Loyalitas vs
Integritas
Hari-hari belakangan ini, aksi para
penyelenggara negara bagaikan drama sinetron, sambung menyambung secara berseri
dalam mempertontonkan berbagai tindak tanduk dan tingkah laku yang dinilai
tidak sinergi antara satu dan lainnya, dalam mewujudkan berbagai kebijakan yang
telah ditetapkan. Ibarat fenomena gunung es, maka yang mampu publik saksikan
secara kasat mata tentu hanya segelintir saja yang muncul dipermukaan, oleh
karena itu dapat diasumsikan jauh lebih
banyak dan jauh lebih luas berbagai indikasi disharmonis lainnya.
Berbagai
perihal tersebut pada prinsipnya juga berimplikasi serta melingkupi para
penyelenggara di berbagai daerah otonom. Hal ini menimbulkan kesan, bahwa para
pemimpin acapkali menutup mata dan telinga, pura-pura tidak sadar dan tidak
tahu menahu dengan berbagai teriakan yang terjadi dilingkungannya, sehingga
tanpa disadari telah membenturkan para penyelenggara antara yang memiliki sikap
loyalitas dengan yang memiliki sikap integritas.
Ketidakpedulian
dalam menerapkan adagium “the right man
on the right place”, telah bermuara dengan mencuatnya berbagai gesekan para
penyelenggara, khususnya bagi daerah-daerah otonom yang hendak menghadapi
kontestasi pesta demokrasi di tingkat lokal. Sehingga tujuan dan efektifitas penyelenggaraan
pemerintahan tidak jarang telah terkesampingkan.
Oleh karenanya,
sering media mempublikasikan bahwa dalam menyelenggarakan pemerintahan nasional
acapkali terjadi hiruk pikuk dikalangan para pembantu, dan tidak kalah
ketinggalan adanya adagium matahari ganda yang berposisi sebagai panglima dalam
menentukan berbagai arah kebijakan. Sementara di daerah otonom, hal yang senada
tidak terhindarkan, serta berimplikasi dengan amburadulnya berbagai hakikat ketatanegaraan.
Loyalitas vs Integritas
Dalam kehidupan sehari-hari, khususnya bagi yang
terlibat dalam persaingan memperebutkan
posisi penyelenggara pemerintahan, sering didengungkan bahwa adanya kalimat
yang menegaskan menjunjung sikap loyalitas dan sikap integritas, sehingga dapat
tercapai maksud tertentu dan dalam periode waktu yang ditentukan.
Frasa loyalitas secara sederhana didefinisikan oleh
Kamus Besar Bahasa Indonesia sebagai suatu kepatuhan, suatu kesetiaan. Dengan
demikian, dapat dianalogikan bahwa seseorang yang dikategorikan memiliki
loyalitas adalah yang mampu memiliki suatu sifat diantara sikap yang patuh, dan
atau sikap yang setia. Maka dalam praktik penyelenggaraan pemerintahan, tidak
jarang akan mudah ditemui para penyelenggara yang tanpa ada keraguan
membusungkan dada memiliki karekteristik loyalitas, untuk mendapatkan sekaligus
mempertahankan kedudukan yang telah dimiliki.
Adanya sikap loyalitas tentu disatu sisi adalah hal
yang positif, mengingat dalam menjalankan roda pemerintahan sudah sepantasnya berbagai
kebijakan dijabarkan oleh mereka yang memiliki sikap yang patuh, dan atau sikap
yang setia. Namun demikian, disisi sebaliknya hendaknya perlu dikritisi, bahwa
apa kriteria standar baku seseorang disematkan karakteristik loyalitas ? selanjutnya
loyalitas yang diemban, semata-mata dijalankan sesuai dengan kehendak sang
penguasa atau didasarkan pada amanat peraturan perundang-undangan ?
Adapun frasa integritas, juga didefinisikan oleh Kamus
Besar Bahasa Indonesia sebagai suatu mutu, atau keadaan yang menunjukkan
kesatuan yang utuh sehingga memiliki potensi dan kemampuan yang memancarkan
kewibawaan dan kejujuran. Dengan demikian dapat dianalogikan bahwa seseorang
yang memiliki sikap integritas adalah yang mampu memadankan berbagai potensi
dalam dirinya, untuk terwujudnya kewibawaan dan kejujuran.
Merujuk pada definisi yang menafsirkan secara
sederhana antara loyalitas dan integritas, setidak-tidaknya dapat dipahami
bahwa disatu sisi terdapat benang merah antara loyalitas dan integritas. Akan tetapi,
disisi yang lain terdapat dikotomi dalam memaknai unsur loyalitas dan
integritas, sehingga dalam menjalankan roda pemerintahan, seseorang sering
dihadapkan pada pilihan untuk mengedepankan sikap loyalitas, atau lebih
mengutamakan sikap integritas.
Menjadi menarik bahwa semestinya sikap loyalitas dan
integritas dapat beriringan sejalan, untuk mewujudkan tata kelola pemerintahan
sesuai asas good and clean government.
Namun demikian, faktanya telah menjadi rahasia umum bahwa kadangkala tidak
jarang mereka yang memiliki integritas akan tergerus zaman, oleh karena akan selalu
dibenturkan terhadap mereka yang lebih mengagungkan sikap loyalitas, terlebih
loyalitas kepada penguasa bukannya kepada peraturan perundang-undangan.
Penutup
Berkaca dari berbagai friksi yang
melingkupi para penyelenggara pemerintahan, baik secara nasional maupun sebatas
di daerah otonom tertentu, maka jika
cita kemakmuran atau kesajehtaraan rakyat yang diutamakan, pemimpin jangan
memaksakan diri hanya dikelilingi oleh mereka yang bangga diberi label memiliki
sikap loyalitas semata, tetapi sudah sepantasnya yang memiliki sikap integritas
agar diutamakan.
Sebagai failasuf, pada suatu masa Plato
berujar (disertai penambahan penafsiran) bahwa negara (atau daerah otonom) jika
sekali telah dimulai dengan baik, maka akan bergerak kearah kebaikan dengan
kekuatan yang terhimpun, begitu juga sebaliknya. Oleh karena itu, untuk
menghindari ketidaksetaraan, ketidaksamaan, ketidakteraturan, yang selalu dan
dalam segala tempat menjadi sebab kebencian dan permusuhan, maka besi jangan
dicampur dengan perak, kuningan jangan dicampur dengan emas. (Plato, 2015)
Semoga kedepannya dalam meluruskan
ketatanegaraan, baik secara nasional, maupun dalam mengemas daerah otonom yang
sesuai hakikatnya. Seyogyanya pemimpin mampu memilah dan memilih antara mereka
yang memiliki sikap integritas dengan yang hanya memiliki sikap loyalitas. Maka
akan lebih indah jika dalam menyelenggarakan pemerintahan, didasari dengan
sikap integritas, tentu dengan tidak mengenyampingkan sikap loyalitas.Semoga!
*Tulisan ini juga dimuat pada Harian Waspada, Jumat 8 April 2016
[1]
Penulis adalah PNS Pemkab
Aceh Tamiang, dan
Staf Pengajar Program Pascasarjana Magister Ilmu Hukum, UMSU dan UMA.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar