Konfigurasi
Pemakzulan
Wujud
penyelenggaraan pemerintahan yang berlandaskan nuansa demokratis, salah satunya
dinilai berdasarkan proses dan mekanisme ketika dilakukannya pergantian para
pejabat, khususnya bagi pejabat yang melekat status dalam jabatan publik dan
jabatan politik. Empuknya kursi jabatan sering memicu gesekan dalam proses
pergantian jabatan, tanpa terkecuali dalam proses mendapatkan dan
mempertahankan jabatan patut diduga tidak terhindarkan berbagai cara yang dinilai
bertentangan dengan norma hukum.
Bahwa perlu
adanya pemahaman para penyelenggaraan pemerintahan, dalam hal ini jabatan dari
aspek yuridis adalah suatu amanat dari peraturan perundang-undangan, serta
dalam memaknai jabatan dapat dipastikan melekat berbagai tugas pokok dan
fungsi, sekaligus beberapa kewajiban dan larangan ketika mengemban jabatan
dimaksud. Dengan demikian, menjadi sesuatu yang lumrah kiranya manakala dalam
suatu jabatan, adanya proses pergantian pejabat terlepas dari berbagai latar belakang
yang melingkupinya, baik yang didasari atas pertimbangan hukum maupun
pertimbangan politik.
Menariknya
tidak seluruh pejabat yang berkedudukan dalam jabatan publik dan jabatan
politik, mampu bersikap lapang dada tatkala jabatannya dimakzulkan dengan
berbagai rangkaian proses politik, yang mana turut dilingkupi atas pertimbangan
politik. Oleh karena itu, seyogyanya para pejabat hendaknya memiliki paradigma
bahwa suatu jabatan publik dan jabatan politik, tidak menutup kemungkinan dapat
dilakukan proses pemakzulan, khususnya melalui konfigurasi hukum dan politik.
Artinya konfigurasi
pemakzulan atas jabatan, dapat dipahami tidak hanya terjadi dengan menimbang
berbagai norma perundang-undangan semata, akan tetapi lazimnya suatu pemakzulan
juga dapat dipicu atas realita dinamika
substruktur politik, yang notabene berposisi sebagai representasi
masyarakat dalam merespon berbagai wacana dalam penyelenggaraan pemerintahan.
Pemakzulan
Kepala Daerah
Eksistensi kepala daerah melalui berbagai
kewenangan yang dimilikinya, acapkali menggiurkan individu masyarakat untuk
saling berkompetisi melalui fase pemilihan kepala daerah. Meskipun faktanya
terdapat beberapa daerah otonom yang dalam proses pemilihan kepala daerah hanya
memiliki calon tunggal, tetapi secara garis besar hajatan pemilihan kepala
daerah dapat menarik simpati masyarakat, yang berpartisipasi secara aktif mulai
dari proses pencalonan sampai pada tahapan pemungutan suara.
Betapa tidak menggiurkan, dikarenakan
kepala daerah pada prinsipnya mengemban dua kualifikasi jabatan, yaitu: Pertama, kepala daerah berkedudukan
sebagai jabatan publik. Kedua, kepala
daerah berkedudukan sebagai jabatan politik. Atas kualifikasi tersebut, wajar
kiranya betapa masif dambaan semua pihak agar dapat berkesempatan menjadi yang
nomor satu di daerah otonom.
Sebagai salah satu unsur penyelenggara
pemerintahan, kepala daerah dapat diposisikan dalam jabatan yang berkategori
rawan akan praktik pemakzulan, setidak-tidaknya hal ini dapat dicermati bahwa
pasca reformasi, dan pasca penerapan pemilihan kepala daerah secara langsung
oleh masyarakatnya, tercatat ada beberapa peristiwa yang bernuansa dalam
konfigurasi pemakzulan, terlepas apakah dari pertimbangan hukum, maupun
dinamika politik lokal.
Secara normatif, Undang-undang tentang
Pemerintahan Daerah mengamanatkan bahwa kepala daerah dapat lengser dari
jabatannya dikarenakan dua faktor, yaitu: Pertama,
faktor yang bersifat alami seperti meninggal dunia dan mengundurkan diri atas
permintaan sendiri. Kedua, faktor
yang bersifat non alami yaitu diberhentikan, tentu proses pemberhentian
tersebut setelah memenuhi unsur yang dipersyaratkan, dan menariknya faktor non
alami sering tercipta atas konfigurasi hukum dan politik.
Pada frasa norma berikutnya, kepala daerah
dapat diberhentikan dengan beberapa persyaratan, diantaranya: Pertama, diberhentikan oleh karena
dinyatakan melanggar sumpah/janji jabatan kepala daerah. Kedua, diberhentikan oleh karena tidak melaksanakan kewajiban
kepala daerah, seperti: mengembangkan
kehidupan demokrasi, menjaga etika dan norma dalam pelaksanaan urusan
pemerintahan, menerapkan prinsip tata pemerintahan yang bersih dan baik.
Ketiga,
diberhentikan oleh karena melanggar larangan bagi kepala daerah, seperti:
membuat keputusan yang secara khusus memberikan keuntungan
pribadi/keluarga/kroni/golongan tertentu, membuat kebijakan yang merugikan
kepentingan umum dan meresahkan sekelompok masyarakat atau mendiskriminasikan
warga masyarakat, menyalahgunakan wewenang yang menguntungkan diri sendiri. Keempat, melakukan perbuatan tercela,
seperti: berjudi, mabuk, pemakai/pengedar narkoba, berzina, dan melanggar
kesusilaan lainnya.
Lantas yang menjadi pertanyaan, apakah
kepala daerah pada masing-masing daerah otonom tempat berpijak telah terhindar
dari kualifikasi dapat diberhentikan ? atau jangan-jangan patut diduga bahwa
kepala daerah tersebut telah bergelimang dalam berbagai macam permasalahan yang
notabene selaras dengan persyaratan untuk diberhentikan ? kemudian akankah
konfigurasi politik di daerah otonom mampu memakzulkan kepala daerah tersebut ?
Faktanya keseluruhan formulasi persyaratan
dalam rangka memakzulkan kepala daerah, yang diduga terindikasi melakukan
berbagai perbuatan dalam kategori dapat diberhentikan, hanya akan menjadi angin
lalu. Khususnya, hal ini jika tanpa adanya konfigurasi substruktur politik yang
melekat pada lembaga legislatif di daerah otonom tersebut, mengingat sesuai
dengan amanat peraturan perundang-undangan bahwa proses pemakzulan kepala
daerah wajib berdasarkan atas usul lembaga legislatif.
Dengan demikian, lembaga legislatif akan
diuji melalui sensitifitas dalam merespon berbagai wacana pemakzulan yang
mengelilingi kepala daerah, sekaligus juga diuji akankah lembaga legislatif
mampu bertindak responsif menyahuti aspirasi masyarakatnya ? manakala kepala
daerah telah terindikasi memenuhi kualifikasi untuk diberhentikan.
Penutup
Hendaknya kepala daerah memiliki kesadaran
dan tanggung jawab atas jabatan yang diembannya, mengingat tidak ada jabatan
publik dan jabatan politik khususnya jabatan kepala daerah, walaupun
berdasarkan pemilihan secara langsung sekalipun, dapat kebal dari proses
pemakzulan. Semoga kepala daerah mau dan mampu untuk mematuhi segala amanat
peraturan perundang-undangan, agar terhindar dari proses pemakzulan. Semoga!
*Tulisan ini juga dimuat pada Harian Waspada, Rabu 19 Oktober 2016
[1]
Penulis adalah PNS di Sekretariat Majelis Permusyawaratan Ulama
Aceh Tamiang. Staf Pengajar
Program
Magister Ilmu Hukum UMA dan UMSU
Tidak ada komentar:
Posting Komentar