Memilih dan
Dipilih
Konstitusi yang dijunjung
sebagai norma dasar ketatanegaraan, pada hakikatnya adalah hasil dari abstraksi
nilai yang hidup dan berkembang dalam diri masyarakatnya. Bahkan tidak jarang
konstitusi sering dijadikan sebagai barometer dalam penyelenggaraan
pemerintahan, sekaligus untuk mewujudkan asas kepastian hukum.
Lazimnya dalam konstitusi
melekat beberapa unsur filosofi, yang salah satunya adalah untuk pengakuan dan
jaminan atas hak-hak tentang diri masyarakat. (M. Solly Lubis, 2008) Sehingga
konstitusi acapkali berposisi sebagai paradigma yang berkaitan erat antara
batasan-batasan mengenai hak dan kewajiban masyarakat, baik berpartisipasi
melalui penyelenggaraan pemerintahan maupun dalam hidup sosial bermasyarakat.
Sering dipahami bahwa hak
dan kewajiban bagaikan dua sisi mata uang, jika pada satu sisi dinilai sebagai
suatu hak maka disisi yang lain seyogyanya dinilai sebagai suatu kewajiban.
Dalam konteks menyongsong pemilihan kepala daerah serentak di Tahun 2017, maka
melekat pada setiap diri masyarakat berupa hak sekaligus kewajiban yang
bersifat asasi, yaitu memilih dan dipilih.
Memilih dan
Dipilih
Frasa memilih, oleh Kamus Besar Bahasa Indonesia
dimaknai sebagai hak untuk memberi suara dalam pemilihan umum, atau hak memberi
suara dalam masalah politik. Memilih dapat dianalogikan sebagai kesadaran partisipasi
dari masyarakat, sebagai wujud nyata turut aktif dalam menyelenggarakan roda
pemerintahan, khususnya melalui proses penentuan calon pemimpin yang
ditasbihkan sebagai kandidat calon kepala daerah.
Berdasarkan perspektif infrastruktur politik, memilih
merupakan suatu kewenangan baik yang dikendalikan oleh tokoh kunci pimpinan
partai politik, maupun yang disepakati melalui mekanisme musyawarah para elit
partai politik. Dalam konteks pemilihan kepala daerah, dapat dimaknai bahwa jika
hendak menggunakan sarana partai politik, maka dominasi kendali sekaligus hak
untuk menentukan siapa sosok yang akan ditasbihkan sebagai kandidat calon
kepala daerah, sepenuhnya berada dalam genggaman partai politik.
Oleh karena itu, menarik untuk dicermati bahwa diberbagai
daerah otonom yang akan menggelar pemilihan kepala daerah, ada beberapa partai
politik yang bersikap jumawa dan berkeyakinan memiliki konstituen dengan jumlah
signifikan, tidak mau terburu-buru dan terbawa arus dalam menentukan sosok
kandidat calon kepala daerah. Bahkan dengan sesumbar menegaskan bahwa
pengumuman kandidat yang akan diusung partai politik tersebut dilakukan pada
saat last minute, dari penutupan tahapan
pendaftaran calon kepala daerah yang telah ditetapkan.
Setali tiga uang, praktik ini seringkali membuat
beberapa calon ketir-ketir, mengingat ada diantara mereka yang dinilai memiliki
kapasitas, tetapi jauh panggang dari sarana infrastruktur politik yang memadai.
Sehingga berbagai strategi turut dilakukan, baik itu dengan menggagas jalur
independen maupun dengan melakukan konsolidasi agar tetap mendapat dukungan
partai politik, demi tercapainya maksud dan tujuan dalam persaingan merebut atau
memepertahankan empuknya kursi kepala daerah.
Pada kesempatan yang sama, frasa dipilih dalam Kamus
Besar Bahasa Indonesia dimaknai sebagai hak untuk dipilih dalam pemilihan umum.
Dipilih dapat dianalogikan sebagai suatu rangkaian hak yang dimiliki masyarakat
untuk berpartispasi menyukseskan pemilihan kepala daerah. Artinya, dipilih
adalah bentuk aktualisasi masyarakat dalam menyalurkan pendapat sekaligus
keyakinannya dengan cara menentukan pilihan dari berbagai kandidat calon kepala
daerah.
Proses pemilihan kepala daerah menjadi menarik bahwa
ketika partai politik telah memilih sosok yang akan disandingkan untuk maju
dalam kontestasi pemilihan kepala daerah, maka selanjutnya secara normatif
masyarakat yang akan menilai apakah sosok calon tersebut layak untuk dipilih
sebagai kepala daerah pada masing-masing daerah otonom ?
Berbagai rangkaian yang terdapat dalam proses memilih
dan dipilih, seyogyanya akan bermuara pada frasa terpilih, yang mana dapat
ditafsirkan bahwa terpilih adalah sosok figur yang mampu mempadupadankan
berbagai potensi sehingga dapat mensinergikan seluruh proses memilih di
internal partai politik, juga dari proses dipilih melalui rangkaian hak suara masyarakat
yang dikonstruksikan dalam proses pemilihan kepala daerah.
Penutup
Beberapa waktu
kedepan dapat sama-sama dipersaksikan, bahwa pada beberapa daerah otonom akan menabuh
genderang perang dalam konteks pemilihan kepala daerah, khususnya melalui tahapan
pendaftaran calon kepala daerah. Oleh karena itu, segala sesuatunya akan
menjadi terang benderang, bahwa partai politik hendak memilih siapa dalam
kontestasi pemilihan kepala daerah serentak ? serta apakah hasil permufakatan
dari partai politik dalam memilih calon kepala daerah tersebut, juga serta
merta akan dipilih oleh masyarakatnya ?
Tidak kalah
pentingnya, bahwa perlu adanya kesadaran menyeluruh dalam diri masyarakat, kesadaran
yang dimaknai sebagai suatu kewajiban dengan penuh rasa tanggung jawab, bahwa
sosok calon kepala daerah yang diusung dari partai politik belum tentu akan memberikan
dampak positif untuk perkembangan daerah otonom, begitu juga sebaliknya.
Terlebih lagi
jika ada calon incumbent yang hendak
bertarung kembali mempertahankan singgasana kepala daerah, tentu semakin mudah
dinilai apakah selama kepemimpinan calon
incumbent pada periode ini, telah mengimplementasikan seluruh janji yang
diumbar ? juga apakah calon incumbent
telah berpihak kepada masyarakat di daerahnya, baik dalam hal regulasi di daerah
maupun pada sektor pembangunan ? juga apakah calon incumbent telah sejalan dengan asas good governance and clean government ?
Andaikata
seluruh perihal tersebut hanya menjadi pepesan kosong selama kepemimpinan calon incumbent, sudah sepantasnya masyarakat
tanpa ada keraguan, memiliki kewajiban untuk berpihak pada kandidat calon
kepala daerah lainnya, mengingat berbagai cerminan sikap dan tindakan calon incumbent pada masa sekarang ini.
Semoga saja masyarakat di masing-masing daerah otonom tidak bersikap acuh tak
acuh dalam menghadapi pemilihan kepala daerah, dan kiranya terpilih para calon
kepala daerah yang dapat merepresentasikan masyarakat didaerahnya. Semoga!
*Tulisan ini juga dimuat pada Harian Waspada, Rabu 21 September 2016
[1]
Penulis adalah PNS di Sekretariat Majelis Permusyawaratan Ulama
Aceh Tamiang. Staf Pengajar
Program
Magister Ilmu Hukum UMA dan UMSU.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar