Nasib Calon
Independen
Sebahagian besar pemikir dan pemerhati ketatanegaraan,
sekaligus para aktor yang telibat diposisi infra struktur politik, berkeyakinan
bahwa pelaksanaan pemilihan kepala daerah secara serentak di Tahun 2017, dapat
dianalogikan sebagai barometer untuk mengukur dan menggali berbagai potensi
yang dimiliki dalam menyongsong pemilihan umum Tahun 2019. Mengingat beberapa
daerah otonom yang menyandang status istimewa dan khusus, akan dijadikan
sebagai role of model dalam menjaring
sosok negarawan, sekaligus sebagai sarana try
out dari mesin-mesin partai politik.
Hal ini dapat dicermati bahwa menjelang dimulainya
tahapan pemilihan kepala daerah, beberapa bakal calon yang hendak
berpartisipasi di daerah otonom yang berstatus istimewa dan khusus, telah mulai
kasak kusuk. Sehingga bermuara dengan adanya wacana persaingan antara yang
diusung oleh partai politik, dengan yang non partisan. Khususnya terkait dengan
menggeliatnya bakal calon yang memberanikan diri bertarung memperebutkan kursi
kepala daerah melalui calon independen.
Calon
independen (perseorangan) pada prinsipnya bukanlah sesuatu yang baru dalam
euforia demokrasi di tingkat lokal, khususnya paska reformasi. Legitimasi calon
independen dibenarkan secara konstitusional, berikut dijabarkan oleh berbagai
peraturan organik tentang pemilihan kepala daerah, serta peraturan organik yang
menganut asas lex spesialis.
Kedudukan calon
independen dalam pemilihan kepala daerah merupakan suatu bentuk untuk
mengapresiasi hak-hak politik bagi setiap warga masyarakat, yang berkeinginan
menjadi kepala daerah, namun terbatas atau tidak adanya dukungan politik dari
partai-partai politik. Dalam hal ini, Hans Kelsen menegaskan bahwa hak-hak
politik diartikan sebagai kemungkinan-kemungkinan yang terbuka bagi warga
negara yang berperan serta dalam
pemerintahan, dalam pembentukan “kehendak” negara. (Hans Kelsen, 2011)
Qanun Aceh tentang Pilkada
Sebagai salah satu daerah istimewa dan khusus,
Provinsi Aceh berikut sebahagian besar Kabupaten dan Kota yang ada di Aceh,
dapat dipastikan akan menggelar hajatan pemilihan kepala daerah secara serentak
di Tahun 2017. Sejalan dengan amanat Undang-Undang tentang Pemerintahan Aceh,
sekaligus sebagai salah satu karakteristik pemilihan kepala daerah di Aceh,
yaitu dipersyaratkan adanya suatu payung hukum berbentuk Qanun yang mengatur tentang
pemilihan kepala daerah di Aceh.
Lazimnya suatu peraturan perundang-undangan, demikian
juga halnya dengan Qanun, tentu tidak dapat dipisahkan dari anasir politik
hukum, sehingga sikap kompromi antara eksekutif dan legislatif dalam membentuk
suatu konsensus tidak dapat terhindarkan. Saat ini, sebagaimana yang diekspose
berbagai media lokal di Aceh, bahwa eksekutif dan legislatif di Aceh sedang
merampungkan Qanun tentang pemilihan kepala daerah. Adapun salah satu norma
yang menjadi sorotan publik adalah terkait dengan eksistensi calon independen.
Setidak-tidaknya, ada beberapa catatan tentang berbagai
norma yang mengatur mekanisme calon
independen, yaitu: Pertama, Jumlah
dukungan untuk pengajuan calon independen adalah sebesar 3 (tiga) persen dari
jumlah penduduk. Kedua, Dukungan
harus disertai dengan identitas bukti data diri, disertai materai dan
pernyataan tertulis secara individu (tidak lagi secara kolektif), dengan
diketahui oleh keuchik setempat. Ketiga,
Pendukung hanya boleh memberikan dukungan pada satu pasangan calon, apabila
dilanggar maka tidak sah bukti dukungannya, sekaligus bakal pasangan calon akan
diberi sanksi pengurangan sebanyak 10 (sepuluh) lembar bukti dukungan.
Menyimak realita yang melingkupi norma calon
independen dalam Qanun tentang pemilihan kepala daerah di Aceh, lantas bisakah
publik berasumsi bahwa hal ini mengindikasikan adanya rangkaian secara
terstruktur untuk mengimarginalkan frasa calon independen ? lantas mengapa
Qanun tersebut patut diduga hendak mempersempit gerak-gerik calon independen ?
Bukankah sejarah telah menegaskan bahwa calon
independen pada pemilihan kepala daerah di Aceh, telah menjadi lokomotif
sekaligus embrio dalam mengimplementasikan calon independen secara nasional. Kini
setelah melewati jalan terjal ketatanegaraan, akankah calon independen pada
pemilihan kepala daerah di Aceh kembali ke titik nadir ?
Selanjutnya, apakah substansi materi lainnya juga
telah menjadi sorotan untuk dievaluasi, seperti meningkatkan syarat kualifikasi
pendidikan bagi para calon kepala daerah ? Tidak kalah pentingnya, Aceh sebagai
daerah otonom yang mengagungkan ajaran agama Islam dalam berbagai lini
kehidupan, dan hal ini turut diakui secara konstitusional, maka hal wajar jika
berbagai inovasi dan terobosan turut mengakomodir berbagai prinsip yang
diamanatkan dalam ajaran agama Islam, agar terciptanya berbagai wujud
penyelenggaraan Syariat Islam secara kaffah.
Oleh karena itu, bukankah sebaiknya dalam merumuskan
Qanun tentang pemilihan kepala daerah di Aceh, adanya itikad baik dari
eksekutif dan legislatif Aceh untuk memaksimalkan karakteristik model pemilihan
yang sesuai dengan Syariat Islam. Khususnya dengan meningkatkan kualifikasi dalam
menguji kemampuan dan pemahaman calon kepala daerah, yang terkait dengan ayat
suci Al-Qur’an, sekaligus hal-hal yang bersifat keislaman lainnya.
Penutup
Tidak dapat
dipungkiri bahwa calon independen telah memberi warna tersendiri dalam proses
demokratisasi ditingkat lokal, sehingga masyarakat sebagai pemilih tentunya
telah mempunyai banyak alternatif pilihan. Disisi lain calon independen masih
memiliki hegemoni, jika situasi dan kondisi memberi ruang gerak terhadap
calon-calon independen tersebut. Faktanya berkaca dari pelaksanaan pemilihan
kepala daerah serentak beberapa waktu lalu, meski terbilang oleh jari tetapi calon
independen mampu bersaing dengan berbagai kader yang diusung oleh partai
politik.
Semoga
kedepannya akan menjadi kesadaran secara umum, bahwa terlepas dari berbagai
latar belakang calon kepala daerah (diusung partai politik atau non partisan),
hendaknya yang dijadikan paradigma adalah sejauh mana kepala daerah yang
terpilih mampu menyambut keterwakilan kepentingan dan aspirasi rakyat, dalam
memformulasikan berbagai kebijakan yang berpihak kepada rakyat, tentu dengan
berpegang teguh pada peraturan perundang-undangan, sekaligus sejalan dengan
berbagai prinsip otonomi daerah. Semoga!
*Tulisan ini juga dimuat pada Harian Waspada, Rabu 20 April 2016
[1]
Penulis adalah PNS Pemkab
Aceh Tamiang, dan
Staf Pengajar Program Pascasarjana Magister Ilmu Hukum, UMA dan UMSU.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar