Sabtu, 06 Agustus 2016

Terjalkah Calon Independen ?

Terjalkah Calon Independen ?
Oleh: Dr. Cakra Arbas, SH.I, MH.[1]

Terjalkah calon independen ? begitulah kira-kira sekelumit pertanyaan yang terdapat dalam benak masyarakat, khususnya dalam mereview berbagai komitmen para elit politik dalam menyongsong pemilihan Kepala Daerah serentak di Tahun 2017, baik pada tataran ibukota negara maupun diberbagai daerah otonom lainnya.
Betapa tidak menggelitik masyarakat untuk bertanya tentang salah satu cara menjadi Kepala Daerah, khususnya melalui jalur calon independen. Hal ini dikarenakan merujuk dari penyelenggaraan pemilihan Kepala Daerah serentak di Tahun 2015 yang lalu, dapat dikatakan berbagai calon independen hampir tidak dapat mewujudkan niatnya untuk memimpin diberbagai daerah otonom, meskipun benar adanya bahwa terdapat beberapa calon independen yang unggul dari calon partai politik, namun demikian presentasenya cukup kecil.
Lantas, bisakah masyarakat berasumsi bahwa dengan pertimbangan tersebut, maka berimplikasi adanya sikap dejavu yang diperankan oleh para elit politik, sehingga dapat dicermati secara bersama-sama terkait pemberitaan yang telah dipublikasikan oleh berbagai media, kadangkala elit politik tidak jarang plintat-plintut, baik dalam bersikap maupun bertindak untuk berpartisipasi pada pesta demokrasi lokal secara serentak di awal Tahun 2017.

Konstitusi, Tuntas
Hakikatnya dalam menyikapi keberadaan calon independen tidak perlu ada friksi, dikarenakan legitimasi calon independen telah bernilai konstitusional. Artinya amanat konstitusi telah memberikan ruang bagi warga masyarakat seluas-luasnya, untuk berpartisipasi menjadi pemimpin di daerah otonom, baik melalui partai politik mapun dari jalur calon independen. (Cakra Arbas, 2012)
Begitu juga dengan berbagai peraturan organik yang berkewajiban melaksanakan amanat konstitusi dimaksud, dapat dicermati bahwa melalui Undang-Undang tentang Pemerintahan Daerah yang sejalan dengan asas lex generalis, turut mengakomodir eksistensi dari calon independen. Hal senada juga dapat ditelaah dalam beberapa peraturan organik yang sejalan dengan asas lex spesialis, khususnya dengan mendeskripsikan adanya daerah otonom yang bersifat istimewa dan khusus, faktanya turut memberi ruang bagi calon independen.
Dengan demikian, dapat dipahami bahwa secara normatif baik melalui amanat konstitusi maupun oleh peraturan organik, pada prinsipnya calon independen bukanlah sesuatu yang ilegal. Bahkan untuk beberapa hal, dapat dikategorikan bahwa jalur calon independen merupakan salah satu cara bagi negara dalam mengakui dan menghormati hak-hak warga masyarakatnya.
Akan tetapi, yang patut dikaji adalah mengapa seakan-akan calon independen tidak mampu menarik para konstituen untuk tetap konsisten mendukungnya sampai pada hari pemungutan suara ? atau jangan-jangan dapat diasumsikan bahwa jalur calon independen tidak mampu menggerakkan suara secara terstruktur dan masif pada berbagai mekanisme yang ada di lapangan ? sehingga pasangan calon independen kiranya mampu bersaing dengan kompetitor lainnya yang berasal dari partai politik.

DKI Jakarta dan Aceh
Mengenai jalur calon independen, tentu menggugah sebahagian masyarakat untuk berpolemik dalam memaknai rangkaian proses penyelenggaraan pemilihan Kepala Daerah di Tahun 2017. Mengingat ada daerah khusus dan istimewa yang akan menggelar hajatan demokrasi lokal tersebut, pada kesempatan yang sama daerah otonom ini ditasbihkan menjadi barometer dalam menjaring pemimpin nasional melalui pemilihan umum Tahun 2019.
Oleh karena itu, untuk mencermati gerak-gerik langkah calon independen setidak-tidaknya dapat dinilai dari beberapa daerah otonom dimaksud: Pertama, melalui rangkaian proses pemilihan Kepala Daerah di DKI Jakarta. Bahwa beberapa waktu yang lalu, incumbent telah mendeklarasikan dirinya untuk bersaing kembali menjadi calon Gubernur di DKI Jakarta melalui jalur partai politik.
Menarik untuk dikaji, jauh hari sebelum adanya pendeklarasian tersebut, sebagaimana viral diberbagai media bahwa dengan sesumbar incumbent menegaskan akan berada di jalur calon independen. Bahkan hal ini dibuktikan dengan adanya realisasi sejumlah persyaratan yang dilakukan oleh berbagai simpatisan. Namun demikian, ada apa gerangan sehingga mendorong incumbent bersikap plintat-plintut ? dengan mendeklarasikan maju kembali melalui jalur partai politik?
Berdasarkan realita ini, memang benar bahwa secara normatif atas sikap plintat-plintut tersebut, belum ada norma hukum yang ditentang. Juga benar bahwa telah merepresentasikan salah satu adagium politik, yaitu tidak ada teman dan musuh yang kekal dalam memaknai politik. Akan tetapi dari perspektif calon independen, apakah hal ini mengindikasikan bahwa begitu terjalnya menjadi Kepala Daerah melalui jalur calon independen ?
Kedua, seakan membenarkan pribahasa lampau “lain ladang lain belalang, lain lubuk lain ikannya”. Maka terkait terjalnya calon independen, juga dapat ditelaah melalui proses pemilihan Kepala Daerah di Aceh. Dalam hal ini, salah satu amanat untuk pelaksanaan pemilihan Kepala Daerah dimaksud diperlukan adanya suatu Qanun, yang berperan untuk mengatur secara teknis berbagai pelaksanaan dilapangan.
Menariknya, beberapa waktu yang lalu juga terdapat friksi di tengah-tengah masyarakat Aceh, hal ini dikarenakan oleh sebahagian kalangan Qanun tersebut dinilai justru akan mempersulit para kandidat berkompetisi melalui jalur calon independen. Meskipun pada sisi yang lain patut untuk dipahami bahwa adanya maksud dan tujuan dari pembuat Qanun agar terdapat tertib administrasi, dan pencalonan yang sejalan dengan asas akuntabilitas

Penutup
Merujuk berbagai problematika tersebut, seyogyanya calon pemimpin daerah otonom hendaknya mampu konsisten, serta selaras antara pikiran dan tindakan. Dikarenakan jika pemimpin plintat-plintut, maka bagaimana mungkin pemimpin mampu berpihak kepada masyarakatnya. Pada kesempatan yang sama, semoga terjalkah calon independen tidak benar adanya, sehingga tidak menciutkan nyali warga masyarakat lainnya yang hendak menjadi Kepala Daerah melalui jalur calon independen. Semoga!
*Tulisan ini juga diterbitkan pada Harian Waspada, Kamis 4 Agustus 2016



[1]  Penulis adalah PNS di Sekretariat Majelis Permusyawaratan Ulama Aceh Tamiang. Staf Pengajar Program Magister Ilmu Hukum UMA dan UMSU.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar