Romantisme GBHN
Reformasi yang terjadi menjelang memasuki abad
milenium, faktanya tidak hanya sekedar menggulingkan dominasi dan superioritas dari
kekuasaan tertentu. Melainkan turut berimplikasi dengan sistem ketatanegaraan
Republik Indonesia, bahkan gelombang reformasi juga menciptakan berbagai
revolusi dalam penyelenggaraan pemerintahan, terlebih lagi berdampak dengan
banyaknya metamorfosa dari sistem ketatanegaraan yang dinilai kebablasan.
Menjadi menarik bahwa ketika reformasi yang dijalani,
hendak menggapai usia ke-18 tahun. Sebagaimana yang diberitakan berbagai media
nasional, bahwa munculnya suatu sikap
dan rekomendasi dari hasil rapat kerja nasional salah satu partai politik yang
mengusung pemerintah, agar kembali menghidupkan GBHN (Garis Besar Haluan
Negara) – Broadlines of State Policy,
dalam rangka memperkuat perekonomian nasional. Dengan demikian, melalui GBHN
baik negara, swasta, maupun rakyat dapat bekerja sama, bukan berjalan
masing-masing. (viva.co.id)
Sebenarnya dalam berbagai kajian dan
pertemuan-pertemuan ilmiah, telah bermunculan nada yang turut menyuarakan untuk
menghidupkan kembali GBHN, oleh karena itu adanya sikap dan rekomendasi untuk
romantisme GBHN bukanlah sesuatu yang baru. Lantas, apakah saat ini merupakan
waktu yang tepat untuk menghidupkan GBHN ? atau justru GBHN sudah sangat
dibutuhkan dalam kurun waktu yang lalu ?
GBHN & MPR
Berwacana tentang menghidupkan kembali GBHN, sama
artinya dengan mereposisi kedudukan MPR (Majelis Permusyawaratan Rakyat), dalam
hierarki ketatanegaraan Republik Indonesia. Oleh karena, GBHN merupakan dokumen
politik tertinggi, dalam hal ini sesuai dengan kedudukan yang dimilikinya hanya
MPR yang diberi kompetensi oleh UUDNRI Tahun 1945 (pra amandemen) untuk
menelurkan GBHN.
Berdasarkan amanat konstitusi pra amandemen tersebut,
setidaknya terlintas suatu kesimpulan bahwa GBHN melekat dalam kewenangan MPR,
yang berkedudukan sebagai lembaga tertinggi negara. Oleh karena itu, dengan
bergulirnya nuansa romantisme GBHN, maka dengan kata lain sebelum menghidupkan
GBHN, terlebih dahulu untuk memberikan MPR kewenangan tersebut melalui
rangkaian amandemen dari UUDNRI Tahun 1945.
Tidak dapat dipungkiri bahwa pada hakikatnya berbagai
asas yang terkandung dalam GBHN, akan memberi andil positif dalam kehidupan
berbangsa dan bernegara. Hal mana pada prinsipnya telah ditegaskan oleh M.
Solly Lubis, yang pada intinya menerangkan bahwa ketika berlangsungnya
pemerintahan “orde baru”, MPR atas nama seluruh rakyat Indonesia, terlebih
dahulu menggariskan kebijaksanaan politik dan pengarahan melalui GBHN, tentang
sistem kehidupan nasional. GBHN merupakan strategi dan program pembangunan,
yang pada hakikatnya melahirkan suatu sistem kehidupan bangsa, seluruh
penyelenggara negara dan masyarakat akan terlibat dalam pelaksanaan dalam
pembangunan. (M. Solly Lubis, 2008)
Hanya saja, sebagaimana yang telah menjadi stigma
disegenap lapisan masyarakat, bahwa dengan menghidupkan kembali GBHN adanya
kekhawatiran bahwa dalam penyelenggaraan pemerintahan, akan kembali mengulangi
berbagai corak dan pola dari pemerintahan “orde baru”. Meskipun dengan berbagai
kekurangan yang dilakukan, bukankah orde baru juga memiliki sisi positif ?
Oleh karena itu, kerapkali M. Solly Lubis, baik
melalui berbagai tahapan dalam perkuliahan maupun dalam pertemuan informal,
selalu menegaskan bahwa pada prinsipnya kekhawatiran yang dimaksud tidak akan
terjadi, bilamana sistem yang dibangun telah ajeg, serta berbagai mekanisme
standar dan prosedur dalam lembaga tinggi negara dapat dijalankan sesuai dengan
hakikatnya, khususnya melalui pertanggungjawaban seluruh lembaga tinggi negara,
kepada lembaga tertinggi negara (MPR) dalam tempo lima tahun sekali.
Reamandemen
UUDNRI Tahun 1945
Reamandemen UUDNRI Tahun 1945, merupakan
suatu kewajiban untuk dapat menghidupkan kembali GBHN. Reamandemen juga
bukanlah suatu perbuatan yang terlarang, melainkan hal ini turut diakomodir
dalam konstitusi itu sendiri, yang mana pada prinsipnya telah mengamanatkan
berbagai mekanisme dalam melakukan amandemen khususnya melalui Pasal 37 (1,2,3,
dan 4) dari UUDNRI Tahun 1945.
Hakikatnya melalui paradigma Hukum Tata
Negara hasil amandemen (Tahun 2002), M. Solly Lubis menegaskan bahwa UUDNRI
Tahun 1945 telah ditempatkan sebagai norma dasar yang bersifat kabur, mabur,
dan ngawur. Hal ini salah satunya didasari atas terjadinya penghapusan dari
pasal yang menerangkan tentang kedudukan DPA (Dewan Pertimbangan Agung).
Sementara dari prinsip Hukum Tata Negara, lembaga tinggi negara (DPA) yang
merupakan Super Advisory Council
berwenang memberikan suatu usul kepada Presiden dan memberi jawaban terhadap
setiap pertanyaan Presiden, mengingat besarnya tanggung jawab Presiden dalam
sistem pemerintahan presidensil, yaitu berkedudukan sebagai kepala negara dan
kepala pemerintahan. (M. Solly Lubis, 2008)
Pada sisi yang lain, derasnya dinamika
kehidupan masyarakat turut mendorong agar terciptanya reamandemen dari
konstitusi tersebut, mengingat banyak hal yang tidak mampu lagi diakomodir
melalui UUDNRI Tahun 1945. Oleh karena itu, melakukan reamandemen atas
konstitusi bukanlah sesuatu yang tabu, dalam mewujudkan kehidupan berbangsa dan
bernegara.
Pada kesempatan yang sama, seyogyanya
ketika hendak membangkitkan romantisme GBHN melalui reamandemen UUDNRI Tahun
1945. M. Solly Lubis dalam berbagai kesempatan turut mengingatkan, bahwa jika
reamandemen bermuara pada kembalinya UUDNRI Tahun 1945 (sebelum amandemen Tahun
2002), maka jangan hanya sekedar merubah redaksi dari konstitusi saja,
melainkan kembali meluruskan mekanisme ketatanegaraan, yang sesuai dengan
tuntutan konstitusi itu sendiri, khususnya secara murni dan konsekuen.
Penutup
Adanya kecemasan masyarakat atas
bayang-bayang dari pemerintahan masa lalu, tidak lain hal ini dikarenakan besarnya
penyelewengan, serta ketidakmampuan mewujudkan secara utuh hakikat dari lembaga
negara tersebut. Semoga dengan timbulnya kesadaran nasional melalui romantisme
GBHN, kiranya dapat menegakkan prinsip ketatanegaraan secara murni dan
konsisten, serta output yang dituju adalah mewujudkan kesejahteraan bagi
masyarakat yang seluas-luasnya. Semoga!
*Tulisan ini juga dimuat pada Harian Waspada, Rabu 20 Januari 2016
[1]
Penulis adalah PNS Pemkab
Aceh Tamiang, dan
Staf Pengajar Program Pascasarjana Magister Ilmu Hukum, UMSU dan UMA.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar