hak-hak politik yang dimilikinya, tidak hanya sekedar melaksanakan suatu hajatan yang identik dengan masifnya peredaran uang, dan tidak hanya sekedar memantik friksi antara sesama masyarakat.
Akan tetapi, pada hakikatnya pemilihan kepala daerah secara langsung merupakan salah satu sarana untuk menstimulasi munculnya pribadi-pribadi hebat, sehingga dapat menghantarkan daerah otonom sesuai dengan tujuan otonomi daerah. Namun demikian dengan berbagai latar belakang, umumnya masyarakat terlena dari hakikat pelaksanaan pemilihan kepala daerah, sehingga acapkali masyarakat terjebak nostalgia dengan buaian yang didongengkan oleh segelintir oknum berkepentingan.
Bukan hal yang tabu kiranya, jika dalam pemilihan kepala daerah “nyanyian” lampau kembali didendangkan, baik yang memiliki pretensi negatif maupun positif. Ironinya buaian jebakan nostalgia, sering mensejajarkan antara figur calon kepala daerah pada masa sekarang ini, dengan leluhurnya pada masa yang lampau.

Pribadi Hebat
Untuk menyatukan paradigma, alangkah baiknya menelisik pandangan HAMKA mengenai makna pribadi, yang didefinisikan sebagai berikut : (HAMKA, 2014) Pertama, kumpulan sifat dan kelebihan diri yang menunjukkan kelebihan seseorang dari pada orang lain sehingga ada kategori manusia besar dan manusia kecil. Ada manusia yang sangat berarti hidupnya dan ada yang tidak berarti sama sekali, kedatangannya tidak menggenapkan dan kepergiaannya tidak mengganjilkan.
Kedua, kumpulan sifat akal budi, kemauan, cita-cita dan bentuk tubuh. Hal itu menyebabkan harga kemanusiaan seseorang berbeda dari yang lain. Oleh karena itu, tinggi rendahnya pribadi seseorang adalah karena usaha hidupnya, caranya berpikir, tepatnya berhitung, jauhnya memandang, serta kuatnya semangat dari dalam diri sendiri.
Menariknya dalam hidup bermasyarakat dan bernegara, tidak jarang ditemui ada beberapa tipe karakter manusia, ada pribadi yang selalu terkemuka dan ada pribadi yang kesukaannya hanya jadi ekor, bukan jadi kepala. Dengan kata lain, ada yang bangga berposisi sebagai pribadi “tuan” dan ada yang bangga berposisi sebagai pribadi “penjunjung duli”. Sehingga realitanya ada manusia yang menenggelamkan pribadi sendiri ke dalam kebesaran pribadi manusia lainnya.
Dalam konteks bernegara, pada suatu kesempatan Plato berujar tentang negara yang dapat dianalogikan dengan anatomi tubuh manusia, yaitu: Pertama, bahwa manusia yang dikategorikan sebagai ahli pikir sama dengan otak dalam negara maka nilainya adalah emas. Kedua, bahwa manusia yang dikategorikan  sebagai pemangku atau pelaksana pikiran sama dengan jantung dalam negara maka nilainya adalah perak. Ketiga, bahwa manusia yang hanya menggerakkan tangan dan kaki disebut sebagai saudagar serta kaum tani dalam negara maka nilainya adalah tembaga.
Merujuk analogi tersebut, kiranya dapat menjadi bahan introspeksi bagi seluruh masyarakat, bahwa dalam hidup bernegara masing-masing individu manusia berada pada posisi yang mana ? Oleh karena itu, HAMKA berujar bahwa pribadi hebat dalam diri manusia setidak-tidaknya dapat tercermin melalui beberapa kriteria: Pertama, memiliki daya tarik. Kedua, adanya kecerdasan dan kecerdikan. Ketiga, mampu menimbang rasa (empati). Keempat, bersikap berani dan bijaksana. Kelima, berpandangan baik. Kelima, mengenal dan percaya pada diri sendiri. Keenam, bijak dalam berbicara. Ketujuh, kesehatan jasmani dan rohani.

Pentas Pilkada
Pasca pendaftaran calon kepala daerah, kontestasi pemilihan kepala daerah kembali menggelinding sesuai dengan ritme yang diperankan para elit politik daerah otonom, tanpa terkecuali yang berada pada punca infrastruktur politik. Pada keseluruhannya saling berpentas dengan memoles para figur yang ditampilkan untuk menarik simpati dan dukungan masyarakat sebanyak-banyaknya.
Lazimnya pemilihan kepala daerah dari masa ke masa, sering dipertontonkan pada berbagai daerah otonom bahwa tidak jarang para figur calon kepala daerah yang tampil diatas pentas pemilihan kepala daerah, bukanlah sebagaimana yang dicitakan oleh masyarakat di masing-masing daerah otonom, bahkan tidak jarang pribadi-pribadi hebat harus tereliminasi baik melalui keinginan mekanisme partai, maupun dengan tidak tersedianya sarana infrastruktur politik.
Telah menjadi rahasia umum bahwa segelintir kepemimpinan kepala daerah dilakukan secara estafet sesama keturunannya, seakan-akan hal ini membenarkan adagium kepala daerah adalah raja-raja kecil yang ada di masing-masing daerah otonom. Meskipun tidak dipersyaratkan melalui norma peraturan perundang-undangan, sudah sepantasnya masyarakat memiliki kesadaran dan keyakinan bahwa bentuk jebakan nostalgia, dengan mengenang berbagai figur dan gaya kepemimpinan para leluhur dimasa lampau, tidak serta merta mampu dijabarkan dan diterapkan sepenuhnya oleh berbagai keturunannya.
Kini, walaupun berbagai pasangan calon yang telah mendaftar dinilai tidak cukup mewakili unsur-unsur dari pribadi hebat, namun tetap harus dipahami bahwa para pasangan calon tersebut adalah manusia hebat yang mampu memformulasikan berbagai dinamika dan tantangan, baik dari infrastruktur politik, sekaligus masyarakat di daerah otonomnya.

Penutup
Seyogyanya pemilihan kepala daerah merupakan salah satu sarana bagi para pribadi hebat, untuk berkompetisi menghimpun suara masyarakat sebanyak-banyaknya dengan cara yang arif dan bijaksana, tanpa melakukan berbagai indikasi praktik kecurangan, apakah melalui intimidasi yang dilakukan aparatur negara dan simpatisan masing-masing pendukung, maupun melalui manipulasi hasil pemilihan. Oleh karenanya, semoga berbagai rangkaian pemilihan kepala daerah dapat bermuara dengan terpilihnya pribadi hebat, sebagaimana HAMKA berpesan bahwa “bebanmu akan berat, jiwamu harus kuat, tetapi percayalah langkahmu akan jaya, kuatkan pribadimu”. Semoga!
*Tulisan ini juga dimuat pada Harian Waspada, Rabu 5 Oktober 2016



[1]  Penulis adalah PNS di Sekretariat Majelis Permusyawaratan Ulama Aceh Tamiang. Staf Pengajar Program Magister Ilmu Hukum UMA dan UMSU.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar