Minggu, 13 Desember 2015

Euforia Demokrasi

Euforia Demokrasi
Oleh: Dr. Cakra Arbas, SH.I, MH.[1]

Bulan Desember telah menjadi episentrum oleh sebahagian besar rakyat sekaligus beberapa daerah otonom di Indonesia, tanpa terkecuali berbagai stakeholder yang berada pada tataran infra dan supra struktur politik. Tidak lain hal ini dikarenakan 9 Desember 2015, merupakan sebagai rangkaian “euforia demokrasi” ditingkat lokal yang dilaksanakan secara serentak, khusus dalam menentukan Kepala dan Wakil Kepala Daerah di daerah otonom tertentu.
Tidak dapat dipungkiri bahwa dengan adanya euforia demokrasi, disatu sisi turut memberikan dampak positif, yang salah satunya adalah memberikan pemahaman dan kesadaran tersendiri bagi rakyat, sehingga mendorong masifnya partisipasi rakyat dalam menyukseskan euforia demokrasi. Namun demikian, bukankah demokrasi juga turut memberikan dampak negatif dalam hidup berbangsa dan bernegara ?
Pada momentum yang sama, semestinya juga patut dipertanyakan, apakah euforia demokrasi yang telah dijalani adalah benar sesuai dengan kearifan lokal rakyat Indonesia ? atau dengan kata lain, mengapa tidak menerapkan demokrasi yang sejalan dengan nilai yang hidup dan berkembang di Indonesia ? setidak-tidaknya ketika tetap menerapkan demokrasi, sebagai suatu pilihan dalam berbangsa dan bernegara, akan tetap mengabstraksikan nilai yang terkandung oleh bangsa Indonesia.

Plato tentang Demokrasi  
Berwacana tentang demokrasi, belum ajeg kiranya jika tidak di dasari atas pandangan sosok filsuf, yang dikenal melalui karya fenomenal berjudul “Republik”, yaitu Plato. Uraian yang disampaikan Plato, secara tegas menyatakan tentang keberadaan suatu bentuk pemerintahan yang bersifat demokrasi. Berbagai buah pemikiran Plato mengenai demokrasi, diantaranya dapat dianalisa berdasarkan: (Plato, 2015)
Pertama, demokrasi oleh Plato dideskripsikan sebagai suatu rangkaian siklus. Awalnya, Plato menerangkan bahwa bentuk demokrasi akan ternilai sebagai bentuk yang paling adil, dengan kata lain demokrasi dapat dianalogikan sebagai “suatu jubah yang tersulam dengan dilengkapi hiasan berbagai macam bentuk kembang”.  
Kedua, demokrasi dikategorikan sebagai suatu bentuk pemerintahan yang paling menarik, penuh dengan keanekaragaman dan kekacauan, yang mana memberikan kesamaan derajat pada setiap individu yang berbeda. Sehingga dengan demokrasi, dapat terlihat bahwa antara rakyat biasa dan penguasa akan memiliki kedudukan yang egaliter, oleh karena itu tidak jarang ditemui adanya rakyat yang bertingkah laku mirip dengan penguasa, dan terdapat pula penguasa yang bertindak seperti rakyat.
Ketiga, Plato mengkiyaskan kelemahan demokrasi itu diibaratkan seperti “sang ayah yang terbiasa merendahkan diri di hadapan putranya dan takut terhadap putranya, sementara sang putra menganggap memiliki derajat yang sama dengan ayahnya, sehingga tidak lagi menaruh rasa hormat atau penghormatan atas ayah atau orang tuanya”. Kelemahan lainnya juga dapat dikiyaskan dalam bentuk “ketika sang guru memiliki rasa takut, dan tanpa suatu hal yang relevan memuji muridnya, oleh karenanya murid memandang rendah terhadap guru-guru mereka”.
Keempat, ironinya dalam demokrasi, tua dan muda, kaum cerdik pandai dan rakyat umum, semuanya sama. Sehingga saling berkompetisi baik dengan kata maupun perbuatan, bahkan mereka yang tua berkenan untuk merendahkan diri di hadapan yang muda, dengan diiringi senda gurau dan candaan. Oleh karena itu, Plato menyatakan bahwa runtuhnya demokrasi akibat besar dan dalamnya kebebasan yang dimiliki rakyatnya. Dalam hal ini kebebasan yang sangat berlebihan atau kebebasan yang demikian luas tanpa batas, adalah kebebasan yang kebablasan.

Kearifan Lokal Demokrasi     
Berdasarkan amanat UUDNRI Tahun 1945 disebutkan bahwa kedaulatan di tangan rakyat dan dilaksanakan sepenuhnya menurut Undang-Undang Dasar”, benar bahwa tidak disebutkan secara tegas sistem demokrasinya. Namun dalam hal ini, kedaulatan rakyat adalah prinsipnya, wujudnya adalah demokrasi, adapun implementasinya dewasa ini menurut M. Solly Lubis dapat direalisasikan dalam dua tahap, yaitu: (M. Solly Lubis, 2007) Pertama, demokrasi yang mempunyai sifat langsung. Kedua, demokrasi yang mempunyai sifat tidak langsung.
Menelisik demokrasi Indonesia, founding fathers (Moh. Hatta)  menyebutkan bahwa demokrasi asli Indonesia, setidak-tidaknya terdiri dari beberapa unsur, yaitu: Pertama, rapat. Kedua, mufakat. Ketiga, gotong royong. Keempat, hak menyatakan protes. Dalam konteks politik dilaksanakan melalui sistem perwakilan rakyat dengan konsep musyawarah, dan berdasarkan kepentingan umum. (Moh. Hatta, 2002)
Dengan demikian, dapat dicermati bahwa salah satu ciri khas demokrasi Indonesia terletak pada sisi musyawarah. Lantas, bagaimana dengan eksistensi musyawarah dalam mencapai mufakat, apakah masih mampu dipertahankan di berbagai lini kehidupan ? serta bukankah musyawarah juga dapat dikategorikan sebagai demokrasi, yang bersifat tidak langsung ?
Pada sisi yang lain, Indonesia sebagai negara hukum yang demokratis, seyogyanya mampu memposisikan hukum dan demokrasi sebagai dwi tunggal, demokrasi harus diayomi oleh hukum agar tidak mengarah ke anarkis. Sedangkan hukum harus didasari atas demokrasi, agar tidak tercipta pemerintahan yang otoriter dan totaliter.

Penutup
Bercermin dari pandangan Plato, dapat disadari bahwa demokrasi bukanlah sesuatu yang sempurna, melainkan tetap diperlukan adanya kesesuaian dengan berbagai kearifan lokal dimasing-masing bangsa. Dalam konteks bangsa Indonesia, yang diasumsikan sebagai bangsa timur yang menjunjung tinggi nilai moral dan etika, maka penguatan kembali demokrasi, bukanlah sesuatu yang keliru, dimulai dengan mempertahankan prinsip musyawarah dalam mencapai mufakat.
Serta semoga euforia demokrasi melalui pemilihan Kepala Daerah serentak, kiranya mampu menjawab berbagai ekspektasi, sekaligus mampu merevolusi penyelenggaraan pemerintahan daerah, dengan menghindarkan berbagai perbuatan yang nyata-nyata dapat diindikasikan dalam kategori perbuatan melawan hukum, sekaligus kiranya mampu mewujudkan prinsip good and clean government. Semoga!
*Tulisan ii juga dimuat pada Harian Waspada, Rabu 9 Desember 2015



[1]  Penulis adalah PNS Pemkab Aceh Tamiang, dan Staf Pengajar Program Pascasarjana Magister Ilmu Hukum, UMSU dan UMA.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar