Kamis, 10 September 2015

Stigmatisasi Kebijakan

Stigmatisasi Kebijakan
Oleh: Dr. Cakra Arbas, SH.I, MH.[1]

Tidak jarang ditemui bahwa dalam menjalankan roda pemerintahan, diperlukan adanya akselerasi dari para penyelenggara negara, baik di level daerah maupun nasional, khususnya yang diwujudkan dalam berbagai bentuk kebijakan, oleh karena pada hakikatnya tidak seluruh peristiwa telah memiliki legitimasi, sekaligus untuk mengakomodir kepentingan yang bersifat memaksa dan mendesak.
Namun demikian, dalam mengambil kebijakan jika tidak berhati-hati, maka kebijakan tersebut kerap menjadi batu sandungan pada masa-masa yang akan datang. Bahkan untuk mengakomodir penyelenggara negara agar berbuat luwes dalam menjalankan pemerintahan, khususnya ketika mengambil kebijakan, seringkali pada beberapa kesempatan disuarakan agar kebijakan tidak dapat dipidana. Lantas, sudah tepat dan pantaskah jika kebijakan tidak dapat dipidana ?

Tentang Kebijakan
Thomas R. Dye mendefinisikan kebijakan yakni sebagai pilihan Pemerintah untuk menentukan langkah apakah “berbuat” atau “tidak berbuat” (M.Solly Lubis, 2007 : 7-9). Dapat dipahami bahwa pada posisi ini Thomas R. Dye hendak menekankan kebijakan dari sisi action, dalam hal ini pilihan terletak pada pemangku kepentingan, yakni pilihan untuk berbuat atau justru tidak berbuat.
Pada kesempatan yang sama, M. Solly Lubis mendefinisikan kebijakan sebagai serangkaian tindakan yang ditetapkan dan dilaksanakan oleh Pemerintah dengan tujuan tertentu demi kepentingan masyarakat. (M.Solly Lubis, 2007 : 7-9) Menelisik uraian yang dilontarkan Thomas R. Dye dan M. Solly Lubis, setidak-tidaknya terdapat benang merah yang dapat dijadikan sebagai conclusion, yaitu kebijakan adalah suatu tindakan untuk berbuat atau tidak berbuat sesuatu dalam rangka mencapai tujuan, khususnya untuk kepentingan umum.
Dewasa ini hal yang menarik dikaji, yaitu ketika pembuat kebijakan justru terseret ke dalam ranah hukum, oleh karena patut diduga berbagai kebijakannya telah terhendus dalam aroma yang bertentangan dengan norma hukum. Tidak pelak lagi, seolah-olah tanpa pilih kasih preseden negatif terkait kebijakan tidak hanya menimpa stakeholder di level daerah, melainkan patut disayangkan karena “mereka” yang telah berkecimpung diskala nasional, yang diasumsikan telah memiliki kualifikasi mumpuni baik dari aspek kapabilitas dan integritas, seakan-akan tidak mampu menghindarkan dirinya agar tidak terjerat dalam peristiwa hukum. Menelaah hal ini, bukanlah sesuatu yang keliru kiranya jika menganalogikan kebijakan sebagai senjata yang memakan tuannya.
Atas realita tersebut, nigro & nigro mengemukakan bahwa ada kesalahan yang selalu secara umum terjadi pada pengambilan keputusan dalam membuat kebijakan, diantaranya: Pertama, adanya cara berpikir yang sempit dan cenderung memenuhi keputusan sesaat saja tanpa antisipasi ke depan. Kedua, adanya asumsi bahwa masa depan akan mengulangi pengalaman masa lalu, secara tidak langsung berarti kurang mampu meramalkan kemungkinan yang akan datang. Ketiga, terlalu menyederhanakan sesuatu sehingga tidak ada keinginan untuk menelusuri lebih dalam tentang timbulnya gejala atau latar belakang penyebab sesuatu. Keempat, terlalu menggantungkan pada pengalaman seseorang saja, berarti menganggap terlalu tinggi pada pengalaman para pelakunya. Kelima, keputusan yang didasari oleh prakonsepsi. Keenam, tidak adanya keinginan melakukan percobaan. Ketujuh, keenggenan dari penyelenggara negara dalam mengmbil keputusan. (Nigro & Nigro dalam M. Solly Lubis, 2007 : 21)  

Kebijakan vs Pranata Hukum  
Acapkali publik tersentak atas berbagai peristiwa hukum yang patut diduga melibatkan para penyelenggara negara, ironinya bahkan salah satu diantara perbuatan yang dianggap “menggali lubang” para penyelenggara negara diantaranya disebabkan atas berbagai kebijakan, dalam menjalankan roda pemerintahan.
Bahkan, dalam rangka menyikapi hal tersebut, terdengar adanya segelintir masyarakat dan penyelenggara negara, yang menginginkan agar kebijakan tidak dapat dipidana. Lantas, benarkah kebijakan tidak dapat dipidana ? atau dengan kata lain benarkah kebijakan memiliki supremasi atas hukum ? untuk menganalisa perihal tersebut dapat diinventarisir atas 2 (dua) kualifikasi, diantaranya:
Pertama, kebijakan memiliki supremasi atas hukum, dalam hal ini ketika kebijakan yang dimaksud adalah kebijakan yang berkedudukan diatas aturan dasar negara (Staatsgrundgesetz), dengan kata lain kebijakan yang dimaksud merupakan kebijakan yang dibentuk sebagai norma fundamental negara (Staatsfundamentalnorm), yang dewasa ini diderivasikan dalam bentuk rencana pembangunan jangka panjang nasional. Pada posisi ini, sudah tentu kebijakan yang diambil adalah kebijakan yang bersifat superior atas hukum.
Kedua, hukum yang memiliki supremasi atas kebijakan, dalam hal ini ketika kebijakan yang dimaksud adalah kebijakan yang berkedudukan dibawah aturan dasar negara (Staatsgrundgesetz), khususnya yang diderivasikan melalui Undang-Undang Formal (Formell Gesetz). Pada posisi ini, dapat dipastikan bahwa ketika adanya suatu kebijakan yang dinilai telah bertentangan dengan Staatsgrundgesetz dan Formell Gesetz, tidak menutup kemungkinan yang membuat kebijakan akan diseret dalam dugaan perbuatan melawan hukum.

Penutup
Seyogyanya kebijakan jika tidak dipergunakan secara arif dan bijaksana, tentu dapat membahayakan (dalam konteks hukum) si pembuat kebijakan, oleh karena tidak jarang ditemui dan tak terbilang oleh jari betapa banyaknya para penyelenggara negara, baik di level daerah maupun nasional yang telah menjadi “pesakitan” dihadapan hukum.
Sudah barang tentu, pada sisi yang lain sepatutnya para penyelenggara negara juga dituntut memiliki sikap penuh keberanian dan tanggung jawab untuk mengambil suatu kebijakan, khususnya yang dinilai penting dan memaksa dalam menjalankan roda pemerintahan, untuk mewujudkan iklim good and clean government.
Oleh karenanya, sudah sepantasnya penyelenggara negara ketika hendak mengambil kebijakan, mendasari kebijakan tersebut sesuai paradigma teori-teori yang terkait dalam ciri dan unsur dari kebijakan, serta selaras dengan spirit mendahulukan kepentingan umum. Dengan demikian, semoga pada hari-hari yang akan datang tidak lagi terdengar adanya para penyelenggara negara yang menjadi terpidana, khususnya terkait dengan kebijakan yang dilakukannya. Semoga!
*Tulisan ini juga dimuuat pada Harian Waspada, Rabu 9 September 2015



[1]  Penulis adalah PNS Pemkab Aceh Tamiang, dan Wakil Ketua DPD II KNPI Aceh Tamiang, email: c4k124@rocketmail.com

Tidak ada komentar:

Posting Komentar