DPRD Entitas
Pemda
Dewasa ini negara modern yang tanpa terkecuali berada
dibelahan dunia manapun, dapat dipastikan telah mempraktikkan berbagai
pandangan pakar yang terkait dengan teori pemisahan kekuasaan, sebagai wujud menjalankan
roda pemerintahan. Dalam konteks negara Indonesia, pada hakikatnya pemisahan
kekuasaan telah diparipurnakan oleh founding
father, ketika hendak mengabstraksikan nilai dari bangsa Indonesia, yang
selanjutnya diformulasikan sebagai asas, dan diderivasikan dalam suatu norma.
Bahkan jika dirujuk berdasarkan teori perjenjangan
norma yang diuraikan oleh Hans Nawiasky, maka bangsa Indonesia telah
menempatkan UUDNRI Tahun 1945 sebagai suatu norma dasar. Artinya dapat dipahami
bahwa dalam rangka menyelenggarakan pemerintahan, menempatkan konstitusi
sebagai norma tertinggi sekaligus sebagai payung hukum dari seluruh peraturan
perundang-undangan lainnya.
Menelisik hal tersebut, menarik dicermati bahwa secara
tegas UUDNRI Tahun 1945 telah mengamanatkan bahwa Negara Kesatuan Republik
Indonesia, terdiri atas Provinsi –
Kabupaten – Kota yang selanjutnya disebut sebagai adagium pemerintahan daerah
(pemda). Serta untuk menjalankan kompetensinya, berbagai daerah otonom tersebut
didasarkan menurut asas otonomi dan tugas pembantuan.
Pemerintahan
Daerah
Secara normatif dalam bingkai Undang-Undang tentang
pemerintahan daerah, disebutkan bahwa pemerintahan daerah adalah
penyelenggaraan urusan pemerintahan oleh pemerintah daerah dan dewan perwakilan
rakyat daerah (DPRD). Dengan demikian, seyogyanya perihal mendasar yang patut
dipahami bahwa dalam menyelenggarakan pemerintahan daerah, diperlukan adanya
sinergitas antara pemerintah daerah dan DPRD, sekaligus menegaskan bahwa DPRD
merupakan entitas dalam pemerintahan daerah.
Frasa selanjutnya, pemerintah daerah adalah kepala
daerah sebagai unsur penyelenggara pemerintahan daerah yang memimpin
pelaksanaan urusan pemerintahan yang menjadi kewenangan daerah otonom, untuk
mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan dan kepentingan rakyat
setempat. Pada sisi yang lain, DPRD hanya berkedudukan sebagai unsur
penyelenggara pemerintahan daerah.
Berdasarkan teori yang umum, serta sejalan dengan
amanat Undang-Undang tentang Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan
Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (UU tentang
MD3). Bahwa pada hakikatnya DPRD memiliki beberapa fungsi, yaitu : Pertama, Legislasi yang meliputi, hak
inisiatif (prakarsa), hak amandemen. Kedua,
Anggaran. Ketiga, Pengawasan meliputi,
hak petisi (untuk mengajukan pertanyaan atau menyatakan pendapat), hak
interpelasi (tanggapan atas pertanggungjawaban pihak pemerintah daerah), dan
hak angket (untuk menyebar pertanyaan berupa angket kepada publik yang
sasarannya mengetahui pendapat publik atas kebijakan dan tindakan pemerintah
daerah).
Dalam kedudukan tersebut, M. Solly Lubis berpandangan
bahwa semestinya masing-masing dari individu anggota DPRD dalam menjalankan
kompetensi yang dimiliki dituntut mampu dan mau untuk berperan ganda, dengan
kriteria : (M. Sooly Lubis, 2008) Pertama,
dalam hal meramu aspirasi rakyat, baik melalui menyongsong bola maupun
menjemput bola. Kedua, dalam hal
menyalurkan aspirasi rakyat, baik melalui forum rapat komisi, rapat panitia
musyawarah, badan legislasi, rapat pansus, rapat panitia anggaran, agar
lahirnya suatu produk hukum di daerah yang benar-benar telah didasari atas
aspirasi masyarakat setempat.
Preseden
Daerah
Merujuk dari fungsi yang dimiliki oleh
DPRD, sekaligus sebagai salah satu unsur dalam menyelenggarakan pemerintahan
daerah, maka menjadi hal yang wajar kiranya anggota DPRD turut dan pantas untuk
bertanggung jawab atas kemajuan dan kemunduran suatu daerah otonom. Khususnya
yang dinilai dari aspek kebijakan pemerintahan, baik melalui corak berbagai
produk hukum di daerah maupun dari berbagai sektor pembangunan.
Dengan demikian, ketika perihal ini telah
menjadi suatu kesadaran secara menyeluruh di lapisan masyarakat, maka jika
terjadi suatu kemunduran di daerah otonom semestinya masyarakat memberikan punishment kepada kepala daerah dan
sekaligus untuk anggota DPRD, dengan cara tidak lagi memberikan hak suara bagi
calon incumbent (kepala daerah dan
DPRD) pada saat berlangsungnya pelaksanaan euforia demokrasi di tingkat lokal.
Akan tetapi, pada sisi yang lain ironinya
sebagaimana yang telah menjadi rahasia umum dapat diasumsikan hampir merata
diseluruh wilayah ibu pertiwi, bahwa patut diduga tidak jarang munculnya
“oknum” anggota DPRD yang menuntut berupa privilege
(walaupun tidak diamanatkan oleh UU tentang MD3) dalam rangka menyelenggarakan
roda pemerintahan di daerah, yang tanpa dipahami hanya memberatkan langkah
kepala daerah.
Berbagai privilege dimaksud umumnya kerap kali terjadi tanpa memandang anggaran
yang besar maupun kecil, semuanya sama rata. Baik itu mulai jatah dan upeti
dari proyek pembangunan, menikmati honorarium dan fasilitas yang mewah, melakukan
intervensi dalam jabatan karir PNS, berebut anggaran peningkatan pendidikan
dengan masyarakat umum, bahkan tidak kalah ketinggalan dalam hal menitipkan
sanak saudara sebagai pegawai honor daerah atau kontrak, yang kini berganti
nama menjadi pegawai pemerintah dengan perjanjian kerja (PPPK).
Keseluruhan realitas tersebut, bagaikan
cendawan dimusim penghujan, yang mana dapat dicermati dimasing-masing daerah
otonom, terlebih lagi akan kasat mata terlihat pada periode-periode awal dari
kedudukannya sebagai anggota DPRD. Bahkan tidak jarang ketika menghadapi musim
pemilihan kepala daerah, muncul “oknum” anggota DPRD yang menggunting dalam lipatan,
untuk menggiring konstelasi politik tertentu.
Penutup
Semestinya ketika kepala daerah dan
anggota DPRD menyadari dan memahami hakikat dari kedudukan sekaligus kompetensi
yang dimilikinya, niscaya penyelenggaraan pemerintahan di daerah otonom akan
mampu memberikan kesejahteraan bagi masyarakat, sejalan dengan asas otonomi
daerah. Semoga kedepannya akan bermunculan rangkaian kesadaran di masyarakat,
dalam menentukan sosok kepala daerah dan anggota DPRD pada pemilihan
berikutnya. Semoga!
*Tulisan ini juga dimuat pada Harian Waspada, Rabu 10 Februari 2016
[1]
Penulis adalah PNS Pemkab
Aceh Tamiang, dan
Staf Pengajar Program Pascasarjana Magister Ilmu Hukum, UMSU dan UMA.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar