(Simalakama) Mengemban
Hukum
Konsensus bangsa Indonesia
melalui konstitusinya telah mendeklarasikan diri sebagai negara hukum. Paradigma bahwa negara
Indonesia adalah negara hukum, secara tidak langsung telah mengindikasikan
bahwa dalam penyelenggaraan kehidupan bernegara dan bermasyarakat, wajib
berpedoman berdasarkan hukum khususnya baik itu nilai, asas, dan norma hukum.
Spirit penyelenggaraan
negara hukum diderivasikan dalam berbagai bentuk kekuasaan, sebagaimana yang dipelopori
oleh Montesquieu bahwa setidak-tidaknya dalam menjalankan roda pemerintahan
terdapat adanya pemisahan kekuasaan, antara kekuasaan eksekutif, legislatif,
maupun yudikatif. Menarik untuk direview, bahwa keseluruhan badan kekuasaan
tersebut pada hakikatnya turut mengemban hukum, walaupun terdapat klasifikasi
maupun kriteria atas yang diembannya.
Terkadang dalam
penyelenggaraan kehidupan bernegara dan bermasyarakat, tidak jarang terjadi
dinamika khususnya dalam proses mengemban hukum diantara berbagai institusi
kekuasaan. Oleh karena itu yang patut direview bagaimanakah korelasi berbagai
institusi yang mengemban hukum, adakah disharmonis dalam praktiknya ? atau
sudahkah berbagai institusi kekuasaan baik yang ada di pusat maupun diberbagai
daerah otonom menjalankan sesuai tugas pokok dan fungsinya, dalam rangka
mengemban hukum ?
Lantas yang patut
dipertanyakan, sudahkah penyelenggaraan pemerintahan dalam mencapai tujuan
bernegara dan bermasyarakat, berpedoman dan berdasarkan hukum ? atau, jangan-jangan
patut diduga sering ditemui adanya praktik-praktik kekuasaan superior yang mencoba mengintervensi kekuasaan satu dan
lainnya dalam rangka memanipulasi spirit law
enforcement ?
Mengemban Hukum
Secara normatif, sejalan dengan prinsip pemisahan kekuasaan maka dalam
konteks negara Indonesia, Undang-Undang telah mengamanatkan bahwa adanya
beberapa profesi berikut institusinya yang dipercayakan untuk mengemban hukum. Walaupun kadangkala dapat dirasakan sering terjadi tumpang tindih, dari beberapa
insitusi kekuasaan yang mengemban hukum, ketika menjalankan tugas pokok, dan
fungsinya, dalam rangka mewujudkan law
enforcement.
Pada kesempatan yang sama, untuk mengakomodir luasnya
wilayah Republik Indonesia, serta untuk mencapai efektivitas dalam mengemban hukum, beberapa institusi hukum juga memiliki
cabang/perwakilan yang terdapat di masing-masing daerah otonom. Hal ini secara
sederhana telah mengindikasikan bahwa hukum memiliki urgensitas dalam
mewujudkan “tertib manusia”, sehingga perlunya keberadaan institusi hukum
ditengah-tengah masyarakat, sekalipun jauh dari ibukota negara.
Urgensitas hukum dalam mewujudkan “tertib
manusia”, juga dapat dikaji atas pandangan Soedikno Mertokusumo, yang menyatakan
bahwa ketika kepentingan-kepentingan manusia terancam atau terganggu, maka
diperlukan suatu perlindungan terhadap kepentingan-kepentingan itu, yang
kemudian dikenal dengan hukum. (Soedikno Mertokusumo, 2010) artinya dapat
dipahami bahwa pada posisi ini hukum diposisikan sebagai suatu upaya preventif,
dalam melindungi kepentingan manusia itu sendiri.
Menariknya, sebagaimana yang telah menjadi
konsumsi publik acapkali beberapa oknum dari insitusi hukum maupun profesi
hukum, patut diduga ada yang telah bertindak secara kebablasan. Sehingga publik
sudah terlanjur memiliki stigma
seolah-olah
hukum itu seperti “pisau”, tajam
untuk masyarakat kelas bawah, dan tumpul ketika menghadapi penguasa atau
masyarakat kelas atas.
Perihal tersebut dapat ditelaah bahwa
seyogyanya dalam konteks mengemban hukum di Indonesia, kepentingan hukum
yang semestinya dijadikan lokomotif, bukan justru sebaliknya sebagaimana yang
diasumsikan masyarakat bahwa dalam penerapan hukum, patut diduga pada beberapa
peristiwa hukum, justru lebih cenderung bernuansa dan memprioritaskan
kepentingan “orang berpunya” atau kepentingan “sang penguasa”.
Berdasarkan paradigma yang berbeda, bukanlah
sesuatu yang keliru kiranya ketika masyarakat berasumsi demikian, bahwa hukum selalu dibayang-bayangi oleh kepentingan, oleh karena Karl
Marx dan Ralf Dahrendrof telah menyatakan melalui teorinya bahwa hukum itu adalah kepentingan orang berpunya, dan hukum itu adalah
kepentingan orang berkuasa.
Ironinya, sebagaimana yang telah di blow up oleh berbagai media, sekaligus
menjadi santapan publik, bahwa ketika ada beberapa institusi hukum maupun
profesi hukum, yang hendak merevolusi diri sekaligus kelembagaannya ketika
mengemban hukum, khususnya dalam rangka memperbaiki image negatif yang terlanjur melekat, bahwa para institusi maupun
profesi hukum tidak hanya tajam bagi masyarakat kelas bawah, tetapi juga ingin
“menyentuh” orang berkuasa dan orang berpunya.
Justru
ketika itu pula menjadi preseden seakan-akan beberapa institusi dan profesi
hukum terdegradasi dari pusara kekuasan, serta seolah-olah memberi legitimasi
atas pribahasa yang menyatakan bahwa “diatas langit masih ada langit”. Perihal
tersebut sangat disayangkan, karena berbagai preseden dalam mengemban hukum,
akan merusak mental rekan-rekan sejawat dan seprofesi dalam mengemban hukum.
Pada
posisi ini, baik institusi hukum maupun profesi hukum, yang berkedudukan
sebagai garda terdepan dalam mengemban hukum, tidak jarang telah menjadi olok-olokan
masyarakat, yang didasari atas beberapa kriteria, diantaranya: Pertama, menjadi olokan ketika hanya
mampu mempergunakan hukum sebagai “pisau”, yang dimaknai hanya tajam kebawah
dan tumpul keatas. Kedua, menjadi olokan ketika kekuasaannya dikebiri dalam hal mempergunakan
hukum kepada pihak yang berkuasa dan yang berpunya. Oleh karena itu, tepat
kiranya mempersepsikan bahwa
institusi
maupun profesi hukum, telah
berkedudukan
sebagai “simalakama”.
Penutup
Dapat direnungkan bersama, jika di pusat ibukota
negara masih saja terjadi berbagai preseden dalam proses mengemban hukum, yang
notabene melekat hingar bingar berbagai bentuk media masa. Maka, dapat
diprediksi bagaimana lagi berbagai proses dalam mengemban hukum yang ada di
daerah-daerah otonom ? terlebih daerah-daerah yang dikategorikan terpencil dan
jauh dari punca para pemburu berita.
Semoga, pada hari-hari yang akan datang berbagai institusi
maupun profesi hukum yang berposisi sebagai figur dalam mengemban hukum, tidak
lagi dijadikan sebagai bahan olokan, dan semoga tidak berkedudukan sebagai
“simalakama”. Pada kesempatan yang sama, semoga asas hukum equality before the law, kiranya benar adanya dan mampu untuk
diimplementasikan. Semoga!
*Tulisan ini juga dimuat pada Harian Waspada, Jumat 25 September 2015
[1]
Penulis adalah PNS Pemkab
Aceh Tamiang, dan
Wakil Ketua DPD II KNPI Aceh Tamiang,
email: c4k124@rocketmail.com
Tidak ada komentar:
Posting Komentar