Oase Kepala
Daerah
Kepala daerah dapat diasumsikan satu
diantara sekian banyak status dan kedudukan yang memiliki nilai prestisius di
tengah-tengah masyarakat, tidak dapat dipungkiri bahwa kedudukan sebagai kepala
daerah mampu menjadi magnet yang tidak hanya melingkupi lapisan masyarakat berlabel
borjuis, akan tetapi faktanya juga diimpikan oleh kalangan masyarakat
berekonomi rendah.
Setidak-tidaknya hal ini dapat
dipersaksikan diberbagai daerah otonom yang hendak menyelenggarakan hajatan
pemilihan kepala daerah, bahwa besarnya harapan dan keinginan dari para tokoh
baik yang berkecimpung dibidang pemerintahan, sosial kemasyarakatan, pemuka
agama, para saudagar, sekaligus masyarakat biasa. Agar senantiasa
dipinang atau diusung baik oleh partai politik, maupun dari non partisan yang
akrab disapa dengan jalur independen, dalam rangka berpartisipasi sebagai
kandidat calon kepala daerah.
Pada kesempatan
yang sama, memang benar bahwa di beberapa daerah otonom masih terdapat oase ditengah
carut marut pemilihan kepala daerah. Akan tetapi tidak jarang pula untuk
menggapai impian yang dimaksud, telah menjadi rahasia umum selalu bermunculan
berbagai oknum yang menghalalkan berbagai macam cara, mulai dari yang mendasar
berupa money politic, serta menggerakkan
alat-alat kekuasaan, yang bertujuan untuk memanipulasi data baik itu dari
proses pencalonan sampai dengan proses penghitungan, dan rekapitulasi surat
suara.
Wacana Revisi
Pada prinsipnya, secara normatif berbagai peraturan
perundang-undangan yang dijadikan sebagai payung hukum dalam mengawal proses
pemilihan kepala daerah, sudah cukup maksimal. Bahkan stakeholder di level pusat telah berupaya agar berbagai regulasi
tersebut dapat mewujudkan hakikat dari proses pemilihan kepala daerah, dalam
mendeskripsikan wujud nyata dari otonomi daerah.
Bahwa salah satu cara untuk menutupi celah praktik
kecurangan, maka diformulasikan agar pemilihan kepala daerah dilakukan secara
serentak, dan hal ini telah mampu diselenggarakan pada penghujung Tahun 2015.
Termasuk diantaranya melalui pembatasan kriteria bagi masyarakat yang telah
berkedudukan sebagai pejabat pemerintahan, baik yang berkecimpung di wilayah
eksekutif, maupun di wilayah legislatif.
Namun demikian, untuk menghadapi pemilihan kepala daerah
serentak di Tahun 2017, perkembangan terkini telah santer terdengar bahwa
adanya kasak kusuk dari para pembuat kebijakan, agar dilakukannya konsensus
untuk merevisi beberapa norma yang telah
dijadikan sebagai landasan pada pemilihan serentak beberapa waktu yang lalu.
Dengan kata lain, dapat dipastikan bahwa jika konsensus yang dimaksud mampu
disepakati, maka pelaksanaan pemilihan kepala daerah Tahun 2017, tidak akan
sama dengan proses pemilihan kepala daerah di Tahun 2015.
Dalam hal ini, sebagaimana yang diekspose berbagai
media bahwa tercatat ada 2 (dua) norma utama yang diwacanakan untuk dilakukan revisi,
yaitu: Pertama, norma yang berkaitan
dengan syarat mundur atau melepaskan jabatan bagi para pejabat negara yang
hendak berpartisipasi dalam pencalonan kepala daerah. Kedua, adanya pengkajian yang akan merumuskan berbagai persyaratan
dan kualifikasi bagi calon kepala daerah yang mendaftarkan dirinya melalui
jalur independen.
Lantas, mengapa wacana revisi norma tersebut bergulir
? apakah wacana revisi tersebut semata-mata demi kepentingan masyarakat umum ?
atau jangan-jangan patut diduga bahwa hanya untuk mengamankan kepentingan elit
? dengan demikian, bisakah dikategorikan bahwa pemilihan kepala daerah Tahun
2017 adalah pemilihan yang khusus dan istimewa ?
Mengingat bahwa di Tahun 2017 akan berlangsung
pemilihan kepala daerah, oleh beberapa daerah otonom yang diberi label sifat
keistimewaan dan kekhususan dalam menjalankan pemerintahan daerah. Sehingga
memberi legitimasi bahwa pelaksanaan pemilihan kepala daerah di daerah otonom
yang menyandang status istimewa dan khusus, merupakan representasi sekaligus
barometer dalam menyongsong pemilihan umum Tahun 2019.
Preseden Ogan
Ilir
Bahwa tuntasnya berbagai rangkaian dalam proses
pemilihan kepala daerah serentak di Tahun 2015, faktanya tidak serta merta
menuntaskan berbagai tanggung jawab yang dipikul oleh para penyelenggara
pemilihan kepala daerah. Hal ini terbukti sebagaimana yang telah menjadi
santapan media, bahwa beberapa waktu lalu adanya penggrebekan yang dilakukan
oleh aparat berwenang, dan membidik salah satu oknum kepala daerah di Kabupaten
Ogan Ilir.
Bagaikan jatuh tertimpa tangga, tidak hanya menjadi
pesakitan atas berbagai dugaan yang terindikasi pada peristiwa penggrebekan.
Akan tetapi, oknum kepala daerah tersebut turut mendapat kemalangan,
sebagaimana yang diberitakan oleh Harian Waspada, Jum’at 18 Maret 2016, bahwa
Menteri Dalam Negeri memecat Bupati Ogan Ilir.
Atas preseden tersebut, disatu sisi hal ini telah
menggambarkan bahwa semaksimal apapun norma yang diamanatkan dalam peraturan
perundang-undangan, selalu terdapat celah yang dapat dimainkan berbagai oknum
dalam melaksanakan proses pemilihan kepala daerah. Preseden ini hakikatnya
telah membenarkan pandangan dari Lawrence M. Friedman bahwa efektif dan
berhasil tidaknya pelaksanaan hukum, tergantung relasi dari struktur hukum,
substansi hukum, dan yang mendasar adalah budaya hukum. (Lawrence M. Friedman,
1984)
Penutup
Terakhir tidak ada salahnya untuk
melakukan introspeksi diri, sebagaimana HAMKA berpesan bahwa ada sebab-sebab
diri celaka, yaitu tidak terdapat pembagian kerja yang teratur dalam
masyarakat, karena masyarakat yang tidak lagi mengenali dirinya, semuanya
berduyun mengejar pangkat. Dan yang akan berhasil meniti hidup adalah yang bekerja
menurut kecendrungan jiwanya, menurut bentuk yang telah dituangkan Tuhan
kedalam jiwanya sejak dia dilahirkan. (HAMKA, 1990)
Semoga besarnya prestisius atas kedudukan
sebagai kepala daerah, tidak menyilaukan para kandidat yang akan berpartisipasi
dalam pemilihan kepala daerah, maupun masyarakat di daerah otonom itu sendiri,
sehingga kiranya masyarakat dalam menentukan kepala daerah dapat berpikir
secara logis dan rasional. Artinya, baik atau buruknya kepala daerah yang
terpilih adalah wujud nyata dari representasi karakteristik masyarakat yang
memilihnya. Semoga!
*Tulisan ini juga dimuat pada Harian Waspada, Rabu 30 Maret 2016
[1]
Penulis adalah PNS Pemkab
Aceh Tamiang, dan
Staf Pengajar Program Pascasarjana Magister Ilmu Hukum, UMSU dan UMA.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar