Koherensi Pusat
dan Daerah
Faktanya terdapat dikotomi antara pemerintah pusat dan
pemerintah daerah mengenai kewenangan penyelenggaraan pemerintahan. Dalam iklim
pemerintahan yang dilandaskan melalui sistem demokrasi langsung, tidak jarang
berimbas terjadinya ketidakseragaman latar belakang pemimpin yang ada di pusat
dan di daerah. Secara tidak langsung hal ini juga turut mempengaruhi
terciptanya berbagai distorsi antara kebijakan nasional dengan kebijakan
daerah.
Hakikatnya berbagai kewenangan yang melekat pada
pemerintah pusat dan pemerintah daerah memiliki legitimasi konstitusional, oleh
karena itu dalam menyelenggarakan roda pemerintahan berbagai stakeholder perlu menanggalkan berbagai
latar belakang yang melingkupinya, demi terlaksananya koherensi penyelenggaraan
pemerintah pusat dan pemerintah daerah. Sehingga efektifitas pemerintahan dapat
terwujud, sekaligus sinergitas kebijakan nasional dan kebijakan daerah dapat
direalisasikan.
Dengan kata lain, seyogyanya patut untuk dipahami
bahwa pusat dan daerah adalah entitas dalam penyelenggaraan pemerintahan, maka
pemerintah pusat hendaknya mampu untuk merespon berbagai wacana yang terjadi di
daerah. begitu juga sebaliknya, bahwa hendaknya pemerintah daerah memiliki
kesadaran dan political will untuk menjabarkan berbagai kebijakan nasional di
masing-masing daerah otonom, khususnya yang berkaitan dengan wacana komunisme.
Menghempang Komunisme
Beberapa waktu
belakangan ini, masyarakat kembali bergejolak dalam merespon beberapa aspek
yang berkaitan dengan penyelenggaraan pemerintahan. Salah satunya dapat
dicermati bahwa adanya keresahan ditengah-tengah masyarakat, atas wacana
sekaligus desas-desus mengenai menggeliatnya paham komunis dalam kehidupan
sehari-hari, sebagaimana viral diberbagai media yang mengindikasikan kembali
beredarnya simbol-simbol komunis.
Wajar kiranya
terjadi ketidaknyamanan dalam hidup bermasyarakat atas wacana komunis. Oleh
karena sebagaimana yang diungkapkan Bung Karno diberbagai kesempatan, bahwa “bangsa yang besar jangan melupakan sejarah”.
Dalam konteks tersebut, berbagai riwayat catatan sejarah telah mengungkapkan
bahwa kaleidoskop penyelenggaraan pemerintahan secara nasional pasca
kemerdekaan, khususnya dinamika penerapan berbagai konstitusi pada masanya
tidak dapat dipisahkan dari anasir komunis.
Meskipun dalam
adagium sejarah turut diberlakukan, bahwa hanya pemenang yang akan menorehkan
tinta sejarah. Maka dalam memaknai komunis masyarakat memiliki sentimen
negatif, karena dinilai telah membangkitkan berbagai perihal yang telah
terpendam dan terbenam dalam catatan sejarah. Sehingga untuk kemaslahatan
bersama berbagai elemen aktif menyuarakan agar penyelenggaraan pemerintahan di
pusat dan di daerah bersinergi sekaligus seiya sekata, serta mau dan mampu
menghempang komunisme.
Konstitusionalisme
UUDNRI Tahun 1945 pada prinsipnya mengakui dan mengatur terkait kewenangan pemerintahan
daerah, hal
ini dapat dicermati berdasarkan frasa Pasal 18 (1) yang berbunyi “Negara Kesatuan Republik Indonesia dibagi atas daerah-daerah Provinsi
dan daerah Provinsi dibagi atas Kabupaten dan Kota, yang tiap-tiap Provinsi,
Kabupaten, dan Kota itu mempunyai Pemerintahan daerah, yang diatur dengan
Undang-undang”, Pasal 18 (2) yang berbunyi “Pemerintah daerah Provinsi, daerah
Kabupaten, dan Kota mengatur dan mengurus sendiri urusan Pemerintahan menurut
asas otonomi dan tugas pembantuan”.
Sebagai salah satu peraturan organik dari Pasal 18 tersebut,
Undang-Undang tentang Pemerintahan Daerah menegaskan bahwa adanya klasifikasi
dalam urusan pemerintahan. Yaitu kekuasaan pemerintahan yang menjadi kewenangan
Presiden yang pelaksanaannya dilakukan oleh Kementerian Negara dan
penyelenggaraan pemerintahan daerah, dalam rangka melindungi, melayani,
memberdayakan, dan menyejahterakan masyarakat.
Adapun klasifikasi dimaksud, antara lain: Pertama, urusan pemerintahan absolut, yaitu urusan pemerintahan
yang sepenuhnya menjadi kewenangan pemerintah pusat, meliputi politik luar
negeri, pertahanan, keamanan, yustisi, moneter dan fiskal, serta agama. Maka
dalam konteks menghempang komunisme, tentu dapat dicermati bahwa terkait dengan
pertahanan dan keamanan dalam merespon komunisme seluruhnya adalah kewenangan
dari pemerintah pusat.
Kedua, urusan pemerintahan konkruen, yaitu
urusan pemerintan yang dibagi antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah
(Provinsi, Kabupaten/Kota), serta hal ini menjadi dasar dari pelaksanaan
otonomi daerah, salah satunya meliputi pelayanan dasar dalam hal ketentraman,
ketertiban umum, dan pelindungan masyarakat. Maka dalam konteks menghempang
komunisme, dapat dipahami bahwa pemerintah daerah berposisi sebagai garda
terdepan untuk mengatasi keresahan masyarakat atas wacana komunis, tentu
pemerintah daerah dapat berkoordinasi dengan berbagai unsur Forum Koordinasi Pimpinan
di Daerah (Forkopimda).
Oleh karena itu, otonomi
daerah dalam konteks negara kesatuan, tidak menghilangkan peranan kepentingan
pemerintah pusat di daerah, otonomi harus dilakukan dalam wujud
merepresentasikan daerah otonom sebagai entitas negara kesatuan, sehingga
kepentingan pemerintah pusat dapat dijabarkan oleh pemerintah daerah secara
totalitas. Sekaligus dapat terwujud keterpaduan dan adanya sinergitas
pembanguan secara nasional.
Penutup
Menghempang
komunisme, sejatinya berpulang kembali pada diri masing-masing individu, dengan
timbulnya kesadaran kolektif dalam diri masyarakat bahwa komunisme adalah
sesuatu yang tidak sesuai dengan nilai yang melekat pada masyarakat
Indonesia, maka dapat dipastikan komunisme
tidak akan mampu hidup dan berkembang di wilayah Negara Kesatuan Republik
Indonesia. Disisi lain, reposisi Pancasila mutlak harus dilakukan, mengingat
Pancasila lahir melalui proses abstraksi nilai.
Abstraksi nilai dengan menginventarisir nilai, asas, tradisi, dan
kebiasaan yang hidup dan berkembang dalam kehidupan masyarakat.
Terakhir,
pemerintah daerah sebagai garda terdepan kiranya dapat berperan aktif dalam
mengontrol berbagai dinamika yang terjadi dalam kehidupan sehari-hari,
khususnya untuk menghempang komunisme. Serta perlunya pemahaman koherensi antara
pemerintah pusat dan pemerintah daerah dapat terwujud, sehingga sinergitas kebijakan nasional dan kebijakan daerah
dapat direalisasikan. Semoga!
*Tulisan ini juga dimuat pada Harian Waspada, Rabu 20 Juli 2016
[1]
Penulis adalah PNS di Sekretariat Majelis Permusyawaratan Ulama
Aceh Tamiang. Staf Pengajar
Program
Magister Ilmu Hukum UMA dan UMSU.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar