Berlakunya Qanun
Jinayat
Aceh sebagai salah satu daerah otonom
yang diberikan hak istimewa dan khusus, memiliki kompetensi dibidang syariat
Islam dalam rangka mewujudkan
penyelenggaraan pemerintahan daerah, sesuai dengan konteks negara kesatuan
Republik Indonesia. Bahkan dalam berbagai riwayat dinamika ketatanegaraan di
Indonesia, diterangkan bahwa Aceh sebagai daerah otonom telah melewati beberapa
fase peradaban, baik itu melalui pengorbanan fisik maupun materi, yang
semata-mata demi terwujudnya pelaksanaan syariat Islam secara kaffah di bumi serambi mekah.
Lebih jauh, dapat ditelisik melalui
pandangan Azyumardi Azra, yang pada pokoknya menerangkan bahwa keinginan
masyarakat Aceh untuk menerapkan Syariat Islam sudah cukup lama sejak masa
kesultanan Islam, yaitu pada masa kerajaan Peureulak, Samudera Pasai, dan Aceh
Darussalam, serta puncak kegemilangan Syariat Islam di Aceh dapat dilihat pada
masa Sultan Iskandar Muda. (Azyumardi Azra, 1998)
Entitas Sistem Hukum Nasional
Dewasa
ini, tidak jarang berbagai pihak memiliki motivasi untuk mendegradasi, bahkan
terkadang turut mengkonfrontir pelaksanaan syariat Islam di Aceh terhadap
sistem hukum nasional. Secara
tidak langsung, seolah-olah ada pihak yang terusik dan tidak menginginkan
dilaksanakannya syariat Islam di Aceh. Lantas, benarkah pelaksanaan syariat
Islam di Aceh adalah suatu hal yang bertentangan dengan konstitusi dan sistem
hukum nasional ?
Pada posisi ini, penting disadari bahwa secara
konstitusional, mengenai eksistensi Syariat Islam dalam sistem hukum nasional,
pada dasarnya dapat dikategorikan bahwa Syariat Islam yang diaplikasikan di
Aceh memiliki landasan konstitusional, hal ini diantaranya berdasarkan amanat Pasal-Pasal
yang dimuat dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, khusunya:
Pertama, Pasal 18 (5). Kedua, Pasal 18 (6). Ketiga, Pasal 18A (1). Keempat, Pasal 18B (1). Kelima, Pasal 18B (2).
Berdasarkan uraian Pasal-Pasal tersebut, dapat
dianalisa bahwa pada prinsipnya Pemerintah Republik Indonesia mengakui dan
menghormati pluralisme hukum yang hidup dan berkembang dalam masyarakat.
Khususnya Syariat Islam yang diterapkan di Aceh, sekaligus hal ini telah
mengindikasikan bahwa Syariat Islam merupakan entitas atau sub sistem dalam
sistem hukum nasional.
Berbagai amanat dari Undang-Undang Dasar
Negara Republik Indonesia Tahun 1945, selanjutnya diderivasikan dalam
Undang-Undang No. 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh. Pada penjelasan umum,
keberadaan Qanun dalam rangka mewujudkan penyelenggaraan Pemerintahan di Aceh,
disebutkan bahwa: “merupakan wujud konkret bagi terselenggaranya kewajiban
konstitusional tersebut dalam pelaksanaan pemerintahan Aceh dan kabupaten/kota,
dan merupakan acuan yang bermartabat untuk mengelola urusan pemerintahan secara
mandiri sebagai bagian dari wilayah kedaulatan Negara Kesatuan Republik
Indonesia”.
Pada kesempatan yang sama, Undang-Undang
No. 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh, melalui Pasal 125 menyatakan bahwa
“ayat (1) Syariat Islam yang dilaksanakan di Aceh meliputi aqidah, syar’iyah
dan akhlah. Serta pada ayat (2) Syariat Islam meliputi ibadah, ahwal al-syakhshiyah (hukum keluarga), muamalah (hukum perdata), jinayah (hukum pidana), qadha’ (peradilan), tarbiyah (pendidikan), dahkwah, syiar, dan pembelaan Islam”.
Tentang Qanun Jinayat
Patut untuk dipahami bahwa spirit lahirnya Qanun Aceh yang
bernuansa Syariat Islam, khususya Qanun Aceh tentang Jinayat, bahwa “Aceh sebagai bagian dari Negara Kesatuan
Republik Indonesia memiliki keistimewaan dan otonomi khusus, salah satunya
kewenangan untuk melaksanakan Syariat Islam, dengan menjunjung tinggi keadilan,
kemaslahatan, dan kepastian hukum”. (Konsideran Qanun No. 6 Tahun 2014 tentang
Qanun Jinayat)
Pada prinsipnya Qanun Jinayat mengatur
beberapa perihal, diantaranya: Pertama,
pelaku jarimah. Kedua, Jarimah yang
meliputi khamar, maisir, khalwat, ikhtilath, zina, pelecehan seksual,
pemerkosaan, qadzaf, liwath dan musahaqah. Ketiga,
‘uqubat yang terdiri dari ‘uqubat hudud yang berbentuk cambuk, dan ‘uqubat
ta’zir yang terdiri dari ‘uqubat ta’zir utama (meliputi cambuk, denda, penjara,
dan restitusi) dan ‘uqubat ta’zir tambahan (pembinaan oleh negara, restitusi
oleh orang tua/wali, pengembalian kepada orang tua/wali, pemutusan perkawinan,
pencabutan izin dan hak, perampasan barang-barang tertentu, serta kerja
sosial).
Terkait hal ini, Faisal A. Rani berpandangan mengenai Eksistensi Qanun di Aceh, bahwa: “isi/muatan dari Qanun pada prinsipnya sama
dengan muatan perda diwilayah lain, dalam rangka melaksanakan otonomi daerah,
tugas perbantuan, dan desentralisasi, akan tetapi Qanun juga bermuatan perihal
Syariat Islam. Mengenai Syariat Islam, bukan Syariat Islam yang dipindahkan ke
dalam Qanun, akan tetapi Syariat Islam yang sejalan dengan hukum yang berlaku
di Indonesia”. (Faisal A. Rani, hukumonline.com)
Adapun prinsip lainnya, sesuai dengan
amanat dalam ketentuan penutup Qanun Jinayat, khususnya sebagaimana yang
ditegaskan dalam Pasal 75, menyatakan bahwa “Qanun Jinayat mulai berlaku 1 (satu) tahun setelah diundangkan”.
Dalam hal ini, berhubung Qanun Jinayat diundangkan pada tanggal 23 Oktober
2014, maka secara normatif bertepatan pada tanggal 23 Oktober 2015, seyogyanya
Qanun Jinayat akan diberlakukan di seluruh wilayah Aceh secara terstruktur dan
sistematis.
Penutup
Berdasarkan paradigma tersebut, maka sudah
sepantasnya tidak perlu adalagi pihak-pihak yang mencoba mendiskreditkan
penyelenggaraan Syariat Islam di Aceh, khususnya sebagaimana yang
diimplementasikan melalui Qanun Jinayat. Oleh karena, baik penyelenggaraan
Syariat Islam di Aceh, maupun Qanun adalah sesuatu yang memiliki legitimasi
berdasarkan atas hukum, serta memiliki legitimasi konstitusional.
Pada sisi yang lain, semoga dengan
berlakunya Qanun Jinayat, kiranya dapat menjawab berbagai ekspektasi
masyarakat, khususnya agar keberadaan Qanun tersebut menjadi payung hukum yang
tidak hanya bagi masyarakat umum, tetapi juga turut melingkupi mereka yang
dikelilingi kekuasaan. Terakhir, semoga Qanun tersebut mampu menangkal berbagai
dominasi budaya yang nyata-nyata bertentangan dengan kearifan lokal masyarakat
Aceh. Semoga!
[1]
Penulis adalah PNS Pemkab
Aceh Tamiang, dan Staf
Pengajar Program Pascasarjana Magister Ilmu Hukum, UMSU dan UMA.
pas & mantap
BalasHapus