Manipulasi Para
Elit
Hidup
bermasyarakat dan bernegara, sudah barang tentu tidak dapat menghindarkan
tingkah laku dan tindak tanduk perbuatan, yang dikategorikan dalam berbagai
rangkaian kegiatan bernuansa politik. Baik itu politik yang ditafsirkan secara
etimologi, maupun politik yang dimaknai sebagai suatu sistem yang penuh dengan
kompleksitas.
Menariknya
bahwa politik jualah yang seyogyanya akan mengangkat, sekaligus menurunkan
status maupun kedudukan seseorang dalam strata sosial. Oleh karena itu, telah
menjadi rahasia umum bahwa tidak jarang banyak pihak rela melakukan berbagai manipulasi,
bahkan kadangkala dalam melakukan upaya manipulasi, turut mengorbankan berbagai
hal, termasuk nilai ketuhanan. Perihal ini pada prinsipnya tidak hanya
melingkupi para elit yang berkedudukan dalam tataran infra dan supra struktur
politik, bahkan ironinya juga terjadi dalam sub struktur masyarakat.
Sehingga patut
untuk dipertanyakan, bahwa dalam konteks hidup bernegara, apakah masih relevan
dalam mencapai kedudukan politik tertentu, baik demi kepentingan pribadi –
golongan – kelompok, justru mengorbankan kepentingan masyarakat umum yang lebih
luas ? atau dengan kata lain, apakah fenomena tersebut dapat diasumsikan sebagai
suatu budaya, atau karakter dari masyarakat Indonesia yang diwariskan turun
temurun ?
Devide et Impera
Menelisik devide
et impera, secara sederhana Wikipedia menganalogikan sebagai “politik pecah
belah” atau “politik adu domba”, dalam hal ini dimaknai sebagai kombinasi
strategi politik – militer – ekonomi yang bertujuan mendapatkan dan menjaga
kekuasaan dengan cara memecah kelompok besar, menjadi kelompok-kelompok kecil
agar mudah ditaklukkan. Serta disisi yang lain, juga diartikan untuk mencegah
kelompok-kelompok kecil bersatu dalam hal menjadi sebuah kelompok besar yang
superior.
Terkait dengan devide
et impera, dapat dipastikan bahwa bangsa Indonesia masih terlintas dan
terngiang, bagaimana pada suatu masa pra kemerdekaan Republik Indonesia, dengan
penuh keyakinan adanya upaya-upaya dari bangsa asing untuk memecah belah
konsentrasi masyarakat lokal di zaman itu. Bahkan dalam catatan sejarah,
praktiknya devide et impera mampu
dipertahankan, yang mana dapat diindikasikan melalui periode awal kemerdekaan
Indonesia, bahwa adanya konfrontasi yang dilakukan oleh komunitas tertentu,
yang notabene tidak menyenangi berdirinya Republik Indonesia.
Artinya, pada satu sisi dapat disadari bahwa devide et impera bukanlah sesuatu yang
tabu dalam praktik hidup bermasyarakat dan bernegara. Namun demikian, disisi
yang lain dalam konteks Indonesia kekinian apakah masyarakat masih senang
bermain dengan pola devide et impera
tersebut ? bukankah sejarah telah membuktikan, bahwa dengan adanya devide et impera justru hanya akan
menguntungkan bangsa lain ? atau patut diduga, jangan-jangan dewasa ini masih
hidup dan berkembang ideologi komunitas tertentu yang tidak menginginkan bangsa
Indonesia bangkit dan berdiri di atas kaki sendiri ?
Gajah vs Gajah
Dalam konteks penyelenggaraan pemerintahan
di Indonesia, khususnya pada level supra struktur politik, tidak jarang para
elit acapkali mempertontonkan berbagai dagelan yang bermuara dengan adanya
berbagai sikap dan tindakan yang bersifat kontradiksi, antara kekuasaan yang
satu dengan kekuasaan dipihak lainnya. Bahkan ironinya, sikap saling
kontradiksi melibatkan para elit yang berada pada satu garis komando kekuasaan.
Sebagaimana yang diekspose oleh berbagai
media, hari-hari belakangan ini bangsa Indonesia seakan terperdaya oleh
“aksi-aksi” yang ditampilkan para elit. Untuk mempertahankan kedudukan yang
dimiliki, para elit sering melakukan intrik serta rela mengorbankan pikiran –
tenaga – waktu, bukannya pada substansi demi mensejahterahkan masyarakatnya,
melainkan hanya sebatas beretorika dan menari di atas isu yang menggelinding
dimasyarakat.
Atas realita tersebut, seakan telah
mengamini adagium dari pribahasa “gajah
berjuang sama gajah, pelanduk mati ditengah-tengah”, yang mana dapat
dimaknai bahwa ketika adanya perselisihan yang melibatkan para elit, maka dapat
dipastikan bahwa masyarakat yang akan mendapat penderitaan dan kesusahan.
Dengan kata lain, semestinya masyarakat sadar dan tidak perlu senang
menyaksikan dagelan yang diperankan para elit, oleh karena ketika para elit
bertarung satu sama lain, maka ketika itu pula patut diduga bahwa kepentingan
masyarakat telah dikorbankan.
Berdasarkan realita tersebut, hal yang
wajar kiranya jika tercipta stigma dimasyarakat, bahwa seolah-olah adanya level
kekuasaan yang diamanatkan oleh UUDNRI Tahun 1945, hanya ditempatkan sebagai
posisi simbolik semata, bukannya sebagai garda terdepan dalam
mengimplementasikan berbagai prinsip yang melekat pada kekuasaan tersebut.
Dengan kata lain, patut diduga bahwa banyaknya elit yang hanya memprioritaskan
kepentingan pribadi – kelompok – golongan semata.
Penutup
Berdasarkan pengalaman-pengalaman sejarah
di masa lalu, semoga bangsa Indonesia kiranya mampu dan mau untuk berbenah,
sekaligus bergegas menyongsong hari esok yang lebih baik, khususnya dengan
tidak lagi terjebak dari rangkaian pola devide
et impera. Terkecuali, jika memang bangsa Indonesia tidak menginginkan
berkedudukan sebagai tuan rumah ditanah tumpah darahnya.
Dengan kata lain, momentum dagelan para
elit sepatutnya mampu menjadi cambuk dan bahan introspeksi, agar bersatunya
seluruh komponen bangsa Indonesia, baik mereka yang berkedudukan di level infra
dan supra struktur politik, maupun yang terlibat pada sub struktur masyarakat.
Demi terwujudnya bangsa Indonesia yang berdaulat, adil, dan makmur.
Dilain pihak, sudah barang tentu para elit
baik yang berada pada satu garis komando kekuasaan, maupun lintas kekuasaan
lainnya, seyogyanya mampu beritikad baik seiya sekata, dalam menyelenggarakan
roda pemerintahan. Oleh karena itu, semoga para elit kiranya mampu mewujudkan
berbagai amanat luhur dari UUDNRI Tahun 1945, sehingga jargon “demi kepentingan
umum” bukanlah sebatas lips service
semata. Semoga!
*Tulisan ini juga dimuat pada Harian Waspada, Jumat 18 Desember 2015
[1]
Penulis adalah PNS Pemkab
Aceh Tamiang, dan
Staf Pengajar Program Pascasarjana Magister Ilmu Hukum, UMSU dan UMA.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar