Sabtu, 03 Oktober 2015

Aceh Serambi Demokrasi

Aceh Serambi Demokrasi
Oleh: Dr. Cakra Arbas, SH.I, MH.[1]

Momentum semarak pemilihan kepala daerah tidak jarang menjadi kiyasan dalam memaknai demokrasi. Seakan melegitimasi bahwa berbagai hegemoni pemiihan kepala daerah secara langsung, merupakan wujud nyata dalam penyelenggaraan pemerintahan yang bernuansa demokrasi. Pada sisi yang lain, benar adanya bahwa pemilihan kepala daerah secara langsung, berimplikasi besarnya antusias masyarakat dalam berpartisipasi, sekaligus menjadi pembelajaran tersendiri bagi masyarakat di masing-masing daerah otonom dalam berpolitik di tingkat lokal.
Berdasarkan paradigma yang berbeda, patut dikaji benarkah demokrasi yang diwujudkan dalam pemilihan kepala daerah secara langsung, adalah sesuatu yang tepat dan pantas bagi segenap lapisan masyarakat di daerah-daerah otonom ? pada saat ini bisa saja asumsi bahwa pemilihan model tersebut adalah sesuatu yang relevan dengan situasi dan kondisi hari ini, mengingat masifnya dekadensi moral yang melingkupi berbagai lini kekuasaan. Akan tetapi, bukanlah sesuatu yang mustahil kiranya ketika berbagai lini kekuasaan telah berjalan normal sebagaimana mestinya, bukannya tidak mungkin model pemilihan tersebut menjadi sesuatu yang usang dan harus ditinggalkan.
Berbagai hal ini hendaknya menjadi evaluasi bersama, sejalan dengan pesta demokrasi di tingkat lokal oleh berbagai daerah otonom yang akan dilaksanakan beberapa bulan mendatang. Tidak kalah pentingnya, hal tersebut turut menjadi paradigma dalam penyelenggaraan pemilihan kepala daerah di Aceh, meskipun secara umum Aceh baru akan melaksanakannya di Tahun 2017, tidak ada salahnya untuk mempersiapkan diri jauh-jauh hari. Mengingat sebagaimana yang diekspose oleh berbagai media masa, bahwa secara terang-terangan beberapa tokoh dan pemuka telah menyatakan sikap untuk ikut berkompetisi menjadi yang nomor satu di Aceh.

Aceh Sebagai Role Model
Pada posisi ini, penting untuk disadari bahwa perjalanan ketatanegaraan Indonesia khususnya pasca reformasi, acapkali memposisikan Aceh sebagai role model dalam tatanan penyelenggaraan pemerintahan. Telah menjadi rahasia umum bahwa kadangkala segala sesuatu yang dilakukan secara nasional, sudah terlebih dahulu dipraktekkan dan bahkan menjadi evaluasi sekaligus pembelajaran di Aceh, sebelum diimplementasikan secara nasional.
Khusus dalam konteks pemilihan kepala daerah, berbagai role model tersebut dapat direview, diantaranya melalui: Pertama, Hakikatnya Aceh merupakan daerah otonom pertama yang akan melaksanakan pemilihan kepala daerah secara langsung (amanat UU No. 18 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus sebagai Provinsi NAD), tentunya hal ini memiliki dikotomi dengan model pemilihan kepala daerah di Indonesia yang belum menerapkan konsep secara langsung di masa itu. Namun demikian, dikarenakan berbagai faktor situasi dan kondisi yang tidak memungkinkan, maka tidak dapat diimplementasikan.
Kedua, Aceh adalah daerah otonom pertama yang mengakomodir adagium calon independen atau perseorangan (amanat UU No. 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh), yang selanjutnya melalui putusan Mahkamah Konstitusi keberadaan calon independen adalah sesuatu yang wajib diakomodir pada pemilihan kepala daerah di Indonesia. (Cakra Arbas, 2012)
Ketiga, Tidak kalah sakralnya bahwa Aceh adalah daerah otonom pertama yang memberi ruang dan mengapresiasi kehidupan partai politik lokal untuk turut berpartisipasi dalam pesta demokrasi ditingkat lokal. Meskipun hal ini belum berlaku secara nasional, tetapi bukanlah sesuatu yang mustahil kiranya ketika konstelasi politik berkonsensus hal yang demikian, dalam rangka mewujudkan otonomi daerah.
Adanya berbagai paradigma tersebut, maka bukanlah sesuatu yang mengada-ada dan berlebihan, untuk menganalogikan Aceh sebagai serambi demokrasi, mengingat keberadaan dan kedudukan Aceh yang sangat strategis, wajar Aceh menyandang adagium lokomotif dalam penyelenggaraan pemerintahan, khususnya terkait pemilihan kepala daerah.
Oleh karena itu, dalam rangka menyongsong pemilihan kepala daerah di Aceh Tahun 2017, sesuatu yang lumrah jika terjadi konsensus oleh lintas stakeholder untuk membuat berbagai inovasi dan terobosan, yang pada keseluruhannya bermuara dalam rangka mensejahterakan masyarakat Aceh. Dalam hal ini, pada prinsipnya berbagai inovasi dan terobosan dapat dilakukan, apakah itu melalui substansi materi calon kepala daerah, maupun evaluasi dalam sistem pemilihan yang akan dilaksanakan.
Mengingat perjalanan Aceh sebagai daerah otonom, telah melewati lika-liku dalam berbagai sistem pemerintahan, sekaligus sebagai wujud nyata desentralisasi asimetris yang dipayungi oleh Konstitusi. Serta untuk menjawab tantangan zaman, maka inovasi dan terobosan dalam pemilihan kepala daerah adalah suatu keniscayaan.
Pada kesempatan yang sama, Aceh sebagai daerah otonom yang mengagungkan ajaran agama Islam dalam berbagai lini kehidupan, dan hal ini turut diakui secara konstitusional, maka hal wajar jika berbagai inovasi dan terobosan turut mengakomodir berbagai prinsip yang diamanatkan dalam ajaran agama Islam, agar terciptanya berbagai wujud penyelenggaraan Syariat Islam secara kaffah.

Penutup
Sebagai bangsa yang mengidolakan demokrasi hendaknya perlu direnungkan bersama, atas buah pikiran Bung Hatta yang menyatakan bahwa “demokrasi yang dipraktikkan hanya membawa persamaan politik, dalam hal ini persamaan seseorang yang satu dengan lainnya, antara kaya dan miskin, antara laki dan perempuan, antara tokoh dan masyarakat umum, yang sama-sama mempunyai hak untuk memilih dan dipilih, nyatalah bahwa demokrasi yang seperti itu tidak sesuai dengan cita perjuangan bangsa Indonesia. Hendaknya demokrasi yang digunakan adalah demokrasi asli Indonesia, yang terdiri dari unsur: rapat, mufakat, gotong royong, dan hak menyatakan protes. Serta dalam konteks politik dilaksanakan melalui sistem perwakilan rakyat dengan konsep musyawarah, dan berdasarkan kepentingan umum ”. (Muhammad Hatta, 2002)
Semoga momentum pemilihan kepala daerah serentak, dan Aceh sebagai serambi demokrasi kiranya dapat mengabstraksikan sekaligus merepresentasikan berbagai nilai luhur yang terkandung dalam masyarakat dan kearifan lokalnya, sekaligus mampu diderivasikan untuk mewujudkan kesejahteraan masyarakat yang seluas-luasnya. Semoga!
*Tulisan ini juga dimuat pada Harian Waspada, Jumat 2 Oktober 2015



[1]  Penulis adalah PNS Pemkab Aceh Tamiang, dan Staf Pengajar Program Pascasarjana Magister Ilmu Hukum, UMSU dan UMA.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar