Sabtu, 22 Oktober 2016

Konfigurasi Pemakzulan

Konfigurasi Pemakzulan
Oleh: Dr. Cakra Arbas, SH.I, MH.[1]

Wujud penyelenggaraan pemerintahan yang berlandaskan nuansa demokratis, salah satunya dinilai berdasarkan proses dan mekanisme ketika dilakukannya pergantian para pejabat, khususnya bagi pejabat yang melekat status dalam jabatan publik dan jabatan politik. Empuknya kursi jabatan sering memicu gesekan dalam proses pergantian jabatan, tanpa terkecuali dalam proses mendapatkan dan mempertahankan jabatan patut diduga tidak terhindarkan berbagai cara yang dinilai bertentangan dengan norma hukum.
Bahwa perlu adanya pemahaman para penyelenggaraan pemerintahan, dalam hal ini jabatan dari aspek yuridis adalah suatu amanat dari peraturan perundang-undangan, serta dalam memaknai jabatan dapat dipastikan melekat berbagai tugas pokok dan fungsi, sekaligus beberapa kewajiban dan larangan ketika mengemban jabatan dimaksud. Dengan demikian, menjadi sesuatu yang lumrah kiranya manakala dalam suatu jabatan, adanya proses pergantian pejabat terlepas dari berbagai latar belakang yang melingkupinya, baik yang didasari atas pertimbangan hukum maupun pertimbangan politik.
Menariknya tidak seluruh pejabat yang berkedudukan dalam jabatan publik dan jabatan politik, mampu bersikap lapang dada tatkala jabatannya dimakzulkan dengan berbagai rangkaian proses politik, yang mana turut dilingkupi atas pertimbangan politik. Oleh karena itu, seyogyanya para pejabat hendaknya memiliki paradigma bahwa suatu jabatan publik dan jabatan politik, tidak menutup kemungkinan dapat dilakukan proses pemakzulan, khususnya melalui konfigurasi hukum dan politik.
Artinya konfigurasi pemakzulan atas jabatan, dapat dipahami tidak hanya terjadi dengan menimbang berbagai norma perundang-undangan semata, akan tetapi lazimnya suatu pemakzulan juga dapat dipicu atas realita dinamika  substruktur politik, yang notabene berposisi sebagai representasi masyarakat dalam merespon berbagai wacana dalam penyelenggaraan pemerintahan.   

Pemakzulan Kepala Daerah
Eksistensi kepala daerah melalui berbagai kewenangan yang dimilikinya, acapkali menggiurkan individu masyarakat untuk saling berkompetisi melalui fase pemilihan kepala daerah. Meskipun faktanya terdapat beberapa daerah otonom yang dalam proses pemilihan kepala daerah hanya memiliki calon tunggal, tetapi secara garis besar hajatan pemilihan kepala daerah dapat menarik simpati masyarakat, yang berpartisipasi secara aktif mulai dari proses pencalonan sampai pada tahapan pemungutan suara.
Betapa tidak menggiurkan, dikarenakan kepala daerah pada prinsipnya mengemban dua kualifikasi jabatan, yaitu: Pertama, kepala daerah berkedudukan sebagai jabatan publik. Kedua, kepala daerah berkedudukan sebagai jabatan politik. Atas kualifikasi tersebut, wajar kiranya betapa masif dambaan semua pihak agar dapat berkesempatan menjadi yang nomor satu di daerah otonom.
Sebagai salah satu unsur penyelenggara pemerintahan, kepala daerah dapat diposisikan dalam jabatan yang berkategori rawan akan praktik pemakzulan, setidak-tidaknya hal ini dapat dicermati bahwa pasca reformasi, dan pasca penerapan pemilihan kepala daerah secara langsung oleh masyarakatnya, tercatat ada beberapa peristiwa yang bernuansa dalam konfigurasi pemakzulan, terlepas apakah dari pertimbangan hukum, maupun dinamika politik lokal.
Secara normatif, Undang-undang tentang Pemerintahan Daerah mengamanatkan bahwa kepala daerah dapat lengser dari jabatannya dikarenakan dua faktor, yaitu: Pertama, faktor yang bersifat alami seperti meninggal dunia dan mengundurkan diri atas permintaan sendiri. Kedua, faktor yang bersifat non alami yaitu diberhentikan, tentu proses pemberhentian tersebut setelah memenuhi unsur yang dipersyaratkan, dan menariknya faktor non alami sering tercipta atas konfigurasi hukum dan politik.
Pada frasa norma berikutnya, kepala daerah dapat diberhentikan dengan beberapa persyaratan, diantaranya: Pertama, diberhentikan oleh karena dinyatakan melanggar sumpah/janji jabatan kepala daerah. Kedua, diberhentikan oleh karena tidak melaksanakan kewajiban kepala daerah, seperti:  mengembangkan kehidupan demokrasi, menjaga etika dan norma dalam pelaksanaan urusan pemerintahan, menerapkan prinsip tata pemerintahan yang bersih dan baik.
Ketiga, diberhentikan oleh karena melanggar larangan bagi kepala daerah, seperti: membuat keputusan yang secara khusus memberikan keuntungan pribadi/keluarga/kroni/golongan tertentu, membuat kebijakan yang merugikan kepentingan umum dan meresahkan sekelompok masyarakat atau mendiskriminasikan warga masyarakat, menyalahgunakan wewenang yang menguntungkan diri sendiri. Keempat, melakukan perbuatan tercela, seperti: berjudi, mabuk, pemakai/pengedar narkoba, berzina, dan melanggar kesusilaan lainnya.
Lantas yang menjadi pertanyaan, apakah kepala daerah pada masing-masing daerah otonom tempat berpijak telah terhindar dari kualifikasi dapat diberhentikan ? atau jangan-jangan patut diduga bahwa kepala daerah tersebut telah bergelimang dalam berbagai macam permasalahan yang notabene selaras dengan persyaratan untuk diberhentikan ? kemudian akankah konfigurasi politik di daerah otonom mampu memakzulkan kepala daerah tersebut ?
Faktanya keseluruhan formulasi persyaratan dalam rangka memakzulkan kepala daerah, yang diduga terindikasi melakukan berbagai perbuatan dalam kategori dapat diberhentikan, hanya akan menjadi angin lalu. Khususnya, hal ini jika tanpa adanya konfigurasi substruktur politik yang melekat pada lembaga legislatif di daerah otonom tersebut, mengingat sesuai dengan amanat peraturan perundang-undangan bahwa proses pemakzulan kepala daerah wajib berdasarkan atas usul lembaga legislatif.
Dengan demikian, lembaga legislatif akan diuji melalui sensitifitas dalam merespon berbagai wacana pemakzulan yang mengelilingi kepala daerah, sekaligus juga diuji akankah lembaga legislatif mampu bertindak responsif menyahuti aspirasi masyarakatnya ? manakala kepala daerah telah terindikasi memenuhi kualifikasi untuk diberhentikan.

Penutup
Hendaknya kepala daerah memiliki kesadaran dan tanggung jawab atas jabatan yang diembannya, mengingat tidak ada jabatan publik dan jabatan politik khususnya jabatan kepala daerah, walaupun berdasarkan pemilihan secara langsung sekalipun, dapat kebal dari proses pemakzulan. Semoga kepala daerah mau dan mampu untuk mematuhi segala amanat peraturan perundang-undangan, agar terhindar dari proses pemakzulan. Semoga!
*Tulisan ini juga dimuat pada Harian Waspada, Rabu 19 Oktober 2016



[1]  Penulis adalah PNS di Sekretariat Majelis Permusyawaratan Ulama Aceh Tamiang. Staf Pengajar Program Magister Ilmu Hukum UMA dan UMSU

Tidak ada komentar:

Posting Komentar