Minggu, 20 Maret 2016

Hiruk Pikuk Pembantu

Hiruk Pikuk “Pembantu”
Oleh: Dr. Cakra Arbas, SH.I, MH.[1]

Frasa pembantu dapat dipastikan sangat familiar dalam kehidupan bermasyarakat dan bernegara, selain bangsa Indonesia dikenal sebagai bangsa timur, yang memiliki karakteristik gemar melakukan kegiatan tolong menolong dalam menjalankan kehidupan sehari-hari. Disisi lain, beberapa waktu yang lalu umumnya stigma dari frasa pembantu hanya melekat pada pekerjaan seseorang dalam hal mengurus rumah tangga.
Peran sentral dari frasa pembantu, tidak hanya sebatas dalam rangkaian kegiatan mengurus rumah tangga, akan tetapi turut memiliki andil dan berkontribusi dalam penyelenggaraan pemerintahan. Hal ini disatu sisi, telah mengindikasikan bahwa manusia sebagai makhluk sosial, pada hakikatnya tidak akan mampu melakukan rutinitas kegiatan, baik dalam skala terkecil di rumah tangga, maupun dalam menyelenggarakan pemerintahan hanya dilakukan seorang diri.
Realitanya dalam berbagai naskah peraturan perundang-undangan, frasa pembantu juga mendapat tempat dan tidak pernah dikesampingkan, dengan demikian dapat dipahami bahwa dalam penyelenggaraan pemerintahan, pembantu bertugas untuk menjalankan instruksi pimpinan, sekaligus memberikan pelayanan publik secara maksimal kepada seluruh masyarakat. Namun demikian, apakah dalam menjalankan tugasnya antara sesama pembantu tidak pernah berselisih paham ?
  Di Pusat
Pada hakikatnya Indonesia bercorak sistem pemerintahan presidensil, salah satu cirinya sebagaimana yang diamanatkan melalui UUDNRI Tahun 1945, dalam hal ini telah menegaskan bahwa untuk menjalankan roda pemerintahan, Presiden disatu sisi diberi kewenangan dan kedudukan sebagai kepala negara, dan disisi yang lainnya diberi kewenangan dan kedudukan sebagai kepala pemerintahan.
Perihal kewenangan dan kedudukan Presiden sebagai kepala pemerintahan, secara normatif UUDNRI Tahun 1945 telah memberikan salah satu ciri, yaitu adanya keleluasaan bagi Presiden menunjuk putra-putri terbaik bangsa, untuk diposisikan sebagai pembantu (Menteri) yang membidangi urusan tertentu dalam menyelenggarakan pemerintahan.
Namun demikian, faktanya dalam menuntaskan periode kepemimpinan seorang Presiden, tidak jarang para pembantu jalan dengan alam pikirannya masing-masing. Sehingga sering terdengar terjadinya hiruk pikuk para pembantu dalam merumuskan kepentingan umum. Pada prinsipnya sah-sah saja terjadinya silang pendapat ketika bermusyawarah dalam nuansa internal, akan tetapi apakah menjadi wajar ketidaksepahaman yang lebih dari hitungan jari senantiasa dilakukan di area publik ?
Lantas sebagaimana yang dipersaksikan oleh publik pada hari-hari belakangan ini, mengapa para pembantu tersebut acapkali mempertontonkan berbagai rangkaian tindakan yang dinilai tidak sinergi antara satu dan lainnya ? seolah-olah para pembantu tersebut seperti tidak pernah mendapat instruksi atau arahan tentang apa yang seharusnya dilakukan.
Lantas bisakah dengan adanya berbagai realita, publik berasumsi bahwa jangan-jangan patut diduga para pembantu tersebut memiliki majikan (pemimpin) yang lebih dari satu ? atau justru berbagai realita yang membelenggu para pembantu, dikarenakan tidak cakapnya karakteristik leadership yang dipraktekkan oleh sang pemimpin ?   

Di Daerah  
Ironinya, seakan memberi legitimasi dari pribahasa lampau “guru kencing berdiri, murid kencing berlari”, tidak jarang kelatahan para pembantu juga dapat direview melalui penyelenggaraan pemerintahan daerah diberbagai daerah otonom. Setali tiga uang, para pembantu di daerah otonom dapat dipersaksikan sering lupa mengenali siapa dirinya, sekaligus lupa tentang hierarki yang berlaku dalam menyelenggarakan pemerintahan daerah.
Bahwa pada prinsipnya Undang-Undang tentang Pemerintahan Daerah telah mengamanatkan dalam pemerintahan daerah terdapat berbagai perangkat daerah, yang dapat dikategorikan sebagai salah satu unsur pembantu untuk kepala daerah, serta perangkat daerah dijalankan oleh pejabat karir dari lingkungan pegawai negeri sipil.
Senada dengan berlakunya Undang-Undang tentang Aparatur Sipil Negara, bahwa kepala daerah memiliki kewenangan sebagai pejabat pembina kepegawaian. Sudah barang tentu, salah satunya adalah sebagai pembina karir pegawai negeri sipil yang diposisikan sebagai pembantu kepala daerah untuk memberikan pelayanan publik kepada masyarakat. Oleh karena itu, dalam praktiknya tidak jarang ditemui adanya perbedaan hierarki pada jabatan pegawai negeri sipil, hal ini salah satunya didasari atas pertimbangan dari pejabat pembina kepegawaian dalam menempatkan pegawai negeri sipil pada jabatan tertentu.
Akan tetapi, faktanya hampir merata diseluruh daerah otonom, selalu saja senantiasa terdengar berbagai nada sumbang yang mengklasifikasikan bahwa terjadinya hiruk pikuk dikalangan pembantu kepala daerah. Bahkan acapkali terjadinya selisih paham dikalangan pegawai negeri sipil, turut melibatkan hierarki jabatan yang berbeda tingkatan dan level kedudukannya.
Terlebih lagi, sangat disesali jika debat kusir yang terjadi di area publik tersebut, menafikan adanya perbedaan pangkat dan golongan bagi pegawai negeri sipil itu sendiri. Lantas dapat dikategorikan dalam fenomena apakah hiruk pikuk yang melilit para pembantu kepala daerah tersebut ? sekali lagi, apakah faktor leadership dari sang pejabat pembina kepegawaian turut memberi andil ?

Penutup
Sebagaimana yang telah menjadi konsumsi publik dihari-hari belakangan ini, baik yang dipropagandakan oleh berbagai media masa, maupun desas-desus orang perorang dilingkungan sehari-hari, tentang terjadinya hiruk pikuk dan silang pendapat di area publik bagi kalangan para pembantu, khususnya yang berkecimpung dalam penyelenggaraan pemerintahan di level pusat dan daerah, semoga saja bukan menjadi suatu tabiat yang dibanggakan.
Atas berbagai realita tersebut, semoga saja pemimpin di level pusat dan daerah, memiliki kemauan dan kemampuan untuk belajar dari berbagai pengalaman, sehingga kedepannya sang pemimpin sudi kiranya menempatkan pembantu yang selaras dengan adagium “the right man on the right place”, dan tidak dapat dipungkiri bahwa hal ini baru dapat dilakukan ketika telah mengenyampingkan politik dagang sapi. Semoga!
*Tulisan ini juga dimuat pada Harian Waspada, Kamis 17 Maret 2016



[1]  Penulis adalah PNS Pemkab Aceh Tamiang, dan Staf Pengajar Program Pascasarjana Magister Ilmu Hukum, UMSU dan UMA.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar