Negara Hukum
Hakikatnya anasir negara hukum bukanlah sesuatu yang
baru dalam kajian ketatanegaraan, wacana negara hukum telah ada jauh sebelum
munculnya negara-negara modern pada tataran global dewasa ini. Sebagaimana yang
diriwayatkan oleh para sejarawan terdahulu, bahwa konsep negara hukum telah
dimulai pada masa kehidupan failasuf Plato, yang mana pada masa itu mencetuskan
mengenai penyelenggaraan negara yang baik adalah yang didasarkan pada
pengaturan (hukum) yang baik, dan populer dengan istilah “nomoi/nomae”.
Ide tentang negara hukum, selanjutnya mulai dikembangkan pada
abad ke-17 sebagai dampak dari situasi dan kondisi politik di Eropa yang dimasa itu didominasi oleh absolutisme. Dalam hal ini
Immanuel Kant, melalui teori negara hukumnya menggagas mengenai tujuan dari
negara, yaitu negara harus
menjamin terlaksananya kepentingan umum di dalam keadaan hukum, serta menegakkan hak-hak dan kebebasan masyarakatnya, sekaligus rakyat dan Pemerintah secara bersama-sama merupakan subyek hukum.
Hal ini dapat dimaknai bahwa negara harus menjamin setiap
warga negara bebas di dalam lingkungan hukum. Bebas bukan berarti dapat berbuat
sekehendak hati dan semena-mena, terlebih lagi sewenang-wenang. Namun demikian segala perbuatan itu meskipun bebas
harus sesuai, sebagaimana yang ditentukan dalam produk hukum, yang salah
satunya diwujudkan melalui peraturan perundang-undangan.
Melalui
UUDNRI Tahun
1945 khususnya
melalui amanat Pasal 1 (3) menegaskan bahwa “Negara Indonesia adalah Negara Hukum”. Konsep negara hukum dalam konteks
Negara Kesatuan Republik Indonesia, sebagaimana yang diutarakan oleh Oemar Seno
Adji adalah negara hukum Pancasila, karena Pancasila sebagai dasar pokok dan
sumber hukum, negara hukum Indonesia dapat disematkan sebagai negara hukum
Pancasila. (Oemar Seno Adji, 1980)
Memerhatikan rumusan mengenai konsep negara hukum
Indonesia, dalam hal ini Ismail
Suny mencatat ada beberapa persyaratan negara hukum secara formil, menjadi kewajiban bagi seluruh masyarakat untuk melaksanakannya
dalam Negara Kesatuan Republik
Indonesia, salah satu
diantaranya adalah pemerintahan yang didasari atas Undang-Undang. (Ismail Suny, 2004)
Menelaah premis
tersebut, tentu untuk menjawab berbagai dinamika yang terjadi dalam kehidupan
sehari-hari ditengah masyarakat, baik itu mengenai pro dan kontra dalam
merespon kebijakan hukuman kebiri bagi pelaku kejahatan seksual terhadap
anak-anak, maupun mengenai dibatalkannya berbagai Peraturan Daerah (Perda) oleh
Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri). Bahkan berkaitan dengan hiruk pikuk
dalam memaknai pengisian jabatan Kepala Kepolisian Republik Indonesia
(Kapolri).
Kiranya dapat
dianalisis berdasarkan konsep negara hukum yang diimplementasikan di Negara
Kesatuan Republik Indonesia, dalam hal ini diantaranya melalui kehendak dan
komitmen agar segala sesuatunya didasari atas paradigma negara hukum Pancasila.
Langkah berikutnya antara lain dengan memosisikan peraturan perundang-undangan
sebagai sistem hukum nasional.
Sistem Hukum Nasional
Mengenai sistem hukum, lazimnya para ahli
sependapat bahwa dalam memaknai sistem hukum, setidak-tidaknya dapat
diklasifikasi melalui dua makna, yaitu: (M. Solly Lubis, 2009) Pertama,
sistem hukum dalam arti sempit. Sistem
hukum dalam arti sempit adalah perangkat hukum yang berlaku, baik yang tertulis maupun yang
tidak tertulis, baik produk Pemerintah Republik Indonesia maupun produk
Pemerintah Daerah.
Kedua, sistem hukum dalam arti luas. Sistem
hukum dalam arti luas meliputi filosofi
hukum, politik hukum, kegiatan legislasi, perangkat
peraturan hukum,
penerapan hukum, monitoring evaluasi terhadap
penerapan hukum serta feed back/input yang
diperoleh dari sistem moneva itu untuk menjadi bahan masukan bagi politik hukum
berikutnya, penelitian hukum, pendidikan hukum, studi perbandingan
dan kebijakan harmonisasi hukum antarnegara.
Artinya bahwa jika merujuk sistem hukum
dalam arti sempit, hanya didasari melalui berbagai peraturan perundang-undangan
yang diberlakukan, baik di pusat secara nasional maupun didaerah sejalan dengan
asas otonominya. Akan tetapi dalam makna yang lebih luas, sistem hukum jauh
lebih kompleks dengan memperhatikan berbagai faktor yang mempengaruhi
diberlakukannya suatu aturan hukum melalui peraturan perundang-undangan.
Peraturan perundang-undanganan merupakan suatu entitas
dalam sistem hukum nasional, mengingat melalui peraturan perundang-undangan
yang diberlakukan secara nasional dapat ditemui adanya keseragaman hukum
diseluruh wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia. Sementara disisi lain,
adanya variasi aturan hukum yang diberlakukan oleh berbagai daerah otonom
melalui Perda merupakan salah satu prinsip otonomi daerah, sekaligus bentuk
desentralisasi asimetris dalam menyelenggarakan pemerintahan daerah.
Tidak kalah pentingnya bahwa dalam memahami sistem hukum
nasional, seyogyanya seluruh norma hukum didasari pada filsafat hukum, dalam
konteks Negara Kesatuan Republik Indonesia maka Pancasila merupakan sumber dari
segala sumber norma hukum yang diberlakukan dalam sistem hukum nasional. Dalam
hal ini Pancasila telah melalui hasil abstraksi nilai oleh segenap komponen
masyarakat yang hidup dan berkembang di Indonesia.
Pusat dan Daerah
M. Solly Lubis
menegaskan bahwa dalam pembentukan peraturan perundang-undangan (di pusat dan
di daerah) perlu bersikap paradigmatik, dengan pertimbangan: Pertama, pertimbangan teoritis, bahwa
sesuatu peraturan hukum dapat dinilai ideal jika peraturan hukum tersebut
sesuai dengan ide, yakni aspirasi stakeholders,
sebagai pihak yang berkepentingan. Serta peraturan hukum itu memberi keadilan,
kepastian, dan kemanfaatan. Kedua, pertimbangan
praktis, bahwa peraturan hukum tersebut bersifat aspiratif dan akomodatif serta
mampu menyahuti keinginan masyarakat. (M. Solly Lubis, 2010)
Antara pusat dan
daerah, umumnya terdapat suatu ungkapan yaitu “pusat itu adalah pusatnya
daerah, dan daerah itu adalah daerahnya pusat”, sehingga dapat dipahami bahwa
tidak akan ada adagium pusat tanpa adanya representasi daerah, begitu juga
sebaliknya. Semoga dengan kembali mengkaji hakikat dari negara hukum,
kedepannya stakeholder di pusat dan
di daerah mampu meminimalisir distorsi antara kebijakan nasional dan kebijakan
daerah, sehingga efektifitas pemerintahan dapat terwujud, sekaligus sinergitas
kebijakan nasional dan kebijakan daerah dapat direalisasikan. Semoga!
*Tulisan ini juga dimuat pada Harian Waspada, Jumat 24 Juni 2016
[1]
Penulis adalah PNS di Sekretariat Majelis Permusyawaratan Ulama
Aceh Tamiang. Pengajar
Program
Magister Ilmu Hukum UMA dan UMSU.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar