Hasrat Pemekaran
Daerah
Beberapa hari belakangan ini, oleh
sebahagian pegiat otonomi daerah kembali menggulirkan beberapa kajian yang
terkait dengan dinamika berbagai daerah otonom yang tergolong sebagai daerah
otonom baru (DOB). Salah satu tema mendasar yang dianalisa
adalah terkait evaluasi atas kebijakan pemerintah melalui moratorium pemekaran
daerah, khususnya dengan tidak ada pembahasan atas DOB tersebut.
Bahkan senada
dengan sikap pemerintah, mantan Dirjen otonomi daerah pada Kementerian Dalam
Negeri, menegaskan bahwa sekitar 80% pelaksanaan otonomi daerah mendapat
kualifikasi sebagai DOB yang gagal. Menariknya kegagalan yang dialami DOB dalam
menjalankan berbagai roda pemerintahannya, dikarenakan sering berbenturan dengan
beberapa faktor yang mendasar, antara lain:
Pertama, belum
tuntasnya masalah batas wilayah, antara berstatus DOB dengan daerah-daerah
otonom yang berbatasan secara lansung. Kedua,
masalah hibah dari daerah induk pra pemekaran dengan DOB yang hingga kini masih
sulit untuk direalisasikan. Ketiga,
masalah pembiayaan penyelenggaraan pemerintahan daerah, dalam hal ini betapa
masifnya DOB yang masih mengandalkan berbagai dana transfer dari pemerintah
pusat. Atas realita ini, tepat kiranya seluruh lapisan masyarakat yang berada
dalam kategori DOB untuk becermin, apakah DOB tempat berpijak tergolong dengan
kualifikasi yang gagal ?
Memaknai
Pemekaran
Sebagai negara hukum, wajar kiranya jika
dalam memaknai pemekaran daerah berlandaskan atas paradigma yuridis normatif,
dalam hal ini berbagai norma terkait pemekaran daerah pada prinsipnya telah
diamanatkan melalui Undang-Undang tentang Pemerintahan Daerah. Serta merujuk
pada peraturan organik yang menjabarkan secara teknis dan terperinci melalui Peraturan
Pemerintah tentang Tata Cara Pembentukan, Penghapusan, dan Penggabungan Daerah.
Diantaranya ada beberapa amanat terkait persyaratan yang hendaknya dipenuhi,
yaitu :
Pertama,
syarat administratif, yang meliputi adanya keputusan masing-masing DPRD
Kabupaten/Kota dan keputusan bupati/walikota untuk daerah-daerah yang akan
berafiliasi. Adanya keputusan DPRD Provinsi induk tentang persetujuan
pembentukan calon Provinsi. Adanya keputusan Gubernur tentang persetujuan
pembentukan calon Provinsi, serta adanya rekomendasi dari Menteri Dalam Negeri.
Kedua,
syarat teknis, yang meliputi faktor kemampuan ekonomi, potensi daerah, sosial
budaya, sosial politik, kependudukan, luas daerah, pertahanan, keamanan,
kemampuan keuangan, tingkat kesejahteraan masyarakat, dan rentang kendali
penyelenggaraan pemerintahan daerah.
Ketiga,
syarat fisik kewilayahan, meliputi cakupan wilayah dalam hal ini ketika hendak
membentuk Provinsi yang baru, maka setidak-tidaknya paling sedikit terdiri atas
afiliasi 5 (lima) Kabupaten / Kota. Juga meliputi calon ibukota yang dalam hal
ini dilakukan setelah adanya kajian daerah terhadap aspek tata ruang,
ketersediaan fasilitas, aksesibilitas, kondisi dan letak geografis,
kependudukan, sosial ekonomi, sosial politik, dan sosial budaya.
Berdasarkan rangkaian persyaratan yang
ditegaskan melalui regulasi tersebut, setidak-tidaknya dapat dipahami bahwa
hasrat yang melingkupi para elit di daerah otonom untuk melakukan atau
membentuk DOB bukanlah suatu pekerjaan mudah, yang dapat dilakukan dengan
sekedar membalikkan telapak tangan. Oleh karena itu, perjuangan luhur dalam
membentuk DOB, sepantasnya turut dilanjutkan secara estafet oleh berbagai stakeholder di daerah, salah satunya
dengan menghindarkan DOB dalam kualifikasi gagal.
Hukum dan
Politik
Pada kesempatan yang sama, gagasan yang erat kaitannya
dalam penyelenggaraan pemerintahan di daerah tanpa terkecuali mengenai
pemekaran daerah, tidak jarang perlu mendapatkan singkronisasi antara berbagai
pranata hukum yang dijabarkan melalui regulasi, juga perlunya mendapat dukungan
dari berbagai struktur politik, baik yang diafiliasi dalam infrastruktur
politik maupun dalam suprastruktur politik.
Mengingat acapkali penyelenggaraan pemerintahan
daerah, tidak hanya bersinggungan dengan norma hukum semata, melainkan juga melekat
berbagai praktik dan instrumen politik lokal. Bahkan kadangkala dalam
menjalankan pemerintahan daerah lebih dominan nuansa politisnya, sehingga
berbagai kebijakan yang diputuskan terkait pemerintahan daerah, dan khususnya pemekaran
daerah akan lebih condong dengan berbagai pertimbangan yang bersifat politis.
Hakikatnya tidak ada yang keliru, ketika politik
disandingkan dengan berbagai pranata hukum, sebagaimana yang diutarakan oleh Mahfud
MD, bahwa hukum dan politik akan saling
mempengaruhi, hal ini dapat direview melalui beberapa faktor, diantaranya:
(Mahfud MD, 2011) Pertama, hukum
determinan atas politik, dalam arti bahwa kegiatan-kegiatan politik diatur oleh
dan harus tunduk pada aturan-aturan hukum.
Kedua, politik determinan atas hukum, karena hukum
merupakan hasil atau kristalisasi dari kehendak-kehendak politik yang saling
berinteraksi dan (bahkan) saling bersaingan. Ketiga, hukum dan politik sebagai subsistem kemasyarakatan, berada
pada posisi yang derajat determinasinya seimbang antara yang satu dengan yang
lain, karena meskipun hukum produk keputusan politik, tetapi begitu hukum ada
maka semua kegiatan politik harus tunduk pada aturan-aturan hukum.
Oleh karena itu, bukanlah sesuatu yang berlebihan
ketika adanya kebijakan pemerintah yang melakukan moratorium atas pemekaran
daerah, walaupun beberapa norma peraturan perundang-undangan tetap memberi
ruang atas pemekaran daerah. Artinya kebijakan moratorium tersebut secara tidak
langsung telah mendeskripsikan bahwa terkait hasrat pemekaran daerah, maka
konfigurasi politik yang determinan atas hukum.
Penutup
Tidak ada kata terlambat, bagi beberapa
DOB yang terlanjur disematkan sebagai daerah yang gagal, terlebih lagi untuk
DOB yang beberapa waktu kedepan akan menggelar hajatan pesta demokrasi lokal. Semoga
pesta demokrasi tersebut, dapat dijadikan sebagai bahan evaluasi, sekaligus
menstimulasi untuk menjaring dan menentukan para kandidat kepala daerah yang
mampu mengangkat DOB dari jurang kegagalan, serta menghantarkan DOB menuju
hakikat otonomi daerah. Semoga!
*Tulisan ini juga dimuat pada Harian Waspada, Rabu 12 Oktober 2016
[1]
Penulis adalah PNS di Sekretariat Majelis Permusyawaratan Ulama
Aceh Tamiang. Staf Pengajar
Program
Magister Ilmu Hukum UMA dan UMSU
Tidak ada komentar:
Posting Komentar