Sabtu, 14 Mei 2016

Bendera Aceh, Riwayatmu Kini

Bendera Aceh, Riwayatmu Kini
Oleh: Dr. Cakra Arbas, SH.I, MH.[1]

Tarik ulur anasir hukum dan politik di Provinsi Aceh, paska dibentuknya Qanun Aceh No. 3 Tahun 2013 tentang Bendera dan Lambang Aceh, dapat dipastikan telah menemui titik terang. Hal ini dapat dianalisa berdasarkan headline pemberitaan di Harian Waspada tertanggal 29 April 2016, bahwa Wakil Presiden Republik Indonesia (H. M. Jusuf Kalla) dihadapan forum koordinasi pimpinan daerah Aceh (Forkopimda Aceh), menegaskan bahwa bendera Aceh harus diubah.
Mengingat bahwa baik unsur pemerintahan Aceh maupun masyarakat Aceh yang berada di dalam dan di luar Aceh, telah menguras pikiran, tenaga, dan waktu semenjak Tahun 2013, untuk mendiskusikan bahkan tidak jarang terjadi perang urat syaraf, oleh sesama masyarakat Aceh dalam menanggapi friksi dari amanat Qanun Aceh tentang Bendera dan Lambang Aceh tersebut. Betapa tidak, bahwa Qanun yang diharapakan mampu mengakomodir seluruh unsur dan elemen masyarakat Aceh, namun oleh sebahagian kalangan justru dinilai tidak mampu merepresentasikan Aceh sebagai salah satu daerah otonom di Negara Kesatuan Republik Indonesia, yang penuh akan keanekaragaman suku, budaya, dan adat istiadat.
Kini, setelah adanya penegasan dari Wakil Presiden terkait status bendera Aceh, sudah barang tentu status “bola liar” tentang bendera, akan kembali menggelinding dan menjadi pekerjaan rumah pemerintahan Aceh dihari-hari mendatang. Bahwa kedepannya terdapat 2 (dua) pilihan dari pemerintahan Aceh dalam menyikapi penegasan Wakil Presiden, yaitu: Pertama, pemerintahan Aceh akan berjiwa besar untuk merubah sebahagian substansi Qanun, sehingga dapat diimplementasikan. Kedua, pemerintahan Aceh bersikukuh tidak akan merubah substansi Qanun, dengan demikian tidak dapat diimplementasikan, bahkan jika dilanggar tidak menutup kemungkinan alat-alat negara akan mengambil tindakan.

Yuridis Bendera Aceh
Perkembangan politik hukum di Provinsi Aceh, khususnya terkait eksistensi Bendera Aceh, pada prinsipnya telah dijabarkan melalui amanat MoU Helsinki, dalam hal ini khususnya sebagaimana bunyi poin 1.1.5 yang menegaskan bahwa “Aceh memiliki hak untuk menggunakan simbol-simbol wilayah termasuk bendera, lambang, dan himne”. Disisi lain, MoU Helsinki juga mengamanatkan bahwa paska penandatanganan MoU Helsinki, diwajibkan kepada Gerakan Aceh Merdeka (GAM) untuk tidak menunjukkan emblem atau simbol militer, sebagaimana bunyi poin 4.2 yaitu “GAM melakukan demobilisasi atas semua 3000 pasukan militernya. Anggota GAM tidak akan memakai seragam maupun menunjukkan emblem atau simbol militer setelah penandatanganan nota kesepahaman ini”.
Kewenangan untuk membentuk bendera Aceh, selanjutnya diamanatkan melalui Undang-undang No. 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh, khususnya pasal 246 ayat (2) yang berbunyi “Selain bendera merah putih sebagaimana dimaksud pada ayat 1, Pemerintah Aceh dapat menentukan dan menetapkan bendera daerah Aceh sebagai lambang yang mencerminkan keistimewaan dan kekhususan”. Pada kesempatan yang sama, bahwa bendera Aceh bukan sebagai simbol kedaulatan, sesuai dengan amanat pasal 246 ayat (3) yaitu “Bendera Aceh sebagai lambang sebagaimana dimaksud pada ayat 2 bukan merupakan simbol kedaulatan dan tidak diberlakukan sebagai bendera kedaulatan di Aceh”.
Selanjutnya pemerintahan Aceh dalam menetapkan bendera, juga harus berpedoman pada peraturan perundang-undangan yang berlaku, hal ini ditegaskan oleh pasal 246 ayat (4) yaitu “ketentuan lebih lanjut mengenai bentuk bendera sebagai lambang sebagaimana dimaksud pada ayat 2 diatur dalam Qanun Aceh yang berpedoman pada peraturan perundang-undangan”. Artinya bahwa kewenangan yang dimiliki pemerintahan Aceh untuk membentuk bendera, bukanlah suatu kewenangan yang bebas dan mutlak, karena pemerintahan Aceh harus tetap merujuk pada peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Adapun peraturan perundang-undangan yang mengatur terkait teknis mengenai bendera yakni, Peraturan Pemerintah No. 77 Tahun 2007 tentang Lambang Daerah. Pada prinsipnya menerangkan bahwa lambang daerah pada hakikatnya sebagai pemersatu masyarakat, sebagaimana amanat pasal 3 ayat (2) yang berbunyi “Lambang daerah berfungsi sebagai pengikat kesatuan sosial budaya masyarakat daerah dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia”. Dalam hal ini bahwa bendera Aceh diharapkan kehadirannya sebagai pemersatu seluruh unsur dan elemen masyarakat Aceh.
Amanat berikutnya dari Peraturan Pemerintah No. 77 Tahun 2007 tentang lambang daerah, bahwa bendera daerah tidak boleh mempunyai kesamaan dengan organisasi terlarang/gerakan separatis, hal ini ditegaskan melalui pasal 6 ayat (4) yang berbunyi “Desain logo dan bendera daerah tidak boleh mempunyai persamaan pada pokoknya atau keseluruhannya dengan desain logo dan bendera organisasi terlarang atau organisasi/perkumpulan/lembaga/gerakan separatis dalam negara kesatuan Republik Indonesia”.
Selanjutnya pada penjelasan dari pasal 6 ayat (4) menerangkan bahwa “yang dimaksud dengan desain logo dan bendera organisasi terlarang atau organisasi/perkumpulan/lembaga/gerakan separatis dalam ketentuan ini misalnya logo dan bendera bulan sabit yang digunakan oleh gerakan separatis di Provinsi Aceh, logo burung mambruk dan bintang kejora yang digunakan oleh gerakan separatis di Provinsi Papua, serta bendera benang raja yang digunakan oleh gerakan separatis di Provinsi Maluku”.

Penutup
Berdasarkan Undang-Undang tentang Pemerintahan Aceh, serta berbagai amanat dari Peraturan Pemerintah tentang Lambang Daerah, setidak-tidaknya dapat ditarik beberapa kesimpulan, yaitu: Pertama, bahwa pemerintahan Aceh memiliki kewenangan untuk membentuk bendera di Provinsi Aceh. Kedua, bahwa bendera Aceh yang dibentuk, hendaknya tidak memiliki kesamaan (baik keseluruhan maupun sebahagian) dengan bendera gerakan separatis. Ketiga, bahwa esensi dari adanya bendera Aceh, merupakan sebagai pemersatu seluruh komponen masyarakat Aceh.
Semoga pemerintahan Aceh dapat berlaku arif dan bijaksana, dalam hal ini lebih mengutamakan suatu keputusan yang mendatangkan kemanfaatan bagi seluruh masyarakat Aceh. Sekaligus diharapkan keputusan yang diambil dapat mempererat persatuan dan kesatuan seluruh entitas yang hidup dan berkembang di Aceh. Semoga!
*Tulisan ini juga dimuat pada Harian Waspada, jumat 6 Mei 2016



[1]  Penulis adalah PNS Pemkab Aceh Tamiang, dan Staf Pengajar Program Pascasarjana Magister Ilmu Hukum, UMA dan UMSU.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar