Calon Tunggal
Pilkada
Pemilihan
kepala daerah tahun 2015, dapat dikategorikan sebagai suatu revolusi dalam
menjaring kepala daerah yang dinilai berkompeten, serta memiliki kapabilitas
dan integritas yang teruji. Bahkan kadangkala revolusi dalam pelaksanaan
pemilihan kepala daerah 2015, tidak jarang menimbulkan debat kusir dan friksi
baik dikalangan stakeholder yang
berkepentingan, maupun di level masyarakat umum.
Setidak-tidaknya
beberapa waktu yang lalu, revolusi dalam pelaksanaan sistem pemilihan kepala
daerah dapat diinventarisir atas beberapa kriteria, diantaranya: Pertama, pemilihan kepala daerah 2015
adalah pemilihan yang pertama dilakukan secara serentak (meskipun terbatas di
beberapa daerah otonom). Kedua,
pemilihan kepala daerah 2015 adalah ujian untuk para PNS dan anggota
legislatif, karena PNS dan anggota legislatif dipersyaratkan wajib mundur dari
statusnya saat ini.
Kini, revolusi
dalam pemilihan kepala daerah serentak 2015 kembali bergulir pasca Mahkamah
Konstitusi mengabulkan sebahagian permohonan judicial review atas Undang-Undang No. 8 Tahun 2015 tentang
Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota. Sehingga praktik pelaksanaan
pemilihan kepala daerah memiliki legitimasi atas hukum, meskipun hanya terdiri
dari 1 (satu) pasangan calon yang terdaftar.
Putusan Mahkamah
Konstitusi
Pada prinsipnya Putusan MK No.
100/PUU-XIII/2015, terdapat dissenting
opinion diantara para majelis, bahwa ada majelis yang tidak sependapat
untuk mengakomodir 1 (satu) pasangan calon sebagai peserta pada pemilihan
kepala daerah serentak 2015. Namun, oleh karena majelis yang memiliki dissenting opinion tidak berimbang
(kalah jumlah suara), maka majelis pada pokoknya menyatakan bahwa memberi ruang
sekaligus mengakomodir pemilihan kepala daerah yang hanya terdiri oleh 1 (satu)
pasangan calon.
Adapun pasal-pasal dalam Undang-Undang No.
8 Tahun 2015 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota, yang dilakukan judicial review, serta dinilai oleh
majelis bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun
1945, sehingga majelis berpandangan bahwa tidak memiliki kekuatan hukum yang
mengikat, yaitu: Pertama, Pasal 49
ayat (9). Kedua, Pasal 50 ayat (9). Ketiga, Pasal 51 ayat (2). Keempat, Pasal 52 ayat (2).
Legal Standing
Lahirnya Putusan MK No. 100/PUU-XIII/2015,
pada pokoknya hal ini didasarkan atas permohonan yang diajukan oleh Effendi
Gazali, melalui tim kuasa hukumnya. Dalam hal ini, Effendi Gazali menilai bahwa
pelaksanaan pemilihan kepala daerah serentak yang dimulai tahun 2015, tidak menutup
kemungkinan akan merugikan hak warga negara, dalam pelaksanaan pemilihan kepala
daerah di daerah-daerah otonom.
Berdasarkan perihal untuk tetap menjaga
hak warga negara, Effendi Gazali mengasumsikan bahwa penyelenggaraan pemilihan
kepala daerah tahun 2015, melalui penelitiannya telah ditemukan berbagai
indikasi yang dapat menganggu sistem politik dan sistem demokrasi yang sedang
dikembangkan di Indonesia, hal ini diantaranya sebagaimana yang dimuat dalam
Putusan MK No. 100/PUU-XIII/2015, yaitu:
Pertama,
partai politik dan gabungan partai politik tidak mau mengusulkan
pasangan calon dengan tujuan (setidaknya potensial) agar pemilihan kepala
daerah tertentu tidak dapat terlaksana dan ditunda ke pemilihan serentak selanjutnya.
Kedua, partai politik dan gabungan
partai politik tidak mau mengusulkan pasangan calon semata karena merasa akan
menghabiskan sumber daya, biaya, energi, waktu, dan sebagainya, secara sia-sia
karena demikian kuatnya elektabilitas petahana (calon incumbent).
Ketiga,
begitu sulit dan rumitnya pemenuhan persyaratan bagi calon perseorangan (calon
independen) pada pemilihan kepala daerah mengakibatkan harapan untuk
tercapainya formula “setidaknya 2 (dua) pasangan calon” juga sulit untuk
dicapai. Keempat, beberapa waktu yang
lalu (sebelum lahirnya Putusan MK ini) masih terdapat beberapa daerah yang
pemilihan kepala daerahnya tertunda hingga Februari 2017, oleh karena hanya
terdapat calon tunggal yang terdaftar di KPUD (Komisi Pemilihan Umum Daerah)
setempat.
Kelima, pada saat yang bersamaan, di
daerah-daerah otonom lainnya tidak jarang pasangan calon yang terdaftar di KPUD
hanya terdiri dari 2 (dua) pasangan, artinya tidak menutup kemungkinan KPUD
setempat akan menganulir keberadaan salah satu dari pasangan calon tersebut
(dengan dalih administrasi, dll), sehingga kembali terulang munculnya pasangan
calon tunggal di masing-masing daerah otonom.
Keenam,
adanya indikasi walaupun dipermukaan KPUD melakukan upaya perpanjangan
pendaftaran pasangan calon, untuk menghindari calon tunggal. Namun sesungguhnya
terdapat juga masalah substansial yang perlu dikaji secara mendalam dan
hati-hati, bahwa terhendus telah dipersiapkannya calon “boneka” oleh sekelompok
pasangan calon dalam rangka menghindari ketentuan klausul mengenai pasangan
calon tunggal di berbagai daerah otonom.
Ketujuh,
pada kesempatan yang sama, ketika tidak terpenuhinya 2 (dua) pasangan calon
yang terdaftar sampai dengan deadline yang ditentukan, maka secara otomatis
pemilihan kepala daerah di daerah otonom tersebut akan ditunda sampai Februari
2017. Maka dalam administrasi pemerintahan, mau tidak mau daerah otonom
tersebut akan dipimpin oleh seorang pelaksana tugas (Plt), yang secara umum
atau psikologis tidak dapat, dan tidak mau membuat keputusan strategis untuk
pembangunan daerahnya.
Penutup
Dapat diasumsikan bahwa lahirnya Putusan
MK No. 100/PUU-XIII/2015, telah merubah konstelasi politik di daerah-daerah
otonom, bahkan turut membuyarkan berbagai taktik dan strategi yang telah
jauh-jauh hari disusun oleh berbagai tim yang berkepentingan untuk memenangkan
pasangan calon yang diusungnya. Pada kesempatan yang sama, semestinya seluruh stakeholder turut menghormati amanat
dari Putusan MK No. 100/PUU-XIII/2015, artinya harus disadari bahwa suka tidak
suka, euforia demokrasi ditingkat lokal melalui pemilihan kepala daerah, akan
tetap berjalan sebagaimana mestinya, walaupun hanya terdapat 1 (satu) pasangan
calon yang terdaftar, atau dengan kata lain yaitu calon tunggal.
Namun demikian, pada posisi berikutnya
hendaknya publik turut serta mengkritisi, dan berperan aktif khususnya terkait
dengan substansi materi dari calon kepala daerah yang sudah terdaftar, juga
dalam menciptakan iklim pemilihan kepala daerah yang hanya terdaftar oleh calon
tunggal. Sehingga pantas dipertanyakan, bagaimanakah model pemilihan yang akan
dilaksanakan tersebut ? semoga, berbagai revolusi dalam pemilihan kepala daerah
kiranya turut mendorong daerah-daerah otonom berevolusi jua, dalam
mensejahterakan masyarakat yang seluas-luasnya. Semoga!
*Tulisan ini juga dimuat pada Harian Waspada, Rabu 21 Oktober 2015
[1]
Penulis adalah PNS Pemkab
Aceh Tamiang, dan Staf
Pengajar Program Pascasarjana Magister Ilmu Hukum, UMSU dan UMA.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar