Jumat, 17 Juni 2016

Seni Dalam Hukum

Seni Dalam Hukum
Oleh: Dr. Cakra Arbas, SH.I, MH.[1]

Negara moderen dewasa ini memposisikan hukum sebagai sesuatu yang mendasar bagi manusia, dalam menjalankan kehidupan bersama untuk ketertiban tatanan masyarakat, melindungi kepentingan manusia lainnya serta masyarakat secara umum, sehingga tidak mungkin ada kehidupan bersama tanpa adanya hukum, atau yang lebih umum dikenal bahwa dimana ada masyarakat maka akan adanya hukum.
Pentingnya hukum, telah membuka tabir berbagai realita yang terjadi di tanah air hari-hari belakangan ini, baik yang melingkupi insitusi pemberi keadilan, begitu juga halnya dalam proses penegakan hukum, bahkan ironinya lembaga pengayom masyarakat turut meleburkan dirinya, dalam anasir yang patut diduga telah mencoreng wibawa dari hakikat hukum. Pantas kiranya jika seluruh komponen civitas hukum dirundung duka, mengingat betapa carut marutnya pengembanan hukum yang dilakukan oleh berbagai oknum tersebut.
Inikah wajah pengembanan hukum yang sesungguhnya ? atau segala yang dipertontonkan oleh media, hanya representasi dari segelintir oknum yang tidak mampu mengemban hukum sesuai dengan hakikatnya ? mengingat hal tersebut turut memicu sikap apatisme masyarakat ketika bersinggungan dalam berbagai peristiwa hukum. Maka dalam mengemban hukum, baik yang berada pada tataran struktur, substansi, maupun budaya hukum, sepantasnya berparadigma bahwa hukum sebagai suatu karya seni.
Seni Hukum
Van Apeldoorn menegaskan bahwa dengan melakukan praktek hukum, maka dalam hal ini manusia telah melakukan seni hukum atau Rechtskunst. (Van Apeldoorn, 1954) Dalam ensiklopedia, seni diartikan sebagai penjelmaan rasa indah yang terkandung dalam jiwa manusia, diungkapkan dengan perantaraan alat-alat komunikasi dalam bentuk yang dapat ditangkap oleh indera pendengar, penglihatan, atau dilahirkan dengan perantaraan gerak. Dalam hal seni hukum, seni diartikan sebagai cara yang khas, kiat menciptakan karya yang bermutu yang didorong oleh pilihan antara yang baik dan yang buruk.
Menurut Sudikno Mertokusomo, seni hukum ialah cara khas atau kiat, yang didorong oleh pilihan antara yang baik dan yang buruk dalam mengolah, menggarap, melaksanakan, menemukan, atau menerapkan hukum, sehingga menghasilkan karya dibidang hukum yang bermutu dan mempunyai wibawa dalam bentuk putusan atau Undang-Undang. (Sudikno Mertokusumo, 2012)

Menyongsong Hukum Yang Berseni
Sebagai salah satu entitas, tanpa bermaksud mengenyampingkan peranan dari entitas lainnya, maka substansi hukum memiliki peran sentral yang strategis. Mengingat negara-negara moderen melegitimasi berbagai konsensus internal, dalam menyelenggarakan kehidupan bermasyarakat dan bernegara melalui berbagai peraturan yang tertulis, hal yang senada faktanya turut dipraktekkan dalam penyelenggaraan pemerintahan di Indonesia.

Saat ini eksekutif maupun legislatif memiliki pekerjaan rumah dalam hal membentuk peraturan perundang-undangan, baik yang dikategorikan dalam jangka pendek begitu juga dalam jangka panjang. Beberapa diantaranya dapat diinventarisir, bahwa adanya tugas untuk mewujudkan Undang-Undang tentang hukum pidana, mengingat substansi Undang-Undang tersebut dinilai akan bersentuhan dengan nilai keadilan. Selain itu, adanya tugas untuk mewujudkan amandemen atas Undang-Undang tentang pemilihan kepala daerah, yang berkedudukan sebagai aturan main demokrasi di tingkat lokal.
Bahkan sebagai salah satu daerah otonom yang berkepentingan dalam menyukseskan pesta demokrasi di Tahun 2017, sedang bergulir berbagai dinamika dan ekspektasi dalam membentuk payung hukum berupa Qanun tentang pemilihan kepala daerah di Aceh. Secara normatif untuk membentuk peraturan perundang-undangan yang memiliki nilai seni, salah satunya dimulai dengan berpegang teguh pada asas-asas tentang pembentukan peraturan perundang-undangan yang baik.     
Berdasarkan beberapa pekerjaan rumah tersebut, menuntut peranan dari stakeholder sebagai pembentuk peraturan perundang-undangan, agar dapat berlaku arif dan bijaksana dalam mengabstraksikan sekaligus menderivasikan berbagai nilai yang hidup dan berkembang dimasyarakatnya, sehingga akan terciptanya suatu karya seni hukum, yang nantinya dapat diterima dan diterapkan oleh seluruh komponen masyarakat.
Disatu pihak dalam merumuskan substansi hukum, harus memperhatikan stabilitas demi kepastian hukum, dan dipihak lain pembentuk peraturan perundang-undangan harus berusaha agar nantinya produk hukum tersebut tidak ketinggalan dengan perkembangan kepentingan manusia dan masyarakat, maupun zamannya. Serta dapat berlaku untuk jangka waktu yang lama, dan jangan sampai terjadi konflik dengan peraturan perundangan-undangan yang lebih tinggi.
Selanjutnya, pembentukan peraturan perundang-udangan jangan terburu-buru, yang didorong oleh kepentingan sesaat, karena hal ini hanya akan melahirkan suatu produk hukum yang tidak mengakomodir kepentingan seluruh elemen masyarakat. Dengan demikian, diharapkan adanya partisipasi dari masyarakat, baik itu dalam rangka penyiapan maupun pembahasan dari suatu rancangan peraturan perundang-undangan.

Penutup  
Dalam konteks ini, dapat dianalogikan bahwa terwujudnya substansi hukum melalui peraturan perundang-undangan, serupa dengan penciptaan karya-karya seni lainnya, yang dilakukan melalui proses berliku, serta diisi oleh nilai-nilai yang baik, sehingga pada hakikatnya dapat dinikmati oleh segenap komponen masyarakat. Dengan lahirnya suatu payung hukum berbentuk peraturan perundang-undangan, masyarakat akan menemukan keteraturan dan stabilitas, dimana stabilitas akan menjamin ketertiban dalam masyarakat.
Oleh karena itu, baik atau buruknya suatu karya seni berupa peraturan perundang-undangan, dapat diimplementasikan atau justru menjadi kumpulan peraturan yang tak berfungsi, akan kembali berpulang pada penilaian masyarakat itu sendiri. Tidak kalah pentingnya, semoga ketika substansi hukum dibentuk dengan corak partisipatif, maka seyogyanya aparatur hukum dan juga masyarakat sebagai struktur sekaligus budaya hukum, dapat mengemban hukum dengan penuh amanat dan tanggung jawab, sehingga hukum dapat dijalankan sesuai dengan hakikatnya. Semoga!
*Tulisan ini juga dimuat pada Harian Waspada, Rabu 15 Juni 2016



[1]  Penulis adalah PNS di Sekretariat Majelis Permusyawaratan Ulama Aceh Tamiang. Pengajar Program Magister Ilmu Hukum UMA dan UMSU.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar