Kamis, 12 November 2015

Sensitifitas UUPA

Sensitifitas UUPA
Oleh: Dr. Cakra Arbas, SH.I, MH.[1]

Beberapa hari belakangan ini, seakan telah menyentak berbagai stakeholder di Aceh, ketika adanya persidangan yang dilakukan oleh Mahkamah Konstitusi dalam rangka judicial review atas suatu pasal yang diamanatkan dalam Undang-Undang No. 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh (UUPA). Setali tiga uang, bahwa persidangan tersebut telah memunculkan friksi, bahwa tidak jarang banyak pihak yang sensitif menanggapi substansi judicial review, oleh karena dinilai perbuatan tersebut akan mendegradasi beberapa kewenangan yang dimiliki oleh Aceh, baik dalam bentuk keistimewaan, dan dalam hal kekhususan.
Oleh karena itu, dapat diasumsikan bahwa UUPA memiliki sensitifitas dalam menghadapi tantangan dan perkembangan zaman, sensitifnya UUPA dapat memantik atas 2 (dua) peristiwa, yaitu: Pertama, ketika UUPA belum mampu diimplementasikan seutuhnya. Kedua, ketika adanya ancaman bahwa akan berkurangnya kompetensi yang dimiliki UUPA, oleh karena di judicial review  Mahkamah Konstitusi.
Walaupun Mahkamah Konstitusi belum berpendapat terhadap gugatan yang diajukan tersebut, namun setidak-tidaknya dapat direview dari berbagai paradigma, khususnya terkait dengan kedudukan UUPA. Lantas, bagaimana kedudukan dari Pasal yang di judicial review tersebut ? dan benarkah UUPA memiliki privilege ? atau dengan kata lain UUPA tidak boleh dilakukan judicial review, maupun diamandemen atau direvisi ?
Judicial Review (Pasal 205)
Adapun yang menjadi friksi yaitu oleh karena adanya gugatan tentang pengujian Pasal 205 UUPA, yang pada intinya terkait dengan “pengangkatan Kepala Kepolisian Aceh yang mekanismenya melalui persetujuan Gubernur Aceh”. Dalam hal ini, bahwa penggugat mendalilkan jika Kepala Kepolisian Aceh melalui persetujuan Gubernur, maka akan berimplikasi terhadap berbagai penegakan hukum yang dilakukan oleh Kepolisian di Aceh.
Menariknya, pada posisi ini berbagai pihak yang berkepentingan, semestinya menyadari, dan mendasari paradigmanya bahwa kewenangan yang dimiliki oleh Gubernur Aceh dalam hal memberi persetujuan dalam pengangkatan Kepala Kepolisian di Aceh, bukanlah sesuatu kewenangan yang baru, terlebih lagi bukanlah kewenangan yang baru dimiliki sejalan dengan lahirnya UUPA.
Oleh karena, sekedar merawat ingatan sekaligus melawan lupa, yaitu sejarah telah mencatat bahwa kewenangan Gubernur Aceh dalam memberi persetujuan untuk pengangkatan Kepala Kepolisian di Aceh, telah lebih dahulu diamanatkan oleh Undang-Undang No. 18 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus Bagi Provinsi Daerah Istimewa Aceh Sebagai Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam, khususnya sebagaimana ditegaskan dalam Pasal 26 (1).
Artinya dapat dipahami bahwa adanya kewenangan Gubernur Aceh memberi persetujuan pengangkatan Kepala Kepolisian di Aceh, dalam konteks otonomi daerah merupakan wujud pelaksanaan desentralisasi asimetris. Khususnya Pemerintah Republik Indonesia telah menyadari bahwa kewenangan yang dimaksud adalah suatu bentuk kewenangan yang dimiliki Aceh dalam menjalankan roda pemerintahan secara istimewa dan khusus, sesuai dengan konteks bingkai Negara Kesatuan Republik Indonesia.

Sakralkah UUPA ?   
Ketika memiliki pretensi untuk menelisik sakralkah UUPA ? maka dapat dianalisa dari fakta hukum yang masih terlintas diingatan rakyat Aceh, bahwa pada 28 Desember 2010 untuk pertama kalinya Mahkamah Konstitusi menyatakan bahwa salah satu pasal di UUPA, telah bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia, sekaligus tidak memiliki kekuatan mengikat, yaitu Pasal 256 yang berkaitan tentang calon independen. (Cakra Arbas, 2012) Perihal tersebut telah mengindikasikan bahwa dari paradigma pranata hukum, khususnya terkait perundang-undangan, bahwa UUPA berkedudukan sebagai Undang-Undang yang pada umumnya berlaku di Republik Indonesia, sehingga dapat dipahami bahwa tidak tertutup kemungkinan Mahkamah Konstitusi akan melakukan judicial review.
Meskipun dalam praktiknya UUPA berposisi sebagai sebuah produk hukum yang lahir dari konsekuensi adanya perubahan kebijakan politik antara Pemerintah Republik Indonesia dan GAM. Serta sebagaimana yang diutarakan Husni Jalil bahwa UUPA adalah Undang-Undang yang unik dalam proses penyusunannya, karena melibatkan berbagai elemen rakyat Aceh secara luas, bahkan turut menarik perhatian dunia. Berbagai pihak turut berpartisipasi, meliputi pemerintah daerah, kalangan LSM, akademisi, unsur wanita, ulama, dan anggota GAM, bahkan dalam prosesnya UUPA terdiri dari 6 (enam) draft RUU, yang pada akhirnya diformulasikan dalam bentuk UUPA. (Husni Jalil, 2008)
Namun demikian, faktanya bahwa Aceh hari ini adalah entitas dari Negara Kesatuan Republik Indonesia, hal ini sejalan dengan salah satu amanat dari Pasal 1 UUPA. Dalam perihal tersebut, Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, khususnya Pasal 1 (3) menegaskan bahwa “Negara Indonesia adalah negara hukum”. Oleh karena Indonesia adalah negara hukum, Husni Jalil berpandangan bahwa negara hukum Indonesia menerapkan konsep negara hukum Pancasila, yang diantaranya terdiri atas sistem konstitusi. (Husni Jalil, 2004)
Paradigma selanjutnya, ketika konstitusi yang dijadikan norma dasar dalam berbangsa dan bernegara, maka konstitusi selain mengakomodir penyelenggaraan pemerintahan daerah yang bersifat istimewa dan khusus. Juga mengamanatkan adanya lembaga peradilan (Mahkamah Konstitusi) yang berwenang dan mengadili pada tingkat pertama dan terakhir, serta putusannya bersifat final dan mengikat, yang salah satu kompetensinya untuk menguji (judicial review) Undang-Undang (tanpa terkecuali UUPA) atas Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.

Penutup
Berdasarkan berbagai preseden yang telah tercatat sejarah, pada satu sisi dapat dipahami bahwa kadangkala hukum itu sering tertatih mengikuti perkembangan masyarakat, sehingga perubahan/amandemen/revisi norma hukum adalah suatu keniscayaan. Akan tetapi pada sisi yang lain hendaknya berbagai stakeholder mampu bersikap arif dan penuh kebijaksanaan, khususnya dalam menjalankan pemerintahan yang diberi legitimasi keistimewaan dan kekhususan.
Terakhir, patut dipertanyakan mengapa stakeholder tidak memfokuskan (baik pikiran-tenaga-waktu) untuk hal-hal yang dinilai bernuansa dalam upaya mensejahterakan rakyat Aceh ? khususnya semoga mau dan mampu untuk bersatu padu dalam mewujudkan berbagai amanat UUPA, yang nyata-nyata pasca 9 (sembilan) tahun lahirnya UUPA, masih terdapat perihal yang belum mampu diimplementasikan seutuhnya. Semoga!
*Tulisan ini juga dimuat pada Harian Waspada, Rabu 11 November 2015



[1]  Penulis adalah PNS Pemkab Aceh Tamiang, dan Staf Pengajar Program Pascasarjana Magister Ilmu Hukum, UMSU dan UMA.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar