Pemimpin;
Berpikir & Bertindak
Kehidupan sosial masyarakat dalam hegemoni berbangsa
dan bernegara, dapat diasumsikan tidak dapat menghindarkan dari berbagai
konsensus dalam menjalankan rutinitas sehari-hari. Bahkan pada umumnya
konsensus turut mewarnai dalam menentukan figur-figur yang dinilai pantas dan
relevan untuk dijadikan pemimpin, dalam rangka diposisikan sebagai pemilik
tongkat komando sekaligus panutan dari para pengikutnya.
Bukankah setiap diri manusia telah ditakdirkan sebagai
pemimpin ? minimal memimpin untuk dirinya sendiri. Maka sudah sepantasnya dari
jauh-jauh hari telah mempersiapkan diri untuk menjadi pemimpin yang sejalan
dengan hakikatnya. Sehingga tidak akan terdengar nada sumir yang mencibir bahwa
yang bersangkutan hanya pantas disematkan kriteria sebagai “pemimpin karbitan”.
Dengan demikian, seyogyanya dipahami bahwa berpikir dan bertindak adalah sesuatu
yang melekat pada diri setiap pemimpin, untuk mengakomodir kepentingan umum.
Pemimpin
Pemimpin yang dimaksud relevansinya dituju pada
pemimpin yang berada diberbagai level kekuasaan dalam menyelenggarakan pemerintahan,
tanpa terkecuali apakah berkedudukan pada supra politik, atau infra politik,
maupun sub struktur masyarakat. Oleh karena, pada prinsipnya dari tingkah laku
dan tindak tanduk perbuatan dari para pemimpin tersebut, dapat mencerminkan
karakteristik masyarakat yang mengkultuskannya.
Mengingat dewasa ini hampir diseluruh lini kekuasaan,
pemimpin itu dibentuk dan lahir serta dari kehendak masyarakat, seiring dengan
besarnya kompetensi sekaligus ruang yang diberikan konstitusi kepada
masyarakat. Maka mampu tidaknya pemimpin berpikir dan bertindak, keseluruhannya
adalah tanggung jawab dari masyarakat itu sendiri.
Tentu secara tegas jika merujuk dalam
Al-Qur’an telah ditetapkan berbagai kriteria dan syarat pemimpin, begitu juga
halnya dengan amanat berbagai peraturan perundang-undangan. Namun demikian
tanpa mengenyampingkan amanat dimaksud, dalam menyelenggarakan pemerintahan seharusnya mampu
menampilkan konsistensi dirinya, berupa: Pertama,
sebelum berjanji sebaiknya dipikirkan secara matang dan logis terlebih dahulu. Kedua, pemimpin harus menguatkan mental
dan nyali, untuk melakukan berbagai tindakan yang dinilai merupakan perintah
dari norma agama serta norma hukum yang diberlakukan. Ketiga, mampu menyelaraskan antara kerangka berpikir dengan
berbagai tindakan.
Berpikir dan
Bertindak
Menyunting adagium para failasuf, bahwa “aku berpikir
maka aku ada” hal ini mempertegas letak perbedaan antara manusia dengan
makhluk-makhluk ciptaan lainnya adalah dalam kegiatan berpikir. Senada dengan anasir
yang dipopulerkan oleh Jujun S. Sumantri tentang manusia, maka dalam konteks
ini setidak-tidaknya dapat dianalogikan bahwa pemimpin itu menjadi wajar
kiranya jika digolongkan dalam beberapa kriteria, diantaranya:
Pertama, ada pemimpin yang mampu berpikir dan mampu
bertindak. Kriteria ini merupakan yang paling ideal dan dicitakan, bahkan dapat
diasumsikan sebagai suatu tingkatan yang paling sempurna. Artinya pemimpin
benar-benar mampu berpikir secara matang dan hati-hati dalam menentukan dan
merumuskan tindakannya, sekaligus mampu mengimplementasikan berbagai buah
pikirannya tersebut.
Kedua, ada pemimpin yang mampu berpikir dan tidak mampu
bertindak. Kriteria ini dapat diasumsikan sebagai pemimpin yang tidak memiliki
nyali atau oleh karena patut diduga dalam keadaan terpaksa tidak berani
bertindak. Artinya pada prinsipnya pemimpin mampu berpikir secara matang dan
hati-hati dalam menentukan dan merumuskan tindakannya, akan tetapi oleh karena
satu dan lain hal buah pikirannya tidak mampu diwujudkan.
Ketiga, ada pemimpin yang tidak mampu berpikir dan mampu
bertindak. Kriteria ini dapat diasumsikan sebagai pemimpin yang lemah akal,
tetapi memiliki nyali dan nafsu yang besar dalam bertindak. Artinya kadangkala
sering ditemui ada sekelompok pembisik (tim ahli/staf ahli) yang berseliweran
disekitar pemimpin, untuk membantu menentukan dan merumuskan segala sesuatu,
sekaligus dengan penuh keberaniannya pemimpin tersebut mengimplementasikan
tindakannya.
Keempat, ada pemimpin yang tidak mampu berpikir dan tidak mampu
bertindak. Kriteria ini dapat diasumsikan sebagai kriteria yang terburuk,
bahkan bukanlah sesuatu yang berlebihan betapa besarnya kerugian yang dialami
masyarakat setempat jika memiliki pemimpin dengan kriteria tersebut. Artinya
setali tiga uang, bahwa selain sosok pemimpin yang lemah akal, juga tidak
memiliki nyali dalam bertindak. Maka tidak jarang terdengar nada sumbang yang
mengkategorikan pemimpin dengan kriteria ini sebagai “boneka” dari pihak yang
lain.
Menelisik hal tersebut, sudah barang tentu masyarakat mampu
berasumsi bahwa berbagai pemimpin yang ada dalam kehidupan sehari-hari, baik
diruang lingkup desa/kelurahan, diruang lingkup kabupaten/kota, diruang lingkup
provinsi, diruang lingkup negara, dan diruang lingkup percaturan dunia global,
berada pada kriteria yang manakah pemimpin yang ada pada saat sekarang ini ?
sekaligus cukupkah masyarakat dipimpin oleh para pemimpin yang hanya memiliki
kriteria dengan saat sekarang ini ?
Penutup
Sebagai garda terdepan, masyarakat juga
semestinya berpikir dengan penuh seksama dan melakukan revolusi dalam menjaring
calon pemimpin. Mengingat segala sesuatunya dimulai dari kerangka berpikir yang
ada dimasyarakat, dalam perihal ini HAMKA berujar bahwa “Bagaimana akan dapat
berpikir tinggi, bangsa yang hidupnya hanya segobang sehari, bangsa yang
tinggal celana pendek sehelaipun masih bersyukur. Oleh karena jiwanya sudah
semestinya tidak ada lagi dibadannya, akibat sebegitu melarat dan tertindasnya”.
(HAMKA, 1983)
Atas berbagai realita yang terjadi pada
hari-hari belakangan ini, baik pada skala nasional maupun ditataran daerah
otonom, semoga kedepannya terhindar dari berbagai tipu daya para “oknum”
pemimpin yang hanya mampu meniupkan angin surga, akan tetapi nyata-nyata tidak
mampu mewujudkannya. Sekaligus semoga akan lahir para pemimpin yang mampu
berpikir rasional serta memiliki mental dan nyali, untuk bertindak demi
kepentingan masyarakat umum. Semoga!
*Tulisan ini juga dimuat pada Harian Waspada, Rabu 2 Maret 2016
[1]
Penulis adalah PNS Pemkab
Aceh Tamiang, dan
Staf Pengajar Program Pascasarjana Magister Ilmu Hukum, UMSU dan UMA.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar