Selasa, 13 September 2016

Dewan di Daerah

Dewan di Daerah
Oleh: Dr. Cakra Arbas, SH.I, MH.[1]

Sejalan dengan amanat konstitusi, maka dalam menyelenggarakan pemerintahan di Indonesia akan terdapat beberapa dikotomi kewenangan antara kekuasaan yang satu dan lainnya. Hal ini tanpa terkecuali turut diimplementasikan diberbagai daerah otonom, baik disematkan kekhususan dan keistimewaan, maupun berlaku secara umum, yang berdasarkan pada asas otonomi dan tugas pembantuan.
Menariknya bahwa dalam menyelenggarakan pemerintahan daerah, diperlukan adanya sinergitas antara Kepala Daerah dengan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD), demi terwujudnya otonomi daerah yang sesuai akan hakikatnya. Oleh karena itu, baik atau buruknya penyelenggaraan pemerintahan daerah seluruhnya terletak pada pundak Kepala Daerah dan anggota DPRD.
Mengingat baik itu Kepala Daerah maupun anggota DPRD pada prinsipnya sama-sama dipilih secara demokratis oleh masyarakat dimasing-masing daerah otonom. Sehingga ada beberapa hak yang dimiliki oleh Kepala Daerah juga dimiliki oleh anggota DPRD, seperti halnya dalam proses penggajian.
Terkait penggajian, saat ini sedang disuarakan bahwa sudah belasan tahun gaji yang diterima anggota DPRD tidak berbanding lurus dengan gaji yang dimiliki oleh Kepala Daerah, sehingga adanya aspirasi untuk menaikkan gaji anggota DPRD tersebut. Lantas, apakah sudah cukup tepat pada masa sekarang ini pemerintah menaikkan gaji anggota DPRD ?
Fatamorgana Kompetensi
Bahwa pada hakikatnya anggota DPRD memiliki beberapa fungsi, yaitu : Pertama, fungsi legislasi yang meliputi, hak inisiatif (prakarsa), hak amandemen. Umumnya fungsi ini lazim ditemui khususnya pada berbagai program legislasi yang ada di daerah otonom tersebut, pada kesempatan yang sama fungsi ini akan sangat jarang memantik friksi, dikarenakan berbagai regulasi yang dibentuk acapkali hasil permufakatan antara anggota DPRD dengan Kepala Daerah.   
Kedua, fungsi anggaran, pada fungsi ini tidak jarang memicu friksi dilapangan, manakala tidak tercapai pembahagian beserta alokasi anggaran yang diinginkan oleh anggota DPRD dengan Kepala Daerah, baik dalam pelaksanaan maupun melalui program penyerapan anggaran. Sehingga sering dipertontonkan bahwa ada beberapa daerah otonom yang tertunda pembahasan RAPBD (Rancangan Anggaran Pendapatan Belanja Daerah).
Ketiga, fungsi pengawasan yang meliputi, hak petisi (untuk mengajukan pertanyaan atau menyatakan pendapat), hak interpelasi (tanggapan atas pertanggungjawaban pihak Kepala Daerah), dan hak angket (untuk menyebar pertanyaan berupa angket kepada publik yang sasarannya mengetahui pendapat publik atas kebijakan dan tindakan Kepala Daerah).
Fungsi pengawasan pada hakikatnya merupakan salah satu cara bagi anggota DPRD untuk melakukan check and balance, atas kinerja Kepala Daerah tanpa terkecuali seluruh satuan kerja yang dinaunginya. Akan tetapi, kadangkala fungsi pengawasan sering diibaratkan bagai sebuah pisau, yang mana tajam disatu sisi dan tumpul disisi lainnya.
Artinya, sering dipersaksikan pada berbagai daerah otonom bahwa jika sosok Kepala Daerah adalah pemilik modal mayoritas pada daerah otonom, atau jika sosok Kepala Daerah adalah figur yang mampu menggerakkan infrastruktur politik, maka telah menjadi rahasia umum bahwa DPRD tidak mampu berkutik untuk melaksanakan berbagai fungsi yang melekat. Begitu juga sebaliknya, bahwa jika sosok Kepala Daerah bukan dikategorikan sebagai pemilik modal mayoritas dan bukan sebagai figur utama pada infrastruktur politik, maka tidak jarang DPRD menjadi buas dan liar untuk menjalankan fungsi yang melekat pada dirinya.
Dengan demikian, dapat dipahami bahwa ketidakmampuan DPRD dalam melakukan check and balance, umumnya tidak didasari atas pertimbangan objektif, melainkan lebih mengedepankan nilai subjektifitas, sehingga heavy power yang terdapat pada DPRD tidak dapat dimaksimalkan dan hanya menjadi sebuah fatamorgana.
   
Rasionalisasi Gaji
Beberapa hari belakangan ini, terkait dengan eksistensi DPRD sontak menimbulkan polemik, baik dikalangan anggota DPRD itu sendiri maupun oleh sebahagian masyarakat yang berkepentingan. Betapa tidak, bahwa dalam suatu forum Presiden Republik Indonesia berjanji sembari menunjukkan secara simbolis bahwa regulasi tentang gaji anggota DPRD yang dinaikkan telah disetujui, hanya saja ketika itu Presiden menegaskan bahwa momentumnya yang belum tepat.
Sehingga cepat atau lambat, gaji anggota DPRD tentu akan dinaikkan meskipun dalam penerapannya akan merujuk pada asas asimetris, yang disesuaikan dengan kemampuan keuangan masing-masing daerah otonom. Sudah barang tentu pada satu sisi terkait hal ini adalah sesuatu yang wajar, mengingat kedudukan anggota DPRD sekaligus menimbang berbagai realitas ekonomi khususnya yang terkait dengan inflasi.
Namun demikian, besarnya harapan masyarakat agar peningkatan gaji yang dimiliki oleh anggota DPRD, kiranya dapat dibarengi dengan memaksimalkan berbagai kompetensi yang melekat, sehingga penyelenggaraan pemerintahan daerah berjalan sesuai dengan hakikatnya. Terlebih lagi dengan meningkatnya gaji tersebut, sudah sepantasnya anggota DPRD tetap mengedepankan objektifitas, khususnya dalam fungsi pengawasan.
  
Penutup
Seyogyanya ketika anggota DPRD menyadari sekaligus memahami hakikat dari kedudukan serta kompetensi yang dimilikinya, niscaya penyelenggaraan pemerintahan di daerah otonom akan mampu memberikan kesejahteraan bagi masyarakat, sesuai dengan tujuan otonomi daerah. Justru sebaliknya jika anggota DPRD bersikap acuh tak acuh dalam melaksanakan check and balance, atas berbagai tindak tanduk perbuatan Kepala Daerah, maka niscaya kemunduran daerah otonom tidak dapat terhindarkan.
Semoga saja dengan lahirnya regulasi yang melegitimasi kenaikan gaji anggota DPRD, kiranya dapat menjadi stimulan bagi anggota DPRD untuk berpikir dan bertindak secara profesional, tanpa tedeng aling-aling menjalankan berbagai fungsi yang dimiliki, khususnya dalam hal fungsi pengawasan dengan menjunjung tinggi nilai objektifitas. Semoga!
*Tulisan ini juga dimuat pada Harian Waspada, Kamis 8 September 2016 



[1]  Penulis adalah PNS di Sekretariat Majelis Permusyawaratan Ulama Aceh Tamiang. Staf Pengajar Program Magister Ilmu Hukum UMA dan UMSU.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar