Euforia Demokrasi
Bulan
Desember telah menjadi episentrum oleh sebahagian besar rakyat sekaligus
beberapa daerah otonom di Indonesia, tanpa terkecuali berbagai stakeholder
yang berada pada tataran infra dan supra struktur politik. Tidak lain hal ini
dikarenakan 9 Desember 2015, merupakan sebagai rangkaian “euforia demokrasi”
ditingkat lokal yang dilaksanakan secara serentak, khusus dalam menentukan
Kepala dan Wakil Kepala Daerah di daerah otonom tertentu.
Tidak dapat
dipungkiri bahwa dengan adanya euforia demokrasi, disatu sisi turut memberikan
dampak positif, yang salah satunya adalah memberikan pemahaman dan kesadaran
tersendiri bagi rakyat, sehingga mendorong masifnya partisipasi rakyat dalam
menyukseskan euforia demokrasi. Namun demikian, bukankah demokrasi juga turut
memberikan dampak negatif dalam hidup berbangsa dan bernegara ?
Pada momentum yang sama, semestinya
juga patut dipertanyakan, apakah euforia demokrasi yang telah dijalani adalah
benar sesuai dengan kearifan lokal rakyat Indonesia ? atau dengan kata lain,
mengapa tidak menerapkan demokrasi yang sejalan dengan nilai yang hidup dan
berkembang di Indonesia ? setidak-tidaknya ketika tetap menerapkan demokrasi,
sebagai suatu pilihan dalam berbangsa dan bernegara, akan tetap
mengabstraksikan nilai yang terkandung oleh bangsa Indonesia.
Plato tentang Demokrasi
Berwacana tentang demokrasi, belum ajeg kiranya jika
tidak di dasari atas pandangan sosok filsuf, yang dikenal melalui karya
fenomenal berjudul “Republik”, yaitu Plato. Uraian yang disampaikan Plato,
secara tegas menyatakan tentang keberadaan suatu bentuk pemerintahan yang
bersifat demokrasi. Berbagai buah pemikiran Plato mengenai demokrasi, diantaranya
dapat dianalisa berdasarkan:
(Plato, 2015)
Pertama,
demokrasi oleh Plato dideskripsikan sebagai suatu rangkaian siklus. Awalnya,
Plato menerangkan bahwa bentuk demokrasi akan ternilai sebagai bentuk yang
paling adil, dengan kata lain demokrasi dapat dianalogikan sebagai “suatu jubah
yang tersulam dengan dilengkapi hiasan berbagai macam bentuk kembang”.
Kedua, demokrasi dikategorikan sebagai suatu bentuk
pemerintahan yang paling menarik, penuh dengan keanekaragaman dan kekacauan,
yang mana memberikan kesamaan derajat pada setiap individu yang berbeda. Sehingga
dengan demokrasi, dapat terlihat bahwa antara rakyat biasa dan penguasa akan
memiliki kedudukan yang egaliter, oleh karena itu tidak jarang ditemui adanya
rakyat yang bertingkah laku mirip dengan penguasa, dan terdapat pula penguasa
yang bertindak seperti rakyat.
Ketiga, Plato mengkiyaskan kelemahan demokrasi itu
diibaratkan seperti “sang ayah yang terbiasa merendahkan diri di hadapan
putranya dan takut terhadap putranya, sementara sang putra menganggap memiliki
derajat yang sama dengan ayahnya, sehingga tidak lagi menaruh rasa hormat atau
penghormatan atas ayah atau orang tuanya”. Kelemahan lainnya juga dapat
dikiyaskan dalam bentuk “ketika sang guru memiliki rasa takut, dan tanpa suatu hal yang relevan memuji muridnya,
oleh karenanya murid memandang rendah terhadap guru-guru mereka”.
Keempat, ironinya dalam demokrasi, tua dan muda,
kaum cerdik pandai dan rakyat umum, semuanya sama. Sehingga saling berkompetisi baik dengan kata maupun
perbuatan, bahkan mereka yang tua berkenan untuk merendahkan diri di hadapan
yang muda, dengan diiringi senda gurau dan candaan. Oleh karena itu, Plato
menyatakan bahwa runtuhnya demokrasi akibat besar dan dalamnya kebebasan yang
dimiliki rakyatnya. Dalam hal ini kebebasan yang sangat berlebihan atau
kebebasan yang demikian luas tanpa batas, adalah kebebasan yang kebablasan.
Kearifan Lokal Demokrasi
Berdasarkan amanat UUDNRI Tahun 1945
disebutkan bahwa
“kedaulatan di tangan rakyat dan dilaksanakan sepenuhnya
menurut Undang-Undang Dasar”, benar bahwa tidak
disebutkan secara tegas sistem demokrasinya. Namun dalam hal ini, kedaulatan
rakyat adalah prinsipnya, wujudnya adalah demokrasi, adapun implementasinya
dewasa ini menurut M. Solly Lubis dapat direalisasikan dalam dua tahap, yaitu:
(M. Solly Lubis, 2007) Pertama, demokrasi
yang mempunyai sifat langsung. Kedua, demokrasi yang mempunyai sifat tidak
langsung.
Menelisik demokrasi Indonesia, founding fathers (Moh. Hatta) menyebutkan bahwa demokrasi
asli Indonesia, setidak-tidaknya terdiri dari beberapa unsur, yaitu: Pertama, rapat. Kedua,
mufakat. Ketiga, gotong royong. Keempat,
hak menyatakan protes. Dalam
konteks politik dilaksanakan melalui sistem perwakilan rakyat dengan konsep
musyawarah, dan berdasarkan kepentingan umum. (Moh. Hatta, 2002)
Dengan demikian, dapat dicermati bahwa salah satu ciri
khas demokrasi Indonesia terletak pada sisi musyawarah. Lantas, bagaimana
dengan eksistensi
musyawarah dalam mencapai mufakat, apakah masih mampu dipertahankan di berbagai lini kehidupan
?
serta bukankah musyawarah juga dapat dikategorikan sebagai demokrasi, yang
bersifat tidak langsung ?
Pada sisi yang
lain, Indonesia sebagai negara hukum yang demokratis,
seyogyanya mampu memposisikan hukum dan demokrasi sebagai dwi tunggal,
demokrasi harus diayomi oleh hukum agar tidak mengarah ke anarkis. Sedangkan
hukum harus didasari atas demokrasi, agar tidak tercipta pemerintahan yang otoriter dan
totaliter.
Penutup
Bercermin dari pandangan Plato, dapat disadari bahwa
demokrasi bukanlah sesuatu yang sempurna, melainkan tetap diperlukan
adanya kesesuaian dengan berbagai kearifan lokal dimasing-masing bangsa. Dalam konteks bangsa Indonesia, yang diasumsikan sebagai bangsa timur yang menjunjung
tinggi nilai moral dan etika, maka penguatan kembali demokrasi, bukanlah
sesuatu yang keliru, dimulai dengan mempertahankan prinsip
musyawarah dalam mencapai mufakat.
Serta
semoga euforia demokrasi melalui pemilihan Kepala Daerah serentak, kiranya
mampu menjawab berbagai ekspektasi, sekaligus mampu merevolusi penyelenggaraan
pemerintahan daerah, dengan menghindarkan berbagai perbuatan yang nyata-nyata
dapat diindikasikan dalam kategori perbuatan melawan hukum, sekaligus kiranya
mampu mewujudkan prinsip good and clean government. Semoga!
*Tulisan ii juga dimuat pada Harian Waspada, Rabu 9 Desember 2015
[1]
Penulis adalah PNS Pemkab
Aceh Tamiang, dan
Staf Pengajar Program Pascasarjana Magister Ilmu Hukum, UMSU dan UMA.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar