Mekarkah Aceh ?
Menelisik judul
tersebut, telah menjadi rahasia umum terkait dengan pemekaran daerah dapat
dianalisa dari berbagai perspektif keilmuan, sekaligus turut merefleksikan berbagai situasi dan
kondisi yang melatarbelakanginya. Akan tetapi, umumnya terkait dengan pemekaran
daerah tidak dapat terhindarkan, bahwa akan selalu didominasi oleh nuansa dan
konstelasi politik.
Pada kesempatan
yang sama, bukanlah sesuatu yang berlebihan untuk menganalisa aspirasi
pemekaran daerah, dari paradigma pranata hukum yang menjadi landasan yuridis
dalam menyelenggarakan pemerintahan, khususnya di Aceh. Oleh karena itu, pantas
dipertanyakan mekarkah Aceh ? atau dengan kata lain, apakah dimasa yang akan
datang adagium Aceh sebagai salah satu daerah otonom, tidak lagi memiliki
demografi wilayah yang sama seperti saat ini ?
Ekspresi
Pemekaran
Mengenai pemekaran wilayah di Aceh, umumnya bukan hal
tabu sekaligus bukanlah isu terbaru dalam penyelenggaraan pemerintahan di Aceh.
Hal tersebut pada prinsipnya telah santer disuarakan, berulang kali oleh
berbagai tokoh dan element dari konstelasi politik di tingkat lokal, khususnya
pasca terciptanya damai di Aceh melalui MoU Helsinki, sekaligus pasca lahirnya
Undang-Undang No. 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh.
Pemekaran wilayah yang diekspresikan tersebut,
bukanlah pemekaran daerah otonom pada umumnya, misalnya seperti pemekaran
setingkat Kabupaten/Kota yang ada di Aceh, melainkan pemekaran yang dicitakan
adalah pemekaran Provinsi baru di daerah otonom Aceh. Akan tetapi,
kadangkala dengan berbagai hegemoni
politik, bahwa tidak jarang isu pemekaran wilayah di Aceh juga “timbul
tenggelam”, seiring berbagai latar belakang yang melingkupinya. Namun demikian,
beberapa hari belakangan ini sebagaimana yang diekspose oleh Harian Waspada
tertanggal 12 Oktober 2015, bahwa kembali beberapa tokoh dan pemuka lintas
wilayah Kabupaten/Kota di Aceh, memberi motivasi agar terbentuknya Provinsi
yang baru di daerah otonom Aceh.
Motivasi untuk membentuk Provinsi baru di Aceh, dapat
direview sebagaimana yang ditegaskan oleh Tagore Abubakar, dalam hal ini
menyerukan untuk melawan Pemerintah Aceh
(Aceh Pesisir) yang selama ini dinilai selalu menghalangi dan menghambat
pemekaran Provinsi ALA (Aceh Leuser Antara) dan ABAS (Aceh Barat Selatan).
Sembari menegaskan bahwa Oktober 2015 merupakan penentuan ALA – ABAS untuk
dimasukkan dalam grand design yang
pembahasannya akan dilaksanakan di Komisi 2 (dua) DPR RI. Hal yang senada turut
dilontarkan Armen Desky, bahkan sembari mengancam jika Pemerintah Pusat tidak
menyambut aspirasi pemekaran Provinsi ALA – ABAS, maka 12 (dua belas)
Kabupaten/Kota di wilayah ALA – ABAS akan memboikot pelaksanaan pilkada Aceh.
Bahkan untuk memuluskan hajat dari pemekaran Provinsi, bahwa dalam waktu dekat
akan menggerakkan ribuan masyarakat untuk menyuarakan aspirasi di Ibukota
negara. (Waspada, Senin 12 Oktober 2015)
Tentang
Pemekaran
Secara normatif, pedoman mengenai
pemekaran daerah dilandaskan pada Undang-Undang No. 9 Tahun 2015 tentang
Pemerintahan Daerah, serta merujuk pada PP No. 78 Tahun 2007 tentang Tata Cara
Pembentukan, Penghapusan, dan Penggabungan Daerah. Dalam hal ini ada amanat
terkait syarat-syarat yang hendaknya dipenuhi, yaitu : Pertama, Syarat administratif, yang meliputi adanya keputusan
masing-masing DPRD Kabupaten/Kota dan keputusan bupati/walikota untuk
daerah-daerah yang akan berafiliasi. Adanya keputusan DPRD Provinsi induk
tentang persetujuan pembentukan calon Provinsi. Adanya keputusan Gubernur
tentang persetujuan pembentukan calon Provinsi. Serta adanya rekomendasi dari
Menteri Dalam Negeri.
Kedua,
Syarat teknis, yang meliputi faktor kemampuan ekonomi, potensi daerah, sosial
budaya, sosial politik, kependudukan, luas daerah, pertahanan, keamanan,
kemampuan keuangan, tingkat kesejahteraan masyarakat, dan rentang kendali
penyelenggaraan pemerintahan daerah.
Ketiga,
Syarat fisik kewilayahan, meliputi cakupan wilayah dalam hal ini ketika hendak
membentuk Provinsi yang baru, maka setidak-tidaknya paling sedikit terdiri atas
afiliasi 5 (lima) Kabupaten / Kota. Juga meliputi calon ibukota yang dalam hal
ini dilakukan setelah adanya kajian daerah terhadap aspek tata ruang,
ketersediaan fasilitas, aksesibilitas, kondisi dan letak geografis,
kependudukan, sosial ekonomi, sosial politik, dan sosial budaya.
Poin selanjutnya yang penting untuk
dipahami, bahwa meskipun yang menentukan terjadinya pemekaran terhadap suatu
Provinsi adalah wewenang Pemerintah Pusat, akan tetapi pada Pasal 30
mengamanatkan bahwa “bagi provinsi yang memiliki status istimewa dan/atau
otonomi khusus, dalam pembentukan daerah selain ketentuan yang diatur dalam
Peraturan Pemerintah ini juga berpedoman pada peraturan perundang-undangan yang
memberikan status istimewa dan/atau otonomi khusus.”
Pada posisi selanjutnya, Aceh sebagai
salah satu daerah otonom yang bersifat istimewa dan khusus, memiliki legitimasi
berdasarkan Undang-Undang No. 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh. Dalam
hal ini, melalui Pasal 8 ayat (3) mengamanatkan bahwa “Kebijakan administratif
yang berkaitan langsung dengan Pemerintahan Aceh, yang akan dibuat oleh
Pemerintah dilakukan dengan konsultasi dan pertimbangan Gubernur”. Adapun yang
dimaksud dengan kebijakan administratif adalah yang berkaitan langsung dengan
Pemerintahan Aceh, misalnya seperti pemekaran wilayah, pembentukan kawasan
khusus, perencanaan pembuatan dan perubahan peraturan perundang-undangan yang
berkaitan langsung dengan daerah Aceh.
Berdasarkan paradigma tersebut, maka
pertanyaan akan mekarkah Aceh ? dapat diklasifikasi dalam 2 (dua) kriteria,
yaitu: Pertama, jika yang dituju
bisakah terjadinya pemekaran daerah di Aceh, maka landasan yuridis yang menjadi
pedomannya, dalam hal ini berbagai landasan yuridis tidak menutup kemungkinan
untuk terjadinya pemekaran daerah, sebatas memenuhi kualifikasi yang
dipersyaratkan oleh peraturan perundang-undangan. Kedua, jika yang dituju mungkinkah terjadinya pemekaran daerah di
Aceh, maka konstelasi politik yang akan menjawabnya pada hari-hari yang akan
datang.
Penutup
Terkait wacana pemekaran daerah, pada satu
sisi seperti kata pepatah lampau “tak mungkin ada asap jika tidak ada api”,
yang dapat diasumsikan bahwa dilontarkannya berbagai ekspresi untuk
terbentuknya Provinsi yang baru di daerah otonom Aceh, telah dilatar belakangi
oleh berbagai realita, khususnya terkait bidang ekonomi dan sektor pembangunan,
yang dinilai tidak cukup adil. Dengan demikian, seolah-olah telah tercipta
stigma bahwa adanya 11 (sebelas) Kabupaten/Kota yang berkedudukan superior,
atau berposisi sebagai “anak emas” dibandingkan 12 (dua belas) Kabupaten/Kota
di Aceh, atau sebaliknya.
Atas realita tersebut seyogyanya berbagai stakeholder kembali bersatu padu, untuk
mewujudkan Aceh yang lebih baik, sekaligus mengkaji lebih dalam terkait dengan
urgensitas dari pemekaran Provinsi yang ada di daerah otonom Aceh. Terakhir,
demi kepentingan yang lebih besar, semoga dapat direnungkan bersama spirit dari
pribahasa “bersatu kita teguh – bercerai kita runtuh”. Semoga!
*Tulisan ini juga dimuat Harian Waspada, Rabu 4 November 2015
[1]
Penulis adalah PNS Pemkab
Aceh Tamiang, dan Staf
Pengajar Program Pascasarjana Magister Ilmu Hukum, UMSU dan UMA.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar