Kamis, 25 Agustus 2016

Warga Dalam Negara

Warga Dalam Negara
Oleh: Dr. Cakra Arbas, SH.I, MH.[1]

Istilah negara pada hakikatnya telah dimunculkan jauh hari sebelum dikenal adanya negara moderen dewasa ini. Dalam berbagai riwayat ditegaskan bahwa negara telah dikenal sejak zaman reinassance pada abad ke-15, yang dipopulerkan dengan berbagai kosakata asing sesuai dengan tempat wilayahnya. Berbagai metamorfosa turut melingkupi adagium negara sesuai dengan perkembangan zaman, khususnya mengenai unsur-unsur yang dipersyaratkan dalam membentuk suatu negara.
Untuk menyatukan paradigma, alangkah baiknya ditelaah pandangan R. Djokosoetono tentang negara, dalam hal ini menyatakan bahwa negara adalah suatu organisasi manusia atau kumpulan manusia yang berada di bawah suatu pemerintahan yang sama. (R. Djokosoetono, 2006) artinya dapat dipahami bahwa manusia yang diafiliasikan sebagai rakyat adalah salah satu unsur bernilai substansi dalam suatu negara, tentu hal ini tanpa bermaksud mengeliminir keberadaan unsur-unsur lainnya.
Berdasarkan kajian ketatanegaraan, rakyat tersebut dapat diklasifikasi pada dua kriteria, yaitu: Pertama, disebut sebagai penduduk adalah mereka yang bertempat tinggal dalam wilayah suatu negara. Dalam hal ini, penduduk terdiri atas warga negara dan yang bukan warga negara (warga negara asing).  Kedua, disebut sebagai bukan penduduk adalah mereka yang berada dalam wilayah suatu negara, tetapi tanpa bermaksud menetap pada negara yang bersangkutan. Pada kesempatan yang sama, perbedaan penduduk dan bukan penduduk juga menimbulkan konsekuensi berupa hak dan kewajiban yang berbeda.
Menariknya bahwa dalam era globalisasi, acapkali warga negara dituntut mampu melakukan mobilitas yang dinamis dari satu negara ke negara yang lain. Sehingga tidak jarang ada beberapa negara moderen menerapkan asas kewarganegaraan bipatride (dwi kewarganegaraan), lantas urgensikah negara Indonesia turut mengakomodir asas bipatride tersebut ?

Warga Negara Di Indonesia
Terkait dengan warga negara, sebagai norma hukum tertinggi UUDNRI Tahun 1945, khususnya melalui amanat Pasal 26 (1) menyatakan bahwa “yang menjadi warga negara ialah orang-orang bangsa Indonesia asli dan orang-orang bangsa lain yang disahkan dengan Undang-undang sebagai warga negara”, selanjutnya melalui amanat Pasal 26 (2) menyatakan bahwa “penduduk ialah warga negara Indonesia dan orang asing yang bertempat tinggal di Indonesia”.
Selanjutnya kedua amanat tersebut, dijabarkan melalui Undang-Undang No. 12 Tahun 2006 tentang Kewarganegaraan Republik Indonesia, dalam hal ini substansi materi dari norma yang diberlakukan mengatur beberapa perihal teknis, diantaranya: Pertama, siapa yang menjadi warga negara Indonesia. Kedua, syarat dan tata cara memperoleh kewarganegaraan Republik Indonesia. Ketiga, kehilangan kewarganegaraan Republik Indonesia. Keempat, syarat dan tata cara untuk memperoleh kembali kewarganegaraan Republik Indonesia.
Faktanya beberapa hari menjelang perayaan kemerdekaan Republik Indonesia ke-71, rakyat seakan tersentak ketika menyadari bahwa ada penduduk di Indonesia yang dikategorikan sebagai salah satu putra terbaik bangsa, yang diduga dengan penuh keyakinan telah memenuhi unsur, atas terjadinya suatu keadaan hukum berupa kehilangan kewarganegaraan Republik Indonesia.
Patut untuk dipahami, bahwa peristiwa tersebut terjadi dikarenakan filosofi kewarganegaraan di Republik Indonesia, didasari pada beberapa asas dalam memberlakukan norma melalui Undang-Undang tentang Kewarganegaraan, yaitu: Pertama, asas ius sanguinis (asas keturunan) yaitu kewarganegaraan seseorang didasarkan atas kewarganegaraan orang tuanya. Kedua, asas ius soli terbatas (asas teritorial) yaitu kewarganegaraan seseorang didasarkan pada tempat ia dilahirkan.
Ketiga, asas kewarganegaraan tunggal. Keempat, asas kewarganegaraan ganda terbatas yaitu bagi yang masih digolongkan anak-anak di bawah usia 18 tahun. Kelima, asas pewarganegaraan (naturalisasi) yaitu seseorang yang berkewarganegaraan asing mengajukan permohonan untuk menjadi warga negara Indonesia, dengan memenuhi syarat-syarat dan prosedur yang ditetapkan.
Berkaca atas peristiwa tersebut, kini mulai terdengar adanya sejumlah aspirasi dari elemen sipil dalam wilayah Indonesia, yang menyuarakan agar pemerintah Republik Indonesia mau dan mampu untuk mengakomodir bipatride (dwi kewarganegaraan). Salah satunya melalui revisi atas Undang-Undang tentang Kewarganegaraan, menyikapi hal ini seyogyanya pemerintah perlu mengkaji secara mendetail dan mendalam, terkait urgensikah penerapan dwi kewarganegaraan pada masa sekarang ini ?

Solusi, Sumbangsih
Pada sisi yang lain, memang benar bahwa saat ini tidak menutup kemungkinan terdapat putra dan putri terbaik bangsa, yang sedang mengabdikan dirinya pada negara-negara lain. Bahkan bisa saja atas berbagai latar belakang yang melingkupinya diduga ada yang lebih memilih kehilangan kewarganegaraan Republik Indonesia.
Lantas apakah mereka yang telah kehilangan kewarganegaraan Republik Indonesia, menjadi hina dina dan terlarang untuk berkontribusi memberikan sumbangsih, baik melalui pemikiran dan tindakan nyata dalam proses pembangunan negara Indonesia yang lebih baik ? secara legal yuridis formal, dapat disadari bahwa bagi mereka yang telah kehilangan kewarganegaraan, atau telah menjadi warga negara asing, untuk saat ini tidak dibenarkan secara hukum menduduki posisi strategis khususnya dalam pemerintahan.
Akan tetapi, secara informal bukankah mereka yang telah menjadi warga negara asing atau yang murni berasal dari negara lain, tetap dapat diberi kesempatan memberikan sumbangsih demi kemajuan pembangunan negara Indonesia. Setidak-tidaknya mereka yang dikategorikan dalam kelompok expert dan profesional pada masing-masing bidang keahlian, dapat berpartisipasi untuk menjadi tim ahli atau tim penasehat, dalam menentukan suatu kebijakan.
Semoga dengan adanya dikotomi warga dalam negara, antara warga negara Indonesia dan warga negara asing, kiranya dapat menjalin sekaligus mempererat rasa nasionalisme. Sekaligus beriringan langkah memberikan kontribusi nyata yang bersifat konstruktif baik melalui pemikiran maupun tindakan. Semoga
*Tulisan ini juga dimuat pada Harian Waspada, Rabu 24 Agustus 2016



[1]  Penulis adalah PNS di Sekretariat Majelis Permusyawaratan Ulama Aceh Tamiang. Staf Pengajar Program Magister Ilmu Hukum UMA dan UMSU.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar