Kamis, 31 Desember 2015

Kaleidoskop Ketatanegaraan 2015

Kaleidoskop Ketatanegaraan 2015
Oleh: Dr. Cakra Arbas, SH.I, MH.[1]

Menyongsong lembaran Tahun yang baru, sudah sepantasnya seluruh komponen bangsa melakukan introspeksi dan flashback, atas berbagai preseden yang mewarnai hari-hari dari jalannya roda penyelenggaraan pemerintahan. Setidak-tidaknya preseden tersebut dapat direview dari perspektif ketatanegaraan, khusus sepanjang Tahun 2015.
Mengingat ketatanegaraan dimaknai sebagai segala sesuatu tentang susunan negara. (Hilman Hadikusuma, 2010) Dalam konteks tersebut, menjadi penting untuk disadari sekaligus dipahami, bagaimana alat-alat dari susunan negara dalam menyelenggarakan roda pemerintahan, apakah telah sesuai sebagaimana hakikatnya ?

Preseden 2015   
Berikut ini, setidak-tidaknya akan disari berbagai preseden ketatanegaraan sepanjang Tahun 2015, sebagaimana perihal dugaan yang melingkupinya, sekaligus fakta-fakta yang diberitakan oleh berbagai media, antara lain:
Pertama, awal Tahun 2015 khususnya pada pertengahan bulan Januari, terjadi preseden dalam ketatanegaraan di Republik Indonesia, tidak lain dan tidak bukan hal ini terjadi oleh karena Presiden menetapkan BG sebagai calon tunggal Kapolri, namun disisi yang lain KPK menunjukkan aksinya dengan menetapkan BG sebagai Tersangka (walau kemudian dibatalkan atas pertimbangan putusan Pra Peradilan). Menariknya bahwa seakan adanya aksi adu kekuatan antara Eksekutif dan Legislatif, bahwa tidak lama berselang lembaga Legislatif dengan kompetensinya mengamini BG sebagai Kapolri.
Kedua, seolah-olah seperti sedang berbalas “pantun”, tepatnya pada pertengahan bulan Februari, kembali terjadinya drama yang oleh publik dimaknai sebagai peristiwa “cicak vs buaya” untuk yang kesekian kalinya. Dalam hal ini bahwa adanya penetapan para petinggi KPK sebagai Tersangka, yang diduga oleh karena atas noda masa lampau. Sehingga pada fase selanjutnya AS dan BW menyatakan mundur dari kursi pimpinan KPK.
Ketiga, ibarat drama sinetron bersambung, maka implikasi dari mundurnya beberapa pimpinan, agar KPK mampu untuk eksis dan bertahan dalam menjalankan tugas pokok dan fungsi, seakan menuntut Presiden untuk menunjuk pimpinan Plt KPK. Namun demikian, faktanya dengan adanya Plt pimpinan KPK, justru publik mencatat bahwa di bulan Maret telah terjadi preseden untuk pertama kalinya yaitu ketika KPK mengaku kalah (sebagaimana yang dilontarkan oleh Plt Pimpinan KPK) khusus dalam menghadapi kasus hukum yang melilit BG, maka setali tiga uang seolah telah menjadi trend center, bahwa ramai dan latahnya para Tersangka yang ditetapkan oleh KPK mengajukan upaya Pra Peradilan.
Keempat, masih berkutat pada drama KPK, bahwa bertepatan di penghujung bulan April sekaligus awal bulan Mei, adanya suatu rangkaian yang menetapkan NB (salah satu penyidik KPK) sebagai Tersangka, oleh karena sekali lagi  dinilai wajib bertanggung jawab atas dugaan dosa di masa lalu. Atas peristiwa ini untuk kesekian kalinya publik memberi stigma negatif kepada salah satu lembaga penegak hukum.
Kelima, pada bulan Mei jua, adanya preseden yang melibatkan salah satu pembantu Presiden, khususnya dibidang hukum dan HAM. Dalam hal ini, faktanya bahwa adanya suatu putusan dari majelis hakim PTUN, yang menganulir dari keputusan Menteri yang dimaksud (hingga pada lembaga peradilan yang tertinggi), terkait kepengurusan salah satu partai politik senior di tanah air. Tidak dapat terelakkan bahwa kader-kader dari partai tersebut yang di kemudian hari menjadi korbannya.
Keenam, pertengahan bulan Juli, bagaikan petir disiang bolong, bahwa adanya preseden dalam hal penegakan hukum, yang patut diduga sangat disayangkan melibatkan para pendekar hukum, khususnya yang aral melintang di ruang sidang Pengadilan. Antara lain, sebagaimana yang turut melibatkan pengacara senior, hakim senior, dan panitera senior. Menariknya bahwa peristiwa tersebut mampu mencoreng wajah salah satu politikus, sekaligus pentolan dari salah satu partai pendukung Pemerintah.
Ketujuh, faktanya bagaikan simalakama dalam mengemban hukum, hal ini terindikasi bahwa pada awal bulan September, terjadinya mutasi perwira tinggi di tubuh lembaga penegak hukum yang menggunakan semboyan “Tri Brata”. Bagaimana tidak, BW yang sebelumnya berapi-api dalam mengusut dugaan penyelewengan penggunaan uang negara pada salah satu BUMN berkategori kelas kakap, namun demikian mendapat “reward” berupa mutasi, sehingga dengan kata lain patut diduga terpaksa tidak dapat melanjutkan i’tikadnya tersebut.
Kedelapan, menjelang memasuki pelaksanaan pesta demokrasi di tingkat lokal, bahwa adanya suatu putusan dari Mahkamah Konstitusi yang antara lain mengamanatkan bahwa mengakomodir keberadaan calon tunggal dalam pelaksanaan pilkada. Sontak saja, dengan adanya putusan tersebut terjadi perubahan konstelasi sekaligus strategi politik di daerah-daerah otonom, jika sebelumnya di beberapa daerah otonom masih ada partai politik yang belum berhasrat mengusung calonnya, maka hal ini berbanding terbalik ketika adanya putusan Mahkamah Konstitusi tersebut.
Kesembilan, Untuk pertama kalinya pilkada di Indonesia mampu dilaksanakan secara serentak dan terbatas (dengan pengecualian, bahwa pada prinsipnya pilkada di Aceh Tahun 2007 adalah pilkada serentak pertama di Indonesia, khusus untuk seluruh daerah otonom di Aceh), yaitu pada awal Bulan Desember. Namun demikian, sejumlah catatan turut membayanginya, antara lain yang sangat mendasar adalah rendahnya partisipasi pemilih dalam memeriahkan pesta demokrasi di tingkat lokal.
Kesepuluh, setelah beberapa bulan belakangan adanya berbagai dugaan yang menjerat para elit, khususnya terkait dengan dagelan dalam pengelolaan Sumber Daya Alam (SDA) di ujung timur Indonesia, maka penghujung bulan Desember  turut memparipurnakan rangkaian preseden dengan adanya surat pengunduran diri dari salah satu pimpinan Legislatif. Semoga saja, surat pengunduran diri dimaksud mampu mengakhiri berbagai dagelan para elit dalam memaknai kepentingan umum, yang tidak hanya sebatas lips service semata.

Ekspektasi 2016
Berbagai preseden yang telah terjadi dalam ketatanegaraan 2015, semoga dapat dijadikan sebagai bahan pembelajaran oleh para stakeholder, agar dalam penyelenggaraan pemerintahan di Tahun 2016 tidak “berputar-putar” pada rangkaian pola yang sama di masa lalu. Ibarat pribahasa, “hari esok harus lebih baik dari hari ini”. Pada kesempatan yang sama, seyogyanya jargon “Revolusi Mental” kiranya mampu dijadikan paradigma, bukan hanya untuk kepentingan pribadi – kelompok – golongan, akan tetapi demi kepentingan umum. Semoga!
*Tulisan ini juga dimuat pada Harian Waspada, Rabu 30 Desember 2015



[1]  Penulis adalah PNS Pemkab Aceh Tamiang, dan Staf Pengajar Program Pascasarjana Magister Ilmu Hukum, UMSU dan UMA.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar