Selasa, 13 Oktober 2015

Berlakunya Qanun Jinayat

Berlakunya Qanun Jinayat
Oleh: Dr. Cakra Arbas, SH.I, MH.[1]

Aceh sebagai salah satu daerah otonom yang diberikan hak istimewa dan khusus, memiliki kompetensi dibidang syariat Islam dalam rangka mewujudkan  penyelenggaraan pemerintahan daerah, sesuai dengan konteks negara kesatuan Republik Indonesia. Bahkan dalam berbagai riwayat dinamika ketatanegaraan di Indonesia, diterangkan bahwa Aceh sebagai daerah otonom telah melewati beberapa fase peradaban, baik itu melalui pengorbanan fisik maupun materi, yang semata-mata demi terwujudnya pelaksanaan syariat Islam secara kaffah di bumi serambi mekah.
Lebih jauh, dapat ditelisik melalui pandangan Azyumardi Azra, yang pada pokoknya menerangkan bahwa keinginan masyarakat Aceh untuk menerapkan Syariat Islam sudah cukup lama sejak masa kesultanan Islam, yaitu pada masa kerajaan Peureulak, Samudera Pasai, dan Aceh Darussalam, serta puncak kegemilangan Syariat Islam di Aceh dapat dilihat pada masa Sultan Iskandar Muda. (Azyumardi Azra, 1998)

Entitas Sistem Hukum Nasional
Dewasa ini, tidak jarang berbagai pihak memiliki motivasi untuk mendegradasi, bahkan terkadang turut mengkonfrontir pelaksanaan syariat Islam di Aceh terhadap sistem hukum nasional. Secara tidak langsung, seolah-olah ada pihak yang terusik dan tidak menginginkan dilaksanakannya syariat Islam di Aceh. Lantas, benarkah pelaksanaan syariat Islam di Aceh adalah suatu hal yang bertentangan dengan konstitusi dan sistem hukum nasional ?
Pada posisi ini, penting disadari bahwa secara konstitusional, mengenai eksistensi Syariat Islam dalam sistem hukum nasional, pada dasarnya dapat dikategorikan bahwa Syariat Islam yang diaplikasikan di Aceh memiliki landasan konstitusional, hal ini diantaranya berdasarkan amanat Pasal-Pasal yang dimuat dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, khusunya: Pertama, Pasal 18 (5). Kedua, Pasal 18 (6). Ketiga, Pasal 18A (1). Keempat, Pasal 18B (1). Kelima, Pasal 18B (2).
Berdasarkan uraian Pasal-Pasal tersebut, dapat dianalisa bahwa pada prinsipnya Pemerintah Republik Indonesia mengakui dan menghormati pluralisme hukum yang hidup dan berkembang dalam masyarakat. Khususnya Syariat Islam yang diterapkan di Aceh, sekaligus hal ini telah mengindikasikan bahwa Syariat Islam merupakan entitas atau sub sistem dalam sistem hukum nasional.
Berbagai amanat dari Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, selanjutnya diderivasikan dalam Undang-Undang No. 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh. Pada penjelasan umum, keberadaan Qanun dalam rangka mewujudkan penyelenggaraan Pemerintahan di Aceh, disebutkan bahwa: “merupakan wujud konkret bagi terselenggaranya kewajiban konstitusional tersebut dalam pelaksanaan pemerintahan Aceh dan kabupaten/kota, dan merupakan acuan yang bermartabat untuk mengelola urusan pemerintahan secara mandiri sebagai bagian dari wilayah kedaulatan Negara Kesatuan Republik Indonesia”.
Pada kesempatan yang sama, Undang-Undang No. 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh, melalui Pasal 125 menyatakan bahwa “ayat (1) Syariat Islam yang dilaksanakan di Aceh meliputi aqidah, syar’iyah dan akhlah. Serta pada ayat (2) Syariat Islam meliputi ibadah, ahwal al-syakhshiyah (hukum keluarga), muamalah (hukum perdata), jinayah (hukum pidana), qadha’ (peradilan), tarbiyah (pendidikan), dahkwah, syiar, dan pembelaan Islam”.

Tentang Qanun Jinayat
Patut untuk dipahami bahwa spirit lahirnya Qanun Aceh yang bernuansa Syariat Islam, khususya Qanun Aceh tentang Jinayat, bahwa “Aceh sebagai bagian dari Negara Kesatuan Republik Indonesia memiliki keistimewaan dan otonomi khusus, salah satunya kewenangan untuk melaksanakan Syariat Islam, dengan menjunjung tinggi keadilan, kemaslahatan, dan kepastian hukum”. (Konsideran Qanun No. 6 Tahun 2014 tentang Qanun Jinayat)
Pada prinsipnya Qanun Jinayat mengatur beberapa perihal, diantaranya: Pertama, pelaku jarimah. Kedua, Jarimah yang meliputi khamar, maisir, khalwat, ikhtilath, zina, pelecehan seksual, pemerkosaan, qadzaf, liwath dan musahaqah. Ketiga, ‘uqubat yang terdiri dari ‘uqubat hudud yang berbentuk cambuk, dan ‘uqubat ta’zir yang terdiri dari ‘uqubat ta’zir utama (meliputi cambuk, denda, penjara, dan restitusi) dan ‘uqubat ta’zir tambahan (pembinaan oleh negara, restitusi oleh orang tua/wali, pengembalian kepada orang tua/wali, pemutusan perkawinan, pencabutan izin dan hak, perampasan barang-barang tertentu, serta kerja sosial).
Terkait hal ini, Faisal A. Rani berpandangan  mengenai Eksistensi Qanun di Aceh, bahwa: “isi/muatan dari Qanun pada prinsipnya sama dengan muatan perda diwilayah lain, dalam rangka melaksanakan otonomi daerah, tugas perbantuan, dan desentralisasi, akan tetapi Qanun juga bermuatan perihal Syariat Islam. Mengenai Syariat Islam, bukan Syariat Islam yang dipindahkan ke dalam Qanun, akan tetapi Syariat Islam yang sejalan dengan hukum yang berlaku di Indonesia”. (Faisal A. Rani, hukumonline.com)
Adapun prinsip lainnya, sesuai dengan amanat dalam ketentuan penutup Qanun Jinayat, khususnya sebagaimana yang ditegaskan dalam Pasal 75, menyatakan bahwa “Qanun Jinayat mulai berlaku 1 (satu) tahun setelah diundangkan”. Dalam hal ini, berhubung Qanun Jinayat diundangkan pada tanggal 23 Oktober 2014, maka secara normatif bertepatan pada tanggal 23 Oktober 2015, seyogyanya Qanun Jinayat akan diberlakukan di seluruh wilayah Aceh secara terstruktur dan sistematis.

Penutup
Berdasarkan paradigma tersebut, maka sudah sepantasnya tidak perlu adalagi pihak-pihak yang mencoba mendiskreditkan penyelenggaraan Syariat Islam di Aceh, khususnya sebagaimana yang diimplementasikan melalui Qanun Jinayat. Oleh karena, baik penyelenggaraan Syariat Islam di Aceh, maupun Qanun adalah sesuatu yang memiliki legitimasi berdasarkan atas hukum, serta memiliki legitimasi konstitusional.
Pada sisi yang lain, semoga dengan berlakunya Qanun Jinayat, kiranya dapat menjawab berbagai ekspektasi masyarakat, khususnya agar keberadaan Qanun tersebut menjadi payung hukum yang tidak hanya bagi masyarakat umum, tetapi juga turut melingkupi mereka yang dikelilingi kekuasaan. Terakhir, semoga Qanun tersebut mampu menangkal berbagai dominasi budaya yang nyata-nyata bertentangan dengan kearifan lokal masyarakat Aceh. Semoga!



[1]  Penulis adalah PNS Pemkab Aceh Tamiang, dan Staf Pengajar Program Pascasarjana Magister Ilmu Hukum, UMSU dan UMA.

1 komentar: