Tantangan MPU
Majelis
Permusyawaratan Ulama yang selanjutnya disingkat MPU adalah majelis yang
anggotanya terdiri atas Ulama dan cendekiawan muslim, merupakan mitra kerja
Pemerintah Aceh dan DPRA. Ulama
diposisikan sebagai tokoh panutan masyarakat yang memiliki integritas moral,
memahami dan mengamalkan secara mendalam ajaran Islam dari Al-Qur’an dan
Hadist. Cendekiawan muslim merupakan ilmuwan muslim yang mempunyai integritas
moral, memiliki keahlian tertentu secara mendalam dan mengamalkannya.
Praktik ketatanegaraan di Provinsi Aceh, mengamanatkan
bahwa MPU merupakan lembaga independen, yang berkedudukan sejajar dengan
Pemerintah Aceh dan Dewan Perwakilan Rakyat Aceh (DPRA). Sehingga MPU salah
satu unsur dari Forum Koordinasi Pimpinan Daerah Plus (Forkopimda Plus), yang
diberi kewenangan untuk memberikan pertimbangan terhadap kebijakan daerah, baik
mengenai bidang pemerintahan, pembangunan, ekonomi, sosial budaya dan kemasyarakatan
serta memberikan nasehat dan bimbingan kepada masyarakat berdasarkan ajaran
Islam.
Masyarakat Aceh telah menempatkan ulama dalam bermasyarakat
dan bernegara, pada kedudukan serta peranan yang terhormat. Ulama dinilai telah
berkontribusi membentuk pola kehidupan masyarakat yang istiqamah kepada
syari'at Islam. Penghayatan tersebut telah melahirkan budaya Aceh Islami dan
terpatri dalam kehidupan adat yang dikembangkan menjadi: “Adat bak Po Teumeureuhom, Hukum bak Syiah Kuala, Qanun bak Putroe
Phang, Reusam bak Laksamana”.
Selayang Pandang
Periode waktu yang lampau, prinsipnya
pemerintah telah memiliki political will
untuk memberikan beberapa keistimewaan dalam penyelenggaraan pemerintahan Aceh.
Hal ini dapat dicermati melalui surat keputusan No. 1/Missi/1959, tertanggal 16
Mei 1959, yang menyatakan lahirnya Provinsi Daerah Istimewa Aceh, yang
mempunyai otonomi dalam bidang pendidikan, agama, dan adat istiadat. (Hardi : 1983)
Namun wujud nyata pemerintah mengakui Aceh sebagai
salah satu daerah otonom yang memilki karakteristik istimewa dan khusus,
diantaranya secara yuridis formal dimulai atas dasar Undang-Undang No. 44 Tahun
1999 tentang Penyelenggaraan Keistimewaan Aceh, sebagaimana amanat pasal 3 ayat
(2) menyatakan bahwa penyelenggaraan keistimewaan meliputi: Pertama, penyelenggaraan kehidupan
beragama. Kedua, penyelenggaraan
kehidupan adat. Ketiga,
penyelenggaraan pendidikan. Keempat, peran
ulama dalam penetapan kebijakan daerah.
Kini penguatan unsur keistimewaan Aceh
kembali dijabarkan melalui Undang-Undang No. 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan
Aceh. Dalam hal ini, khusus mengenai peran strategis Ulama yang diwakili oleh
MPU, dapat dianalisa berdasarkan Pasal 139 (1) yang berbunyi: “MPU berfungsi menetapkan fatwa yang dapat
menjadi salah satu pertimbangan terhadap kebijakan pemerintahan daerah dalam
bidang pemerintah, pembangunan, pembinaan masyarakat, dan ekonomi”.
Berikutnya berdasarkan Pasal 140 (1) berbunyi: “Memberikan fatwa baik diminta maupun tidak diminta terhadap persoalan
pemerintahan, pembangunan, pembinaan masyarakat, dan ekonomi. Serta memberikan
arahan terhadap perbedaan pendapat pada masyarakat dalam masalah keagamaan”.
Adapun peraturan organik yang menjabarkan
kedua Pasal tersebut adalah Qanun Aceh No 2 Tahun 2009 tentang MPU, yang
menerangkan tugas, fungsi dan kewenangan dari MPU, yaitu: Pertama, memberikan pertimbangan terhadap kebijakan daerah,
meliputi bidang pemerintahan, pembangunan, ekonomi, sosial budaya dan
kemasyarakatan. Kedua, memberikan
nasehat dan bimbingan kepada masyarakat berdasarkan ajaran Islam. Ketiga, menetapkan fatwa terhadap
masalah pemerintahan, pembangunan, ekonomi, sosial budaya dan kemasyarakatan.
Keempat, memberikan arahan terhadap perbedaan
pendapat dalam masalah keagamaan baik sesama umat Islam maupun antar umat
beragama lainnya. Kelima, memberikan
masukan, pertimbangan, dan saran kepada pemerintah Aceh dan DPRA dalam
menetapkan kebijakan berdasarkan syari’at Islam. Ketujuh, melakukan pengawasan terhadap penyelenggaraan
pemerintahan, kebijakan daerah berdasarkan syari’at Islam. Kedelapan, melakukan penelitian, pengembangan, penerjemahan,
penerbitan, dan pendokumentasian terhadap naskah-naskah yang berkenaan dengan
syari’at Islam. Kesembilan, melakukan
pengkaderan Ulama.
Tantangan: Pilkada 2017
Mengingat peran strategis MPU yang berposisi
sebagai salah satu unsur dalam penyelenggaraan pemerintahan Aceh, sudah
sepantasnya dalam menyongsong pilkada Aceh Tahun 2017, MPU diharapkan
senantiasa mampu memaksimalkan tugas dan fungsinya. Khusus dalam hegemoni
pilkada, setidak-tidaknya MPU dapat memberikan kontribusi secara aktif dan
nyata dalam merespon perkembangan masyarakat, melalui beberapa langkah antara
lain:
Pertama, memberikan pertimbangan terhadap
kebijakan daerah, dalam hal ini dapat memberikan pertimbangan dalam rangka
melahirkan Qanun tentang pilkada Aceh, sehingga Qanun tersebut nantinya dapat
mengakomodir seluruh kepentingan dari komponen masyarakat Aceh. Kedua, memberikan nasehat dan bimbingan
kepada masyarakat berdasarkan ajaran Islam, dalam hal ini dapat memberikan
pemahaman terhadap kriteria calon pemimpin yang sekiranya berlandaskan pada
ajaran Islam.
Pada kesempatan yang sama, apakah sudah
cukup calon kepala daerah diseleksi melalui uji kemampuan pemahaman ajaran
Islam, dengan mengikuti standar prosedur yang berlaku pada pilkada sebelumnya ?
Hal ini penting untuk disadari, bahwa jika berbagai substansi materi dalam
menjaring kepala daerah, masih berlaku hal-hal yang dianut dari pilkada
sebelumnya tanpa adanya revolusi, maka niscaya pemerintahan Aceh dan pemerintah
Kabupaten/Kota kedepannya akan tetap memiliki pola yang sama dari hasil pilkada
Aceh di Tahun sebelumnya (2012).
Oleh karena itu, revitalisasi MPU dalam menghadapi
tantangan sekaligus dinamika penyelenggaraan pemerintahan melalui hajatan
“pesta demokrasi” pilkada Aceh Tahun 2017, merupakan salah satu cara agar
kesejahteraan masyarakat Aceh dapat terwujud. Semoga, MPU sebagai representasi
ulama dapat mengarah, membimbing, dan menasehati ummat, demi terciptanya
penyelenggaraan pemerintahan yang mengarah menjadi lebih baik. Semoga!
*Tulisan ini juga dimuat pada Harian Waspada, Jumat 10 Juni 2016
[1]
Penulis adalah PNS di Sekretariat Majelis Permusyawaratan Ulama
Aceh Tamiang. Pengajar
Program
Magister Ilmu Hukum UMA dan UMSU.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar