Demokratisasi Ala Parpol
Konsensus bangsa Indonesia, yang diformulasikan
melalui Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, menegaskan
bahwa segenap masyarakat berwenang untuk kemerdekaan berserikat, berkumpul, dan
mengeluarkan pendapat, dalam rangka
mengawal jalannya pemerintahan yang berlandaskan prinsip demokrasi. Untuk
memberi wadah bagi masyarakat dalam menyuarakan aspirasi dan gagasan dengan
penuh tanggung jawab, salah satunya melalui sarana partai politik.
Empuknya kursi pemimpin partai politik,
tidak jarang menimbulkan banyak pihak yang berhasrat, bahkan terdapat “oknum”
yang sengaja memanipulasi mekanisme demi mendapatkan maksud dan tujuannya.
Perlu dipahami bahwa amanat peraturan perundang-undangan, untuk menjadi
pemimpin diserahkan sepenuhnya dalam mekanisme internal partai politik, dengan
menerapkan asas demokrasi dan mengedepankan musyawarah dalam mencapai mufakat.
Carut marut pengelolaan partai politik,
sebagaimana yang dipertontonkan secara masif oleh berbagai media, turut
dilatarbelakangi oleh bobroknya sistem partai politik, dalam menentukan figur
pemimpin. Atas berbagai realita dan
insiden yang menimpa beberapa partai politik pada hari-hari belakangan ini,
seyogyanya para kader terhindar dari berbagai tipu daya para “oknum” calon pemimpin
yang hanya mampu meniupkan angin surga, akan tetapi nyata-nyata tidak mampu
mewujudkan berbagai hakikat. Semestinya melalui wadah partai politik akan
muncul para calon pemimpin bangsa, yang mampu berpikir rasional serta memiliki
mental dan nyali, untuk bertindak demi kepentingan partai dan masyarakat umum.
Demokratisasi Partai Politik
Menurut Schattschneider (dalam Jimly
Asshiddiqie : 2012), bahwa partai politiklah yang sebetulnya menentukan
demokrasi, oleh karenanya partai politik mempunyai posisi dan peranan yang
sangat penting dalam setiap demokrasi. Setali tiga uang, pada kesempatan yang
sama Miriam Budiarjo mengenai fungsi partai politik, dalam hal ini diantaranya:
Pertama, komunikasi politik yang
berperan untuk penyampaian ide, visi, dan kebijakan strategis yang menjadi
pilihan partai politik dimasyarakatkan kepada konstituen untuk mendapatkan feedback berupa dukungan dari masyarakat
luas.
Kedua,
sosialisasi politik yang berperan sangat penting dalam rangka pendidikan
politik, sehingga partailah yang menjadi struktur antara atau intermediate structure yang harus
memainkan peran dalam membumikan cita-cita kenegaraan dalam kesadaran kolektif
masyarakat warga negara. Ketiga,
rekruitmen politik, partai politik memang dimaksudkan menjadi kendaraan yang
sah untuk menyeleksi kader-kader pemimpin negara pada jenjang-jenjang dan
posisi-posisi tertentu. Keempat,
pengatur konflik yang berperan sebagai sarana agregasi kepentingan (agregation of interests) yang menyalurkan
ragam kepentingan yang berbeda-beda itu melalui saluran kelembagaan politik
partai.
Menarik untuk dicermati bahwa konstruksi
partai politik, khusus mengenai proses menentukan calon pemimpin partai,
sepenuhnya diselaraskan dengan mekanisme yang ditetapkan dalam “aturan main”
masing-masing partai politik. Hal ini sebagaimana yang ditegaskan oleh
Undang-Undang tentang Partai Politik, khususnya melalui amanat Pasal 22 yang
berbunyi “Kepengurusan Partai politik
disetiap tingkatan dipilih secara demokratis melalui musyawarah sesuai dengan
AD (Anggaran Dasar) dan ART (Anggaran Rumah Tangga)”.
Berdasarkan rumusan Pasal 22 tersebut,
setidak-tidaknya dapat digaris bawahi bahwa asas yang diterapkan dalam proses
pemilihan pemimpin partai, adalah asas demokratis yang sejalan dengan
musyawarah. Dengan kata lain, masing-masing partai politik diberi kesempatan
untuk memformulasikan mekanisme pemilihan pemimpin secara internal, dalam
menginterpretasikan makna demokratis tersebut.
Dengan demikian, praktiknya tentu dapat
dianalisa bahwa dalam proses pemilihan pemimpin partai politik, tidak akan sama
antara satu partai politik dengan partai politik lainnya. Sehingga asimetris
dalam penyelenggaraan struktur partai politik adalah sesuatu yang tidak dapat
terhindarkan, oleh karena itu tidak menutup kemungkinan ada partai politik yang
menerapkan asas demokrasi secara langsung, dan ada yang menerapkan asas
demokrasi secara tidak langsung dengan mengutamakan musyawarah dalam mencapai
mufakat.
Sesuai dengan amanat peraturan perundang-undangan,
maka dalam pengelolaan partai politik, semestinya menjunjung tinggi prinsip
demokrasi. Baik itu yang dijabarkan melalui pemilihan secara langsung maupun
tidak langsung, dengan tetap mengedepankan musyawarah dalam mencapai mufakat.
Dalam hal ini, hanya partai politik sendiri yang lebih memahami hakikat dari
keberadaannya, maka dalam praktiknya asimetris partai politik adalah sesuatu
keniscayaan.
Penutup
Reformasi ketatanegaraan yang dekade ini
juga berimbas dalam pengelolaan partai politik, merupakan sesuatu yang tidak
dapat dihindarkan. Mengingat peran sentral partai politik sebagai salah satu
pilar demokrasi, maka penyelenggaraan pemerintahan hakikatnya adalah cerminan
dari wajah partai politik yang mengemban amanah kekuasaan. Oleh karena itu,
sepantasnya partai politik berbenah diri, melakukan reformasi internal dalam
rangka mewujudkan sistem politik yang demokratis.
Berkaca dari berbagai friksi yang
melingkupi internal partai politik, baik secara nasional maupun sebatas di
daerah otonom, maka jika cita kemakmuran
atau kesajehtaraan masyarakat yang diutamakan, pemimpin partai politik yang
terpilih jangan memaksakan diri hanya dikelilingi oleh para kader yang bangga
diberi label sikap loyalitas semata, tetapi sudah sepantasnya sikap integritas
agar diutamakan.
Menyongsong dinamika dan perkembangan
masyarakat yang majemuk, partai politik diharapkan mampu meningkatkan
peranannya, baik dalam fungsi partai politik terhadap negara, maupun fungsi
partai politik terhadap masyarakat. Tidak kalah pentingnya semoga seluruh
partai politik memberi kesempatan yang seluas-luasnya dalam hal pengkaderan dan
rekrutmen politik, yang sejalan dengan prinsip kesetaraan gender. Semoga!
* Tulisan ini juga dimuat pada Harian Waspada, Rabu 25 Mei 2016
Tidak ada komentar:
Posting Komentar