Kamis, 11 Februari 2016

DPRD Entitas Pemda

DPRD Entitas Pemda
Oleh: Dr. Cakra Arbas, SH.I, MH.[1]

Dewasa ini negara modern yang tanpa terkecuali berada dibelahan dunia manapun, dapat dipastikan telah mempraktikkan berbagai pandangan pakar yang terkait dengan teori pemisahan kekuasaan, sebagai wujud menjalankan roda pemerintahan. Dalam konteks negara Indonesia, pada hakikatnya pemisahan kekuasaan telah diparipurnakan oleh founding father, ketika hendak mengabstraksikan nilai dari bangsa Indonesia, yang selanjutnya diformulasikan sebagai asas, dan diderivasikan dalam suatu norma.
Bahkan jika dirujuk berdasarkan teori perjenjangan norma yang diuraikan oleh Hans Nawiasky, maka bangsa Indonesia telah menempatkan UUDNRI Tahun 1945 sebagai suatu norma dasar. Artinya dapat dipahami bahwa dalam rangka menyelenggarakan pemerintahan, menempatkan konstitusi sebagai norma tertinggi sekaligus sebagai payung hukum dari seluruh peraturan perundang-undangan lainnya.
Menelisik hal tersebut, menarik dicermati bahwa secara tegas UUDNRI Tahun 1945 telah mengamanatkan bahwa Negara Kesatuan Republik Indonesia,  terdiri atas Provinsi – Kabupaten – Kota yang selanjutnya disebut sebagai adagium pemerintahan daerah (pemda). Serta untuk menjalankan kompetensinya, berbagai daerah otonom tersebut didasarkan menurut asas otonomi dan tugas pembantuan.

Pemerintahan Daerah
Secara normatif dalam bingkai Undang-Undang tentang pemerintahan daerah, disebutkan bahwa pemerintahan daerah adalah penyelenggaraan urusan pemerintahan oleh pemerintah daerah dan dewan perwakilan rakyat daerah (DPRD). Dengan demikian, seyogyanya perihal mendasar yang patut dipahami bahwa dalam menyelenggarakan pemerintahan daerah, diperlukan adanya sinergitas antara pemerintah daerah dan DPRD, sekaligus menegaskan bahwa DPRD merupakan entitas dalam pemerintahan daerah.
Frasa selanjutnya, pemerintah daerah adalah kepala daerah sebagai unsur penyelenggara pemerintahan daerah yang memimpin pelaksanaan urusan pemerintahan yang menjadi kewenangan daerah otonom, untuk mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan dan kepentingan rakyat setempat. Pada sisi yang lain, DPRD hanya berkedudukan sebagai unsur penyelenggara pemerintahan daerah.
Berdasarkan teori yang umum, serta sejalan dengan amanat Undang-Undang tentang Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (UU tentang MD3). Bahwa pada hakikatnya DPRD memiliki beberapa fungsi, yaitu : Pertama, Legislasi yang meliputi, hak inisiatif (prakarsa), hak amandemen. Kedua, Anggaran. Ketiga, Pengawasan meliputi, hak petisi (untuk mengajukan pertanyaan atau menyatakan pendapat), hak interpelasi (tanggapan atas pertanggungjawaban pihak pemerintah daerah), dan hak angket (untuk menyebar pertanyaan berupa angket kepada publik yang sasarannya mengetahui pendapat publik atas kebijakan dan tindakan pemerintah daerah).
Dalam kedudukan tersebut, M. Solly Lubis berpandangan bahwa semestinya masing-masing dari individu anggota DPRD dalam menjalankan kompetensi yang dimiliki dituntut mampu dan mau untuk berperan ganda, dengan kriteria : (M. Sooly Lubis, 2008) Pertama, dalam hal meramu aspirasi rakyat, baik melalui menyongsong bola maupun menjemput bola. Kedua, dalam hal menyalurkan aspirasi rakyat, baik melalui forum rapat komisi, rapat panitia musyawarah, badan legislasi, rapat pansus, rapat panitia anggaran, agar lahirnya suatu produk hukum di daerah yang benar-benar telah didasari atas aspirasi masyarakat setempat.        

Preseden Daerah
Merujuk dari fungsi yang dimiliki oleh DPRD, sekaligus sebagai salah satu unsur dalam menyelenggarakan pemerintahan daerah, maka menjadi hal yang wajar kiranya anggota DPRD turut dan pantas untuk bertanggung jawab atas kemajuan dan kemunduran suatu daerah otonom. Khususnya yang dinilai dari aspek kebijakan pemerintahan, baik melalui corak berbagai produk hukum di daerah maupun dari berbagai sektor pembangunan.
Dengan demikian, ketika perihal ini telah menjadi suatu kesadaran secara menyeluruh di lapisan masyarakat, maka jika terjadi suatu kemunduran di daerah otonom semestinya masyarakat memberikan punishment kepada kepala daerah dan sekaligus untuk anggota DPRD, dengan cara tidak lagi memberikan hak suara bagi calon incumbent (kepala daerah dan DPRD) pada saat berlangsungnya pelaksanaan euforia demokrasi di tingkat lokal.
 Akan tetapi, pada sisi yang lain ironinya sebagaimana yang telah menjadi rahasia umum dapat diasumsikan hampir merata diseluruh wilayah ibu pertiwi, bahwa patut diduga tidak jarang munculnya “oknum” anggota DPRD yang menuntut berupa privilege (walaupun tidak diamanatkan oleh UU tentang MD3) dalam rangka menyelenggarakan roda pemerintahan di daerah, yang tanpa dipahami hanya memberatkan langkah kepala daerah.
Berbagai privilege dimaksud umumnya kerap kali terjadi tanpa memandang anggaran yang besar maupun kecil, semuanya sama rata. Baik itu mulai jatah dan upeti dari proyek pembangunan, menikmati honorarium dan fasilitas yang mewah, melakukan intervensi dalam jabatan karir PNS, berebut anggaran peningkatan pendidikan dengan masyarakat umum, bahkan tidak kalah ketinggalan dalam hal menitipkan sanak saudara sebagai pegawai honor daerah atau kontrak, yang kini berganti nama menjadi pegawai pemerintah dengan perjanjian kerja (PPPK).
Keseluruhan realitas tersebut, bagaikan cendawan dimusim penghujan, yang mana dapat dicermati dimasing-masing daerah otonom, terlebih lagi akan kasat mata terlihat pada periode-periode awal dari kedudukannya sebagai anggota DPRD. Bahkan tidak jarang ketika menghadapi musim pemilihan kepala daerah, muncul “oknum” anggota DPRD yang menggunting dalam lipatan, untuk menggiring konstelasi politik tertentu.

Penutup
Semestinya ketika kepala daerah dan anggota DPRD menyadari dan memahami hakikat dari kedudukan sekaligus kompetensi yang dimilikinya, niscaya penyelenggaraan pemerintahan di daerah otonom akan mampu memberikan kesejahteraan bagi masyarakat, sejalan dengan asas otonomi daerah. Semoga kedepannya akan bermunculan rangkaian kesadaran di masyarakat, dalam menentukan sosok kepala daerah dan anggota DPRD pada pemilihan berikutnya. Semoga!  
*Tulisan ini juga dimuat pada Harian Waspada, Rabu 10 Februari 2016



[1]  Penulis adalah PNS Pemkab Aceh Tamiang, dan Staf Pengajar Program Pascasarjana Magister Ilmu Hukum, UMSU dan UMA.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar