Resolusi Aceh
2016
Awal tahun yang baru, tidak jarang dijadikan
sebagai langkah awal dalam menentukan sekaligus mencapai berbagai resolusi, khususnya
yang terkait dengan penyelenggaraan pemerintahan. Bahkan tidak jarang masifnya
antusias dan besarnya harapan masyarakat agar pemerintahan di Tahun 2016, dan
tahun-tahun yang akan datang, agar jauh lebih baik sekaligus tidak mengulang
segala bentuk preseden yang terjadi di tahun-tahun sebelumnya.
Hal yang senada, tanpa terkecuali faktanya juga
didambakan oleh segenap lapisan masyarakat yang ada di Aceh, yaitu besarnya
harapan agar terciptanya iklim penyelenggaraan pemerintahan Aceh yang lebih
baik, demi mewujudkan kesejahteraan masyarakat yang seluas-luasnya.
Terlebih lagi hal yang didambakan tersebut bukanlah
sesuatu yang muluk-muluk, mengingat arah terciptanya penyelenggaraan
pemerintahan Aceh yang bernuansa positif berada di depan mata, yaitu dengan
mensukseskan rangkaian kegiatan dari pelaksanaan pilkada Aceh tahun 2017. Termasuk diantaranya dengan
memparipurnakan landasan yuridis dari pelaksanaan pilkada Aceh, melalui suatu
Qanun di tahun 2016.
Bersatu, Kita Teguh
Sebagaimana headline
pemberitaan yang diekspose oleh Harian Waspada, tertanggal 30 Desember 2015,
dengan judul “Kelompok Din Minimi Turun Gunung”. Sudah barang tentu peristiwa
tersebut dapat memantik pro dan kontra, dari berbagai perspektif yang
melatarbelakanginya, maupun keilmuan yang dijadikan pisau dalam menganalisisnya.
Namun demikian dari sudut pandang yang berbeda,
bukankah peristiwa turun gunungnya kelompok Din Minimi dapat dikategorikan sebagai
momentum awal dari bersatunya para elit yang ada dan berkepentingan di Aceh.
Baik yang berkedudukan sebagai supra struktur – infra struktur – dan sub
struktur masyarakat, khususnya demi menyongsong Aceh baru yang diawali dengan
goresan pena sejarah penyelenggaraan pemerintahan dengan lembaran baru.
Sehingga jika seluruh lapisan dan komponen masyarakat
yang berkepentingan di Aceh, mampu untuk saling beritikad merangkul satu sama
lain, pantas kiranya sejalan dengan pribahasa lampau “bersatu kita teguh, bercerai kita runtuh”. Lantas, akankah pada
hari-hari yang akan datang, dapat dipersaksikan bersatunya seluruh komponen
masyarakat Aceh ? dengan demikian jika hal tersebut tidak mampu terwujud, apakah
dikarenakan tidak adanya kemampuan, atau justru oleh karena kurangnya political will dari berbagai pihak untuk
melakukan konsolidasi secara menyeluruh ?
Pilkada
Aceh 2017
Pentingnya menyinggung pilkada Aceh tahun
2017, tidak lain dan tidak bukan hal ini didasari atas amanat dari UUPA,
khususnya Pasal 73, yang pada intinya mengamanatkan bahwa “Penyelenggaraan pemilihan Gubernur/Wakil Gubernur, Bupati/Wakil Bupati,
dan Walikota/Wakil Walikota diatur lebih lanjut dengan Qanun dan berpedoman
pada peraturan perundang-undangan”. Dengan kata lain, sepantasnya dipahami
bahwa meskipun pelaksanaan pilkada di Aceh, baru akan dilaksanakan pada tahun
2017, akan tetapi peraturan perundang-undangan telah mengamanatkan terkait
substansi materi dari pelaksanaan pilkada Aceh, seharusnya telah dirampungkan
pada periode tahun 2016 melalui suatu Qanun.
Oleh karena itu, Qanun tentang pilkada
Aceh merupakan sebagai salah satu
entitas, serta turut berperan sebagai payung hukum dalam melaksanakan pilkada
di Aceh, sekaligus sebagai pondasi dasar untuk menjaring dan menyeleksi
berbagai kandidat calon kepala daerah, baik yang bertarung di level Provinsi,
maupun di level Kabupaten dan Kota.
Dengan demikian, dalam merumuskan dan
mengesahkan Qanun tentang pilkada Aceh, Eksekutif dan Legislatif Aceh
seyogyanya memikul tanggung jawab yang tidak ringan, mengingat Qanun tersebut
akan menentukan masa depan Aceh mulai dari periode tahun 2017 dan seterusnya.
Artinya akankah Aceh mampu melaksanakan cita dari para endatu ? seluruhnya hanya
akan terjawab dari suksesnya pelaksanaan rangkaian pilkada di Aceh Tahun 2017.
Seiring dengan besarnya tanggung jawab,
maka sudah sepantasnya dalam merumuskan Qanun tentang pilkada Aceh,
setidak-tidaknya tetap berpegang teguh dengan spirit “demi kepentingan umum”.
Sehingga berbagai substansi materi dari Qanun tersebut didasarkan atas berbagai
hasil evaluasi dari pelaksanaan pilkada di tahun-tahun sebelumnya.
Pada kesempatan yang sama, masyarakat Aceh
sebagai salah satu sub struktur politik, turut memiliki andil dalam mendorong
terciptanya berbagai revolusi dari substansi materi dalam pelaksanaan pilkada
Aceh. Dalam perihal ini, revolusi dimaksud dapat dilakukan dengan mengevaluasi
syarat/kriteria seseorang yang berhasrat untuk menjadi calon kepala daerah.
Apakah sudah cukup calon kepala daerah hanya
dipersyaratkan memiliki jenjang pendidikan yang sama dengan pilkada Aceh tahun sebelumnya
(2012) ? begitu juga dengan keberadaan syarat kemampuan calon kepala daerah
yang berupa uji kemampuan melantunkan ayat-ayat suci, akankah turut mengikuti
standar prosedur yang berlaku pada pilkada sebelumnya (2012) ?
Hal
ini penting untuk disadari, bahwa jika berbagai substansi materi dalam
menjaring kepala daerah, masih berlaku hal-hal yang dianut dari pilkada
sebelumnya (tahun 2012) tanpa adanya perubahan, atau dengan kata lain tanpa
diiringi dengan revolusi materi dalam menjaring kepala daerah, maka niscaya
pemerintahan Aceh di tahun 2017 akan memiliki pola yang sama dari hasil pilkada
Aceh di tahun 2012.
Penutup
Pada hari-hari yang akan datang, maka
secara bersama-sama dapat dinilai atas keberadaan Qanun pilkada Aceh tahun
2017. Akankah Qanun tersebut hanya diibaratkan sebagai “copy-paste” dari Qanun pilkada Aceh di tahun-tahun sebelumnya, atau
justru terciptanya berbagai revolusi dalam substansi materi dari Qanun pilkada
Aceh tersebut.
Sesuai dengan kompetensi yang dimiliki,
semoga saja dalam memparipurnakan Qanun tentang pilkada Aceh, adanya itikad
baik serta sinergitas antara Eksekutif dan Legislatif, demi terciptanya
kemaslahatan bagi segenap masyarakat Aceh. Sekaligus diharapkan bersatunya
seluruh komponen masyarakat Aceh, dalam mewujudkan pemerintahan Aceh yang
dilandaskan dengan asas good and clean
government. Semoga!
*Tulisan ini juga dimuat pada Harian Waspada, Rabu 6 Januari 2016
[1]
Penulis adalah PNS Pemkab
Aceh Tamiang, dan
Staf Pengajar Program Pascasarjana Magister Ilmu Hukum, UMSU dan UMA.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar