Selasa, 28 Juni 2016

Negara Hukum

Negara Hukum
Oleh: Dr. Cakra Arbas, SH.I, MH.[1]

Hakikatnya anasir negara hukum bukanlah sesuatu yang baru dalam kajian ketatanegaraan, wacana negara hukum telah ada jauh sebelum munculnya negara-negara modern pada tataran global dewasa ini. Sebagaimana yang diriwayatkan oleh para sejarawan terdahulu, bahwa konsep negara hukum telah dimulai pada masa kehidupan failasuf Plato, yang mana pada masa itu mencetuskan mengenai penyelenggaraan negara yang baik adalah yang didasarkan pada pengaturan (hukum) yang baik, dan populer dengan istilah “nomoi/nomae”.
Ide tentang negara hukum, selanjutnya mulai dikembangkan pada abad ke-17 sebagai dampak dari situasi dan kondisi politik di Eropa yang dimasa itu didominasi oleh absolutisme. Dalam hal ini Immanuel Kant, melalui teori negara hukumnya menggagas mengenai tujuan dari negara, yaitu negara harus menjamin terlaksananya kepentingan umum di dalam keadaan hukum, serta menegakkan hak-hak dan kebebasan masyarakatnya, sekaligus rakyat dan Pemerintah secara bersama-sama merupakan subyek hukum.
Hal ini dapat dimaknai bahwa negara harus menjamin setiap warga negara bebas di dalam lingkungan hukum. Bebas bukan berarti dapat berbuat sekehendak hati dan semena-mena, terlebih lagi sewenang-wenang. Namun demikian segala perbuatan itu meskipun bebas harus sesuai, sebagaimana yang ditentukan dalam produk hukum, yang salah satunya diwujudkan melalui peraturan perundang-undangan.
Melalui UUDNRI Tahun 1945 khususnya melalui amanat Pasal 1 (3) menegaskan bahwaNegara Indonesia adalah Negara Hukum”. Konsep negara hukum dalam konteks Negara Kesatuan Republik Indonesia, sebagaimana yang diutarakan oleh Oemar Seno Adji adalah negara hukum Pancasila, karena Pancasila sebagai dasar pokok dan sumber hukum, negara hukum Indonesia dapat disematkan sebagai negara hukum Pancasila. (Oemar Seno Adji, 1980)
Memerhatikan rumusan mengenai konsep negara hukum Indonesia, dalam hal ini Ismail Suny mencatat ada beberapa persyaratan negara hukum secara formil, menjadi kewajiban bagi seluruh masyarakat untuk melaksanakannya dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia, salah satu diantaranya adalah pemerintahan yang didasari atas Undang-Undang. (Ismail Suny, 2004)
Menelaah premis tersebut, tentu untuk menjawab berbagai dinamika yang terjadi dalam kehidupan sehari-hari ditengah masyarakat, baik itu mengenai pro dan kontra dalam merespon kebijakan hukuman kebiri bagi pelaku kejahatan seksual terhadap anak-anak, maupun mengenai dibatalkannya berbagai Peraturan Daerah (Perda) oleh Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri). Bahkan berkaitan dengan hiruk pikuk dalam memaknai pengisian jabatan Kepala Kepolisian Republik Indonesia (Kapolri).
Kiranya dapat dianalisis berdasarkan konsep negara hukum yang diimplementasikan di Negara Kesatuan Republik Indonesia, dalam hal ini diantaranya melalui kehendak dan komitmen agar segala sesuatunya didasari atas paradigma negara hukum Pancasila. Langkah berikutnya antara lain dengan memosisikan peraturan perundang-undangan sebagai sistem hukum nasional.
Sistem Hukum Nasional
Mengenai sistem hukum, lazimnya para ahli sependapat bahwa dalam memaknai sistem hukum, setidak-tidaknya dapat diklasifikasi melalui  dua makna, yaitu: (M. Solly Lubis, 2009) Pertama, sistem hukum dalam arti sempit. Sistem hukum dalam arti sempit adalah perangkat hukum yang berlaku, baik yang tertulis maupun yang tidak tertulis, baik produk Pemerintah Republik Indonesia maupun produk Pemerintah Daerah.
Kedua, sistem hukum dalam arti luas. Sistem hukum dalam arti luas meliputi filosofi hukum, politik hukum, kegiatan legislasi, perangkat peraturan hukum, penerapan hukum, monitoring evaluasi terhadap penerapan hukum serta feed back/input yang diperoleh dari sistem moneva itu untuk menjadi bahan masukan bagi politik hukum berikutnya, penelitian hukum, pendidikan hukum, studi perbandingan dan kebijakan harmonisasi hukum antarnegara.
Artinya bahwa jika merujuk sistem hukum dalam arti sempit, hanya didasari melalui berbagai peraturan perundang-undangan yang diberlakukan, baik di pusat secara nasional maupun didaerah sejalan dengan asas otonominya. Akan tetapi dalam makna yang lebih luas, sistem hukum jauh lebih kompleks dengan memperhatikan berbagai faktor yang mempengaruhi diberlakukannya suatu aturan hukum melalui peraturan perundang-undangan.  
Peraturan perundang-undanganan merupakan suatu entitas dalam sistem hukum nasional, mengingat melalui peraturan perundang-undangan yang diberlakukan secara nasional dapat ditemui adanya keseragaman hukum diseluruh wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia. Sementara disisi lain, adanya variasi aturan hukum yang diberlakukan oleh berbagai daerah otonom melalui Perda merupakan salah satu prinsip otonomi daerah, sekaligus bentuk desentralisasi asimetris dalam menyelenggarakan pemerintahan daerah.
Tidak kalah pentingnya bahwa dalam memahami sistem hukum nasional, seyogyanya seluruh norma hukum didasari pada filsafat hukum, dalam konteks Negara Kesatuan Republik Indonesia maka Pancasila merupakan sumber dari segala sumber norma hukum yang diberlakukan dalam sistem hukum nasional. Dalam hal ini Pancasila telah melalui hasil abstraksi nilai oleh segenap komponen masyarakat yang hidup dan berkembang di Indonesia. 

Pusat dan Daerah
M. Solly Lubis menegaskan bahwa dalam pembentukan peraturan perundang-undangan (di pusat dan di daerah) perlu bersikap paradigmatik, dengan pertimbangan: Pertama, pertimbangan teoritis, bahwa sesuatu peraturan hukum dapat dinilai ideal jika peraturan hukum tersebut sesuai dengan ide, yakni aspirasi stakeholders, sebagai pihak yang berkepentingan. Serta peraturan hukum itu memberi keadilan, kepastian, dan kemanfaatan. Kedua, pertimbangan praktis, bahwa peraturan hukum tersebut bersifat aspiratif dan akomodatif serta mampu menyahuti keinginan masyarakat. (M. Solly Lubis, 2010)
Antara pusat dan daerah, umumnya terdapat suatu ungkapan yaitu “pusat itu adalah pusatnya daerah, dan daerah itu adalah daerahnya pusat”, sehingga dapat dipahami bahwa tidak akan ada adagium pusat tanpa adanya representasi daerah, begitu juga sebaliknya. Semoga dengan kembali mengkaji hakikat dari negara hukum, kedepannya stakeholder di pusat dan di daerah mampu meminimalisir distorsi antara kebijakan nasional dan kebijakan daerah, sehingga efektifitas pemerintahan dapat terwujud, sekaligus sinergitas kebijakan nasional dan kebijakan daerah dapat direalisasikan. Semoga!  
*Tulisan ini juga dimuat pada Harian Waspada, Jumat 24 Juni 2016



[1]  Penulis adalah PNS di Sekretariat Majelis Permusyawaratan Ulama Aceh Tamiang. Pengajar Program Magister Ilmu Hukum UMA dan UMSU.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar