Jumat, 25 September 2015

Simalakama Mengemban Hukum

(Simalakama) Mengemban Hukum
Oleh: Dr. Cakra Arbas, SH.I, MH.[1]

Konsensus bangsa Indonesia melalui konstitusinya telah mendeklarasikan diri sebagai negara hukum. Paradigma bahwa negara Indonesia adalah negara hukum, secara tidak langsung telah mengindikasikan bahwa dalam penyelenggaraan kehidupan bernegara dan bermasyarakat, wajib berpedoman berdasarkan hukum khususnya baik itu nilai, asas, dan norma hukum.
Spirit penyelenggaraan negara hukum diderivasikan dalam berbagai bentuk kekuasaan, sebagaimana yang dipelopori oleh Montesquieu bahwa setidak-tidaknya dalam menjalankan roda pemerintahan terdapat adanya pemisahan kekuasaan, antara kekuasaan eksekutif, legislatif, maupun yudikatif. Menarik untuk direview, bahwa keseluruhan badan kekuasaan tersebut pada hakikatnya turut mengemban hukum, walaupun terdapat klasifikasi maupun kriteria atas yang diembannya.
Terkadang dalam penyelenggaraan kehidupan bernegara dan bermasyarakat, tidak jarang terjadi dinamika khususnya dalam proses mengemban hukum diantara berbagai institusi kekuasaan. Oleh karena itu yang patut direview bagaimanakah korelasi berbagai institusi yang mengemban hukum, adakah disharmonis dalam praktiknya ? atau sudahkah berbagai institusi kekuasaan baik yang ada di pusat maupun diberbagai daerah otonom menjalankan sesuai tugas pokok dan fungsinya, dalam rangka mengemban hukum ?
Lantas yang patut dipertanyakan, sudahkah penyelenggaraan pemerintahan dalam mencapai tujuan bernegara dan bermasyarakat, berpedoman dan berdasarkan hukum ? atau, jangan-jangan patut diduga sering ditemui adanya praktik-praktik kekuasaan superior yang mencoba mengintervensi kekuasaan satu dan lainnya dalam rangka memanipulasi spirit law enforcement ?

Mengemban Hukum
Secara normatif, sejalan dengan prinsip pemisahan kekuasaan maka dalam konteks negara Indonesia, Undang-Undang telah mengamanatkan bahwa adanya beberapa profesi berikut institusinya yang dipercayakan untuk mengemban hukum. Walaupun kadangkala dapat dirasakan sering terjadi tumpang tindih, dari beberapa insitusi kekuasaan yang mengemban hukum, ketika menjalankan tugas pokok, dan fungsinya, dalam rangka mewujudkan law enforcement.
Pada kesempatan yang sama, untuk mengakomodir luasnya wilayah Republik Indonesia, serta untuk mencapai efektivitas dalam mengemban hukum, beberapa institusi hukum juga memiliki cabang/perwakilan yang terdapat di masing-masing daerah otonom. Hal ini secara sederhana telah mengindikasikan bahwa hukum memiliki urgensitas dalam mewujudkan “tertib manusia”, sehingga perlunya keberadaan institusi hukum ditengah-tengah masyarakat, sekalipun jauh dari ibukota negara.
Urgensitas hukum dalam mewujudkan “tertib manusia”, juga dapat dikaji atas pandangan Soedikno Mertokusumo, yang menyatakan bahwa ketika kepentingan-kepentingan manusia terancam atau terganggu, maka diperlukan suatu perlindungan terhadap kepentingan-kepentingan itu, yang kemudian dikenal dengan hukum. (Soedikno Mertokusumo, 2010) artinya dapat dipahami bahwa pada posisi ini hukum diposisikan sebagai suatu upaya preventif, dalam melindungi kepentingan manusia itu sendiri.
Menariknya, sebagaimana yang telah menjadi konsumsi publik acapkali beberapa oknum dari insitusi hukum maupun profesi hukum, patut diduga ada yang telah bertindak secara kebablasan. Sehingga publik sudah terlanjur memiliki stigma seolah-olah hukum itu seperti “pisau”, tajam untuk masyarakat kelas bawah, dan tumpul ketika menghadapi penguasa atau masyarakat kelas atas.
Perihal tersebut dapat ditelaah bahwa seyogyanya dalam konteks mengemban hukum di Indonesia, kepentingan hukum yang semestinya dijadikan lokomotif, bukan justru sebaliknya sebagaimana yang diasumsikan masyarakat bahwa dalam penerapan hukum, patut diduga pada beberapa peristiwa hukum, justru lebih cenderung bernuansa dan memprioritaskan kepentingan “orang berpunya” atau kepentingan “sang penguasa”.
Berdasarkan paradigma yang berbeda, bukanlah sesuatu yang keliru kiranya ketika masyarakat berasumsi demikian, bahwa hukum selalu dibayang-bayangi oleh kepentingan, oleh karena Karl Marx dan Ralf Dahrendrof telah menyatakan melalui teorinya bahwa hukum itu adalah kepentingan orang berpunya, dan hukum itu adalah kepentingan orang berkuasa.
Ironinya, sebagaimana yang telah di blow up oleh berbagai media, sekaligus menjadi santapan publik, bahwa ketika ada beberapa institusi hukum maupun profesi hukum, yang hendak merevolusi diri sekaligus kelembagaannya ketika mengemban hukum, khususnya dalam rangka memperbaiki image negatif yang terlanjur melekat, bahwa para institusi maupun profesi hukum tidak hanya tajam bagi masyarakat kelas bawah, tetapi juga ingin “menyentuh” orang berkuasa dan orang berpunya.
Justru ketika itu pula menjadi preseden seakan-akan beberapa institusi dan profesi hukum terdegradasi dari pusara kekuasan, serta seolah-olah memberi legitimasi atas pribahasa yang menyatakan bahwa “diatas langit masih ada langit”. Perihal tersebut sangat disayangkan, karena berbagai preseden dalam mengemban hukum, akan merusak mental rekan-rekan sejawat dan seprofesi dalam mengemban hukum.
Pada posisi ini, baik institusi hukum maupun profesi hukum, yang berkedudukan sebagai garda terdepan dalam mengemban hukum, tidak jarang telah menjadi olok-olokan masyarakat, yang didasari atas beberapa kriteria, diantaranya: Pertama, menjadi olokan ketika hanya mampu mempergunakan hukum sebagai “pisau”, yang dimaknai hanya tajam kebawah dan tumpul keatas. Kedua, menjadi olokan ketika kekuasaannya dikebiri dalam hal mempergunakan hukum kepada pihak yang berkuasa dan yang berpunya. Oleh karena itu, tepat kiranya mempersepsikan bahwa institusi maupun profesi hukum, telah berkedudukan sebagai “simalakama”.

Penutup
Dapat direnungkan bersama, jika di pusat ibukota negara masih saja terjadi berbagai preseden dalam proses mengemban hukum, yang notabene melekat hingar bingar berbagai bentuk media masa. Maka, dapat diprediksi bagaimana lagi berbagai proses dalam mengemban hukum yang ada di daerah-daerah otonom ? terlebih daerah-daerah yang dikategorikan terpencil dan jauh dari punca para pemburu berita.
Semoga, pada hari-hari yang akan datang berbagai institusi maupun profesi hukum yang berposisi sebagai figur dalam mengemban hukum, tidak lagi dijadikan sebagai bahan olokan, dan semoga tidak berkedudukan sebagai “simalakama”. Pada kesempatan yang sama, semoga asas hukum equality before the law, kiranya benar adanya dan mampu untuk diimplementasikan. Semoga!
*Tulisan ini juga dimuat pada Harian Waspada, Jumat 25 September 2015



[1]  Penulis adalah PNS Pemkab Aceh Tamiang, dan Wakil Ketua DPD II KNPI Aceh Tamiang, email: c4k124@rocketmail.com

Tidak ada komentar:

Posting Komentar