Minggu, 24 Januari 2016

Romantisme GBHN

Romantisme GBHN
Oleh: Dr. Cakra Arbas, SH.I, MH.[1]

Reformasi yang terjadi menjelang memasuki abad milenium, faktanya tidak hanya sekedar menggulingkan dominasi dan superioritas dari kekuasaan tertentu. Melainkan turut berimplikasi dengan sistem ketatanegaraan Republik Indonesia, bahkan gelombang reformasi juga menciptakan berbagai revolusi dalam penyelenggaraan pemerintahan, terlebih lagi berdampak dengan banyaknya metamorfosa dari sistem ketatanegaraan yang dinilai kebablasan.
Menjadi menarik bahwa ketika reformasi yang dijalani, hendak menggapai usia ke-18 tahun. Sebagaimana yang diberitakan berbagai media nasional,  bahwa munculnya suatu sikap dan rekomendasi dari hasil rapat kerja nasional salah satu partai politik yang mengusung pemerintah, agar kembali menghidupkan GBHN (Garis Besar Haluan Negara) – Broadlines of State Policy, dalam rangka memperkuat perekonomian nasional. Dengan demikian, melalui GBHN baik negara, swasta, maupun rakyat dapat bekerja sama, bukan berjalan masing-masing. (viva.co.id)
Sebenarnya dalam berbagai kajian dan pertemuan-pertemuan ilmiah, telah bermunculan nada yang turut menyuarakan untuk menghidupkan kembali GBHN, oleh karena itu adanya sikap dan rekomendasi untuk romantisme GBHN bukanlah sesuatu yang baru. Lantas, apakah saat ini merupakan waktu yang tepat untuk menghidupkan GBHN ? atau justru GBHN sudah sangat dibutuhkan dalam kurun waktu yang lalu ?
GBHN & MPR
Berwacana tentang menghidupkan kembali GBHN, sama artinya dengan mereposisi kedudukan MPR (Majelis Permusyawaratan Rakyat), dalam hierarki ketatanegaraan Republik Indonesia. Oleh karena, GBHN merupakan dokumen politik tertinggi, dalam hal ini sesuai dengan kedudukan yang dimilikinya hanya MPR yang diberi kompetensi oleh UUDNRI Tahun 1945 (pra amandemen) untuk menelurkan GBHN.
Berdasarkan amanat konstitusi pra amandemen tersebut, setidaknya terlintas suatu kesimpulan bahwa GBHN melekat dalam kewenangan MPR, yang berkedudukan sebagai lembaga tertinggi negara. Oleh karena itu, dengan bergulirnya nuansa romantisme GBHN, maka dengan kata lain sebelum menghidupkan GBHN, terlebih dahulu untuk memberikan MPR kewenangan tersebut melalui rangkaian amandemen dari UUDNRI Tahun 1945.
Tidak dapat dipungkiri bahwa pada hakikatnya berbagai asas yang terkandung dalam GBHN, akan memberi andil positif dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Hal mana pada prinsipnya telah ditegaskan oleh M. Solly Lubis, yang pada intinya menerangkan bahwa ketika berlangsungnya pemerintahan “orde baru”, MPR atas nama seluruh rakyat Indonesia, terlebih dahulu menggariskan kebijaksanaan politik dan pengarahan melalui GBHN, tentang sistem kehidupan nasional. GBHN merupakan strategi dan program pembangunan, yang pada hakikatnya melahirkan suatu sistem kehidupan bangsa, seluruh penyelenggara negara dan masyarakat akan terlibat dalam pelaksanaan dalam pembangunan. (M. Solly Lubis, 2008)
Hanya saja, sebagaimana yang telah menjadi stigma disegenap lapisan masyarakat, bahwa dengan menghidupkan kembali GBHN adanya kekhawatiran bahwa dalam penyelenggaraan pemerintahan, akan kembali mengulangi berbagai corak dan pola dari pemerintahan “orde baru”. Meskipun dengan berbagai kekurangan yang dilakukan, bukankah orde baru juga memiliki sisi positif ?
Oleh karena itu, kerapkali M. Solly Lubis, baik melalui berbagai tahapan dalam perkuliahan maupun dalam pertemuan informal, selalu menegaskan bahwa pada prinsipnya kekhawatiran yang dimaksud tidak akan terjadi, bilamana sistem yang dibangun telah ajeg, serta berbagai mekanisme standar dan prosedur dalam lembaga tinggi negara dapat dijalankan sesuai dengan hakikatnya, khususnya melalui pertanggungjawaban seluruh lembaga tinggi negara, kepada lembaga tertinggi negara (MPR) dalam tempo lima tahun sekali.  

Reamandemen UUDNRI Tahun 1945
Reamandemen UUDNRI Tahun 1945, merupakan suatu kewajiban untuk dapat menghidupkan kembali GBHN. Reamandemen juga bukanlah suatu perbuatan yang terlarang, melainkan hal ini turut diakomodir dalam konstitusi itu sendiri, yang mana pada prinsipnya telah mengamanatkan berbagai mekanisme dalam melakukan amandemen khususnya melalui Pasal 37 (1,2,3, dan 4) dari UUDNRI Tahun 1945.
Hakikatnya melalui paradigma Hukum Tata Negara hasil amandemen (Tahun 2002), M. Solly Lubis menegaskan bahwa UUDNRI Tahun 1945 telah ditempatkan sebagai norma dasar yang bersifat kabur, mabur, dan ngawur. Hal ini salah satunya didasari atas terjadinya penghapusan dari pasal yang menerangkan tentang kedudukan DPA (Dewan Pertimbangan Agung). Sementara dari prinsip Hukum Tata Negara, lembaga tinggi negara (DPA) yang merupakan Super Advisory Council berwenang memberikan suatu usul kepada Presiden dan memberi jawaban terhadap setiap pertanyaan Presiden, mengingat besarnya tanggung jawab Presiden dalam sistem pemerintahan presidensil, yaitu berkedudukan sebagai kepala negara dan kepala pemerintahan. (M. Solly Lubis, 2008) 
Pada sisi yang lain, derasnya dinamika kehidupan masyarakat turut mendorong agar terciptanya reamandemen dari konstitusi tersebut, mengingat banyak hal yang tidak mampu lagi diakomodir melalui UUDNRI Tahun 1945. Oleh karena itu, melakukan reamandemen atas konstitusi bukanlah sesuatu yang tabu, dalam mewujudkan kehidupan berbangsa dan bernegara.
Pada kesempatan yang sama, seyogyanya ketika hendak membangkitkan romantisme GBHN melalui reamandemen UUDNRI Tahun 1945. M. Solly Lubis dalam berbagai kesempatan turut mengingatkan, bahwa jika reamandemen bermuara pada kembalinya UUDNRI Tahun 1945 (sebelum amandemen Tahun 2002), maka jangan hanya sekedar merubah redaksi dari konstitusi saja, melainkan kembali meluruskan mekanisme ketatanegaraan, yang sesuai dengan tuntutan konstitusi itu sendiri, khususnya secara murni dan konsekuen.

Penutup
Adanya kecemasan masyarakat atas bayang-bayang dari pemerintahan masa lalu, tidak lain hal ini dikarenakan besarnya penyelewengan, serta ketidakmampuan mewujudkan secara utuh hakikat dari lembaga negara tersebut. Semoga dengan timbulnya kesadaran nasional melalui romantisme GBHN, kiranya dapat menegakkan prinsip ketatanegaraan secara murni dan konsisten, serta output yang dituju adalah mewujudkan kesejahteraan bagi masyarakat yang seluas-luasnya. Semoga!
*Tulisan ini juga dimuat pada Harian Waspada, Rabu 20 Januari 2016



[1]  Penulis adalah PNS Pemkab Aceh Tamiang, dan Staf Pengajar Program Pascasarjana Magister Ilmu Hukum, UMSU dan UMA.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar