Seni Dalam Hukum
Negara moderen
dewasa ini memposisikan hukum sebagai sesuatu yang mendasar
bagi manusia,
dalam menjalankan kehidupan bersama untuk ketertiban tatanan masyarakat,
melindungi kepentingan manusia lainnya serta masyarakat secara umum, sehingga
tidak mungkin ada kehidupan bersama tanpa adanya hukum, atau yang lebih umum
dikenal bahwa dimana ada masyarakat maka akan adanya hukum.
Pentingnya
hukum, telah membuka tabir berbagai realita yang terjadi di tanah air hari-hari
belakangan ini, baik yang melingkupi insitusi pemberi keadilan, begitu juga
halnya dalam proses penegakan hukum, bahkan ironinya lembaga pengayom
masyarakat turut meleburkan dirinya, dalam anasir yang patut diduga telah
mencoreng wibawa dari hakikat hukum. Pantas kiranya jika seluruh komponen
civitas hukum dirundung duka, mengingat betapa carut marutnya pengembanan hukum
yang dilakukan oleh berbagai oknum tersebut.
Inikah wajah
pengembanan hukum yang sesungguhnya ? atau segala yang dipertontonkan oleh
media, hanya representasi dari segelintir oknum yang tidak mampu mengemban
hukum sesuai dengan hakikatnya ? mengingat hal tersebut turut memicu sikap
apatisme masyarakat ketika bersinggungan dalam berbagai peristiwa hukum. Maka
dalam mengemban hukum, baik yang berada pada tataran struktur, substansi,
maupun budaya hukum, sepantasnya berparadigma bahwa hukum sebagai suatu karya
seni.
Seni Hukum
Van Apeldoorn menegaskan bahwa dengan melakukan
praktek hukum,
maka dalam hal ini manusia telah melakukan seni hukum atau Rechtskunst. (Van Apeldoorn, 1954) Dalam
ensiklopedia, seni diartikan sebagai penjelmaan rasa indah yang terkandung
dalam jiwa manusia,
diungkapkan dengan perantaraan alat-alat komunikasi dalam bentuk yang dapat
ditangkap oleh indera pendengar, penglihatan, atau dilahirkan dengan
perantaraan gerak. Dalam hal seni hukum, seni diartikan sebagai cara yang khas,
kiat menciptakan karya yang bermutu yang didorong oleh pilihan antara yang baik
dan yang buruk.
Menurut Sudikno Mertokusomo, seni hukum ialah cara
khas atau kiat, yang didorong oleh pilihan antara yang baik dan yang buruk
dalam mengolah, menggarap, melaksanakan, menemukan, atau menerapkan hukum,
sehingga menghasilkan karya dibidang hukum yang bermutu dan mempunyai wibawa dalam bentuk
putusan atau Undang-Undang. (Sudikno Mertokusumo, 2012)
Menyongsong Hukum Yang Berseni
Sebagai salah
satu entitas, tanpa bermaksud mengenyampingkan peranan dari entitas lainnya,
maka substansi hukum memiliki peran sentral yang strategis. Mengingat
negara-negara moderen melegitimasi berbagai konsensus internal, dalam
menyelenggarakan kehidupan bermasyarakat dan bernegara melalui berbagai
peraturan yang tertulis, hal yang senada faktanya turut dipraktekkan dalam
penyelenggaraan pemerintahan di Indonesia.
Saat ini eksekutif
maupun legislatif memiliki pekerjaan rumah dalam hal membentuk peraturan
perundang-undangan, baik yang dikategorikan dalam jangka pendek begitu juga
dalam jangka panjang. Beberapa diantaranya dapat diinventarisir, bahwa adanya
tugas untuk mewujudkan Undang-Undang tentang hukum pidana, mengingat substansi
Undang-Undang tersebut dinilai akan bersentuhan dengan nilai keadilan. Selain
itu, adanya tugas untuk mewujudkan amandemen atas Undang-Undang tentang
pemilihan kepala daerah, yang berkedudukan sebagai aturan main demokrasi di
tingkat lokal.
Bahkan sebagai
salah satu daerah otonom yang berkepentingan dalam menyukseskan pesta demokrasi
di Tahun 2017, sedang bergulir berbagai dinamika dan ekspektasi dalam membentuk
payung hukum berupa Qanun tentang pemilihan kepala daerah di Aceh. Secara
normatif untuk membentuk peraturan perundang-undangan yang memiliki nilai seni,
salah satunya dimulai dengan berpegang teguh pada asas-asas tentang pembentukan
peraturan perundang-undangan yang baik.
Berdasarkan beberapa
pekerjaan rumah tersebut, menuntut peranan dari stakeholder
sebagai pembentuk peraturan
perundang-undangan, agar dapat berlaku arif dan bijaksana
dalam mengabstraksikan
sekaligus menderivasikan berbagai nilai yang hidup dan berkembang dimasyarakatnya, sehingga
akan terciptanya
suatu karya seni hukum, yang nantinya dapat diterima dan diterapkan oleh seluruh komponen masyarakat.
Disatu pihak dalam merumuskan substansi hukum,
harus memperhatikan stabilitas demi kepastian hukum, dan dipihak lain pembentuk peraturan perundang-undangan
harus berusaha agar nantinya produk
hukum
tersebut tidak ketinggalan dengan perkembangan kepentingan manusia dan
masyarakat, maupun zamannya. Serta
dapat
berlaku untuk jangka waktu yang lama, dan jangan sampai terjadi konflik dengan
peraturan perundangan-undangan yang lebih tinggi.
Selanjutnya,
pembentukan peraturan
perundang-udangan jangan terburu-buru, yang didorong oleh kepentingan
sesaat, karena hal ini hanya akan melahirkan suatu produk hukum yang tidak mengakomodir kepentingan seluruh elemen masyarakat. Dengan demikian, diharapkan adanya
partisipasi dari masyarakat, baik itu dalam rangka penyiapan maupun pembahasan
dari suatu rancangan peraturan
perundang-undangan.
Penutup
Dalam konteks ini, dapat dianalogikan bahwa
terwujudnya substansi hukum
melalui peraturan perundang-undangan, serupa dengan
penciptaan karya-karya seni lainnya, yang dilakukan melalui proses berliku, serta
diisi oleh nilai-nilai yang baik, sehingga pada hakikatnya dapat dinikmati oleh
segenap komponen
masyarakat. Dengan lahirnya suatu payung hukum berbentuk peraturan perundang-undangan,
masyarakat akan menemukan keteraturan dan stabilitas, dimana stabilitas akan
menjamin ketertiban dalam masyarakat.
Oleh karena itu,
baik atau buruknya suatu karya seni berupa peraturan perundang-undangan, dapat
diimplementasikan atau justru menjadi kumpulan peraturan yang tak berfungsi,
akan kembali berpulang pada penilaian masyarakat itu sendiri. Tidak kalah
pentingnya, semoga ketika substansi hukum dibentuk dengan corak partisipatif,
maka seyogyanya aparatur hukum dan juga masyarakat sebagai struktur sekaligus
budaya hukum, dapat mengemban hukum dengan penuh amanat dan tanggung jawab,
sehingga hukum dapat dijalankan sesuai dengan hakikatnya. Semoga!
*Tulisan ini juga dimuat pada Harian Waspada, Rabu 15 Juni 2016
[1]
Penulis adalah PNS di Sekretariat Majelis Permusyawaratan Ulama
Aceh Tamiang. Pengajar
Program
Magister Ilmu Hukum UMA dan UMSU.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar