Bendera Aceh,
Riwayatmu Kini
Tarik ulur
anasir hukum dan politik di Provinsi Aceh, paska dibentuknya Qanun Aceh No. 3
Tahun 2013 tentang Bendera dan Lambang Aceh, dapat dipastikan telah menemui
titik terang. Hal ini dapat dianalisa berdasarkan headline pemberitaan di
Harian Waspada tertanggal 29 April 2016, bahwa Wakil Presiden Republik
Indonesia (H. M. Jusuf Kalla) dihadapan forum koordinasi pimpinan daerah Aceh
(Forkopimda Aceh), menegaskan bahwa bendera Aceh harus diubah.
Mengingat bahwa
baik unsur pemerintahan Aceh maupun masyarakat Aceh yang berada di dalam dan di
luar Aceh, telah menguras pikiran, tenaga, dan waktu semenjak Tahun 2013, untuk
mendiskusikan bahkan tidak jarang terjadi perang urat syaraf, oleh sesama
masyarakat Aceh dalam menanggapi friksi dari amanat Qanun Aceh tentang Bendera
dan Lambang Aceh tersebut. Betapa tidak, bahwa Qanun yang diharapakan mampu
mengakomodir seluruh unsur dan elemen masyarakat Aceh, namun oleh sebahagian
kalangan justru dinilai tidak mampu merepresentasikan Aceh sebagai salah satu
daerah otonom di Negara Kesatuan Republik Indonesia, yang penuh akan
keanekaragaman suku, budaya, dan adat istiadat.
Kini, setelah
adanya penegasan dari Wakil Presiden terkait status bendera Aceh, sudah barang
tentu status “bola liar” tentang bendera, akan kembali menggelinding dan
menjadi pekerjaan rumah pemerintahan Aceh dihari-hari mendatang. Bahwa
kedepannya terdapat 2 (dua) pilihan dari pemerintahan Aceh dalam menyikapi
penegasan Wakil Presiden, yaitu: Pertama,
pemerintahan Aceh akan berjiwa besar untuk merubah sebahagian substansi Qanun,
sehingga dapat diimplementasikan. Kedua,
pemerintahan Aceh bersikukuh tidak akan merubah substansi Qanun, dengan
demikian tidak dapat diimplementasikan, bahkan jika dilanggar tidak menutup
kemungkinan alat-alat negara akan mengambil tindakan.
Yuridis Bendera
Aceh
Perkembangan
politik hukum di Provinsi Aceh, khususnya terkait eksistensi Bendera Aceh, pada
prinsipnya telah dijabarkan melalui amanat MoU Helsinki, dalam hal ini
khususnya sebagaimana bunyi poin 1.1.5 yang menegaskan bahwa “Aceh memiliki hak untuk menggunakan
simbol-simbol wilayah termasuk bendera, lambang, dan himne”. Disisi lain,
MoU Helsinki juga mengamanatkan bahwa paska penandatanganan MoU Helsinki,
diwajibkan kepada Gerakan Aceh Merdeka (GAM) untuk tidak menunjukkan emblem
atau simbol militer, sebagaimana bunyi poin 4.2 yaitu “GAM melakukan demobilisasi atas semua 3000 pasukan militernya. Anggota
GAM tidak akan memakai seragam maupun menunjukkan emblem atau simbol militer
setelah penandatanganan nota kesepahaman ini”.
Kewenangan
untuk membentuk bendera Aceh, selanjutnya diamanatkan melalui Undang-undang No.
11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh, khususnya pasal 246 ayat (2) yang
berbunyi “Selain bendera merah putih
sebagaimana dimaksud pada ayat 1, Pemerintah Aceh dapat menentukan dan
menetapkan bendera daerah Aceh sebagai lambang yang mencerminkan keistimewaan
dan kekhususan”. Pada kesempatan yang sama, bahwa bendera Aceh bukan
sebagai simbol kedaulatan, sesuai dengan amanat pasal 246 ayat (3) yaitu “Bendera Aceh sebagai lambang sebagaimana
dimaksud pada ayat 2 bukan merupakan simbol kedaulatan dan tidak diberlakukan
sebagai bendera kedaulatan di Aceh”.
Selanjutnya pemerintahan
Aceh dalam menetapkan bendera, juga harus berpedoman pada peraturan
perundang-undangan yang berlaku, hal ini ditegaskan oleh pasal 246 ayat (4)
yaitu “ketentuan lebih lanjut mengenai
bentuk bendera sebagai lambang sebagaimana dimaksud pada ayat 2 diatur dalam
Qanun Aceh yang berpedoman pada peraturan perundang-undangan”. Artinya
bahwa kewenangan yang dimiliki pemerintahan Aceh untuk membentuk bendera,
bukanlah suatu kewenangan yang bebas dan mutlak, karena pemerintahan Aceh harus
tetap merujuk pada peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Adapun peraturan
perundang-undangan yang mengatur terkait teknis mengenai bendera yakni,
Peraturan Pemerintah No. 77 Tahun 2007 tentang Lambang Daerah. Pada prinsipnya
menerangkan bahwa lambang daerah pada hakikatnya sebagai pemersatu masyarakat,
sebagaimana amanat pasal 3 ayat (2) yang berbunyi “Lambang daerah berfungsi sebagai pengikat kesatuan sosial budaya
masyarakat daerah dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia”. Dalam hal ini
bahwa bendera Aceh diharapkan kehadirannya sebagai pemersatu seluruh unsur dan
elemen masyarakat Aceh.
Amanat
berikutnya dari Peraturan Pemerintah No. 77 Tahun 2007 tentang lambang daerah,
bahwa bendera daerah tidak boleh mempunyai kesamaan dengan organisasi
terlarang/gerakan separatis, hal ini ditegaskan melalui pasal 6 ayat (4) yang
berbunyi “Desain logo dan bendera daerah
tidak boleh mempunyai persamaan pada pokoknya atau keseluruhannya dengan desain
logo dan bendera organisasi terlarang atau
organisasi/perkumpulan/lembaga/gerakan separatis dalam negara kesatuan Republik
Indonesia”.
Selanjutnya pada
penjelasan dari pasal 6 ayat (4) menerangkan bahwa “yang dimaksud dengan desain logo dan bendera organisasi terlarang atau
organisasi/perkumpulan/lembaga/gerakan separatis dalam ketentuan ini misalnya
logo dan bendera bulan sabit yang digunakan oleh gerakan separatis di Provinsi
Aceh, logo burung mambruk dan bintang kejora yang digunakan oleh gerakan
separatis di Provinsi Papua, serta bendera benang raja yang digunakan oleh
gerakan separatis di Provinsi Maluku”.
Penutup
Berdasarkan
Undang-Undang tentang Pemerintahan Aceh, serta berbagai amanat dari Peraturan
Pemerintah tentang Lambang Daerah, setidak-tidaknya dapat ditarik beberapa
kesimpulan, yaitu: Pertama, bahwa pemerintahan
Aceh memiliki kewenangan untuk membentuk bendera di Provinsi Aceh. Kedua, bahwa bendera Aceh yang dibentuk,
hendaknya tidak memiliki kesamaan (baik keseluruhan maupun sebahagian) dengan
bendera gerakan separatis. Ketiga, bahwa
esensi dari adanya bendera Aceh, merupakan sebagai pemersatu seluruh komponen masyarakat
Aceh.
Semoga pemerintahan
Aceh dapat berlaku arif dan bijaksana, dalam hal ini lebih mengutamakan suatu
keputusan yang mendatangkan kemanfaatan bagi seluruh masyarakat Aceh. Sekaligus
diharapkan keputusan yang diambil dapat mempererat persatuan dan kesatuan
seluruh entitas yang hidup dan berkembang di Aceh. Semoga!
*Tulisan ini juga dimuat pada Harian Waspada, jumat 6 Mei 2016
[1]
Penulis adalah PNS Pemkab
Aceh Tamiang, dan
Staf Pengajar Program Pascasarjana Magister Ilmu Hukum, UMA dan UMSU.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar