Warga Dalam
Negara
Istilah negara pada
hakikatnya telah dimunculkan jauh hari sebelum dikenal adanya negara moderen
dewasa ini. Dalam berbagai riwayat ditegaskan bahwa negara telah dikenal sejak
zaman reinassance pada abad ke-15,
yang dipopulerkan dengan berbagai kosakata asing sesuai dengan tempat
wilayahnya. Berbagai metamorfosa turut melingkupi adagium negara sesuai dengan
perkembangan zaman, khususnya mengenai unsur-unsur yang dipersyaratkan dalam
membentuk suatu negara.
Untuk menyatukan paradigma,
alangkah baiknya ditelaah pandangan R. Djokosoetono tentang negara, dalam hal
ini menyatakan bahwa negara adalah suatu organisasi manusia atau kumpulan manusia
yang berada di bawah suatu pemerintahan yang sama. (R. Djokosoetono, 2006)
artinya dapat dipahami bahwa manusia yang diafiliasikan sebagai rakyat adalah
salah satu unsur bernilai substansi dalam suatu negara, tentu hal ini tanpa
bermaksud mengeliminir keberadaan unsur-unsur lainnya.
Berdasarkan kajian
ketatanegaraan, rakyat tersebut dapat diklasifikasi pada dua kriteria, yaitu: Pertama, disebut sebagai penduduk adalah
mereka yang bertempat tinggal dalam wilayah suatu negara. Dalam hal ini,
penduduk terdiri atas warga negara dan yang bukan warga negara (warga negara
asing). Kedua, disebut sebagai bukan penduduk adalah mereka yang berada dalam wilayah suatu negara, tetapi tanpa bermaksud menetap
pada negara yang bersangkutan. Pada kesempatan yang sama,
perbedaan penduduk dan bukan penduduk juga menimbulkan konsekuensi berupa hak dan kewajiban yang berbeda.
Menariknya bahwa dalam era
globalisasi, acapkali warga negara dituntut mampu melakukan mobilitas yang
dinamis dari satu negara ke negara yang lain. Sehingga tidak jarang ada
beberapa negara moderen menerapkan asas kewarganegaraan bipatride (dwi kewarganegaraan), lantas urgensikah negara Indonesia
turut mengakomodir asas bipatride
tersebut ?
Warga Negara Di
Indonesia
Terkait dengan warga negara, sebagai norma hukum tertinggi UUDNRI Tahun 1945,
khususnya melalui amanat Pasal 26 (1) menyatakan bahwa “yang menjadi warga negara ialah orang-orang bangsa Indonesia asli dan
orang-orang bangsa lain yang disahkan dengan Undang-undang sebagai warga negara”,
selanjutnya melalui amanat Pasal 26 (2) menyatakan bahwa “penduduk ialah warga negara Indonesia dan orang asing yang bertempat
tinggal di Indonesia”.
Selanjutnya kedua amanat tersebut, dijabarkan melalui Undang-Undang No.
12 Tahun 2006 tentang Kewarganegaraan Republik Indonesia, dalam hal ini
substansi materi dari norma yang diberlakukan mengatur beberapa perihal teknis,
diantaranya: Pertama, siapa yang
menjadi warga negara Indonesia. Kedua,
syarat dan tata cara memperoleh kewarganegaraan Republik Indonesia. Ketiga, kehilangan kewarganegaraan
Republik Indonesia. Keempat, syarat
dan tata cara untuk memperoleh kembali kewarganegaraan Republik Indonesia.
Faktanya beberapa hari menjelang perayaan kemerdekaan Republik Indonesia
ke-71, rakyat seakan tersentak ketika menyadari bahwa ada penduduk di Indonesia
yang dikategorikan sebagai salah satu putra terbaik bangsa, yang diduga dengan
penuh keyakinan telah memenuhi unsur, atas terjadinya suatu keadaan hukum
berupa kehilangan kewarganegaraan Republik Indonesia.
Patut untuk dipahami, bahwa peristiwa tersebut terjadi dikarenakan
filosofi kewarganegaraan di Republik Indonesia, didasari pada beberapa asas dalam
memberlakukan norma melalui Undang-Undang tentang Kewarganegaraan, yaitu: Pertama, asas ius sanguinis (asas keturunan) yaitu kewarganegaraan
seseorang didasarkan atas kewarganegaraan orang tuanya. Kedua, asas ius soli terbatas (asas teritorial) yaitu kewarganegaraan seseorang didasarkan pada tempat ia dilahirkan.
Ketiga, asas kewarganegaraan tunggal. Keempat, asas kewarganegaraan ganda
terbatas yaitu bagi yang masih digolongkan anak-anak di bawah usia 18 tahun. Kelima, asas pewarganegaraan
(naturalisasi) yaitu seseorang yang
berkewarganegaraan asing mengajukan permohonan untuk menjadi warga negara Indonesia,
dengan memenuhi syarat-syarat dan prosedur yang ditetapkan.
Berkaca atas peristiwa tersebut, kini mulai terdengar adanya sejumlah
aspirasi dari elemen sipil dalam wilayah Indonesia, yang menyuarakan agar
pemerintah Republik Indonesia mau dan mampu untuk mengakomodir bipatride (dwi kewarganegaraan). Salah
satunya melalui revisi atas Undang-Undang tentang Kewarganegaraan, menyikapi
hal ini seyogyanya pemerintah perlu mengkaji secara mendetail dan mendalam,
terkait urgensikah penerapan dwi kewarganegaraan pada masa sekarang ini ?
Solusi, Sumbangsih
Pada sisi yang
lain, memang benar bahwa saat ini tidak menutup kemungkinan terdapat putra dan
putri terbaik bangsa, yang sedang mengabdikan dirinya pada negara-negara lain.
Bahkan bisa saja atas berbagai latar belakang yang melingkupinya diduga ada
yang lebih memilih kehilangan kewarganegaraan Republik Indonesia.
Lantas apakah
mereka yang telah kehilangan kewarganegaraan Republik Indonesia, menjadi hina
dina dan terlarang untuk berkontribusi memberikan sumbangsih, baik melalui
pemikiran dan tindakan nyata dalam proses pembangunan negara Indonesia yang
lebih baik ? secara legal yuridis formal, dapat disadari bahwa bagi mereka yang
telah kehilangan kewarganegaraan, atau telah menjadi warga negara asing, untuk
saat ini tidak dibenarkan secara hukum menduduki posisi strategis khususnya
dalam pemerintahan.
Akan tetapi,
secara informal bukankah mereka yang telah menjadi warga negara asing atau yang
murni berasal dari negara lain, tetap dapat diberi kesempatan memberikan
sumbangsih demi kemajuan pembangunan negara Indonesia. Setidak-tidaknya mereka
yang dikategorikan dalam kelompok expert
dan profesional pada masing-masing bidang keahlian, dapat berpartisipasi untuk
menjadi tim ahli atau tim penasehat, dalam menentukan suatu kebijakan.
Semoga dengan
adanya dikotomi warga dalam negara, antara warga negara Indonesia dan warga
negara asing, kiranya dapat menjalin sekaligus mempererat rasa nasionalisme. Sekaligus
beriringan langkah memberikan kontribusi nyata yang bersifat konstruktif baik
melalui pemikiran maupun tindakan. Semoga!
*Tulisan ini juga dimuat pada Harian Waspada, Rabu 24 Agustus 2016
[1]
Penulis adalah PNS di Sekretariat Majelis Permusyawaratan Ulama
Aceh Tamiang. Staf Pengajar
Program
Magister Ilmu Hukum UMA dan UMSU.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar