Jumat, 12 Agustus 2016

Tuah Mahkamah Konstitusi

Tuah Mahkamah Konstitusi
Oleh: Dr. Cakra Arbas, SH.I, MH.[1]

Mahkamah Konstitusi (MK) merupakan salah satu lembaga tinggi negara yang sejalan dengan dinamika konstitusi di Republik Indonesia, khususnya dinobatkan sebagai lembaga tinggi yang diberi kewenangan untuk menilai segala persoalan yang terjadi dalam hidup bermasyarakat, berdasarkan nilai-asas-norma yang diamanatkan oleh UUDNRI Tahun 1945.
Pasca reformasi, seiring besarnya antusias masyarakat yang berkeinginan terciptanya penyelenggaraan pemerintahan yang bernafaskan demokrasi, maka tidak jarang MK menganulir beberapa norma yang dinilai tidak lagi relevan dalam hidup bermasyarakat dan bernegara. Pada sisi yang lain, euforia demokrasi pemilihan kepala daerah secara langsung, acapkali menuntut MK untuk berjibaku memberikan berbagai tuahnya melalui berbagai keputusan, baik kepada bakal calon maupun para pihak yang berkontestasi, demi memenuhi asas kepastian hukum.
Bahkan meskipun beberapa waktu yang lalu MK mengalami beberapa terpaan badai terkait integritas pimpinannya, nyatanya masyarakat tidak surut menggantungkan harapan kepada majelis MK. Khususnya yang berkaitan dengan norma-norma yang mengatur tentang pelaksanaan pemilihan kepala daerah, berikut dengan penyelesaian sengketanya. Setidak-tidaknya hal ini telah mengindikasikan bahwa besarnya ekspektasi masyarakat kepada MK, agar mampu melindungi hak-hak masyarakatnya.
Kewenangan MK
Hakikatnya MK memiliki beberapa kewenangan, akan tetapi dalam konteks ini menarik untuk dicermati adalah beberapa kewenangan yang berkaitan secara langsung dalam penyelenggaraan pemilihan kepala daerah, yaitu: Pertama, menguji Undang-Undang terhadap UUDNRI Tahun 1945. dan Kedua, memutus perselisihan hasil pemilihan umum.
Pada poin yang pertama, dapat direview adanya dinamika dalam penerapan norma yang mengatur tentang pemilihan kepala daerah secara langsung, bahkan tidak jarang banyaknya revolusi atas regulasi yang digulirkan. Salah satunya yang masih hangat diperbincangkan ketika mengimplementasikan calon independen, dalam pemilihan kepala daerah secara langsung pada sekala nasional.
Pada poin yang kedua, tentu mengundang berbagai friksi oleh sebahagian kalangan, baik yang bersikap pro maupun kontra. Akan tetapi telah menjadi catatan sejarah bahwa dalam perkembangannya pemilihan kepala daerah beberapa waktu yang lalu, dinyatakan oleh Undang-Undang sebagai rezim dari pemilihan umum, dan yang terkini hal tersebut kembali dianulir oleh putusan MK itu sendiri.
Dengan demikian pemilihan kepala daerah bukanlah bahagian yang terintegrasi dari rezim pemilihan umum. Sehingga salah satu implikasi hukumnya yaitu MK tidak berwenang untuk mengadili dan memutus berbagai sengketa dari pelaksanaan pemilihan kepala daerah. Namun demikian, faktanya sejalan dengan Undang-Undang No. 10 Tahun 2016 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota, MK masih memiliki kewenangan untuk mengadili perselisihan pemilihan kepala daerah.
Sebagaimana amanat Pasal 157 (1) menyatakan bahwa “perkara perselisihan hasil pemilihan diperiksa dan diadili oleh badan peradilan khusus”, sekaligus amanat Pasal 157 (3) yang menyatakan bahwa “perkara perselisihan penetapan perolehan suara tahap akhir hasil pemilihan diperiksa dan diadili oleh Mahkamah Konstitusi sampai dibentuknya badan peradilan khusus”. Artinya dapat dipastikan bahwa segala perselihan dalam proses pemilihan kepala daerah di Tahun 2017, sepenuhnya adalah kewenangan dari MK.

Wacana Cuti Incumbent
Sebagaimana torehan catatan sejarah, setiap menghadapi momen pemilihan kepala daerah, seringkali masyarakat berkeyakinan bahwa ada beberapa norma dalam regulasi pemilihan kepala daerah yang dinilai mengimarginalkan hak masyarakatnya. Oleh karena itu banyak pihak mengajukan judicial review atas norma dimaksud, hal ini tidak jarang turut bedampak langsung dari proses penyelenggaraaan pemilihan kepala daerah, seperti yang terjadi pada pemilihan kepala daerah di Aceh tahun 2011, dimana telah terjadi empat kali penundaan, sehingga ketika itu pemilihan kepala daerah di Aceh baru dapat dilaksanakan pada 9 April 2012. (Cakra Arbas, 2012)
Hari-hari belakangan ini, dalam menyongsong pemilihan kepala daerah serentak di tahun 2017, kembali terdengar pemberitaan oleh media bahwa adanya pihak yang hendak melakukan judicial review atas norma yang diatur dalam regulasi pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota. Bahwa besarnya harapan dan keinginan dari salah satu incumbent yang hendak berkompetisi kembali menjadi pemimpin didaerah otonomnya, untuk tidak cuti dari jabatannya saat ini.
Sudah barang tentu peristiwa ini akan memantik friksi dilapisan masyarakat, bahkan jika MK tidak berhati-hati dalam memberi putusan atas judicial review tersebut, tidak menutup kemungkinan akan berimplikasi atas berbagai proses dan tahapan dari penyelenggaraan pemilihan kepala daerah. Dari sudut pandang yang berbeda, tanpa bermaksud melampaui kewenangan yang dimiliki MK, terkait dengan wacana judicial review norma cuti kampanye, setidak-tidaknya terdapat pertimbangan dari Undang-Undang tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota, mengapa diperlukan adanya cuti kampanye oleh incumbent.
Khususnya pada Pasal 71 (3) yang berbunyi “Gubernur atau Wakil Gubernur, Bupati atau Wakil Bupati, dan Walikota atau Wakil Walikota dilarang menggunakan kewenangan, program, dan kegiatan yang menguntungkan atau merugikan salah satu pasangan calon baik di daerah sendiri maupun di daerah lain dalam waktu enam bulan sebelum tanggal penetapan pasangan calon sampai dengan penetapan pasangan calon terpilih”.

Penutup
Babak baru pelaksanaan pemilihan kepala daerah di tahun 2017 akan segera bergulir, seiring dengan digelarnya perkara persidangan judicial review atas norma cuti kampanye incumbent. Apapun hasil dari putusan MK tersebut seyogyanya disambut dengan lapang dada, serta tetap memprioritaskan kepentingan masyarakat umum, mengingat putusan MK bersifat final dan mengikat. Sekaligus semoga saja MK dalam menggelar persidangan tersebut, kembali dapat memaksimalkan tugas pokok dan fungsinya, sehingga tuah MK dapat dinikmati melalui putusannya. Semoga!
*Tulisan ini juga dimuat pada Harian Waspada, Kamis 11 Agustus 2016



[1]  Penulis adalah PNS di Sekretariat Majelis Permusyawaratan Ulama Aceh Tamiang. Staf Pengajar Program Magister Ilmu Hukum UMA dan UMSU.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar