Gegap Gempita
MoU Helsinki (15 Agustus 2005–15 Agustus 2015)
Beberapa hari kedepan seyogyanya
seluruh rakyat Indonesia akan gegap gempita memaknai kemerdekaan Republik
Indonesia yang ke-70 (17 Agustus 1945 – 17 Agustus 2015), pada kesempatan yang
sama Aceh sebagai salah satu daerah otonom terlebih dahulu akan mengenang
sekaligus akan merayakan dengan penuh suka cita 10 Tahun lahirnya MoU Helsinki
(15 Agustus 2005 – 15 Agustus 2015).
Pada praktiknya, MoU Helsinki acapkali berposisi
sebagai lokomotif dalam berbagai dinamika ketatanegaraan, khususnya di Aceh
serta umumnya turut berimplikasi secara nasional. Hal ini bukanlah sesuatu yang
berlebihan, karna seiring dengan adanya MoU Helsinki telah berpengaruh secara
langsung dalam mewujudkan Aceh menuju paradigma yang baru, yakni penyelenggaraan
kehidupan bernegara dan bermasyarakat secara bermartabat, berkeadilan,
sekaligus bertujuan menyejahterakan, dalam konteks Aceh sebagai entitas dari
Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Sejalan dengan torehan tinta sejarah
bahwa perjalananan ketatanegaraan Republik Indonesia telah menempatkan Aceh
sebagai salah satu daerah otonom yang berkarakteristik istimewa dan khusus, hal
tersebut tentu didasari oleh berbagai dinamika sejarah, baik yang terjadi pada
saat pra maupun pasca kemerdekaan Republik Indonesia. Bahkan tidak dapat
dipungkiri berbagai riwayat telah menasbihkan bahwa Aceh dijuluki sebagai
daerah “modal”, dalam hal ini baik modal secara materi maupun immateri,
sehingga keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia tetap terjaga.
Sepintas Lalu
MoU Helsinki merupakan suatu nota
kesepahaman yang dilakukan kedua belah pihak (Pemerintah Republik Indonesia –
Gerakan Aceh Merdeka) yang difasilitasi lembaga Internasional CMI (Crisis Management Initiative), pada
prinsipnya MoU Helsinki bukanlah suatu upaya baru yang dilakukan dalam rangka
meminimalisir konflik sekaligus merekonstruksi Aceh sebagai daerah otonom yang
bermartabat, adil, dan makmur.
Pada kesempatan yang sama, untuk
mewujudkan lahirnya MoU Helsinki kedua belah pihak telah berulang kali
berkoordinasi sekaligus melakukan konsolidasi, baik yang dilakukan secara
informal maupun berbagai perundingan yang dilakukan secara formal. Tercatat
setidak-tidaknya ada 5 (lima) putaran pertemuan formal sebelum tercapainya
kesepakatan kedua belah pihak, sampai dengan diaktualisasikan melalui
penandatangan nota kesepahaman (MoU) oleh Hamid Awaluddin dan Malik Mahmud, di
Helsinki Finlandia. (Ahmad Farhan Hamid, 2006 – Farid Husain, 2007 – Ikrar Nusa
Bakti, 2008)
Patut untuk dipahami bahwa MoU Helsinki
lahir dengan berbagai landasan, baik itu landasan filosofis, landasan yuridis, landasan
politis, maupun adanya peristiwa bencana alam. Sekaligus penting untuk disadari
bahwa berdasarkan ranah Hukum Tata Negara, MoU Helsinki dapat dijadikan sebagai
sumber hukum materil, yaitu sumber sebagai penyebab adanya hukum, sumber dari
mana materi hukum itu diambil atau berasal, merupakan faktor yang membantu pembentukan hukum. Akan tetapi, MoU Helsinki
tidak dapat dijadikan sebagai sumber hukum formil, hal ini sejalan dengan
amanat yang tertuang di dalam berbagai hierarki peraturan perundang-undangan
yang berlaku. (Cakra Arbas, 2015)
Berdasarkan paradigma tersebut dapat kita review
bahwa dalam perjalanan Aceh sebagai daerah otonom, MoU Helsinki telah berposisi
sebagai entitas politik yang memiliki problematika dasar, namun demikian peran
dan fungsinya sangat dibutuhkan untuk membangun dan menjaga perdamaian, serta
keberlansungan demokrasi di Aceh. Oleh karena itu, seyogyanya seluruh stakeholder patut mengapresiasi
keberadaan MoU Helsinki sekaligus mendukung dan mengembangkannya, dalam rangka
mendorong proses terciptanya iklim demokrasi di Indonesia pada umumnya, dan di
Aceh pada khususnya.
Aceh Masa Depan
Pada prinsipnya Aceh di masa depan, tidak dapat
dipisahkan dengan wajah Aceh hari ini, dan wajah Aceh di masa lalu. Oleh karena
itu becermin
atas berbagai realita perjalanan sejarah Aceh sebagai daerah otonom, kini sudah
saatnya para pemangku
kepentingan untuk mengimplementasikan berbagai janji, khususnya yang sudah terlontar sebagai salah
satu upaya mewujudkan kesejahteraan rakyat Aceh. Bukankah sejarah telah meriwayatkan adanya
inkonsistensi dalam mewujudkan berbagai janji, akan memiliki equivalensi atas berbagai situasi dan
kondisi di Aceh ?
Seiring hegemoni 10 Tahun MoU Helsinki, seluruh stakeholder sudah sepantasnya
dalam menyelenggarakan
Pemerintahan Aceh pada masa-masa yang akan datang, mendasari atas beberapa
paradigma,
yaitu:
Pertama, cita
hukum (rechtsidee) sebagai paradigma filosofis. Kedua, sistem hukum nasional sebagai
paradigma yuridis. Ketiga, otonomi daerah (desentralisasi) sebagai paradigma
politis, dan tentunya seluruh paradigma tersebut diwujudkan sesuai dengan koridor Negara Kesatuan
Republik Indonesia. (Cakra
Arbas, 2015)
Kaitannya dengan ketatanegaraan adalah hal yang lumrah
kiranya memaknai perdamaian di Aceh, yang telah berjalan selama 10 Tahun
melalui MoU Helsinki, namun demikian penting untuk digaris bawahi bahwa
berbagai kegiatan yang akan dilaksanakan hendaknya tetap berpegang teguh dan sesuai dengan berbagai peraturan
perundang-undangan yang berlaku.
Pada kesempatan yang sama, sepatutnya kita tidak
terlena hanya sebatas dengan MoU Helsinki, karena secara legal formal
penyelenggaraan pemerintahan Aceh hari ini adalah segala sesuatu yang dipayungi
oleh Undang-Undang No. 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh, oleh karenanya
hal yang wajar kiranya seluruh rakyat Aceh bersatu padu, beriringan langkah
untuk mengimplementasikan berbagai amanat dari Undang-Undang No. 11 Tahun 2006
tentang Pemerintahan Aceh, untuk mewujudkan Aceh yang lebih baik.
Penutup
Tidak kalah
pentingnya dalam nuansa 10 Tahun MoU Helsinki, hendaknya seluruh element masyarakat Aceh tanpa ada
dikotomi yang berkuasa dan masyarakat umum, melakukan introspeksi sembari
mengkaji bagaimana dengan wajah Aceh hari ini ? sudahkah berbagai spirit dari
MoU Helsinki mampu direalisasikan ? sekaligus apakah diabad modern ini Aceh
masih disanjung sebagai julukan daerah modal, khususnya baik modal sebagai
barometer perdamaian ? modal sebagai barometer pelaksanaan syariat Islam ?
modal sebagai barometer demokrasi ? modal sebagai barometer kesejahteraan
rakyatnya ?
Terakhir, semoga
dengan gegap gempita memaknai 10 Tahun MoU Helsinki, mari sama-sama kita
merawat agar perdamaian yang telah terjalin di Aceh melalui MoU Helsinki
kiranya dapat terjaga keutuhannya, tanpa pernah lekang oleh waktu. Dengan
demikian, perdamaian di Aceh bukanlah sesuatu yang berjangka waktu, melainkan
adalah suatu perdamaian yang hakiki. Semoga!
*Tulisan ini juga dimuat pada Harian Waspada, Jum'at 14 Agustus 2015
Tidak ada komentar:
Posting Komentar