Gebyar Otonomi
Daerah
(Peringatan Hari Otonomi Daerah ke-20)
Peringatan “Hari
Otonomi Daerah” secara nasional setiap tanggal 25 April, dilaksanakan melalui
upacara di berbagai daerah otonom, merupakan amanat dari Keputusan Presiden
Republik Indonesia No. 11 Tahun 1996 tentang Hari Otonomi Daerah. Adapun
tujuannya yaitu dalam rangka memasyarakatkan pelaksanaan otonomi daerah di
setiap tingkatan pemerintahan, mulai dari pusat sampai dengan daerah.
Berdasarkan
amanat Menteri Dalam Negeri, tema yang disematkan pada peringatan Hari Otonomi
Daerah ke-20 adalah “Memantapkan Otonomi Daerah Menghadapi Tantangan Masyarakat
Ekonomi ASEAN (MEA)”. Adapun hakikat yang dimaksud yaitu: Pertama, Otonomi Daerah yang telah menjadi komitmen dan konsensus
para pendiri bangsa Indonesia sebagaimana diamanatkan dalam UUDNRI Tahun 1945,
bertujuan untuk meningkatkan kesejahteraan dan pemberdayaan masyarakat, melalui
peningkatan kualitas pelayanan publik, peningkatan daya saing daerah, dan
pengembangan demokrasi lokal.
Kedua, seiring
dengan telah diberlakukan MEA pada tahun 2016, diharapkan pemerintah daerah
menata seluruh komponen dan elemen dari otonomi daerah, agar bangsa Indonesia
tidak menjadi penonton dalam era persaingan bebas tersebut. Ketiga, melalui pemantapan otonomi
daerah, akan meneguhkan posisi Indonesia, sekaligus mampu bersaing dengan
negara-negara dilingkungan ASEAN.
Pusat - Daerah
Praktek penyelenggaraan pemerintahan, dewasa ini
menunjukkan bahwa tidak jarang terjadi distorsi antara kebijakan nasional
dengan kebijakan daerah, serta belum efektifnya koordinasi antara pemerintah
pusat dengan pemerintah daerah. Setidak-tidaknya hal ini tercermin atas
berbagai realita yang melingkupi payung hukum di berbagai daerah otonom.
Bahwa acapkali berbagai payung hukum yang berbentuk
Peraturan Daerah (Perda), saling tumpang tindih bahkan tidak jarang turut
bertentangam dengan peraturan perundang-undangan yang mengamanatkannya.
Sehingga tanpa dipahami oleh pemerintah daerah, secara tidak langsung akan
menghambat iklim investasi, berikut amburadulnya tata kelola birokrasi.
Tidak salah kiranya ketika Menteri Dalam Negeri,
melalui amanatnya menyampaikan hasil survey
doing business oleh International
Finance Coorporation (IFC) – World Bank Tahun 2015, menyatakan bahwa untuk
penyelesaian perizinan memulai usaha di Indonesia masih membutuhkan waktu
rata-rata 52,5 hari, sedangkan Vietnam 34 hari, Thailand 27,5 hari, Timor Leste
10 hari, Malaysia 5,5 hari, dan Singapura 2,5 hari. Informasi tersebut telah mendeskripsikan
bahwa dalam penyelesaian ijin memulai usaha, Indonesia masih jauh berada di
bawah negara lainnya di kawasan ASEAN.
Untuk mewujudkan keterpaduan pengelolaan program
pembangunan keseluruhan secara nasional, diperlukan sinergitas antara kebijakan
secara nasional dengan kebijakan di daerah otonom. Sebagaimana yang dilansir
Tempo tertanggal 1 April 2015, bahwa Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri)
dalam periode 5 tahun terakhir, telah menginvetarisir sekaligus membatalkan dan
mencabut sekitar 9000 Perda yang dinilai bermasalah. Ironinya, sebahagian besar
Perda yang dimaksud, substansinya berkaitan dengan penyerapan pajak dan
retribusi daerah.
Atas realita tersebut, sudah barang tentu disisi yang
lain hal ini mengindikasikan bahwa pemerintah daerah telah melakukan pemborosan
terhadap pengelolaan dana masyarakatnya. Mengingat tidak sedikit biaya yang
dianggarkan dalam membentuk atau menyusun suatu Perda. Artinya jika anggaran
dari ribuan Perda yang bermasalah, dikonversikan dalam kegiatan pembangunan infrastruktur
dan peningkatan sumber daya manusia, tentu dapat diyakini telah memberikan hasil
dan kontribusi nyata di tengah-tengah masyarakat.
Apakah perihal ini murni dikarenakan ketidakcakapan
oknum pemerintah daerah dalam menyusun Perda ? atau jangan-jangan patut diduga
bahwa adanya unsur kesengajaan dari oknum pemerintah daerah untuk mengelabui masyarakatnya,
sehingga mampu memanipulasi pajak dan retribusi daerah, untuk meningkatkan
Pendapatan Asli Daerah (PAD) ? lantas, akankah daerah otonom tempat berpijak
mampu melepaskan dririnya dari praktik tipu muslihat tersebut ?
Sepintas Lalu
Bagir Manan (2001) berpandangan bahwa otonomi bukan
sekedar pemancaran penyelenggaraan pemerintahan untuk mencapai efisiensi dan
efektivitas pemerintahan, otonomi adalah sebuah tatanan ketatanegaraan. Oleh
karena itu, Miftah Toha (2013) menerangkan bahwa otonomi daerah dalam konteks
negara kesatuan, sama sekali tidak menghilangkan peranan kepentingan pemerintah
pusat di daerah, baik struktural maupun sistemik.
Dengan demikian, otonomi harus dilakukan dalam wujud merepresentasikan
daerah otonom sebagai entitas negara kesatuan, sehingga kepentingan pemerintah
pusat dapat dijabarkan oleh pemerintah daerah secara totalitas. Sekaligus dapat
terwujud keterpaduan dan adanya sinergitas pembanguan secara nasional. Tidak
kalah pentingnya dengan mereview terkait penyelenggaraan pemerintahan daerah,
khususnya yang bersinggungan dengan efektifitas penyelenggaraan pemerintahan.
Sebagaimana pandangan Ramlan Surbakti (2013), bahwa
pemerintahan daerah yang efektif dapat dinilai atas 2 (dua) kriteria, yaitu: Pertama, kebijakan publik daerah yang
disepakati oleh Kepala Daerah dan DPRD telah sesuai dengan aspirasi
masyarakatnya. Kedua, kebijakan
publik daerah tersebut dapat diimplementasikan menjadi kenyataan sehingga
manfaatnya dapat dirasakan oleh masyarakatnya.
Penutup
Faktanya tidak jarang efektifitas pemerintahan hanya
menjadi pepesan kosong, dan hanya sebagai simbol komoditas politik bagi daerah
otonom yang akan melaksanakan hajatan pemilihan kepala daerah. Sepantasnya
melalui peringatan otonomi daerah semoga timbul kesadaran sekaligus keinginan menjadi
lebih baik oleh: Pertama, masyarakat
di daerah otonom agar tidak terbawa arus janji manis calon kepala daerah. Kedua, unsur dan stakeholder pemerintahan daerah hendaknya bertindak secara
bijaksana dalam rangka mengimplementasikan otonomi daerah, yang sesuai dengan
asas, tujuan, dan manfaat. Gebyar Otonomi
Daerah ke-20 (25 April 1996 – 25 April 2016).
*Tulisan ini juga dimuat pada Harian Waspada, Rabu 27 April 2016
[1]
Penulis adalah PNS Pemkab
Aceh Tamiang, dan
Staf Pengajar Program Pascasarjana Magister Ilmu Hukum, UMA dan UMSU.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar