Jumat, 06 November 2015

Mekarkah Aceh ?

Mekarkah Aceh ?
Oleh: Dr. Cakra Arbas, SH.I, MH.[1]

Menelisik judul tersebut, telah menjadi rahasia umum terkait dengan pemekaran daerah dapat dianalisa dari berbagai perspektif keilmuan, sekaligus  turut merefleksikan berbagai situasi dan kondisi yang melatarbelakanginya. Akan tetapi, umumnya terkait dengan pemekaran daerah tidak dapat terhindarkan, bahwa akan selalu didominasi oleh nuansa dan konstelasi politik.
Pada kesempatan yang sama, bukanlah sesuatu yang berlebihan untuk menganalisa aspirasi pemekaran daerah, dari paradigma pranata hukum yang menjadi landasan yuridis dalam menyelenggarakan pemerintahan, khususnya di Aceh. Oleh karena itu, pantas dipertanyakan mekarkah Aceh ? atau dengan kata lain, apakah dimasa yang akan datang adagium Aceh sebagai salah satu daerah otonom, tidak lagi memiliki demografi wilayah yang sama seperti saat ini ?

Ekspresi Pemekaran 
Mengenai pemekaran wilayah di Aceh, umumnya bukan hal tabu sekaligus bukanlah isu terbaru dalam penyelenggaraan pemerintahan di Aceh. Hal tersebut pada prinsipnya telah santer disuarakan, berulang kali oleh berbagai tokoh dan element dari konstelasi politik di tingkat lokal, khususnya pasca terciptanya damai di Aceh melalui MoU Helsinki, sekaligus pasca lahirnya Undang-Undang No. 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh.
Pemekaran wilayah yang diekspresikan tersebut, bukanlah pemekaran daerah otonom pada umumnya, misalnya seperti pemekaran setingkat Kabupaten/Kota yang ada di Aceh, melainkan pemekaran yang dicitakan adalah pemekaran Provinsi baru di daerah otonom Aceh. Akan tetapi, kadangkala  dengan berbagai hegemoni politik, bahwa tidak jarang isu pemekaran wilayah di Aceh juga “timbul tenggelam”, seiring berbagai latar belakang yang melingkupinya. Namun demikian, beberapa hari belakangan ini sebagaimana yang diekspose oleh Harian Waspada tertanggal 12 Oktober 2015, bahwa kembali beberapa tokoh dan pemuka lintas wilayah Kabupaten/Kota di Aceh, memberi motivasi agar terbentuknya Provinsi yang baru di daerah otonom Aceh.
Motivasi untuk membentuk Provinsi baru di Aceh, dapat direview sebagaimana yang ditegaskan oleh Tagore Abubakar, dalam hal ini menyerukan  untuk melawan Pemerintah Aceh (Aceh Pesisir) yang selama ini dinilai selalu menghalangi dan menghambat pemekaran Provinsi ALA (Aceh Leuser Antara) dan ABAS (Aceh Barat Selatan). Sembari menegaskan bahwa Oktober 2015 merupakan penentuan ALA – ABAS untuk dimasukkan dalam grand design yang pembahasannya akan dilaksanakan di Komisi 2 (dua) DPR RI. Hal yang senada turut dilontarkan Armen Desky, bahkan sembari mengancam jika Pemerintah Pusat tidak menyambut aspirasi pemekaran Provinsi ALA – ABAS, maka 12 (dua belas) Kabupaten/Kota di wilayah ALA – ABAS akan memboikot pelaksanaan pilkada Aceh. Bahkan untuk memuluskan hajat dari pemekaran Provinsi, bahwa dalam waktu dekat akan menggerakkan ribuan masyarakat untuk menyuarakan aspirasi di Ibukota negara. (Waspada, Senin 12 Oktober 2015)
Tentang Pemekaran  
Secara normatif, pedoman mengenai pemekaran daerah dilandaskan pada Undang-Undang No. 9 Tahun 2015 tentang Pemerintahan Daerah, serta merujuk pada PP No. 78 Tahun 2007 tentang Tata Cara Pembentukan, Penghapusan, dan Penggabungan Daerah. Dalam hal ini ada amanat terkait syarat-syarat yang hendaknya dipenuhi, yaitu : Pertama, Syarat administratif, yang meliputi adanya keputusan masing-masing DPRD Kabupaten/Kota dan keputusan bupati/walikota untuk daerah-daerah yang akan berafiliasi. Adanya keputusan DPRD Provinsi induk tentang persetujuan pembentukan calon Provinsi. Adanya keputusan Gubernur tentang persetujuan pembentukan calon Provinsi. Serta adanya rekomendasi dari Menteri Dalam Negeri.
Kedua, Syarat teknis, yang meliputi faktor kemampuan ekonomi, potensi daerah, sosial budaya, sosial politik, kependudukan, luas daerah, pertahanan, keamanan, kemampuan keuangan, tingkat kesejahteraan masyarakat, dan rentang kendali penyelenggaraan pemerintahan daerah.
Ketiga, Syarat fisik kewilayahan, meliputi cakupan wilayah dalam hal ini ketika hendak membentuk Provinsi yang baru, maka setidak-tidaknya paling sedikit terdiri atas afiliasi 5 (lima) Kabupaten / Kota. Juga meliputi calon ibukota yang dalam hal ini dilakukan setelah adanya kajian daerah terhadap aspek tata ruang, ketersediaan fasilitas, aksesibilitas, kondisi dan letak geografis, kependudukan, sosial ekonomi, sosial politik, dan sosial budaya.
Poin selanjutnya yang penting untuk dipahami, bahwa meskipun yang menentukan terjadinya pemekaran terhadap suatu Provinsi adalah wewenang Pemerintah Pusat, akan tetapi pada Pasal 30 mengamanatkan bahwa “bagi provinsi yang memiliki status istimewa dan/atau otonomi khusus, dalam pembentukan daerah selain ketentuan yang diatur dalam Peraturan Pemerintah ini juga berpedoman pada peraturan perundang-undangan yang memberikan status istimewa dan/atau otonomi khusus.”
Pada posisi selanjutnya, Aceh sebagai salah satu daerah otonom yang bersifat istimewa dan khusus, memiliki legitimasi berdasarkan Undang-Undang No. 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh. Dalam hal ini, melalui Pasal 8 ayat (3) mengamanatkan bahwa “Kebijakan administratif yang berkaitan langsung dengan Pemerintahan Aceh, yang akan dibuat oleh Pemerintah dilakukan dengan konsultasi dan pertimbangan Gubernur”. Adapun yang dimaksud dengan kebijakan administratif adalah yang berkaitan langsung dengan Pemerintahan Aceh, misalnya seperti pemekaran wilayah, pembentukan kawasan khusus, perencanaan pembuatan dan perubahan peraturan perundang-undangan yang berkaitan langsung dengan daerah Aceh.
Berdasarkan paradigma tersebut, maka pertanyaan akan mekarkah Aceh ? dapat diklasifikasi dalam 2 (dua) kriteria, yaitu: Pertama, jika yang dituju bisakah terjadinya pemekaran daerah di Aceh, maka landasan yuridis yang menjadi pedomannya, dalam hal ini berbagai landasan yuridis tidak menutup kemungkinan untuk terjadinya pemekaran daerah, sebatas memenuhi kualifikasi yang dipersyaratkan oleh peraturan perundang-undangan. Kedua, jika yang dituju mungkinkah terjadinya pemekaran daerah di Aceh, maka konstelasi politik yang akan menjawabnya pada hari-hari yang akan datang.
Penutup
Terkait wacana pemekaran daerah, pada satu sisi seperti kata pepatah lampau “tak mungkin ada asap jika tidak ada api”, yang dapat diasumsikan bahwa dilontarkannya berbagai ekspresi untuk terbentuknya Provinsi yang baru di daerah otonom Aceh, telah dilatar belakangi oleh berbagai realita, khususnya terkait bidang ekonomi dan sektor pembangunan, yang dinilai tidak cukup adil. Dengan demikian, seolah-olah telah tercipta stigma bahwa adanya 11 (sebelas) Kabupaten/Kota yang berkedudukan superior, atau berposisi sebagai “anak emas” dibandingkan 12 (dua belas) Kabupaten/Kota di Aceh, atau sebaliknya.
Atas realita tersebut seyogyanya berbagai stakeholder kembali bersatu padu, untuk mewujudkan Aceh yang lebih baik, sekaligus mengkaji lebih dalam terkait dengan urgensitas dari pemekaran Provinsi yang ada di daerah otonom Aceh. Terakhir, demi kepentingan yang lebih besar, semoga dapat direnungkan bersama spirit dari pribahasa “bersatu kita teguh – bercerai kita runtuh”. Semoga!
*Tulisan ini juga dimuat Harian Waspada, Rabu 4 November 2015



[1]  Penulis adalah PNS Pemkab Aceh Tamiang, dan Staf Pengajar Program Pascasarjana Magister Ilmu Hukum, UMSU dan UMA.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar