Jumat, 15 Januari 2016

Harap-Harap Cemas

Harap-Harap Cemas
Oleh: Dr. Cakra Arbas, SH.I, MH.[1]

Kehidupan manusia tentu tidak dapat dipersandingkan dengan sang pencipta, begitu juga dengan makhluk ciptaan lainnya. Hal yang senada turut dipertegas oleh Abdulmalik Karim Amrullah (Hamka) bahwa pada diri manusia terdapat beberapa kekuatan alami yang dibawa dari dirinya, antara lain: Pertama, Kekuatan akal, yaitu akan membawa seseorang kepada hakikat, menjauhkan dari hal-hal yang bathil, tunduk kepada hukum, sanggup menerima perintah yang baik, serta teguh menjauhi larangan.
Kedua, kekuatan marah, yaitu akan memiliki hasrat untuk menangkis dan bertahan, mengajak untuk mencapai kekuasaan dan kemenangan, bahkan kadang-kadang turut menyuruh bersikap bangga, sombong, dan takabur. Ketiga, kekuatan syahwat, yaitu yang mengajak untuk berbuat seluruh kehendak hati, mencapai kelezatan, menyuruh lalai, lengah, sehingga tidak jarang terjerambat karena lupa memikirkan akibat dikemudian hari. (Hamka, 1983)
Kadangkala seseorang dalam menjalankan aktifitas sehari-hari, terlebih lagi bagi yang berkecimpung dalam ranah kekuasaan, khususnya Eksekutif dan Legislatif. Tidak jarang belum mampu mensinergikan berbagai kekuatan alami yang dimilikinya, bahkan ironinya masih banyak yang tidak menyadari atau tidak mengenal dirinya sendiri. Sehingga menyebabkan terjadinya ketergoncangan paradigma dalam menyelenggarakan pemerintahan, yang secara langsung akan mendorong ketidaknyamanan dalam beraktifitas, atau harap-harap cemas.
Harap-harap cemas yang dimaksud yaitu dalam konteks keadaan menginginkan sesuatu kekuasaan, dan bersiap-siap untuk tidak lagi memiliki kekuasaan tertentu, khususnya dalam menyelenggarakan pemerintahan baik di level pusat maupun di level lokal. Sesungguhnya harap-harap cemas diawali dari naluri alami seseorang, yaitu adanya hasrat untuk berkuasa, oleh karena tidak akan mungkin terciptanya suatu negara tanpa adanya konsensus yang terjadi di berbagai lapisan masyarakat.

Level Pusat
Dewasa ini, sudah barang tentu masyarakat dapat menilai bahwa sesuai dengan masifnya pemberitaan di berbagai media masa, harap-harap cemas dapat diasumsikan melingkupi mereka-mereka, baik yang sedang menikmati empuknya kursi kekuasaan, begitu juga subjek hukum lainnya yang dimungkinkan akan berpartisipasi dengan lingkungan kekuasaan.
Harap-harap cemas di level pusat setidak-tidaknya dapat diklasifikasi dari beberapa kriteria, diantaranya: Pertama, merespon wacana reshuffle kabinet, bahwa wacana ini telah digulirkan mulai dari tahun yang lalu, yaitu ketika terjadinya perubahan konstelasi partai politik dengan bertambahnya partai-partai yang secara lantang menggelorakan koalisi dengan partai pengusung pemerintah. Menggelindingnya wacana reshuffle faktanya tanpa disadari atas berbagai sikap, tingkah laku, dan tindak tanduk perbuatan dari para pembantu Presiden itu sendiri, yang mana kadangkala senang bermain api melalui berbagai kebijakan yang dijalankannya.    
Kedua, menyikapi preseden mundurnya ketua DPR, bahwa berbagai latar belakang dari peristiwa tersebut semestinya mampu dijadikan bahan pembelajaran bagi para kandidat lainnya, begitu juga untuk generasi muda yang akan melanjutkan estafet kepemimpinan bangsa ini. Akan tetapi, harap-harap cemas terjadi dalam menentukan kandidat calon ketua yang baru, jika merujuk pada landasan yuridis maka prinsipnya sudah cukup jelas mengatur mekanisme calon ketua DPR. Namun demikian, bukankah politik itu selalu di deskripsikan sebagai segala sesuatu yang dinamis ?

Level Lokal
Realitanya harap-harap cemas tidak hanya melingkupi para penikmat kekuasaan di level pusat, bahkan hal ini juga turut menyeret berbagai elit kekuasaan di level lokal. Perihal tersebut dapat diklasifikasi atas berbagai realitas yang terjadi di level lokal, yaitu:
Pertama, menanti putusan Mahkamah Konstitusi, bahwa episentrum pelaksanaan pilkada serentak beberapa waktu yang lalu, faktanya berimplikasi dengan menyisakan berbagai bentuk kekecewaan yang diakumulasi melalui adanya pihak-pihak yang mengajukan gugatan atas hasil kecurangan perhitungan suara, maupun atas indikasi kecurangan lainnya.
Kedua, mutasi dan promosi Aparatur Sipil Negara (ASN), bahwa sebagaimana yang telah menjadi konsumsi publik, nikmatnya kursi kekuasaan di level daerah juga melingkupi para ASN, sehingga besarnya hasrat untuk mempertahankan kedudukan yang telah dimiliki, begitu juga untuk mendapatkan promosi pada kedudukan yang lebih tinggi. Bahwa meskipun tidak ada peraturan perundang-undangan yang mengamanatkan mutasi dan promosi wajib dilakukan pada awal tahun anggaran, akan tetapi hal ini telah menjadi suatu kebiasaan dilingkungan ASN, dengan maksud dan tujuan untuk mengamankan berbagai anggaran dalam melaksanakan program dan kebijakan yang hendak diwujudkan.
Ketiga, menjaring calon kepala daerah pilkada serentak tahun 2017, bahwa dalam menyongsong pilkada serentak di tahun 2017 semestinya didahului oleh berbagai rangkaian pelaksanaan pilkada di tahun 2016, oleh karenanya berbagai elit partai politik di level lokal, serta para tokoh masyarakat setempat semestinya telah bersiap-siap menyusun berbagai langkah dan strategi, untuk menjadi kader terbaik yang akan diusung dalam pelaksanaan pilkada tersebut.   

Penutup
Atas berbagai realitas , Hamka kembali berujar bahwa hendaklah rancangan pekerjaan yang dihadapi dikerjakan dengan segenap persediaan yang disanggupi badan. Dengan tidak melebihi dari kekuatan diri, serta sudi menyesuaikan pekerjaan apa yang cocok dengan tabiat kemanusiaan, maka selama itu pula wajib menjaga segala pekerjaan agar sesuai dengan kekuatan. Untuk mencapai hal tersebut hendaklah memperhatikan keadaan diri sendiri dan budi pekerti, karena seseorang yang memperoleh kemenangan dalam pekerjaan adalah yang mengukur bajunya sesuai dengan tubuhnya. (Hamka, 1983)
Semoga dengan mengenali diri sendiri, kiranya dapat memaksimalkan berbagai potensi diri, sekaligus dapat menyempurnakan kekurangan yang dimiliki, dengan demikian berbagai sikap yang bermuara pada harap-harap cemas, baik yang terjadi di level pusat dan level lokal, semoga akan berakhir dengan sesuatu yang indah. Mengingat jalan tengah merupakan sesuatu yang baik, dengan tidak condong terlalu condong, dan tidak rebah terlalu rebah. Semoga!
*Tulisan ini juga dimuat pada Harian Waspada, Rabu 13 Januari 2016



[1]  Penulis adalah PNS Pemkab Aceh Tamiang, dan Staf Pengajar Program Pascasarjana Magister Ilmu Hukum, UMSU dan UMA.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar