Sabtu, 15 Oktober 2016

Hasrat Pemekaran Daerah

Hasrat Pemekaran Daerah
Oleh: Dr. Cakra Arbas, SH.I, MH.[1]

Beberapa hari belakangan ini, oleh sebahagian pegiat otonomi daerah kembali menggulirkan beberapa kajian yang terkait dengan dinamika berbagai daerah otonom yang tergolong sebagai daerah otonom baru (DOB). Salah satu tema mendasar yang dianalisa adalah terkait evaluasi atas kebijakan pemerintah melalui moratorium pemekaran daerah, khususnya dengan tidak ada pembahasan atas DOB tersebut.
Bahkan senada dengan sikap pemerintah, mantan Dirjen otonomi daerah pada Kementerian Dalam Negeri, menegaskan bahwa sekitar 80% pelaksanaan otonomi daerah mendapat kualifikasi sebagai DOB yang gagal. Menariknya kegagalan yang dialami DOB dalam menjalankan berbagai roda pemerintahannya, dikarenakan sering berbenturan dengan beberapa faktor yang mendasar, antara lain:
Pertama, belum tuntasnya masalah batas wilayah, antara berstatus DOB dengan daerah-daerah otonom yang berbatasan secara lansung. Kedua, masalah hibah dari daerah induk pra pemekaran dengan DOB yang hingga kini masih sulit untuk direalisasikan. Ketiga, masalah pembiayaan penyelenggaraan pemerintahan daerah, dalam hal ini betapa masifnya DOB yang masih mengandalkan berbagai dana transfer dari pemerintah pusat. Atas realita ini, tepat kiranya seluruh lapisan masyarakat yang berada dalam kategori DOB untuk becermin, apakah DOB tempat berpijak tergolong dengan kualifikasi yang gagal ?
Memaknai Pemekaran  
Sebagai negara hukum, wajar kiranya jika dalam memaknai pemekaran daerah berlandaskan atas paradigma yuridis normatif, dalam hal ini berbagai norma terkait pemekaran daerah pada prinsipnya telah diamanatkan melalui Undang-Undang tentang Pemerintahan Daerah. Serta merujuk pada peraturan organik yang menjabarkan secara teknis dan terperinci melalui Peraturan Pemerintah tentang Tata Cara Pembentukan, Penghapusan, dan Penggabungan Daerah. Diantaranya ada beberapa amanat terkait persyaratan yang hendaknya dipenuhi, yaitu :
Pertama, syarat administratif, yang meliputi adanya keputusan masing-masing DPRD Kabupaten/Kota dan keputusan bupati/walikota untuk daerah-daerah yang akan berafiliasi. Adanya keputusan DPRD Provinsi induk tentang persetujuan pembentukan calon Provinsi. Adanya keputusan Gubernur tentang persetujuan pembentukan calon Provinsi, serta adanya rekomendasi dari Menteri Dalam Negeri.
Kedua, syarat teknis, yang meliputi faktor kemampuan ekonomi, potensi daerah, sosial budaya, sosial politik, kependudukan, luas daerah, pertahanan, keamanan, kemampuan keuangan, tingkat kesejahteraan masyarakat, dan rentang kendali penyelenggaraan pemerintahan daerah.
Ketiga, syarat fisik kewilayahan, meliputi cakupan wilayah dalam hal ini ketika hendak membentuk Provinsi yang baru, maka setidak-tidaknya paling sedikit terdiri atas afiliasi 5 (lima) Kabupaten / Kota. Juga meliputi calon ibukota yang dalam hal ini dilakukan setelah adanya kajian daerah terhadap aspek tata ruang, ketersediaan fasilitas, aksesibilitas, kondisi dan letak geografis, kependudukan, sosial ekonomi, sosial politik, dan sosial budaya.
Berdasarkan rangkaian persyaratan yang ditegaskan melalui regulasi tersebut, setidak-tidaknya dapat dipahami bahwa hasrat yang melingkupi para elit di daerah otonom untuk melakukan atau membentuk DOB bukanlah suatu pekerjaan mudah, yang dapat dilakukan dengan sekedar membalikkan telapak tangan. Oleh karena itu, perjuangan luhur dalam membentuk DOB, sepantasnya turut dilanjutkan secara estafet oleh berbagai stakeholder di daerah, salah satunya dengan menghindarkan DOB dalam kualifikasi gagal.  

Hukum dan Politik
Pada kesempatan yang sama, gagasan yang erat kaitannya dalam penyelenggaraan pemerintahan di daerah tanpa terkecuali mengenai pemekaran daerah, tidak jarang perlu mendapatkan singkronisasi antara berbagai pranata hukum yang dijabarkan melalui regulasi, juga perlunya mendapat dukungan dari berbagai struktur politik, baik yang diafiliasi dalam infrastruktur politik maupun dalam suprastruktur politik.
Mengingat acapkali penyelenggaraan pemerintahan daerah, tidak hanya bersinggungan dengan norma hukum semata, melainkan juga melekat berbagai praktik dan instrumen politik lokal. Bahkan kadangkala dalam menjalankan pemerintahan daerah lebih dominan nuansa politisnya, sehingga berbagai kebijakan yang diputuskan terkait pemerintahan daerah, dan khususnya pemekaran daerah akan lebih condong dengan berbagai pertimbangan yang bersifat politis.
Hakikatnya tidak ada yang keliru, ketika politik disandingkan dengan berbagai pranata hukum, sebagaimana yang diutarakan oleh Mahfud MD,  bahwa hukum dan politik akan saling mempengaruhi, hal ini dapat direview melalui beberapa faktor, diantaranya: (Mahfud MD, 2011) Pertama, hukum determinan atas politik, dalam arti bahwa kegiatan-kegiatan politik diatur oleh dan harus tunduk pada aturan-aturan hukum.
Kedua, politik determinan atas hukum, karena hukum merupakan hasil atau kristalisasi dari kehendak-kehendak politik yang saling berinteraksi dan (bahkan) saling bersaingan. Ketiga, hukum dan politik sebagai subsistem kemasyarakatan, berada pada posisi yang derajat determinasinya seimbang antara yang satu dengan yang lain, karena meskipun hukum produk keputusan politik, tetapi begitu hukum ada maka semua kegiatan politik harus tunduk pada aturan-aturan hukum.
Oleh karena itu, bukanlah sesuatu yang berlebihan ketika adanya kebijakan pemerintah yang melakukan moratorium atas pemekaran daerah, walaupun beberapa norma peraturan perundang-undangan tetap memberi ruang atas pemekaran daerah. Artinya kebijakan moratorium tersebut secara tidak langsung telah mendeskripsikan bahwa terkait hasrat pemekaran daerah, maka konfigurasi politik yang determinan atas hukum.

Penutup
Tidak ada kata terlambat, bagi beberapa DOB yang terlanjur disematkan sebagai daerah yang gagal, terlebih lagi untuk DOB yang beberapa waktu kedepan akan menggelar hajatan pesta demokrasi lokal. Semoga pesta demokrasi tersebut, dapat dijadikan sebagai bahan evaluasi, sekaligus menstimulasi untuk menjaring dan menentukan para kandidat kepala daerah yang mampu mengangkat DOB dari jurang kegagalan, serta menghantarkan DOB menuju hakikat otonomi daerah. Semoga!
*Tulisan ini juga dimuat pada Harian Waspada, Rabu 12 Oktober 2016



[1]  Penulis adalah PNS di Sekretariat Majelis Permusyawaratan Ulama Aceh Tamiang. Staf Pengajar Program Magister Ilmu Hukum UMA dan UMSU

Tidak ada komentar:

Posting Komentar