Kaleidoskop Ketatanegaraan 2015
Menyongsong lembaran Tahun yang baru, sudah
sepantasnya seluruh komponen bangsa melakukan introspeksi dan flashback,
atas berbagai preseden yang mewarnai hari-hari dari jalannya roda penyelenggaraan
pemerintahan. Setidak-tidaknya preseden tersebut dapat direview dari perspektif
ketatanegaraan, khusus sepanjang Tahun 2015.
Mengingat ketatanegaraan dimaknai sebagai segala
sesuatu tentang susunan negara. (Hilman Hadikusuma, 2010) Dalam konteks
tersebut, menjadi penting untuk disadari sekaligus dipahami, bagaimana alat-alat
dari susunan negara dalam menyelenggarakan roda pemerintahan, apakah telah
sesuai sebagaimana hakikatnya ?
Preseden 2015
Berikut ini,
setidak-tidaknya akan disari berbagai preseden ketatanegaraan sepanjang Tahun
2015, sebagaimana perihal dugaan yang melingkupinya, sekaligus fakta-fakta yang
diberitakan oleh berbagai media, antara lain:
Pertama,
awal Tahun 2015 khususnya pada pertengahan bulan Januari, terjadi preseden dalam
ketatanegaraan di Republik Indonesia, tidak lain dan tidak bukan hal ini
terjadi oleh karena Presiden menetapkan BG sebagai calon tunggal Kapolri, namun
disisi yang lain KPK menunjukkan aksinya dengan menetapkan BG sebagai Tersangka
(walau kemudian dibatalkan atas pertimbangan putusan Pra Peradilan). Menariknya
bahwa seakan adanya aksi adu kekuatan antara Eksekutif dan Legislatif, bahwa
tidak lama berselang lembaga Legislatif dengan kompetensinya mengamini BG
sebagai Kapolri.
Kedua,
seolah-olah seperti sedang berbalas “pantun”, tepatnya pada pertengahan bulan
Februari, kembali terjadinya drama yang oleh publik dimaknai sebagai peristiwa
“cicak vs buaya” untuk yang kesekian kalinya. Dalam hal ini bahwa adanya
penetapan para petinggi KPK sebagai Tersangka, yang diduga oleh karena atas
noda masa lampau. Sehingga pada fase selanjutnya AS dan BW menyatakan mundur
dari kursi pimpinan KPK.
Ketiga,
ibarat drama sinetron bersambung, maka implikasi dari mundurnya beberapa
pimpinan, agar KPK mampu untuk eksis dan bertahan dalam menjalankan tugas pokok
dan fungsi, seakan menuntut Presiden untuk menunjuk pimpinan Plt KPK. Namun
demikian, faktanya dengan adanya Plt pimpinan KPK, justru publik mencatat bahwa
di bulan Maret telah terjadi preseden untuk pertama kalinya yaitu ketika KPK
mengaku kalah (sebagaimana yang dilontarkan oleh Plt Pimpinan KPK) khusus dalam
menghadapi kasus hukum yang melilit BG, maka setali tiga uang seolah telah
menjadi trend center, bahwa ramai dan latahnya para Tersangka yang
ditetapkan oleh KPK mengajukan upaya Pra Peradilan.
Keempat,
masih berkutat pada drama KPK, bahwa bertepatan di penghujung bulan April
sekaligus awal bulan Mei, adanya suatu rangkaian yang menetapkan NB (salah satu
penyidik KPK) sebagai Tersangka, oleh karena sekali lagi dinilai wajib bertanggung jawab atas dugaan
dosa di masa lalu. Atas peristiwa ini untuk kesekian kalinya publik memberi
stigma negatif kepada salah satu lembaga penegak hukum.
Kelima,
pada bulan Mei jua, adanya preseden yang melibatkan salah satu pembantu Presiden,
khususnya dibidang hukum dan HAM. Dalam hal ini, faktanya bahwa adanya suatu
putusan dari majelis hakim PTUN, yang menganulir dari keputusan Menteri yang
dimaksud (hingga pada lembaga peradilan yang tertinggi), terkait kepengurusan
salah satu partai politik senior di tanah air. Tidak dapat terelakkan bahwa
kader-kader dari partai tersebut yang di kemudian hari menjadi korbannya.
Keenam,
pertengahan bulan Juli, bagaikan petir disiang bolong, bahwa adanya preseden
dalam hal penegakan hukum, yang patut diduga sangat disayangkan melibatkan para
pendekar hukum, khususnya yang aral melintang di ruang sidang Pengadilan.
Antara lain, sebagaimana yang turut melibatkan pengacara senior, hakim senior,
dan panitera senior. Menariknya bahwa peristiwa tersebut mampu mencoreng wajah
salah satu politikus, sekaligus pentolan dari salah satu partai pendukung
Pemerintah.
Ketujuh,
faktanya bagaikan simalakama dalam mengemban hukum, hal ini terindikasi bahwa
pada awal bulan September, terjadinya mutasi perwira tinggi di tubuh lembaga
penegak hukum yang menggunakan semboyan “Tri Brata”. Bagaimana tidak, BW yang
sebelumnya berapi-api dalam mengusut dugaan penyelewengan penggunaan uang
negara pada salah satu BUMN berkategori kelas kakap, namun demikian mendapat “reward”
berupa mutasi, sehingga dengan kata lain patut diduga terpaksa tidak dapat
melanjutkan i’tikadnya tersebut.
Kedelapan,
menjelang memasuki pelaksanaan pesta demokrasi di tingkat lokal, bahwa adanya suatu
putusan dari Mahkamah Konstitusi yang antara lain mengamanatkan bahwa
mengakomodir keberadaan calon tunggal dalam pelaksanaan pilkada. Sontak saja,
dengan adanya putusan tersebut terjadi perubahan konstelasi sekaligus strategi
politik di daerah-daerah otonom, jika sebelumnya di beberapa daerah otonom
masih ada partai politik yang belum berhasrat mengusung calonnya, maka hal ini
berbanding terbalik ketika adanya putusan Mahkamah Konstitusi tersebut.
Kesembilan,
Untuk pertama kalinya pilkada di Indonesia mampu dilaksanakan secara serentak
dan terbatas (dengan pengecualian, bahwa pada prinsipnya pilkada di Aceh Tahun
2007 adalah pilkada serentak pertama di Indonesia, khusus untuk seluruh daerah
otonom di Aceh), yaitu pada awal Bulan Desember. Namun demikian, sejumlah
catatan turut membayanginya, antara lain yang sangat mendasar adalah rendahnya
partisipasi pemilih dalam memeriahkan pesta demokrasi di tingkat lokal.
Kesepuluh,
setelah beberapa bulan belakangan adanya berbagai dugaan yang menjerat para
elit, khususnya terkait dengan dagelan dalam pengelolaan Sumber Daya Alam (SDA)
di ujung timur Indonesia, maka penghujung bulan Desember turut memparipurnakan rangkaian preseden
dengan adanya surat pengunduran diri dari salah satu pimpinan Legislatif.
Semoga saja, surat pengunduran diri dimaksud mampu mengakhiri berbagai dagelan
para elit dalam memaknai kepentingan umum, yang tidak hanya sebatas lips
service semata.
Ekspektasi 2016
Berbagai
preseden yang telah terjadi dalam ketatanegaraan 2015, semoga dapat dijadikan
sebagai bahan pembelajaran oleh para stakeholder, agar dalam
penyelenggaraan pemerintahan di Tahun 2016 tidak “berputar-putar” pada
rangkaian pola yang sama di masa lalu. Ibarat pribahasa, “hari esok harus
lebih baik dari hari ini”. Pada kesempatan yang sama, seyogyanya jargon
“Revolusi Mental” kiranya mampu dijadikan paradigma, bukan hanya untuk
kepentingan pribadi – kelompok – golongan, akan tetapi demi kepentingan umum.
Semoga!
*Tulisan ini juga dimuat pada Harian Waspada, Rabu 30 Desember 2015
[1]
Penulis adalah PNS Pemkab
Aceh Tamiang, dan
Staf Pengajar Program Pascasarjana Magister Ilmu Hukum, UMSU dan UMA.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar