Aceh Serambi Demokrasi
Momentum semarak pemilihan kepala daerah tidak
jarang menjadi kiyasan dalam memaknai demokrasi. Seakan melegitimasi bahwa
berbagai hegemoni pemiihan kepala daerah secara langsung, merupakan wujud nyata
dalam penyelenggaraan pemerintahan yang bernuansa demokrasi. Pada sisi yang
lain, benar adanya bahwa pemilihan kepala daerah secara langsung, berimplikasi
besarnya antusias masyarakat dalam berpartisipasi, sekaligus menjadi
pembelajaran tersendiri bagi masyarakat di masing-masing daerah otonom dalam
berpolitik di tingkat lokal.
Berdasarkan paradigma yang berbeda, patut dikaji
benarkah demokrasi yang diwujudkan dalam pemilihan kepala daerah secara
langsung, adalah sesuatu yang tepat dan pantas bagi segenap lapisan masyarakat
di daerah-daerah otonom ? pada saat ini bisa saja asumsi bahwa pemilihan model
tersebut adalah sesuatu yang relevan dengan situasi dan kondisi hari ini,
mengingat masifnya dekadensi moral yang melingkupi berbagai lini kekuasaan. Akan
tetapi, bukanlah sesuatu yang mustahil kiranya ketika berbagai lini kekuasaan
telah berjalan normal sebagaimana mestinya, bukannya tidak mungkin model
pemilihan tersebut menjadi sesuatu yang usang dan harus ditinggalkan.
Berbagai hal ini hendaknya menjadi evaluasi
bersama, sejalan dengan pesta demokrasi di tingkat lokal oleh berbagai daerah
otonom yang akan dilaksanakan beberapa bulan mendatang. Tidak kalah pentingnya,
hal tersebut turut menjadi paradigma dalam penyelenggaraan pemilihan kepala
daerah di Aceh, meskipun secara umum Aceh baru akan melaksanakannya di Tahun
2017, tidak ada salahnya untuk mempersiapkan diri jauh-jauh hari. Mengingat
sebagaimana yang diekspose oleh berbagai media masa, bahwa secara
terang-terangan beberapa tokoh dan pemuka telah menyatakan sikap untuk ikut
berkompetisi menjadi yang nomor satu di Aceh.
Aceh Sebagai Role Model
Pada
posisi ini, penting untuk disadari bahwa perjalanan ketatanegaraan Indonesia
khususnya pasca reformasi, acapkali memposisikan Aceh sebagai role model
dalam tatanan penyelenggaraan pemerintahan. Telah menjadi rahasia umum bahwa
kadangkala segala sesuatu yang dilakukan secara nasional, sudah terlebih dahulu
dipraktekkan dan bahkan menjadi evaluasi sekaligus pembelajaran di Aceh,
sebelum diimplementasikan secara nasional.
Khusus
dalam konteks pemilihan kepala daerah, berbagai role model tersebut
dapat direview, diantaranya melalui: Pertama, Hakikatnya Aceh merupakan
daerah otonom pertama yang akan melaksanakan pemilihan kepala daerah secara
langsung (amanat UU No. 18 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus sebagai Provinsi
NAD), tentunya hal ini memiliki dikotomi dengan model pemilihan kepala daerah
di Indonesia yang belum menerapkan konsep secara langsung di masa itu. Namun
demikian, dikarenakan berbagai faktor situasi dan kondisi yang tidak
memungkinkan, maka tidak dapat diimplementasikan.
Kedua,
Aceh adalah daerah otonom pertama yang mengakomodir adagium calon independen
atau perseorangan (amanat UU No. 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh), yang
selanjutnya melalui putusan Mahkamah Konstitusi keberadaan calon independen adalah
sesuatu yang wajib diakomodir pada pemilihan kepala daerah di Indonesia. (Cakra
Arbas, 2012)
Ketiga,
Tidak kalah sakralnya bahwa Aceh adalah daerah otonom pertama yang memberi
ruang dan mengapresiasi kehidupan partai politik lokal untuk turut
berpartisipasi dalam pesta demokrasi ditingkat lokal. Meskipun hal ini belum
berlaku secara nasional, tetapi bukanlah sesuatu yang mustahil kiranya ketika
konstelasi politik berkonsensus hal yang demikian, dalam rangka mewujudkan otonomi
daerah.
Adanya
berbagai paradigma tersebut, maka bukanlah sesuatu yang mengada-ada dan
berlebihan, untuk menganalogikan Aceh sebagai serambi demokrasi, mengingat
keberadaan dan kedudukan Aceh yang sangat strategis, wajar Aceh menyandang
adagium lokomotif dalam penyelenggaraan pemerintahan, khususnya terkait
pemilihan kepala daerah.
Oleh
karena itu, dalam rangka menyongsong pemilihan kepala daerah di Aceh Tahun
2017, sesuatu yang lumrah jika terjadi konsensus oleh lintas stakeholder
untuk membuat berbagai inovasi dan terobosan, yang pada keseluruhannya bermuara
dalam rangka mensejahterakan masyarakat Aceh. Dalam hal ini, pada prinsipnya
berbagai inovasi dan terobosan dapat dilakukan, apakah itu melalui substansi
materi calon kepala daerah, maupun evaluasi dalam sistem pemilihan yang akan
dilaksanakan.
Mengingat
perjalanan Aceh sebagai daerah otonom, telah melewati lika-liku dalam berbagai
sistem pemerintahan, sekaligus sebagai wujud nyata desentralisasi asimetris
yang dipayungi oleh Konstitusi. Serta untuk menjawab tantangan zaman, maka inovasi
dan terobosan dalam pemilihan kepala daerah adalah suatu keniscayaan.
Pada
kesempatan yang sama, Aceh sebagai daerah otonom yang mengagungkan ajaran agama
Islam dalam berbagai lini kehidupan, dan hal ini turut diakui secara
konstitusional, maka hal wajar jika berbagai inovasi dan terobosan turut
mengakomodir berbagai prinsip yang diamanatkan dalam ajaran agama Islam, agar
terciptanya berbagai wujud penyelenggaraan Syariat Islam secara kaffah.
Penutup
Sebagai
bangsa yang mengidolakan demokrasi hendaknya perlu direnungkan bersama, atas
buah pikiran Bung Hatta yang menyatakan bahwa “demokrasi yang dipraktikkan
hanya membawa persamaan politik, dalam hal ini persamaan seseorang yang satu dengan
lainnya, antara kaya dan miskin, antara laki dan perempuan, antara tokoh dan
masyarakat umum, yang sama-sama mempunyai hak untuk memilih dan dipilih,
nyatalah bahwa demokrasi yang seperti itu tidak sesuai dengan cita perjuangan
bangsa Indonesia. Hendaknya demokrasi yang digunakan adalah demokrasi asli
Indonesia, yang terdiri dari unsur: rapat, mufakat, gotong royong, dan hak
menyatakan protes. Serta dalam konteks politik dilaksanakan melalui sistem
perwakilan rakyat dengan konsep musyawarah, dan berdasarkan kepentingan umum ”.
(Muhammad Hatta, 2002)
Semoga
momentum pemilihan kepala daerah serentak, dan Aceh sebagai serambi demokrasi
kiranya dapat mengabstraksikan sekaligus merepresentasikan berbagai nilai luhur
yang terkandung dalam masyarakat dan kearifan lokalnya, sekaligus mampu
diderivasikan untuk mewujudkan kesejahteraan masyarakat yang seluas-luasnya. Semoga!
*Tulisan ini juga dimuat pada Harian Waspada, Jumat 2 Oktober 2015
[1]
Penulis adalah PNS Pemkab
Aceh Tamiang, dan Staf
Pengajar Program Pascasarjana Magister Ilmu Hukum, UMSU dan UMA.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar