Hiruk Pikuk
“Pembantu”
Frasa pembantu dapat dipastikan sangat familiar dalam
kehidupan bermasyarakat dan bernegara, selain bangsa Indonesia dikenal sebagai
bangsa timur, yang memiliki karakteristik gemar melakukan kegiatan tolong
menolong dalam menjalankan kehidupan sehari-hari. Disisi lain, beberapa waktu
yang lalu umumnya stigma dari frasa pembantu hanya melekat pada pekerjaan
seseorang dalam hal mengurus rumah tangga.
Peran sentral dari frasa pembantu, tidak hanya sebatas
dalam rangkaian kegiatan mengurus rumah tangga, akan tetapi turut memiliki
andil dan berkontribusi dalam penyelenggaraan pemerintahan. Hal ini disatu
sisi, telah mengindikasikan bahwa manusia sebagai makhluk sosial, pada
hakikatnya tidak akan mampu melakukan rutinitas kegiatan, baik dalam skala
terkecil di rumah tangga, maupun dalam menyelenggarakan pemerintahan hanya
dilakukan seorang diri.
Realitanya dalam berbagai naskah peraturan
perundang-undangan, frasa pembantu juga mendapat tempat dan tidak pernah
dikesampingkan, dengan demikian dapat dipahami bahwa dalam penyelenggaraan
pemerintahan, pembantu bertugas untuk menjalankan instruksi pimpinan, sekaligus
memberikan pelayanan publik secara maksimal kepada seluruh masyarakat. Namun
demikian, apakah dalam menjalankan tugasnya antara sesama pembantu tidak pernah
berselisih paham ?
Di Pusat
Pada hakikatnya Indonesia bercorak sistem pemerintahan
presidensil, salah satu cirinya sebagaimana yang diamanatkan melalui UUDNRI
Tahun 1945, dalam hal ini telah menegaskan bahwa untuk menjalankan roda
pemerintahan, Presiden disatu sisi diberi kewenangan dan kedudukan sebagai
kepala negara, dan disisi yang lainnya diberi kewenangan dan kedudukan sebagai
kepala pemerintahan.
Perihal kewenangan dan kedudukan Presiden sebagai
kepala pemerintahan, secara normatif UUDNRI Tahun 1945 telah memberikan salah
satu ciri, yaitu adanya keleluasaan bagi Presiden menunjuk putra-putri terbaik
bangsa, untuk diposisikan sebagai pembantu (Menteri) yang membidangi urusan
tertentu dalam menyelenggarakan pemerintahan.
Namun demikian, faktanya dalam menuntaskan periode
kepemimpinan seorang Presiden, tidak jarang para pembantu jalan dengan alam
pikirannya masing-masing. Sehingga sering terdengar terjadinya hiruk pikuk para
pembantu dalam merumuskan kepentingan umum. Pada prinsipnya sah-sah saja
terjadinya silang pendapat ketika bermusyawarah dalam nuansa internal, akan
tetapi apakah menjadi wajar ketidaksepahaman yang lebih dari hitungan jari
senantiasa dilakukan di area publik ?
Lantas sebagaimana yang dipersaksikan oleh publik pada
hari-hari belakangan ini, mengapa para pembantu tersebut acapkali
mempertontonkan berbagai rangkaian tindakan yang dinilai tidak sinergi antara
satu dan lainnya ? seolah-olah para pembantu tersebut seperti tidak pernah
mendapat instruksi atau arahan tentang apa yang seharusnya dilakukan.
Lantas bisakah dengan adanya berbagai realita, publik
berasumsi bahwa jangan-jangan patut diduga para pembantu tersebut memiliki
majikan (pemimpin) yang lebih dari satu ? atau justru berbagai realita yang
membelenggu para pembantu, dikarenakan tidak cakapnya karakteristik leadership yang dipraktekkan oleh sang
pemimpin ?
Di Daerah
Ironinya, seakan memberi legitimasi dari pribahasa
lampau “guru kencing berdiri, murid
kencing berlari”, tidak jarang kelatahan para pembantu juga dapat direview
melalui penyelenggaraan pemerintahan daerah diberbagai daerah otonom. Setali
tiga uang, para pembantu di daerah otonom dapat dipersaksikan sering lupa
mengenali siapa dirinya, sekaligus lupa tentang hierarki yang berlaku dalam
menyelenggarakan pemerintahan daerah.
Bahwa pada prinsipnya Undang-Undang tentang
Pemerintahan Daerah telah mengamanatkan dalam pemerintahan daerah terdapat
berbagai perangkat daerah, yang dapat dikategorikan sebagai salah satu unsur
pembantu untuk kepala daerah, serta perangkat daerah dijalankan oleh pejabat
karir dari lingkungan pegawai negeri sipil.
Senada dengan berlakunya Undang-Undang tentang
Aparatur Sipil Negara, bahwa kepala daerah memiliki kewenangan sebagai pejabat
pembina kepegawaian. Sudah barang tentu, salah satunya adalah sebagai pembina
karir pegawai negeri sipil yang diposisikan sebagai pembantu kepala daerah
untuk memberikan pelayanan publik kepada masyarakat. Oleh karena itu, dalam
praktiknya tidak jarang ditemui adanya perbedaan hierarki pada jabatan pegawai
negeri sipil, hal ini salah satunya didasari atas pertimbangan dari pejabat
pembina kepegawaian dalam menempatkan pegawai negeri sipil pada jabatan
tertentu.
Akan tetapi, faktanya hampir merata diseluruh daerah
otonom, selalu saja senantiasa terdengar berbagai nada sumbang yang
mengklasifikasikan bahwa terjadinya hiruk pikuk dikalangan pembantu kepala
daerah. Bahkan acapkali terjadinya selisih paham dikalangan pegawai negeri
sipil, turut melibatkan hierarki jabatan yang berbeda tingkatan dan level
kedudukannya.
Terlebih lagi, sangat disesali jika debat kusir yang
terjadi di area publik tersebut, menafikan adanya perbedaan pangkat dan
golongan bagi pegawai negeri sipil itu sendiri. Lantas dapat dikategorikan
dalam fenomena apakah hiruk pikuk yang melilit para pembantu kepala daerah
tersebut ? sekali lagi, apakah faktor leadership
dari sang pejabat pembina kepegawaian turut memberi andil ?
Penutup
Sebagaimana yang telah menjadi konsumsi
publik dihari-hari belakangan ini, baik yang dipropagandakan oleh berbagai
media masa, maupun desas-desus orang perorang dilingkungan sehari-hari, tentang
terjadinya hiruk pikuk dan silang pendapat di area publik bagi kalangan para
pembantu, khususnya yang berkecimpung dalam penyelenggaraan pemerintahan di
level pusat dan daerah, semoga saja bukan menjadi suatu tabiat yang
dibanggakan.
Atas berbagai realita tersebut, semoga
saja pemimpin di level pusat dan daerah, memiliki kemauan dan kemampuan untuk
belajar dari berbagai pengalaman, sehingga kedepannya sang pemimpin sudi
kiranya menempatkan pembantu yang selaras dengan adagium “the right man on the right place”, dan tidak dapat dipungkiri bahwa
hal ini baru dapat dilakukan ketika telah mengenyampingkan politik dagang sapi.
Semoga!
*Tulisan ini juga dimuat pada Harian Waspada, Kamis 17 Maret 2016
[1]
Penulis adalah PNS Pemkab
Aceh Tamiang, dan
Staf Pengajar Program Pascasarjana Magister Ilmu Hukum, UMSU dan UMA.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar