Stigmatisasi Kebijakan
Tidak jarang ditemui bahwa dalam
menjalankan roda pemerintahan, diperlukan
adanya akselerasi dari para penyelenggara negara, baik di level daerah maupun nasional,
khususnya yang diwujudkan dalam berbagai
bentuk kebijakan, oleh karena
pada hakikatnya tidak seluruh peristiwa telah memiliki legitimasi, sekaligus
untuk mengakomodir kepentingan yang bersifat memaksa dan mendesak.
Namun demikian, dalam mengambil kebijakan jika tidak berhati-hati, maka kebijakan
tersebut kerap menjadi “batu sandungan” pada masa-masa yang akan datang. Bahkan untuk
mengakomodir penyelenggara negara agar berbuat luwes dalam menjalankan
pemerintahan, khususnya ketika mengambil kebijakan, seringkali pada beberapa
kesempatan disuarakan agar kebijakan tidak dapat dipidana. Lantas, sudah tepat
dan pantaskah jika kebijakan tidak dapat dipidana ?
Tentang Kebijakan
Thomas R. Dye
mendefinisikan kebijakan yakni sebagai pilihan Pemerintah untuk menentukan
langkah apakah “berbuat” atau “tidak berbuat” (M.Solly Lubis, 2007 : 7-9). Dapat dipahami bahwa pada posisi ini Thomas R. Dye hendak menekankan kebijakan dari sisi action, dalam hal ini pilihan terletak
pada pemangku kepentingan, yakni pilihan untuk berbuat atau justru tidak
berbuat.
Pada kesempatan yang
sama, M. Solly Lubis mendefinisikan kebijakan sebagai serangkaian tindakan yang
ditetapkan dan dilaksanakan oleh Pemerintah dengan tujuan tertentu demi
kepentingan masyarakat. (M.Solly Lubis, 2007 : 7-9) Menelisik uraian yang dilontarkan Thomas
R. Dye dan M. Solly Lubis, setidak-tidaknya terdapat benang merah yang dapat
dijadikan sebagai conclusion, yaitu
kebijakan adalah suatu tindakan untuk berbuat atau tidak berbuat sesuatu dalam
rangka mencapai tujuan, khususnya untuk kepentingan umum.
Dewasa ini hal yang
menarik dikaji, yaitu ketika pembuat kebijakan justru terseret ke dalam ranah
hukum, oleh karena patut diduga berbagai kebijakannya telah terhendus dalam
aroma yang bertentangan dengan norma hukum. Tidak pelak lagi, seolah-olah tanpa
pilih kasih preseden negatif terkait kebijakan tidak hanya menimpa stakeholder
di level daerah, melainkan patut disayangkan karena “mereka” yang telah
berkecimpung diskala nasional, yang diasumsikan telah memiliki kualifikasi
mumpuni baik dari aspek kapabilitas dan integritas, seakan-akan tidak mampu
menghindarkan dirinya agar tidak terjerat dalam peristiwa hukum. Menelaah hal
ini, bukanlah sesuatu yang keliru kiranya jika menganalogikan kebijakan sebagai
senjata yang memakan tuannya.
Atas realita tersebut,
nigro & nigro mengemukakan bahwa ada kesalahan yang selalu secara umum
terjadi pada pengambilan keputusan dalam membuat kebijakan, diantaranya: Pertama,
adanya cara berpikir yang sempit dan cenderung memenuhi keputusan sesaat saja
tanpa antisipasi ke depan. Kedua, adanya asumsi bahwa masa depan akan
mengulangi pengalaman masa lalu, secara tidak langsung berarti kurang mampu
meramalkan kemungkinan yang akan datang. Ketiga, terlalu menyederhanakan
sesuatu sehingga tidak ada keinginan untuk menelusuri lebih dalam tentang
timbulnya gejala atau latar belakang penyebab sesuatu. Keempat, terlalu
menggantungkan pada pengalaman seseorang saja, berarti menganggap terlalu
tinggi pada pengalaman para pelakunya. Kelima, keputusan yang didasari
oleh prakonsepsi. Keenam, tidak adanya keinginan melakukan percobaan. Ketujuh,
keenggenan dari penyelenggara negara dalam mengmbil keputusan. (Nigro &
Nigro dalam M. Solly Lubis, 2007 : 21)
Kebijakan
vs Pranata Hukum
Acapkali publik tersentak atas berbagai peristiwa
hukum yang patut diduga melibatkan para penyelenggara negara, ironinya bahkan
salah satu diantara perbuatan yang dianggap “menggali lubang” para
penyelenggara negara diantaranya disebabkan atas berbagai kebijakan, dalam
menjalankan roda pemerintahan.
Bahkan, dalam rangka menyikapi hal tersebut, terdengar
adanya segelintir masyarakat dan penyelenggara negara, yang menginginkan agar
kebijakan tidak dapat dipidana. Lantas, benarkah kebijakan tidak dapat dipidana
? atau dengan kata lain benarkah kebijakan memiliki supremasi atas hukum ?
untuk menganalisa perihal tersebut dapat diinventarisir atas 2 (dua)
kualifikasi, diantaranya:
Pertama, kebijakan memiliki supremasi atas hukum, dalam hal
ini ketika kebijakan yang dimaksud adalah kebijakan yang berkedudukan diatas
aturan dasar negara (Staatsgrundgesetz), dengan kata lain kebijakan
yang dimaksud merupakan kebijakan yang dibentuk sebagai norma fundamental
negara (Staatsfundamentalnorm),
yang dewasa ini diderivasikan dalam bentuk rencana pembangunan jangka panjang
nasional. Pada posisi ini, sudah tentu kebijakan yang diambil adalah kebijakan
yang bersifat superior atas hukum.
Kedua, hukum yang memiliki supremasi atas kebijakan, dalam
hal ini ketika kebijakan yang dimaksud adalah kebijakan yang berkedudukan
dibawah aturan dasar negara (Staatsgrundgesetz), khususnya yang diderivasikan
melalui Undang-Undang Formal (Formell Gesetz). Pada posisi ini, dapat
dipastikan bahwa ketika adanya suatu kebijakan yang dinilai telah bertentangan
dengan Staatsgrundgesetz
dan Formell
Gesetz, tidak menutup kemungkinan yang membuat kebijakan akan
diseret dalam dugaan perbuatan melawan hukum.
Penutup
Seyogyanya
kebijakan jika tidak dipergunakan secara arif dan bijaksana, tentu dapat
membahayakan (dalam konteks hukum) si pembuat kebijakan, oleh karena tidak
jarang ditemui dan tak terbilang oleh jari betapa banyaknya para penyelenggara
negara, baik di level daerah maupun nasional yang telah menjadi “pesakitan”
dihadapan hukum.
Sudah barang
tentu, pada sisi yang lain sepatutnya para penyelenggara negara juga dituntut
memiliki sikap penuh keberanian dan tanggung jawab untuk mengambil suatu
kebijakan, khususnya yang dinilai penting dan memaksa dalam menjalankan roda
pemerintahan, untuk mewujudkan iklim good
and clean government.
Oleh karenanya,
sudah sepantasnya penyelenggara negara ketika hendak mengambil kebijakan,
mendasari kebijakan tersebut sesuai paradigma teori-teori yang terkait dalam
ciri dan unsur dari kebijakan, serta selaras dengan spirit mendahulukan
kepentingan umum. Dengan demikian, semoga pada hari-hari yang akan datang tidak
lagi terdengar adanya para penyelenggara negara yang menjadi terpidana,
khususnya terkait dengan kebijakan yang dilakukannya. Semoga!
*Tulisan ini juga dimuuat pada Harian Waspada, Rabu 9 September 2015
[1]
Penulis adalah PNS Pemkab
Aceh Tamiang, dan
Wakil Ketua DPD II KNPI Aceh Tamiang,
email: c4k124@rocketmail.com
Tidak ada komentar:
Posting Komentar