Minggu, 03 April 2016

Oase Kepala Daerah

Oase Kepala Daerah
Oleh: Dr. Cakra Arbas, SH.I, MH.[1]

Kepala daerah dapat diasumsikan satu diantara sekian banyak status dan kedudukan yang memiliki nilai prestisius di tengah-tengah masyarakat, tidak dapat dipungkiri bahwa kedudukan sebagai kepala daerah mampu menjadi magnet yang tidak hanya melingkupi lapisan masyarakat berlabel borjuis, akan tetapi faktanya juga diimpikan oleh kalangan masyarakat berekonomi rendah.
Setidak-tidaknya hal ini dapat dipersaksikan diberbagai daerah otonom yang hendak menyelenggarakan hajatan pemilihan kepala daerah, bahwa besarnya harapan dan keinginan dari para tokoh baik yang berkecimpung dibidang pemerintahan, sosial kemasyarakatan, pemuka agama, para saudagar, sekaligus masyarakat biasa. Agar senantiasa dipinang atau diusung baik oleh partai politik, maupun dari non partisan yang akrab disapa dengan jalur independen, dalam rangka berpartisipasi sebagai kandidat calon kepala daerah.
Pada kesempatan yang sama, memang benar bahwa di beberapa daerah otonom masih terdapat oase ditengah carut marut pemilihan kepala daerah. Akan tetapi tidak jarang pula untuk menggapai impian yang dimaksud, telah menjadi rahasia umum selalu bermunculan berbagai oknum yang menghalalkan berbagai macam cara, mulai dari yang mendasar berupa money politic, serta menggerakkan alat-alat kekuasaan, yang bertujuan untuk memanipulasi data baik itu dari proses pencalonan sampai dengan proses penghitungan, dan rekapitulasi surat suara.

Wacana Revisi
Pada prinsipnya, secara normatif berbagai peraturan perundang-undangan yang dijadikan sebagai payung hukum dalam mengawal proses pemilihan kepala daerah, sudah cukup maksimal. Bahkan stakeholder di level pusat telah berupaya agar berbagai regulasi tersebut dapat mewujudkan hakikat dari proses pemilihan kepala daerah, dalam mendeskripsikan wujud nyata dari otonomi daerah.
Bahwa salah satu cara untuk menutupi celah praktik kecurangan, maka diformulasikan agar pemilihan kepala daerah dilakukan secara serentak, dan hal ini telah mampu diselenggarakan pada penghujung Tahun 2015. Termasuk diantaranya melalui pembatasan kriteria bagi masyarakat yang telah berkedudukan sebagai pejabat pemerintahan, baik yang berkecimpung di wilayah eksekutif, maupun di wilayah legislatif.
Namun demikian, untuk menghadapi pemilihan kepala daerah serentak di Tahun 2017, perkembangan terkini telah santer terdengar bahwa adanya kasak kusuk dari para pembuat kebijakan, agar dilakukannya konsensus untuk merevisi  beberapa norma yang telah dijadikan sebagai landasan pada pemilihan serentak beberapa waktu yang lalu. Dengan kata lain, dapat dipastikan bahwa jika konsensus yang dimaksud mampu disepakati, maka pelaksanaan pemilihan kepala daerah Tahun 2017, tidak akan sama dengan proses pemilihan kepala daerah di Tahun 2015.
Dalam hal ini, sebagaimana yang diekspose berbagai media bahwa tercatat ada 2 (dua) norma utama yang diwacanakan untuk dilakukan revisi, yaitu: Pertama, norma yang berkaitan dengan syarat mundur atau melepaskan jabatan bagi para pejabat negara yang hendak berpartisipasi dalam pencalonan kepala daerah. Kedua, adanya pengkajian yang akan merumuskan berbagai persyaratan dan kualifikasi bagi calon kepala daerah yang mendaftarkan dirinya melalui jalur independen.
Lantas, mengapa wacana revisi norma tersebut bergulir ? apakah wacana revisi tersebut semata-mata demi kepentingan masyarakat umum ? atau jangan-jangan patut diduga bahwa hanya untuk mengamankan kepentingan elit ? dengan demikian, bisakah dikategorikan bahwa pemilihan kepala daerah Tahun 2017 adalah pemilihan yang khusus dan istimewa ?
Mengingat bahwa di Tahun 2017 akan berlangsung pemilihan kepala daerah, oleh beberapa daerah otonom yang diberi label sifat keistimewaan dan kekhususan dalam menjalankan pemerintahan daerah. Sehingga memberi legitimasi bahwa pelaksanaan pemilihan kepala daerah di daerah otonom yang menyandang status istimewa dan khusus, merupakan representasi sekaligus barometer dalam menyongsong pemilihan umum Tahun 2019.

Preseden Ogan Ilir  
Bahwa tuntasnya berbagai rangkaian dalam proses pemilihan kepala daerah serentak di Tahun 2015, faktanya tidak serta merta menuntaskan berbagai tanggung jawab yang dipikul oleh para penyelenggara pemilihan kepala daerah. Hal ini terbukti sebagaimana yang telah menjadi santapan media, bahwa beberapa waktu lalu adanya penggrebekan yang dilakukan oleh aparat berwenang, dan membidik salah satu oknum kepala daerah di Kabupaten Ogan Ilir.
Bagaikan jatuh tertimpa tangga, tidak hanya menjadi pesakitan atas berbagai dugaan yang terindikasi pada peristiwa penggrebekan. Akan tetapi, oknum kepala daerah tersebut turut mendapat kemalangan, sebagaimana yang diberitakan oleh Harian Waspada, Jum’at 18 Maret 2016, bahwa Menteri Dalam Negeri memecat Bupati Ogan Ilir.
Atas preseden tersebut, disatu sisi hal ini telah menggambarkan bahwa semaksimal apapun norma yang diamanatkan dalam peraturan perundang-undangan, selalu terdapat celah yang dapat dimainkan berbagai oknum dalam melaksanakan proses pemilihan kepala daerah. Preseden ini hakikatnya telah membenarkan pandangan dari Lawrence M. Friedman bahwa efektif dan berhasil tidaknya pelaksanaan hukum, tergantung relasi dari struktur hukum, substansi hukum, dan yang mendasar adalah budaya hukum. (Lawrence M. Friedman, 1984)

Penutup
Terakhir tidak ada salahnya untuk melakukan introspeksi diri, sebagaimana HAMKA berpesan bahwa ada sebab-sebab diri celaka, yaitu tidak terdapat pembagian kerja yang teratur dalam masyarakat, karena masyarakat yang tidak lagi mengenali dirinya, semuanya berduyun mengejar pangkat. Dan yang akan berhasil meniti hidup adalah yang bekerja menurut kecendrungan jiwanya, menurut bentuk yang telah dituangkan Tuhan kedalam jiwanya sejak dia dilahirkan. (HAMKA, 1990)
Semoga besarnya prestisius atas kedudukan sebagai kepala daerah, tidak menyilaukan para kandidat yang akan berpartisipasi dalam pemilihan kepala daerah, maupun masyarakat di daerah otonom itu sendiri, sehingga kiranya masyarakat dalam menentukan kepala daerah dapat berpikir secara logis dan rasional. Artinya, baik atau buruknya kepala daerah yang terpilih adalah wujud nyata dari representasi karakteristik masyarakat yang memilihnya. Semoga!
*Tulisan ini juga dimuat pada Harian Waspada, Rabu 30 Maret 2016



[1]  Penulis adalah PNS Pemkab Aceh Tamiang, dan Staf Pengajar Program Pascasarjana Magister Ilmu Hukum, UMSU dan UMA.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar