Senin, 26 Oktober 2015

Calon Tunggal Pilkada

Calon Tunggal Pilkada
Oleh: Dr. Cakra Arbas, SH.I, MH.[1]

Pemilihan kepala daerah tahun 2015, dapat dikategorikan sebagai suatu revolusi dalam menjaring kepala daerah yang dinilai berkompeten, serta memiliki kapabilitas dan integritas yang teruji. Bahkan kadangkala revolusi dalam pelaksanaan pemilihan kepala daerah 2015, tidak jarang menimbulkan debat kusir dan friksi baik dikalangan stakeholder yang berkepentingan, maupun di level masyarakat umum.
Setidak-tidaknya beberapa waktu yang lalu, revolusi dalam pelaksanaan sistem pemilihan kepala daerah dapat diinventarisir atas beberapa kriteria, diantaranya: Pertama, pemilihan kepala daerah 2015 adalah pemilihan yang pertama dilakukan secara serentak (meskipun terbatas di beberapa daerah otonom). Kedua, pemilihan kepala daerah 2015 adalah ujian untuk para PNS dan anggota legislatif, karena PNS dan anggota legislatif dipersyaratkan wajib mundur dari statusnya saat ini.
Kini, revolusi dalam pemilihan kepala daerah serentak 2015 kembali bergulir pasca Mahkamah Konstitusi mengabulkan sebahagian permohonan judicial review atas Undang-Undang No. 8 Tahun 2015 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota. Sehingga praktik pelaksanaan pemilihan kepala daerah memiliki legitimasi atas hukum, meskipun hanya terdiri dari 1 (satu) pasangan calon yang terdaftar. 

Putusan Mahkamah Konstitusi
Pada prinsipnya Putusan MK No. 100/PUU-XIII/2015, terdapat dissenting opinion diantara para majelis, bahwa ada majelis yang tidak sependapat untuk mengakomodir 1 (satu) pasangan calon sebagai peserta pada pemilihan kepala daerah serentak 2015. Namun, oleh karena majelis yang memiliki dissenting opinion tidak berimbang (kalah jumlah suara), maka majelis pada pokoknya menyatakan bahwa memberi ruang sekaligus mengakomodir pemilihan kepala daerah yang hanya terdiri oleh 1 (satu) pasangan calon.
Adapun pasal-pasal dalam Undang-Undang No. 8 Tahun 2015 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota, yang dilakukan judicial review, serta dinilai oleh majelis bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, sehingga majelis berpandangan bahwa tidak memiliki kekuatan hukum yang mengikat, yaitu: Pertama, Pasal 49 ayat (9). Kedua, Pasal 50 ayat (9). Ketiga, Pasal 51 ayat (2). Keempat, Pasal 52 ayat (2).

Legal Standing
Lahirnya Putusan MK No. 100/PUU-XIII/2015, pada pokoknya hal ini didasarkan atas permohonan yang diajukan oleh Effendi Gazali, melalui tim kuasa hukumnya. Dalam hal ini, Effendi Gazali menilai bahwa pelaksanaan pemilihan kepala daerah serentak yang dimulai tahun 2015, tidak menutup kemungkinan akan merugikan hak warga negara, dalam pelaksanaan pemilihan kepala daerah di daerah-daerah otonom.
Berdasarkan perihal untuk tetap menjaga hak warga negara, Effendi Gazali mengasumsikan bahwa penyelenggaraan pemilihan kepala daerah tahun 2015, melalui penelitiannya telah ditemukan berbagai indikasi yang dapat menganggu sistem politik dan sistem demokrasi yang sedang dikembangkan di Indonesia, hal ini diantaranya sebagaimana yang dimuat dalam Putusan MK No. 100/PUU-XIII/2015, yaitu:
 Pertama,  partai politik dan gabungan partai politik tidak mau mengusulkan pasangan calon dengan tujuan (setidaknya potensial) agar pemilihan kepala daerah tertentu tidak dapat terlaksana dan ditunda ke pemilihan serentak selanjutnya. Kedua, partai politik dan gabungan partai politik tidak mau mengusulkan pasangan calon semata karena merasa akan menghabiskan sumber daya, biaya, energi, waktu, dan sebagainya, secara sia-sia karena demikian kuatnya elektabilitas petahana (calon incumbent).
Ketiga, begitu sulit dan rumitnya pemenuhan persyaratan bagi calon perseorangan (calon independen) pada pemilihan kepala daerah mengakibatkan harapan untuk tercapainya formula “setidaknya 2 (dua) pasangan calon” juga sulit untuk dicapai. Keempat, beberapa waktu yang lalu (sebelum lahirnya Putusan MK ini) masih terdapat beberapa daerah yang pemilihan kepala daerahnya tertunda hingga Februari 2017, oleh karena hanya terdapat calon tunggal yang terdaftar di KPUD (Komisi Pemilihan Umum Daerah) setempat.
 Kelima, pada saat yang bersamaan, di daerah-daerah otonom lainnya tidak jarang pasangan calon yang terdaftar di KPUD hanya terdiri dari 2 (dua) pasangan, artinya tidak menutup kemungkinan KPUD setempat akan menganulir keberadaan salah satu dari pasangan calon tersebut (dengan dalih administrasi, dll), sehingga kembali terulang munculnya pasangan calon tunggal di masing-masing daerah otonom.
Keenam, adanya indikasi walaupun dipermukaan KPUD melakukan upaya perpanjangan pendaftaran pasangan calon, untuk menghindari calon tunggal. Namun sesungguhnya terdapat juga masalah substansial yang perlu dikaji secara mendalam dan hati-hati, bahwa terhendus telah dipersiapkannya calon “boneka” oleh sekelompok pasangan calon dalam rangka menghindari ketentuan klausul mengenai pasangan calon tunggal di berbagai daerah otonom.
Ketujuh, pada kesempatan yang sama, ketika tidak terpenuhinya 2 (dua) pasangan calon yang terdaftar sampai dengan deadline yang ditentukan, maka secara otomatis pemilihan kepala daerah di daerah otonom tersebut akan ditunda sampai Februari 2017. Maka dalam administrasi pemerintahan, mau tidak mau daerah otonom tersebut akan dipimpin oleh seorang pelaksana tugas (Plt), yang secara umum atau psikologis tidak dapat, dan tidak mau membuat keputusan strategis untuk pembangunan daerahnya.

Penutup
Dapat diasumsikan bahwa lahirnya Putusan MK No. 100/PUU-XIII/2015, telah merubah konstelasi politik di daerah-daerah otonom, bahkan turut membuyarkan berbagai taktik dan strategi yang telah jauh-jauh hari disusun oleh berbagai tim yang berkepentingan untuk memenangkan pasangan calon yang diusungnya. Pada kesempatan yang sama, semestinya seluruh stakeholder turut menghormati amanat dari Putusan MK No. 100/PUU-XIII/2015, artinya harus disadari bahwa suka tidak suka, euforia demokrasi ditingkat lokal melalui pemilihan kepala daerah, akan tetap berjalan sebagaimana mestinya, walaupun hanya terdapat 1 (satu) pasangan calon yang terdaftar, atau dengan kata lain yaitu calon tunggal.
Namun demikian, pada posisi berikutnya hendaknya publik turut serta mengkritisi, dan berperan aktif khususnya terkait dengan substansi materi dari calon kepala daerah yang sudah terdaftar, juga dalam menciptakan iklim pemilihan kepala daerah yang hanya terdaftar oleh calon tunggal. Sehingga pantas dipertanyakan, bagaimanakah model pemilihan yang akan dilaksanakan tersebut ? semoga, berbagai revolusi dalam pemilihan kepala daerah kiranya turut mendorong daerah-daerah otonom berevolusi jua, dalam mensejahterakan masyarakat yang seluas-luasnya. Semoga!
*Tulisan ini juga dimuat pada Harian Waspada, Rabu 21 Oktober 2015



[1]  Penulis adalah PNS Pemkab Aceh Tamiang, dan Staf Pengajar Program Pascasarjana Magister Ilmu Hukum, UMSU dan UMA.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar