Kamis, 28 April 2016

Gebyar Otonomi Daerah

Gebyar Otonomi Daerah
(Peringatan Hari Otonomi Daerah ke-20)
Oleh: Dr. Cakra Arbas, SH.I, MH.[1]

Peringatan “Hari Otonomi Daerah” secara nasional setiap tanggal 25 April, dilaksanakan melalui upacara di berbagai daerah otonom, merupakan amanat dari Keputusan Presiden Republik Indonesia No. 11 Tahun 1996 tentang Hari Otonomi Daerah. Adapun tujuannya yaitu dalam rangka memasyarakatkan pelaksanaan otonomi daerah di setiap tingkatan pemerintahan, mulai dari pusat sampai dengan daerah.
Berdasarkan amanat Menteri Dalam Negeri, tema yang disematkan pada peringatan Hari Otonomi Daerah ke-20 adalah “Memantapkan Otonomi Daerah Menghadapi Tantangan Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA)”. Adapun hakikat yang dimaksud yaitu: Pertama, Otonomi Daerah yang telah menjadi komitmen dan konsensus para pendiri bangsa Indonesia sebagaimana diamanatkan dalam UUDNRI Tahun 1945, bertujuan untuk meningkatkan kesejahteraan dan pemberdayaan masyarakat, melalui peningkatan kualitas pelayanan publik, peningkatan daya saing daerah, dan pengembangan demokrasi lokal.
Kedua, seiring dengan telah diberlakukan MEA pada tahun 2016, diharapkan pemerintah daerah menata seluruh komponen dan elemen dari otonomi daerah, agar bangsa Indonesia tidak menjadi penonton dalam era persaingan bebas tersebut. Ketiga, melalui pemantapan otonomi daerah, akan meneguhkan posisi Indonesia, sekaligus mampu bersaing dengan negara-negara dilingkungan ASEAN.
   
Pusat - Daerah
Praktek penyelenggaraan pemerintahan, dewasa ini menunjukkan bahwa tidak jarang terjadi distorsi antara kebijakan nasional dengan kebijakan daerah, serta belum efektifnya koordinasi antara pemerintah pusat dengan pemerintah daerah. Setidak-tidaknya hal ini tercermin atas berbagai realita yang melingkupi payung hukum di berbagai daerah otonom.
Bahwa acapkali berbagai payung hukum yang berbentuk Peraturan Daerah (Perda), saling tumpang tindih bahkan tidak jarang turut bertentangam dengan peraturan perundang-undangan yang mengamanatkannya. Sehingga tanpa dipahami oleh pemerintah daerah, secara tidak langsung akan menghambat iklim investasi, berikut amburadulnya tata kelola birokrasi.
Tidak salah kiranya ketika Menteri Dalam Negeri, melalui amanatnya menyampaikan hasil survey doing business oleh International Finance Coorporation (IFC) – World Bank Tahun 2015, menyatakan bahwa untuk penyelesaian perizinan memulai usaha di Indonesia masih membutuhkan waktu rata-rata 52,5 hari, sedangkan Vietnam 34 hari, Thailand 27,5 hari, Timor Leste 10 hari, Malaysia 5,5 hari, dan Singapura 2,5 hari. Informasi tersebut telah mendeskripsikan bahwa dalam penyelesaian ijin memulai usaha, Indonesia masih jauh berada di bawah negara lainnya di kawasan ASEAN.
Untuk mewujudkan keterpaduan pengelolaan program pembangunan keseluruhan secara nasional, diperlukan sinergitas antara kebijakan secara nasional dengan kebijakan di daerah otonom. Sebagaimana yang dilansir Tempo tertanggal 1 April 2015, bahwa Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) dalam periode 5 tahun terakhir, telah menginvetarisir sekaligus membatalkan dan mencabut sekitar 9000 Perda yang dinilai bermasalah. Ironinya, sebahagian besar Perda yang dimaksud, substansinya berkaitan dengan penyerapan pajak dan retribusi daerah.
Atas realita tersebut, sudah barang tentu disisi yang lain hal ini mengindikasikan bahwa pemerintah daerah telah melakukan pemborosan terhadap pengelolaan dana masyarakatnya. Mengingat tidak sedikit biaya yang dianggarkan dalam membentuk atau menyusun suatu Perda. Artinya jika anggaran dari ribuan Perda yang bermasalah, dikonversikan dalam kegiatan pembangunan infrastruktur dan peningkatan sumber daya manusia, tentu dapat diyakini telah memberikan hasil dan kontribusi nyata di tengah-tengah masyarakat.
Apakah perihal ini murni dikarenakan ketidakcakapan oknum pemerintah daerah dalam menyusun Perda ? atau jangan-jangan patut diduga bahwa adanya unsur kesengajaan dari oknum pemerintah daerah untuk mengelabui masyarakatnya, sehingga mampu memanipulasi pajak dan retribusi daerah, untuk meningkatkan Pendapatan Asli Daerah (PAD) ? lantas, akankah daerah otonom tempat berpijak mampu melepaskan dririnya dari praktik tipu muslihat tersebut ?

Sepintas Lalu
Bagir Manan (2001) berpandangan bahwa otonomi bukan sekedar pemancaran penyelenggaraan pemerintahan untuk mencapai efisiensi dan efektivitas pemerintahan, otonomi adalah sebuah tatanan ketatanegaraan. Oleh karena itu, Miftah Toha (2013) menerangkan bahwa otonomi daerah dalam konteks negara kesatuan, sama sekali tidak menghilangkan peranan kepentingan pemerintah pusat di daerah, baik struktural maupun sistemik.
Dengan demikian, otonomi harus dilakukan dalam wujud merepresentasikan daerah otonom sebagai entitas negara kesatuan, sehingga kepentingan pemerintah pusat dapat dijabarkan oleh pemerintah daerah secara totalitas. Sekaligus dapat terwujud keterpaduan dan adanya sinergitas pembanguan secara nasional. Tidak kalah pentingnya dengan mereview terkait penyelenggaraan pemerintahan daerah, khususnya yang bersinggungan dengan efektifitas penyelenggaraan pemerintahan.
Sebagaimana pandangan Ramlan Surbakti (2013), bahwa pemerintahan daerah yang efektif dapat dinilai atas 2 (dua) kriteria, yaitu: Pertama, kebijakan publik daerah yang disepakati oleh Kepala Daerah dan DPRD telah sesuai dengan aspirasi masyarakatnya. Kedua, kebijakan publik daerah tersebut dapat diimplementasikan menjadi kenyataan sehingga manfaatnya dapat dirasakan oleh masyarakatnya.

Penutup
Faktanya tidak jarang efektifitas pemerintahan hanya menjadi pepesan kosong, dan hanya sebagai simbol komoditas politik bagi daerah otonom yang akan melaksanakan hajatan pemilihan kepala daerah. Sepantasnya melalui peringatan otonomi daerah semoga timbul kesadaran sekaligus keinginan menjadi lebih baik oleh: Pertama, masyarakat di daerah otonom agar tidak terbawa arus janji manis calon kepala daerah. Kedua, unsur dan stakeholder pemerintahan daerah hendaknya bertindak secara bijaksana dalam rangka mengimplementasikan otonomi daerah, yang sesuai dengan asas, tujuan, dan manfaat. Gebyar Otonomi Daerah ke-20 (25 April 1996 – 25 April 2016).
*Tulisan ini juga dimuat pada Harian Waspada, Rabu 27 April 2016



[1]  Penulis adalah PNS Pemkab Aceh Tamiang, dan Staf Pengajar Program Pascasarjana Magister Ilmu Hukum, UMA dan UMSU.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar