Sabtu, 23 April 2016

Nasib Calon Independen

Nasib Calon Independen
Oleh: Dr. Cakra Arbas, SH.I, MH.[1]

Sebahagian besar pemikir dan pemerhati ketatanegaraan, sekaligus para aktor yang telibat diposisi infra struktur politik, berkeyakinan bahwa pelaksanaan pemilihan kepala daerah secara serentak di Tahun 2017, dapat dianalogikan sebagai barometer untuk mengukur dan menggali berbagai potensi yang dimiliki dalam menyongsong pemilihan umum Tahun 2019. Mengingat beberapa daerah otonom yang menyandang status istimewa dan khusus, akan dijadikan sebagai role of model dalam menjaring sosok negarawan, sekaligus sebagai sarana try out dari mesin-mesin partai politik.
Hal ini dapat dicermati bahwa menjelang dimulainya tahapan pemilihan kepala daerah, beberapa bakal calon yang hendak berpartisipasi di daerah otonom yang berstatus istimewa dan khusus, telah mulai kasak kusuk. Sehingga bermuara dengan adanya wacana persaingan antara yang diusung oleh partai politik, dengan yang non partisan. Khususnya terkait dengan menggeliatnya bakal calon yang memberanikan diri bertarung memperebutkan kursi kepala daerah melalui calon independen.
Calon independen (perseorangan) pada prinsipnya bukanlah sesuatu yang baru dalam euforia demokrasi di tingkat lokal, khususnya paska reformasi. Legitimasi calon independen dibenarkan secara konstitusional, berikut dijabarkan oleh berbagai peraturan organik tentang pemilihan kepala daerah, serta peraturan organik yang menganut asas lex spesialis.
Kedudukan calon independen dalam pemilihan kepala daerah merupakan suatu bentuk untuk mengapresiasi hak-hak politik bagi setiap warga masyarakat, yang berkeinginan menjadi kepala daerah, namun terbatas atau tidak adanya dukungan politik dari partai-partai politik. Dalam hal ini, Hans Kelsen menegaskan bahwa hak-hak politik diartikan sebagai kemungkinan-kemungkinan yang terbuka bagi warga negara yang berperan  serta dalam pemerintahan, dalam pembentukan “kehendak” negara. (Hans Kelsen, 2011)

Qanun Aceh tentang Pilkada
Sebagai salah satu daerah istimewa dan khusus, Provinsi Aceh berikut sebahagian besar Kabupaten dan Kota yang ada di Aceh, dapat dipastikan akan menggelar hajatan pemilihan kepala daerah secara serentak di Tahun 2017. Sejalan dengan amanat Undang-Undang tentang Pemerintahan Aceh, sekaligus sebagai salah satu karakteristik pemilihan kepala daerah di Aceh, yaitu dipersyaratkan adanya suatu payung hukum berbentuk Qanun yang mengatur tentang pemilihan kepala daerah di Aceh.
Lazimnya suatu peraturan perundang-undangan, demikian juga halnya dengan Qanun, tentu tidak dapat dipisahkan dari anasir politik hukum, sehingga sikap kompromi antara eksekutif dan legislatif dalam membentuk suatu konsensus tidak dapat terhindarkan. Saat ini, sebagaimana yang diekspose berbagai media lokal di Aceh, bahwa eksekutif dan legislatif di Aceh sedang merampungkan Qanun tentang pemilihan kepala daerah. Adapun salah satu norma yang menjadi sorotan publik adalah terkait dengan eksistensi calon independen.
Setidak-tidaknya, ada beberapa catatan tentang berbagai norma yang  mengatur mekanisme calon independen, yaitu: Pertama, Jumlah dukungan untuk pengajuan calon independen adalah sebesar 3 (tiga) persen dari jumlah penduduk. Kedua, Dukungan harus disertai dengan identitas bukti data diri, disertai materai dan pernyataan tertulis secara individu (tidak lagi secara kolektif), dengan diketahui oleh keuchik setempat. Ketiga, Pendukung hanya boleh memberikan dukungan pada satu pasangan calon, apabila dilanggar maka tidak sah bukti dukungannya, sekaligus bakal pasangan calon akan diberi sanksi pengurangan sebanyak 10 (sepuluh) lembar bukti dukungan.
Menyimak realita yang melingkupi norma calon independen dalam Qanun tentang pemilihan kepala daerah di Aceh, lantas bisakah publik berasumsi bahwa hal ini mengindikasikan adanya rangkaian secara terstruktur untuk mengimarginalkan frasa calon independen ? lantas mengapa Qanun tersebut patut diduga hendak mempersempit gerak-gerik calon independen ?
Bukankah sejarah telah menegaskan bahwa calon independen pada pemilihan kepala daerah di Aceh, telah menjadi lokomotif sekaligus embrio dalam mengimplementasikan calon independen secara nasional. Kini setelah melewati jalan terjal ketatanegaraan, akankah calon independen pada pemilihan kepala daerah di Aceh kembali ke titik nadir ?
Selanjutnya, apakah substansi materi lainnya juga telah menjadi sorotan untuk dievaluasi, seperti meningkatkan syarat kualifikasi pendidikan bagi para calon kepala daerah ? Tidak kalah pentingnya, Aceh sebagai daerah otonom yang mengagungkan ajaran agama Islam dalam berbagai lini kehidupan, dan hal ini turut diakui secara konstitusional, maka hal wajar jika berbagai inovasi dan terobosan turut mengakomodir berbagai prinsip yang diamanatkan dalam ajaran agama Islam, agar terciptanya berbagai wujud penyelenggaraan Syariat Islam secara kaffah.
Oleh karena itu, bukankah sebaiknya dalam merumuskan Qanun tentang pemilihan kepala daerah di Aceh, adanya itikad baik dari eksekutif dan legislatif Aceh untuk memaksimalkan karakteristik model pemilihan yang sesuai dengan Syariat Islam. Khususnya dengan meningkatkan kualifikasi dalam menguji kemampuan dan pemahaman calon kepala daerah, yang terkait dengan ayat suci Al-Qur’an, sekaligus hal-hal yang bersifat keislaman lainnya.

Penutup
Tidak dapat dipungkiri bahwa calon independen telah memberi warna tersendiri dalam proses demokratisasi ditingkat lokal, sehingga masyarakat sebagai pemilih tentunya telah mempunyai banyak alternatif pilihan. Disisi lain calon independen masih memiliki hegemoni, jika situasi dan kondisi memberi ruang gerak terhadap calon-calon independen tersebut. Faktanya berkaca dari pelaksanaan pemilihan kepala daerah serentak beberapa waktu lalu, meski terbilang oleh jari tetapi calon independen mampu bersaing dengan berbagai kader yang diusung oleh partai politik.
Semoga kedepannya akan menjadi kesadaran secara umum, bahwa terlepas dari berbagai latar belakang calon kepala daerah (diusung partai politik atau non partisan), hendaknya yang dijadikan paradigma adalah sejauh mana kepala daerah yang terpilih mampu menyambut keterwakilan kepentingan dan aspirasi rakyat, dalam memformulasikan berbagai kebijakan yang berpihak kepada rakyat, tentu dengan berpegang teguh pada peraturan perundang-undangan, sekaligus sejalan dengan berbagai prinsip otonomi daerah. Semoga!
*Tulisan ini juga dimuat pada Harian Waspada, Rabu 20 April 2016



[1]  Penulis adalah PNS Pemkab Aceh Tamiang, dan Staf Pengajar Program Pascasarjana Magister Ilmu Hukum, UMA dan UMSU.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar