Sensitifitas UUPA
Beberapa hari
belakangan ini, seakan telah menyentak berbagai stakeholder di Aceh, ketika adanya persidangan yang dilakukan oleh
Mahkamah Konstitusi dalam rangka judicial
review atas suatu pasal yang diamanatkan dalam Undang-Undang No. 11 Tahun
2006 tentang Pemerintahan Aceh (UUPA). Setali tiga uang, bahwa persidangan
tersebut telah memunculkan friksi, bahwa tidak jarang banyak pihak yang sensitif
menanggapi substansi judicial review,
oleh karena dinilai perbuatan tersebut akan mendegradasi beberapa kewenangan
yang dimiliki oleh Aceh, baik dalam bentuk keistimewaan, dan dalam hal
kekhususan.
Oleh karena
itu, dapat diasumsikan bahwa UUPA memiliki sensitifitas dalam menghadapi
tantangan dan perkembangan zaman, sensitifnya UUPA dapat memantik atas 2 (dua) peristiwa,
yaitu: Pertama, ketika UUPA belum mampu
diimplementasikan seutuhnya. Kedua,
ketika adanya ancaman bahwa akan berkurangnya kompetensi yang dimiliki UUPA,
oleh karena di judicial review Mahkamah Konstitusi.
Walaupun
Mahkamah Konstitusi belum berpendapat terhadap gugatan yang diajukan tersebut,
namun setidak-tidaknya dapat direview
dari berbagai paradigma, khususnya terkait dengan kedudukan UUPA. Lantas,
bagaimana kedudukan dari Pasal yang di judicial
review tersebut ? dan benarkah UUPA memiliki privilege ? atau dengan kata lain UUPA tidak boleh dilakukan judicial review, maupun diamandemen atau
direvisi ?
Judicial Review (Pasal 205)
Adapun yang menjadi friksi yaitu oleh karena adanya
gugatan tentang pengujian Pasal 205 UUPA, yang pada intinya terkait dengan “pengangkatan Kepala Kepolisian Aceh yang
mekanismenya melalui persetujuan Gubernur Aceh”. Dalam hal ini, bahwa
penggugat mendalilkan jika Kepala Kepolisian Aceh melalui persetujuan Gubernur,
maka akan berimplikasi terhadap berbagai penegakan hukum yang dilakukan oleh
Kepolisian di Aceh.
Menariknya, pada posisi ini berbagai pihak yang
berkepentingan, semestinya menyadari, dan mendasari paradigmanya bahwa
kewenangan yang dimiliki oleh Gubernur Aceh dalam hal memberi persetujuan dalam
pengangkatan Kepala Kepolisian di Aceh, bukanlah sesuatu kewenangan yang baru,
terlebih lagi bukanlah kewenangan yang baru dimiliki sejalan dengan lahirnya
UUPA.
Oleh karena, sekedar merawat ingatan sekaligus melawan
lupa, yaitu sejarah telah mencatat bahwa kewenangan Gubernur Aceh dalam memberi
persetujuan untuk pengangkatan Kepala Kepolisian di Aceh, telah lebih dahulu
diamanatkan oleh Undang-Undang No. 18 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus Bagi
Provinsi Daerah Istimewa Aceh Sebagai Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam, khususnya
sebagaimana ditegaskan dalam Pasal 26 (1).
Artinya dapat dipahami bahwa adanya kewenangan
Gubernur Aceh memberi persetujuan pengangkatan Kepala Kepolisian di Aceh, dalam
konteks otonomi daerah merupakan wujud pelaksanaan desentralisasi asimetris.
Khususnya Pemerintah Republik Indonesia telah menyadari bahwa kewenangan yang
dimaksud adalah suatu bentuk kewenangan yang dimiliki Aceh dalam menjalankan
roda pemerintahan secara istimewa dan khusus, sesuai dengan konteks bingkai
Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Sakralkah UUPA ?
Ketika memiliki pretensi untuk menelisik
sakralkah UUPA ? maka dapat dianalisa dari fakta hukum yang masih terlintas diingatan
rakyat Aceh, bahwa pada 28 Desember 2010 untuk pertama kalinya Mahkamah
Konstitusi menyatakan bahwa salah satu pasal di UUPA, telah bertentangan dengan
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia, sekaligus tidak memiliki
kekuatan mengikat, yaitu Pasal 256 yang berkaitan tentang calon independen. (Cakra
Arbas, 2012) Perihal tersebut telah mengindikasikan bahwa dari paradigma
pranata hukum, khususnya terkait perundang-undangan, bahwa UUPA berkedudukan
sebagai Undang-Undang yang pada umumnya berlaku di Republik Indonesia, sehingga
dapat dipahami bahwa tidak tertutup kemungkinan Mahkamah Konstitusi akan
melakukan judicial review.
Meskipun dalam praktiknya UUPA berposisi
sebagai sebuah produk hukum yang lahir dari konsekuensi adanya perubahan
kebijakan politik antara Pemerintah Republik Indonesia dan GAM. Serta sebagaimana
yang diutarakan Husni Jalil bahwa UUPA adalah Undang-Undang yang unik dalam
proses penyusunannya, karena melibatkan berbagai elemen rakyat Aceh secara
luas, bahkan turut menarik perhatian dunia. Berbagai pihak turut
berpartisipasi, meliputi pemerintah daerah, kalangan LSM, akademisi, unsur
wanita, ulama, dan anggota GAM, bahkan dalam prosesnya UUPA terdiri dari 6
(enam) draft RUU, yang pada akhirnya diformulasikan dalam bentuk UUPA. (Husni
Jalil, 2008)
Namun demikian, faktanya bahwa Aceh hari
ini adalah entitas dari Negara Kesatuan Republik Indonesia, hal ini sejalan
dengan salah satu amanat dari Pasal 1 UUPA. Dalam perihal tersebut,
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, khususnya Pasal 1 (3)
menegaskan bahwa “Negara Indonesia adalah
negara hukum”. Oleh karena Indonesia adalah negara hukum, Husni Jalil
berpandangan bahwa negara hukum Indonesia menerapkan konsep negara hukum
Pancasila, yang diantaranya terdiri atas sistem konstitusi. (Husni Jalil, 2004)
Paradigma selanjutnya, ketika konstitusi
yang dijadikan norma dasar dalam berbangsa dan bernegara, maka konstitusi
selain mengakomodir penyelenggaraan pemerintahan daerah yang bersifat istimewa
dan khusus. Juga mengamanatkan adanya lembaga peradilan (Mahkamah Konstitusi) yang
berwenang dan mengadili pada tingkat pertama dan terakhir, serta putusannya
bersifat final dan mengikat, yang salah satu kompetensinya untuk menguji (judicial review) Undang-Undang (tanpa
terkecuali UUPA) atas Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
Penutup
Berdasarkan berbagai preseden yang telah tercatat
sejarah, pada satu sisi dapat dipahami bahwa kadangkala hukum itu sering
tertatih mengikuti perkembangan masyarakat, sehingga perubahan/amandemen/revisi
norma hukum adalah suatu keniscayaan. Akan tetapi pada sisi yang lain hendaknya
berbagai stakeholder mampu bersikap
arif dan penuh kebijaksanaan, khususnya dalam menjalankan pemerintahan yang
diberi legitimasi keistimewaan dan kekhususan.
Terakhir, patut dipertanyakan mengapa stakeholder tidak memfokuskan (baik
pikiran-tenaga-waktu) untuk hal-hal yang dinilai bernuansa dalam upaya
mensejahterakan rakyat Aceh ? khususnya semoga mau dan mampu untuk bersatu padu
dalam mewujudkan berbagai amanat UUPA, yang nyata-nyata pasca 9 (sembilan)
tahun lahirnya UUPA, masih terdapat perihal yang belum mampu diimplementasikan
seutuhnya. Semoga!
*Tulisan ini juga dimuat pada Harian Waspada, Rabu 11 November 2015
[1]
Penulis adalah PNS Pemkab
Aceh Tamiang, dan Staf
Pengajar Program Pascasarjana Magister Ilmu Hukum, UMSU dan UMA.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar