Jumat, 10 Juni 2016

Tantangan MPU

Tantangan MPU
Oleh: Dr. Cakra Arbas, SH.I, MH.[1]

Majelis Permusyawaratan Ulama yang selanjutnya disingkat MPU adalah majelis yang anggotanya terdiri atas Ulama dan cendekiawan muslim, merupakan mitra kerja Pemerintah Aceh dan DPRA. Ulama diposisikan sebagai tokoh panutan masyarakat yang memiliki integritas moral, memahami dan mengamalkan secara mendalam ajaran Islam dari Al-Qur’an dan Hadist. Cendekiawan muslim merupakan ilmuwan muslim yang mempunyai integritas moral, memiliki keahlian tertentu secara mendalam dan mengamalkannya.
Praktik ketatanegaraan di Provinsi Aceh, mengamanatkan bahwa MPU merupakan lembaga independen, yang berkedudukan sejajar dengan Pemerintah Aceh dan Dewan Perwakilan Rakyat Aceh (DPRA). Sehingga MPU salah satu unsur dari Forum Koordinasi Pimpinan Daerah Plus (Forkopimda Plus), yang diberi kewenangan untuk memberikan pertimbangan terhadap kebijakan daerah, baik mengenai bidang pemerintahan, pembangunan, ekonomi, sosial budaya dan kemasyarakatan serta memberikan nasehat dan bimbingan kepada masyarakat berdasarkan ajaran Islam.
Masyarakat Aceh telah menempatkan ulama dalam bermasyarakat dan bernegara, pada kedudukan serta peranan yang terhormat. Ulama dinilai telah berkontribusi membentuk pola kehidupan masyarakat yang istiqamah kepada syari'at Islam. Penghayatan tersebut telah melahirkan budaya Aceh Islami dan terpatri dalam kehidupan adat yang dikembangkan menjadi: “Adat bak Po Teumeureuhom, Hukum bak Syiah Kuala, Qanun bak Putroe Phang, Reusam bak Laksamana”.

Selayang Pandang
Periode waktu yang lampau, prinsipnya pemerintah telah memiliki political will untuk memberikan beberapa keistimewaan dalam penyelenggaraan pemerintahan Aceh. Hal ini dapat dicermati melalui surat keputusan No. 1/Missi/1959, tertanggal 16 Mei 1959, yang menyatakan lahirnya Provinsi Daerah Istimewa Aceh, yang mempunyai otonomi dalam bidang pendidikan, agama, dan adat istiadat. (Hardi : 1983)
Namun wujud nyata pemerintah mengakui Aceh sebagai salah satu daerah otonom yang memilki karakteristik istimewa dan khusus, diantaranya secara yuridis formal dimulai atas dasar Undang-Undang No. 44 Tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Keistimewaan Aceh, sebagaimana amanat pasal 3 ayat (2) menyatakan bahwa penyelenggaraan keistimewaan meliputi: Pertama, penyelenggaraan kehidupan beragama. Kedua, penyelenggaraan kehidupan adat. Ketiga, penyelenggaraan pendidikan. Keempat, peran ulama dalam penetapan kebijakan daerah.
Kini penguatan unsur keistimewaan Aceh kembali dijabarkan melalui Undang-Undang No. 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh. Dalam hal ini, khusus mengenai peran strategis Ulama yang diwakili oleh MPU, dapat dianalisa berdasarkan Pasal 139 (1) yang berbunyi: “MPU berfungsi menetapkan fatwa yang dapat menjadi salah satu pertimbangan terhadap kebijakan pemerintahan daerah dalam bidang pemerintah, pembangunan, pembinaan masyarakat, dan ekonomi”. Berikutnya berdasarkan Pasal 140 (1) berbunyi: “Memberikan fatwa baik diminta maupun tidak diminta terhadap persoalan pemerintahan, pembangunan, pembinaan masyarakat, dan ekonomi. Serta memberikan arahan terhadap perbedaan pendapat pada masyarakat dalam masalah keagamaan”.
Adapun peraturan organik yang menjabarkan kedua Pasal tersebut adalah Qanun Aceh No 2 Tahun 2009 tentang MPU, yang menerangkan tugas, fungsi dan kewenangan dari MPU, yaitu: Pertama, memberikan pertimbangan terhadap kebijakan daerah, meliputi bidang pemerintahan, pembangunan, ekonomi, sosial budaya dan kemasyarakatan. Kedua, memberikan nasehat dan bimbingan kepada masyarakat berdasarkan ajaran Islam. Ketiga, menetapkan fatwa terhadap masalah pemerintahan, pembangunan, ekonomi, sosial budaya dan kemasyarakatan.
Keempat, memberikan arahan terhadap perbedaan pendapat dalam masalah keagamaan baik sesama umat Islam maupun antar umat beragama lainnya. Kelima, memberikan masukan, pertimbangan, dan saran kepada pemerintah Aceh dan DPRA dalam menetapkan kebijakan berdasarkan syari’at Islam. Ketujuh, melakukan pengawasan terhadap penyelenggaraan pemerintahan, kebijakan daerah berdasarkan syari’at Islam. Kedelapan, melakukan penelitian, pengembangan, penerjemahan, penerbitan, dan pendokumentasian terhadap naskah-naskah yang berkenaan dengan syari’at Islam. Kesembilan, melakukan pengkaderan Ulama.

Tantangan: Pilkada 2017
Mengingat peran strategis MPU yang berposisi sebagai salah satu unsur dalam penyelenggaraan pemerintahan Aceh, sudah sepantasnya dalam menyongsong pilkada Aceh Tahun 2017, MPU diharapkan senantiasa mampu memaksimalkan tugas dan fungsinya. Khusus dalam hegemoni pilkada, setidak-tidaknya MPU dapat memberikan kontribusi secara aktif dan nyata dalam merespon perkembangan masyarakat, melalui beberapa langkah antara lain:
Pertama, memberikan pertimbangan terhadap kebijakan daerah, dalam hal ini dapat memberikan pertimbangan dalam rangka melahirkan Qanun tentang pilkada Aceh, sehingga Qanun tersebut nantinya dapat mengakomodir seluruh kepentingan dari komponen masyarakat Aceh. Kedua, memberikan nasehat dan bimbingan kepada masyarakat berdasarkan ajaran Islam, dalam hal ini dapat memberikan pemahaman terhadap kriteria calon pemimpin yang sekiranya berlandaskan pada ajaran Islam.
Pada kesempatan yang sama, apakah sudah cukup calon kepala daerah diseleksi melalui uji kemampuan pemahaman ajaran Islam, dengan mengikuti standar prosedur yang berlaku pada pilkada sebelumnya ? Hal ini penting untuk disadari, bahwa jika berbagai substansi materi dalam menjaring kepala daerah, masih berlaku hal-hal yang dianut dari pilkada sebelumnya tanpa adanya revolusi, maka niscaya pemerintahan Aceh dan pemerintah Kabupaten/Kota kedepannya akan tetap memiliki pola yang sama dari hasil pilkada Aceh di Tahun sebelumnya (2012).
Oleh karena itu, revitalisasi MPU dalam menghadapi tantangan sekaligus dinamika penyelenggaraan pemerintahan melalui hajatan “pesta demokrasi” pilkada Aceh Tahun 2017, merupakan salah satu cara agar kesejahteraan masyarakat Aceh dapat terwujud. Semoga, MPU sebagai representasi ulama dapat mengarah, membimbing, dan menasehati ummat, demi terciptanya penyelenggaraan pemerintahan yang mengarah menjadi lebih baik. Semoga!
*Tulisan ini  juga dimuat pada Harian Waspada, Jumat 10 Juni 2016



[1]  Penulis adalah PNS di Sekretariat Majelis Permusyawaratan Ulama Aceh Tamiang. Pengajar Program Magister Ilmu Hukum UMA dan UMSU.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar