Minggu, 24 Juli 2016

Koherensi Pusat dan Daerah

Koherensi Pusat dan Daerah
Oleh: Dr. Cakra Arbas, SH.I, MH.[1]

Faktanya terdapat dikotomi antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah mengenai kewenangan penyelenggaraan pemerintahan. Dalam iklim pemerintahan yang dilandaskan melalui sistem demokrasi langsung, tidak jarang berimbas terjadinya ketidakseragaman latar belakang pemimpin yang ada di pusat dan di daerah. Secara tidak langsung hal ini juga turut mempengaruhi terciptanya berbagai distorsi antara kebijakan nasional dengan kebijakan daerah.
Hakikatnya berbagai kewenangan yang melekat pada pemerintah pusat dan pemerintah daerah memiliki legitimasi konstitusional, oleh karena itu dalam menyelenggarakan roda pemerintahan berbagai stakeholder perlu menanggalkan berbagai latar belakang yang melingkupinya, demi terlaksananya koherensi penyelenggaraan pemerintah pusat dan pemerintah daerah. Sehingga efektifitas pemerintahan dapat terwujud, sekaligus sinergitas kebijakan nasional dan kebijakan daerah dapat direalisasikan.
Dengan kata lain, seyogyanya patut untuk dipahami bahwa pusat dan daerah adalah entitas dalam penyelenggaraan pemerintahan, maka pemerintah pusat hendaknya mampu untuk merespon berbagai wacana yang terjadi di daerah. begitu juga sebaliknya, bahwa hendaknya pemerintah daerah memiliki kesadaran dan  political will untuk menjabarkan berbagai kebijakan nasional di masing-masing daerah otonom, khususnya yang berkaitan dengan wacana komunisme. 

Menghempang Komunisme
Beberapa waktu belakangan ini, masyarakat kembali bergejolak dalam merespon beberapa aspek yang berkaitan dengan penyelenggaraan pemerintahan. Salah satunya dapat dicermati bahwa adanya keresahan ditengah-tengah masyarakat, atas wacana sekaligus desas-desus mengenai menggeliatnya paham komunis dalam kehidupan sehari-hari, sebagaimana viral diberbagai media yang mengindikasikan kembali beredarnya simbol-simbol komunis.
Wajar kiranya terjadi ketidaknyamanan dalam hidup bermasyarakat atas wacana komunis. Oleh karena sebagaimana yang diungkapkan Bung Karno diberbagai kesempatan, bahwa “bangsa yang besar jangan melupakan sejarah”. Dalam konteks tersebut, berbagai riwayat catatan sejarah telah mengungkapkan bahwa kaleidoskop penyelenggaraan pemerintahan secara nasional pasca kemerdekaan, khususnya dinamika penerapan berbagai konstitusi pada masanya tidak dapat dipisahkan dari anasir komunis.
Meskipun dalam adagium sejarah turut diberlakukan, bahwa hanya pemenang yang akan menorehkan tinta sejarah. Maka dalam memaknai komunis masyarakat memiliki sentimen negatif, karena dinilai telah membangkitkan berbagai perihal yang telah terpendam dan terbenam dalam catatan sejarah. Sehingga untuk kemaslahatan bersama berbagai elemen aktif menyuarakan agar penyelenggaraan pemerintahan di pusat dan di daerah bersinergi sekaligus seiya sekata, serta mau dan mampu menghempang komunisme.    

Konstitusionalisme
UUDNRI Tahun 1945 pada prinsipnya mengakui dan mengatur terkait kewenangan pemerintahan daerah, hal ini dapat dicermati berdasarkan frasa Pasal 18 (1) yang berbunyi “Negara Kesatuan Republik Indonesia dibagi atas daerah-daerah Provinsi dan daerah Provinsi dibagi atas Kabupaten dan Kota, yang tiap-tiap Provinsi, Kabupaten, dan Kota itu mempunyai Pemerintahan daerah, yang diatur dengan Undang-undang, Pasal 18 (2) yang berbunyi “Pemerintah daerah Provinsi, daerah Kabupaten, dan Kota mengatur dan mengurus sendiri urusan Pemerintahan menurut asas otonomi dan tugas pembantuan”.
Sebagai salah satu peraturan organik dari Pasal 18 tersebut, Undang-Undang tentang Pemerintahan Daerah menegaskan bahwa adanya klasifikasi dalam urusan pemerintahan. Yaitu kekuasaan pemerintahan yang menjadi kewenangan Presiden yang pelaksanaannya dilakukan oleh Kementerian Negara dan penyelenggaraan pemerintahan daerah, dalam rangka melindungi, melayani, memberdayakan, dan menyejahterakan masyarakat.
Adapun klasifikasi dimaksud, antara lain: Pertama, urusan pemerintahan absolut, yaitu urusan pemerintahan yang sepenuhnya menjadi kewenangan pemerintah pusat, meliputi politik luar negeri, pertahanan, keamanan, yustisi, moneter dan fiskal, serta agama. Maka dalam konteks menghempang komunisme, tentu dapat dicermati bahwa terkait dengan pertahanan dan keamanan dalam merespon komunisme seluruhnya adalah kewenangan dari pemerintah pusat.
Kedua, urusan pemerintahan konkruen, yaitu urusan pemerintan yang dibagi antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah (Provinsi, Kabupaten/Kota), serta hal ini menjadi dasar dari pelaksanaan otonomi daerah, salah satunya meliputi pelayanan dasar dalam hal ketentraman, ketertiban umum, dan pelindungan masyarakat. Maka dalam konteks menghempang komunisme, dapat dipahami bahwa pemerintah daerah berposisi sebagai garda terdepan untuk mengatasi keresahan masyarakat atas wacana komunis, tentu pemerintah daerah dapat berkoordinasi dengan berbagai unsur Forum Koordinasi Pimpinan di Daerah (Forkopimda).
Oleh karena itu, otonomi daerah dalam konteks negara kesatuan, tidak menghilangkan peranan kepentingan pemerintah pusat di daerah, otonomi harus dilakukan dalam wujud merepresentasikan daerah otonom sebagai entitas negara kesatuan, sehingga kepentingan pemerintah pusat dapat dijabarkan oleh pemerintah daerah secara totalitas. Sekaligus dapat terwujud keterpaduan dan adanya sinergitas pembanguan secara nasional.

Penutup
Menghempang komunisme, sejatinya berpulang kembali pada diri masing-masing individu, dengan timbulnya kesadaran kolektif dalam diri masyarakat bahwa komunisme adalah sesuatu yang tidak sesuai dengan nilai yang melekat pada masyarakat Indonesia,  maka dapat dipastikan komunisme tidak akan mampu hidup dan berkembang di wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia. Disisi lain, reposisi Pancasila mutlak harus dilakukan, mengingat Pancasila lahir melalui proses abstraksi nilai.  Abstraksi nilai dengan menginventarisir nilai, asas, tradisi, dan kebiasaan yang hidup dan berkembang dalam kehidupan masyarakat.

Terakhir, pemerintah daerah sebagai garda terdepan kiranya dapat berperan aktif dalam mengontrol berbagai dinamika yang terjadi dalam kehidupan sehari-hari, khususnya untuk menghempang komunisme. Serta perlunya pemahaman koherensi antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah dapat terwujud, sehingga sinergitas kebijakan nasional dan kebijakan daerah dapat direalisasikan. Semoga!
*Tulisan ini juga dimuat pada Harian Waspada, Rabu 20 Juli 2016



[1]  Penulis adalah PNS di Sekretariat Majelis Permusyawaratan Ulama Aceh Tamiang. Staf Pengajar Program Magister Ilmu Hukum UMA dan UMSU.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar