Terjalkah Calon
Independen ?
Terjalkah calon independen
? begitulah kira-kira sekelumit pertanyaan yang terdapat dalam benak
masyarakat, khususnya dalam mereview berbagai komitmen para elit politik dalam
menyongsong pemilihan Kepala Daerah serentak di Tahun 2017, baik pada tataran
ibukota negara maupun diberbagai daerah otonom lainnya.
Betapa tidak menggelitik
masyarakat untuk bertanya tentang salah satu cara menjadi Kepala Daerah,
khususnya melalui jalur calon independen. Hal ini dikarenakan merujuk dari
penyelenggaraan pemilihan Kepala Daerah serentak di Tahun 2015 yang lalu, dapat
dikatakan berbagai calon independen hampir tidak dapat mewujudkan niatnya untuk
memimpin diberbagai daerah otonom, meskipun benar adanya bahwa terdapat
beberapa calon independen yang unggul dari calon partai politik, namun demikian
presentasenya cukup kecil.
Lantas, bisakah masyarakat
berasumsi bahwa dengan pertimbangan tersebut, maka berimplikasi adanya sikap
dejavu yang diperankan oleh para elit politik, sehingga dapat dicermati secara
bersama-sama terkait pemberitaan yang telah dipublikasikan oleh berbagai media,
kadangkala elit politik tidak jarang plintat-plintut, baik dalam bersikap
maupun bertindak untuk berpartisipasi pada pesta demokrasi lokal secara
serentak di awal Tahun 2017.
Konstitusi,
Tuntas
Hakikatnya dalam menyikapi keberadaan calon independen tidak perlu ada
friksi, dikarenakan legitimasi calon independen telah bernilai konstitusional.
Artinya amanat konstitusi telah memberikan ruang bagi warga masyarakat seluas-luasnya,
untuk berpartisipasi menjadi pemimpin di daerah otonom, baik melalui partai
politik mapun dari jalur calon independen. (Cakra Arbas, 2012)
Begitu juga dengan berbagai peraturan organik yang berkewajiban
melaksanakan amanat konstitusi dimaksud, dapat dicermati bahwa melalui
Undang-Undang tentang Pemerintahan Daerah yang sejalan dengan asas lex generalis, turut mengakomodir
eksistensi dari calon independen. Hal senada juga dapat ditelaah dalam beberapa
peraturan organik yang sejalan dengan asas lex
spesialis, khususnya dengan mendeskripsikan adanya daerah otonom yang
bersifat istimewa dan khusus, faktanya turut memberi ruang bagi calon
independen.
Dengan demikian, dapat dipahami bahwa secara normatif baik melalui amanat
konstitusi maupun oleh peraturan organik, pada prinsipnya calon independen
bukanlah sesuatu yang ilegal. Bahkan untuk beberapa hal, dapat dikategorikan
bahwa jalur calon independen merupakan salah satu cara bagi negara dalam
mengakui dan menghormati hak-hak warga masyarakatnya.
Akan tetapi, yang patut dikaji adalah mengapa seakan-akan calon
independen tidak mampu menarik para konstituen untuk tetap konsisten mendukungnya
sampai pada hari pemungutan suara ? atau jangan-jangan dapat diasumsikan bahwa jalur
calon independen tidak mampu menggerakkan suara secara terstruktur dan masif pada
berbagai mekanisme yang ada di lapangan ? sehingga pasangan calon independen kiranya
mampu bersaing dengan kompetitor lainnya yang berasal dari partai politik.
DKI Jakarta dan Aceh
Mengenai jalur
calon independen, tentu menggugah sebahagian masyarakat untuk berpolemik dalam
memaknai rangkaian proses penyelenggaraan pemilihan Kepala Daerah di Tahun
2017. Mengingat ada daerah khusus dan istimewa yang akan menggelar hajatan demokrasi
lokal tersebut, pada kesempatan yang sama daerah otonom ini ditasbihkan menjadi
barometer dalam menjaring pemimpin nasional melalui pemilihan umum Tahun 2019.
Oleh karena
itu, untuk mencermati gerak-gerik langkah calon independen setidak-tidaknya dapat
dinilai dari beberapa daerah otonom dimaksud: Pertama, melalui rangkaian proses pemilihan Kepala Daerah di DKI
Jakarta. Bahwa beberapa waktu yang lalu, incumbent
telah mendeklarasikan dirinya untuk bersaing kembali menjadi calon Gubernur di
DKI Jakarta melalui jalur partai politik.
Menarik untuk
dikaji, jauh hari sebelum adanya pendeklarasian tersebut, sebagaimana viral
diberbagai media bahwa dengan sesumbar incumbent
menegaskan akan berada di jalur calon independen. Bahkan hal ini dibuktikan
dengan adanya realisasi sejumlah persyaratan yang dilakukan oleh berbagai
simpatisan. Namun demikian, ada apa gerangan sehingga mendorong incumbent bersikap plintat-plintut ?
dengan mendeklarasikan maju kembali melalui jalur partai politik?
Berdasarkan realita
ini, memang benar bahwa secara normatif atas sikap plintat-plintut tersebut,
belum ada norma hukum yang ditentang. Juga benar bahwa telah merepresentasikan
salah satu adagium politik, yaitu tidak ada teman dan musuh yang kekal dalam
memaknai politik. Akan tetapi dari perspektif calon independen, apakah hal ini
mengindikasikan bahwa begitu terjalnya menjadi Kepala Daerah melalui jalur calon
independen ?
Kedua, seakan
membenarkan pribahasa lampau “lain ladang
lain belalang, lain lubuk lain ikannya”. Maka terkait terjalnya calon
independen, juga dapat ditelaah melalui proses pemilihan Kepala Daerah di Aceh.
Dalam hal ini, salah satu amanat untuk pelaksanaan pemilihan Kepala Daerah
dimaksud diperlukan adanya suatu Qanun, yang berperan untuk mengatur secara
teknis berbagai pelaksanaan dilapangan.
Menariknya,
beberapa waktu yang lalu juga terdapat friksi di tengah-tengah masyarakat Aceh,
hal ini dikarenakan oleh sebahagian kalangan Qanun tersebut dinilai justru akan
mempersulit para kandidat berkompetisi melalui jalur calon independen. Meskipun
pada sisi yang lain patut untuk dipahami bahwa adanya maksud dan tujuan dari
pembuat Qanun agar terdapat tertib administrasi, dan pencalonan yang sejalan
dengan asas akuntabilitas
Penutup
Merujuk
berbagai problematika tersebut, seyogyanya calon pemimpin daerah otonom
hendaknya mampu konsisten, serta selaras antara pikiran dan tindakan.
Dikarenakan jika pemimpin plintat-plintut, maka bagaimana mungkin pemimpin
mampu berpihak kepada masyarakatnya. Pada kesempatan yang sama, semoga
terjalkah calon independen tidak benar adanya, sehingga tidak menciutkan nyali
warga masyarakat lainnya yang hendak menjadi Kepala Daerah melalui jalur calon
independen. Semoga!
*Tulisan ini juga diterbitkan pada Harian Waspada, Kamis 4 Agustus 2016
[1]
Penulis adalah PNS di Sekretariat Majelis Permusyawaratan Ulama
Aceh Tamiang. Staf Pengajar
Program
Magister Ilmu Hukum UMA dan UMSU.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar