Mengenang 4 Desember
(4 Desember 1911
– 4 Desember 1976
– 4 Desember 2015)
Penyelenggaraan pemerintahan di Aceh setiap tahunnya, baik oleh
rakyat umum maupun stakeholder, tidak
jarang akan memperingati tanggal-tanggal tertentu yang dinilai berkaitan dalam
mengenang secara historis, sekaligus mengokohkan eksistensi pemerintahan Aceh,
yang umumnya diwujudkan dalam berbagai peringatan dan perayaan seremonial,
bahkan kadangkala turut melibatkan partisipasi dunia internasional.
Salah satunya adalah tanggal 4 Desember,
telah menjadi rahasia umum bahwa tanggal tersebut melekat pada salah satu sub
sistem infrastruktur politik yang ada di Aceh. Bahkan dapat diasumsikan bahwa
pra lahirnya MoU Helsinki, memperingati tanggal 4 Desember adalah sesuatu yang illegitimate, dan dapat dipastikan
berimplikasi dengan penegakan hukum.
Lantas, bagaimana dengan tanggal 4
Desember paska lahirnya MoU Helsinki ? sesuai dengan amanat MoU Helsinki, disatu
sisi bahwa tidak menutup kemungkinan untuk memperingati atau merayakan tanggal yang dimaksud, dengan catatan sejalan dengan amanat MoU
Helsinki disisi yang lainnya, sekaligus dijalankan sesuai dengan berbagai koridor hukum yang berlaku.
Sejatinya, dengan mengenang tanggal dimaksud notabene akan menyinggung berbagai perihal yang telah
terbenam dalam catatan sejarah, oleh karena itu bukanlah hendak
membangkit-bangkitkan batang terendam, jauh panggang dari api. Akan tetapi, hal
tersebut merupakan flashback dalam
memahami dan memaknai Aceh sebagai entitas Negara Kesatuan Republik Indonesia. Terlebih
lagi, bukankah founding father
senantiasa berujar bahwa bangsa yang besar, jangan melupakan sejarahnya.
4 Desember 1976 atau 20 Mei 1977 ?
Mengenang tanggal 4 Desember, umumnya hal ini dipahami sebagai realitas dari relasi antara
Pemerintah Republik Indonesia dan rakyat Aceh. Sehingga relasi tersebut kadangkala dapat menciptakan iklim yang harmonis,
sekaligus disharmonis, khususnya dalam menetapkan berbagai kebijakan dalam
rangka penyelenggaraan pemerintahan di Aceh. (Cakra Arbas, 2015)
Reaksi disharmonis salah satunya disebabkan oleh faktor
inkonsistensinya Pemerintah Republik Indonesia dalam menetapkan kebijakan untuk
Aceh. Hubungan disharmonis setidak-tidaknya dapat ditelusuri dari berbagai
rangkaian “konflik” yang terjadi di Aceh paska Proklamasi kemerdekaan Republik
Indonesia, antara lain (sampai Tahun 2005) sebagaimana yang dipelopori oleh Hasan Tiro.
Bahwa Hasan Tiro mengambil sikap yakni
pada tanggal 4 Desember 1976 memproklamirkan Aceh Merdeka.
Gerakan perlawanan ini selanjutnya dikenal sebagai ASNLF (Atjeh
Sumatera National Liberation Front), juga dikenal dengan sebutan Atjeh Meurdeuka, kemudian dicap oleh
Pemerintah sebagai GPLHT (Gerakan Pengacau Liar Hasan Tiro) atau GPK (Gerakan
Pengacau Keamanan), dan selanjutnya dikenal dengan adagium “GAM (Gerakan Aceh
Merdeka)”. Sehingga tanggal 4 Desember umumnya dikenal sebagai tanggal lahir
GAM.
Paska diproklamirkannya GAM oleh Hasan Tiro, tanggal 4
Desember selalu dimaknai dan diperingati, baik secara khusus oleh para pengikut
GAM, maupun oleh kalangan terbatas rakyat Aceh. Hal ini juga terus berlangsung, baik pra
maupun paska lahirnya MoU Helsinki. Menarik untuk dipertanyakan, tentang hakikat mengenang tanggal 4 Desember ? dalam hal ini, Al-Chaidar menerangkan
bahwa Hasan Tiro memilih tanggal 4 Desember 1976 memproklamirkan GAM, dilandasi
untuk memperingati kematian leluhurnya yaitu Tgk Ma’at di Tiro, yang syahid pada tanggal 4
Desember 1911. (Al Chaidar, 1999)
Namun demikian, patut juga untuk dianalisa berdasarkan
pandangan Nazaruddin Sjamsuddin, dengan menyatakan bahwa “…seluruh pemimpin gerakan yang ada di Sumatera Utara kembali ke Aceh
dan masuk ke hutan pada pertengahan Tahun 1977, hal ini yang menandai awal dari
meletusnya pemberontakan yang sesungguhnya…”. (Nazaruddin Sjamsuddin,
1989).
Hal senada faktanya turut diutarakan oleh Neta S.
Pane, yang menyatakan bahwa GAM bukan diproklamirkan pada tanggal 4 Desember
1976, akan tetapi GAM diproklamirkan pada tanggal 20 Mei 1977, sebagaimana yang
disebutkan bahwa “… pada 20 Mei 1977
diadakan rapat akbar di kaki Gunung Halimun, di Kabupaten Pidie. Dalam rapat
akbar itu berkumpul sejumlah tokoh dan pimpinan militer eks DI/TII, tokoh
Republik Islam Aceh, maupun pejabat Pemerintah. Setelah melalui dialog yang
panjang selama 4 (empat) hari, mereka sepakat membangun kekuatan aliansi
Gerakan Aceh Merdeka (GAM), maka tanggal 20 Mei 1977 dinyatakan sebagai hari
proklamasi dan kelahiran GAM”. (Neta S. Pane, 2001).
Berdasarkan
realitas tersebut, menarik untuk dipahami saat ini yaitu adanya berbagai bentuk
peringatan yang dilakukan setiap tanggal 4 Desember, merupakan sebagai wujud
untuk mengenang wafatnya leluhur Hasan Tiro (Tgk Ma’at di Tiro) ? atau dalam
rangka memperingati hari diproklamirkannya GAM ? hal ini mutlak harus dipahami, oleh karena
jika Pemerintahan Aceh diibaratkan sebagai suatu puzzle, maka 4 Desember
dapat dianalogikan sebagai salah satu kepingan dari puzzle itu sendiri.
Kedepannya yang
patut dikritisi, akankah perjuangan yang dilakukan oleh kelompok Abu Minimi,
turut serta menambah tanggal-tanggal yang dijadikan sebagai momentum “perayaan”
demi mengenang berbagai peristiwa yang terjadi di Aceh ? Lantas, mampukah
berbagai tanggal yang telah dimaknai memiliki hakikat,
serta berkaitan dengan historis sekaligus eksistensi pemerintahan Aceh, akan
tetap mampu untuk konsisten dikenang dalam berbagai bentuk peringatan atau
perayaan yang sesuai dengan tanggalnya ?
Penutup
Saat ini, senada dengan amanat MoU Helsinki bahwa adagium GAM adalah
sesuatu yang harus ditanggalkan, namun demikian seiring dengan adanya perbedaan
sudut pandang, dalam memaknai hari lahir GAM, semoga kedepannya akan
bermunculan peran serta, baik oleh aktor atau pelaku, maupun para ahli dan
pakar, dalam membuka tabir tanggal lahirnya GAM, yang validitasnya dapat diuji
dalam tataran ilmiah.
Terlepas dari berbagai kontroversi, bukankah dengan
adanya dua tanggal yang berbeda dalam memaknai lahirnya GAM, patut diduga
adanya upaya yang mencoba melencengkan makna dari hari lahir GAM tersebut ? atau
hal tersebut murni hanya sebatas perbedaan tafsir dan sudut pandang ? meskipun dengan meluruskan hari lahir GAM, bukan
berarti memiliki pretensi untuk menghidupkan dan menggerakkan kembali adagium
GAM yang dimaksud, melainkan semata-mata demi kepentingan sejarah Aceh, bagi
kehidupan generasi mendatang. Semoga!
*Tulisan ini juga dimuat pada Harian Waspada, Kamis 3 Desember 2015
[1]
Penulis adalah PNS Pemkab
Aceh Tamiang, dan Staf
Pengajar Program Pascasarjana Magister Ilmu Hukum, UMSU dan UMA.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar