Sabtu, 19 Desember 2015

Manipulasi Para Elit

Manipulasi Para Elit
Oleh: Dr. Cakra Arbas, SH.I, MH.[1]

Hidup bermasyarakat dan bernegara, sudah barang tentu tidak dapat menghindarkan tingkah laku dan tindak tanduk perbuatan, yang dikategorikan dalam berbagai rangkaian kegiatan bernuansa politik. Baik itu politik yang ditafsirkan secara etimologi, maupun politik yang dimaknai sebagai suatu sistem yang penuh dengan kompleksitas.
Menariknya bahwa politik jualah yang seyogyanya akan mengangkat, sekaligus menurunkan status maupun kedudukan seseorang dalam strata sosial. Oleh karena itu, telah menjadi rahasia umum bahwa tidak jarang banyak pihak rela melakukan berbagai manipulasi, bahkan kadangkala dalam melakukan upaya manipulasi, turut mengorbankan berbagai hal, termasuk nilai ketuhanan. Perihal ini pada prinsipnya tidak hanya melingkupi para elit yang berkedudukan dalam tataran infra dan supra struktur politik, bahkan ironinya juga terjadi dalam sub struktur masyarakat.
Sehingga patut untuk dipertanyakan, bahwa dalam konteks hidup bernegara, apakah masih relevan dalam mencapai kedudukan politik tertentu, baik demi kepentingan pribadi – golongan – kelompok, justru mengorbankan kepentingan masyarakat umum yang lebih luas ? atau dengan kata lain, apakah fenomena tersebut dapat diasumsikan sebagai suatu budaya, atau karakter dari masyarakat Indonesia yang diwariskan turun temurun ?

Devide et Impera  
Menelisik devide et impera, secara sederhana Wikipedia menganalogikan sebagai “politik pecah belah” atau “politik adu domba”, dalam hal ini dimaknai sebagai kombinasi strategi politik – militer – ekonomi yang bertujuan mendapatkan dan menjaga kekuasaan dengan cara memecah kelompok besar, menjadi kelompok-kelompok kecil agar mudah ditaklukkan. Serta disisi yang lain, juga diartikan untuk mencegah kelompok-kelompok kecil bersatu dalam hal menjadi sebuah kelompok besar yang superior.
Terkait dengan devide et impera, dapat dipastikan bahwa bangsa Indonesia masih terlintas dan terngiang, bagaimana pada suatu masa pra kemerdekaan Republik Indonesia, dengan penuh keyakinan adanya upaya-upaya dari bangsa asing untuk memecah belah konsentrasi masyarakat lokal di zaman itu. Bahkan dalam catatan sejarah, praktiknya devide et impera mampu dipertahankan, yang mana dapat diindikasikan melalui periode awal kemerdekaan Indonesia, bahwa adanya konfrontasi yang dilakukan oleh komunitas tertentu, yang notabene tidak menyenangi berdirinya Republik Indonesia.
Artinya, pada satu sisi dapat disadari bahwa devide et impera bukanlah sesuatu yang tabu dalam praktik hidup bermasyarakat dan bernegara. Namun demikian, disisi yang lain dalam konteks Indonesia kekinian apakah masyarakat masih senang bermain dengan pola devide et impera tersebut ? bukankah sejarah telah membuktikan, bahwa dengan adanya devide et impera justru hanya akan menguntungkan bangsa lain ? atau patut diduga, jangan-jangan dewasa ini masih hidup dan berkembang ideologi komunitas tertentu yang tidak menginginkan bangsa Indonesia bangkit dan berdiri di atas kaki sendiri ? 

Gajah vs Gajah     
Dalam konteks penyelenggaraan pemerintahan di Indonesia, khususnya pada level supra struktur politik, tidak jarang para elit acapkali mempertontonkan berbagai dagelan yang bermuara dengan adanya berbagai sikap dan tindakan yang bersifat kontradiksi, antara kekuasaan yang satu dengan kekuasaan dipihak lainnya. Bahkan ironinya, sikap saling kontradiksi melibatkan para elit yang berada pada satu garis komando kekuasaan.
Sebagaimana yang diekspose oleh berbagai media, hari-hari belakangan ini bangsa Indonesia seakan terperdaya oleh “aksi-aksi” yang ditampilkan para elit. Untuk mempertahankan kedudukan yang dimiliki, para elit sering melakukan intrik serta rela mengorbankan pikiran – tenaga – waktu, bukannya pada substansi demi mensejahterahkan masyarakatnya, melainkan hanya sebatas beretorika dan menari di atas isu yang menggelinding dimasyarakat.
Atas realita tersebut, seakan telah mengamini adagium dari pribahasa “gajah berjuang sama gajah, pelanduk mati ditengah-tengah”, yang mana dapat dimaknai bahwa ketika adanya perselisihan yang melibatkan para elit, maka dapat dipastikan bahwa masyarakat yang akan mendapat penderitaan dan kesusahan. Dengan kata lain, semestinya masyarakat sadar dan tidak perlu senang menyaksikan dagelan yang diperankan para elit, oleh karena ketika para elit bertarung satu sama lain, maka ketika itu pula patut diduga bahwa kepentingan masyarakat telah dikorbankan.
Berdasarkan realita tersebut, hal yang wajar kiranya jika tercipta stigma dimasyarakat, bahwa seolah-olah adanya level kekuasaan yang diamanatkan oleh UUDNRI Tahun 1945, hanya ditempatkan sebagai posisi simbolik semata, bukannya sebagai garda terdepan dalam mengimplementasikan berbagai prinsip yang melekat pada kekuasaan tersebut. Dengan kata lain, patut diduga bahwa banyaknya elit yang hanya memprioritaskan kepentingan pribadi – kelompok – golongan semata.

Penutup
Berdasarkan pengalaman-pengalaman sejarah di masa lalu, semoga bangsa Indonesia kiranya mampu dan mau untuk berbenah, sekaligus bergegas menyongsong hari esok yang lebih baik, khususnya dengan tidak lagi terjebak dari rangkaian pola devide et impera. Terkecuali, jika memang bangsa Indonesia tidak menginginkan berkedudukan sebagai tuan rumah ditanah tumpah darahnya.
Dengan kata lain, momentum dagelan para elit sepatutnya mampu menjadi cambuk dan bahan introspeksi, agar bersatunya seluruh komponen bangsa Indonesia, baik mereka yang berkedudukan di level infra dan supra struktur politik, maupun yang terlibat pada sub struktur masyarakat. Demi terwujudnya bangsa Indonesia yang berdaulat, adil, dan makmur.
Dilain pihak, sudah barang tentu para elit baik yang berada pada satu garis komando kekuasaan, maupun lintas kekuasaan lainnya, seyogyanya mampu beritikad baik seiya sekata, dalam menyelenggarakan roda pemerintahan. Oleh karena itu, semoga para elit kiranya mampu mewujudkan berbagai amanat luhur dari UUDNRI Tahun 1945, sehingga jargon “demi kepentingan umum” bukanlah sebatas lips service semata. Semoga!
*Tulisan ini juga dimuat pada Harian Waspada, Jumat 18 Desember 2015



[1]  Penulis adalah PNS Pemkab Aceh Tamiang, dan Staf Pengajar Program Pascasarjana Magister Ilmu Hukum, UMSU dan UMA.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar