Jumat, 23 September 2016

Memilih dan Dipilih

Memilih dan Dipilih
Oleh: Dr. Cakra Arbas, SH.I, MH.[1]

Konstitusi yang dijunjung sebagai norma dasar ketatanegaraan, pada hakikatnya adalah hasil dari abstraksi nilai yang hidup dan berkembang dalam diri masyarakatnya. Bahkan tidak jarang konstitusi sering dijadikan sebagai barometer dalam penyelenggaraan pemerintahan, sekaligus untuk mewujudkan asas kepastian hukum.
Lazimnya dalam konstitusi melekat beberapa unsur filosofi, yang salah satunya adalah untuk pengakuan dan jaminan atas hak-hak tentang diri masyarakat. (M. Solly Lubis, 2008) Sehingga konstitusi acapkali berposisi sebagai paradigma yang berkaitan erat antara batasan-batasan mengenai hak dan kewajiban masyarakat, baik berpartisipasi melalui penyelenggaraan pemerintahan maupun dalam hidup sosial bermasyarakat.
Sering dipahami bahwa hak dan kewajiban bagaikan dua sisi mata uang, jika pada satu sisi dinilai sebagai suatu hak maka disisi yang lain seyogyanya dinilai sebagai suatu kewajiban. Dalam konteks menyongsong pemilihan kepala daerah serentak di Tahun 2017, maka melekat pada setiap diri masyarakat berupa hak sekaligus kewajiban yang bersifat asasi, yaitu memilih dan dipilih.      

Memilih dan Dipilih
Frasa memilih, oleh Kamus Besar Bahasa Indonesia dimaknai sebagai hak untuk memberi suara dalam pemilihan umum, atau hak memberi suara dalam masalah politik. Memilih dapat dianalogikan sebagai kesadaran partisipasi dari masyarakat, sebagai wujud nyata turut aktif dalam menyelenggarakan roda pemerintahan, khususnya melalui proses penentuan calon pemimpin yang ditasbihkan sebagai kandidat calon kepala daerah.
Berdasarkan perspektif infrastruktur politik, memilih merupakan suatu kewenangan baik yang dikendalikan oleh tokoh kunci pimpinan partai politik, maupun yang disepakati melalui mekanisme musyawarah para elit partai politik. Dalam konteks pemilihan kepala daerah, dapat dimaknai bahwa jika hendak menggunakan sarana partai politik, maka dominasi kendali sekaligus hak untuk menentukan siapa sosok yang akan ditasbihkan sebagai kandidat calon kepala daerah, sepenuhnya berada dalam genggaman partai politik.
Oleh karena itu, menarik untuk dicermati bahwa diberbagai daerah otonom yang akan menggelar pemilihan kepala daerah, ada beberapa partai politik yang bersikap jumawa dan berkeyakinan memiliki konstituen dengan jumlah signifikan, tidak mau terburu-buru dan terbawa arus dalam menentukan sosok kandidat calon kepala daerah. Bahkan dengan sesumbar menegaskan bahwa pengumuman kandidat yang akan diusung partai politik tersebut dilakukan pada saat last minute, dari penutupan tahapan pendaftaran calon kepala daerah yang telah ditetapkan.
Setali tiga uang, praktik ini seringkali membuat beberapa calon ketir-ketir, mengingat ada diantara mereka yang dinilai memiliki kapasitas, tetapi jauh panggang dari sarana infrastruktur politik yang memadai. Sehingga berbagai strategi turut dilakukan, baik itu dengan menggagas jalur independen maupun dengan melakukan konsolidasi agar tetap mendapat dukungan partai politik, demi tercapainya maksud dan tujuan dalam persaingan merebut atau memepertahankan empuknya kursi kepala daerah.
Pada kesempatan yang sama, frasa dipilih dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia dimaknai sebagai hak untuk dipilih dalam pemilihan umum. Dipilih dapat dianalogikan sebagai suatu rangkaian hak yang dimiliki masyarakat untuk berpartispasi menyukseskan pemilihan kepala daerah. Artinya, dipilih adalah bentuk aktualisasi masyarakat dalam menyalurkan pendapat sekaligus keyakinannya dengan cara menentukan pilihan dari berbagai kandidat calon kepala daerah.
Proses pemilihan kepala daerah menjadi menarik bahwa ketika partai politik telah memilih sosok yang akan disandingkan untuk maju dalam kontestasi pemilihan kepala daerah, maka selanjutnya secara normatif masyarakat yang akan menilai apakah sosok calon tersebut layak untuk dipilih sebagai kepala daerah pada masing-masing daerah otonom ?
Berbagai rangkaian yang terdapat dalam proses memilih dan dipilih, seyogyanya akan bermuara pada frasa terpilih, yang mana dapat ditafsirkan bahwa terpilih adalah sosok figur yang mampu mempadupadankan berbagai potensi sehingga dapat mensinergikan seluruh proses memilih di internal partai politik, juga dari proses dipilih melalui rangkaian hak suara masyarakat yang dikonstruksikan dalam proses pemilihan kepala daerah.

Penutup
Beberapa waktu kedepan dapat sama-sama dipersaksikan, bahwa pada beberapa daerah otonom akan menabuh genderang perang dalam konteks pemilihan kepala daerah, khususnya melalui tahapan pendaftaran calon kepala daerah. Oleh karena itu, segala sesuatunya akan menjadi terang benderang, bahwa partai politik hendak memilih siapa dalam kontestasi pemilihan kepala daerah serentak ? serta apakah hasil permufakatan dari partai politik dalam memilih calon kepala daerah tersebut, juga serta merta akan dipilih oleh masyarakatnya ?
Tidak kalah pentingnya, bahwa perlu adanya kesadaran menyeluruh dalam diri masyarakat, kesadaran yang dimaknai sebagai suatu kewajiban dengan penuh rasa tanggung jawab, bahwa sosok calon kepala daerah yang diusung dari partai politik belum tentu akan memberikan dampak positif untuk perkembangan daerah otonom, begitu juga sebaliknya.
Terlebih lagi jika ada calon incumbent yang hendak bertarung kembali mempertahankan singgasana kepala daerah, tentu semakin mudah dinilai apakah selama kepemimpinan calon incumbent pada periode ini, telah mengimplementasikan seluruh janji yang diumbar ? juga apakah calon incumbent telah berpihak kepada masyarakat di daerahnya, baik dalam hal regulasi di daerah maupun pada sektor pembangunan ? juga apakah calon incumbent telah sejalan dengan asas good governance and clean government ?
Andaikata seluruh perihal tersebut hanya menjadi pepesan kosong selama kepemimpinan calon incumbent, sudah sepantasnya masyarakat tanpa ada keraguan, memiliki kewajiban untuk berpihak pada kandidat calon kepala daerah lainnya, mengingat berbagai cerminan sikap dan tindakan calon incumbent pada masa sekarang ini. Semoga saja masyarakat di masing-masing daerah otonom tidak bersikap acuh tak acuh dalam menghadapi pemilihan kepala daerah, dan kiranya terpilih para calon kepala daerah yang dapat merepresentasikan masyarakat didaerahnya. Semoga!
*Tulisan ini juga dimuat pada Harian Waspada, Rabu 21 September 2016



[1]  Penulis adalah PNS di Sekretariat Majelis Permusyawaratan Ulama Aceh Tamiang. Staf Pengajar Program Magister Ilmu Hukum UMA dan UMSU.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar