Kamis, 10 September 2015

Gegap Gempita MoU Helsinki

Gegap Gempita MoU Helsinki (15 Agustus 2005–15 Agustus 2015)
Oleh: Dr. Cakra Arbas, SH.I, MH.[1]

Beberapa hari kedepan seyogyanya seluruh rakyat Indonesia akan gegap gempita memaknai kemerdekaan Republik Indonesia yang ke-70 (17 Agustus 1945 – 17 Agustus 2015), pada kesempatan yang sama Aceh sebagai salah satu daerah otonom terlebih dahulu akan mengenang sekaligus akan merayakan dengan penuh suka cita 10 Tahun lahirnya MoU Helsinki (15 Agustus 2005 – 15 Agustus 2015).
Pada praktiknya, MoU Helsinki acapkali berposisi sebagai lokomotif dalam berbagai dinamika ketatanegaraan, khususnya di Aceh serta umumnya turut berimplikasi secara nasional. Hal ini bukanlah sesuatu yang berlebihan, karna seiring dengan adanya MoU Helsinki telah berpengaruh secara langsung dalam mewujudkan Aceh menuju paradigma yang baru, yakni penyelenggaraan kehidupan bernegara dan bermasyarakat secara bermartabat, berkeadilan, sekaligus bertujuan menyejahterakan, dalam konteks Aceh sebagai entitas dari Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Sejalan dengan torehan tinta sejarah bahwa perjalananan ketatanegaraan Republik Indonesia telah menempatkan Aceh sebagai salah satu daerah otonom yang berkarakteristik istimewa dan khusus, hal tersebut tentu didasari oleh berbagai dinamika sejarah, baik yang terjadi pada saat pra maupun pasca kemerdekaan Republik Indonesia. Bahkan tidak dapat dipungkiri berbagai riwayat telah menasbihkan bahwa Aceh dijuluki sebagai daerah “modal”, dalam hal ini baik modal secara materi maupun immateri, sehingga keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia tetap terjaga.

Sepintas Lalu
MoU Helsinki merupakan suatu nota kesepahaman yang dilakukan kedua belah pihak (Pemerintah Republik Indonesia – Gerakan Aceh Merdeka) yang difasilitasi lembaga Internasional CMI (Crisis Management Initiative), pada prinsipnya MoU Helsinki bukanlah suatu upaya baru yang dilakukan dalam rangka meminimalisir konflik sekaligus merekonstruksi Aceh sebagai daerah otonom yang bermartabat, adil, dan makmur.
Pada kesempatan yang sama, untuk mewujudkan lahirnya MoU Helsinki kedua belah pihak telah berulang kali berkoordinasi sekaligus melakukan konsolidasi, baik yang dilakukan secara informal maupun berbagai perundingan yang dilakukan secara formal. Tercatat setidak-tidaknya ada 5 (lima) putaran pertemuan formal sebelum tercapainya kesepakatan kedua belah pihak, sampai dengan diaktualisasikan melalui penandatangan nota kesepahaman (MoU) oleh Hamid Awaluddin dan Malik Mahmud, di Helsinki Finlandia. (Ahmad Farhan Hamid, 2006 – Farid Husain, 2007 – Ikrar Nusa Bakti, 2008)
Patut untuk dipahami bahwa MoU Helsinki lahir dengan berbagai landasan, baik itu landasan filosofis, landasan yuridis, landasan politis, maupun adanya peristiwa bencana alam. Sekaligus penting untuk disadari bahwa berdasarkan ranah Hukum Tata Negara, MoU Helsinki dapat dijadikan sebagai sumber hukum materil, yaitu sumber sebagai penyebab adanya hukum, sumber dari mana materi hukum itu diambil atau berasal, merupakan faktor yang membantu  pembentukan hukum. Akan tetapi, MoU Helsinki tidak dapat dijadikan sebagai sumber hukum formil, hal ini sejalan dengan amanat yang tertuang di dalam berbagai hierarki peraturan perundang-undangan yang berlaku. (Cakra Arbas, 2015)
Berdasarkan paradigma tersebut dapat kita review bahwa dalam perjalanan Aceh sebagai daerah otonom, MoU Helsinki telah berposisi sebagai entitas politik yang memiliki problematika dasar, namun demikian peran dan fungsinya sangat dibutuhkan untuk membangun dan menjaga perdamaian, serta keberlansungan demokrasi di Aceh. Oleh karena itu, seyogyanya seluruh stakeholder patut mengapresiasi keberadaan MoU Helsinki sekaligus mendukung dan mengembangkannya, dalam rangka mendorong proses terciptanya iklim demokrasi di Indonesia pada umumnya, dan di Aceh pada khususnya.

Aceh Masa Depan  
Pada prinsipnya Aceh di masa depan, tidak dapat dipisahkan dengan wajah Aceh hari ini, dan wajah Aceh di masa lalu. Oleh karena itu becermin atas berbagai realita perjalanan sejarah Aceh sebagai daerah otonom, kini sudah saatnya para pemangku kepentingan untuk mengimplementasikan berbagai janji, khususnya yang sudah terlontar sebagai salah satu upaya mewujudkan kesejahteraan rakyat Aceh. Bukankah sejarah telah meriwayatkan adanya inkonsistensi dalam mewujudkan berbagai janji, akan memiliki equivalensi atas berbagai situasi dan kondisi di Aceh ?
Seiring hegemoni 10 Tahun MoU Helsinki, seluruh stakeholder sudah sepantasnya dalam menyelenggarakan Pemerintahan Aceh pada masa-masa yang akan datang, mendasari atas beberapa paradigma, yaitu: Pertama, cita hukum (rechtsidee) sebagai paradigma filosofis. Kedua, sistem hukum nasional sebagai paradigma yuridis. Ketiga, otonomi daerah (desentralisasi) sebagai paradigma politis, dan tentunya seluruh paradigma tersebut diwujudkan sesuai dengan koridor Negara Kesatuan Republik Indonesia. (Cakra Arbas, 2015)
Kaitannya dengan ketatanegaraan adalah hal yang lumrah kiranya memaknai perdamaian di Aceh, yang telah berjalan selama 10 Tahun melalui MoU Helsinki, namun demikian penting untuk digaris bawahi bahwa berbagai kegiatan yang akan dilaksanakan hendaknya tetap berpegang teguh  dan sesuai dengan berbagai peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Pada kesempatan yang sama, sepatutnya kita tidak terlena hanya sebatas dengan MoU Helsinki, karena secara legal formal penyelenggaraan pemerintahan Aceh hari ini adalah segala sesuatu yang dipayungi oleh Undang-Undang No. 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh, oleh karenanya hal yang wajar kiranya seluruh rakyat Aceh bersatu padu, beriringan langkah untuk mengimplementasikan berbagai amanat dari Undang-Undang No. 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh, untuk mewujudkan Aceh yang lebih baik.

Penutup
Tidak kalah pentingnya dalam nuansa 10 Tahun MoU Helsinki, hendaknya seluruh element masyarakat Aceh tanpa ada dikotomi yang berkuasa dan masyarakat umum, melakukan introspeksi sembari mengkaji bagaimana dengan wajah Aceh hari ini ? sudahkah berbagai spirit dari MoU Helsinki mampu direalisasikan ? sekaligus apakah diabad modern ini Aceh masih disanjung sebagai julukan daerah modal, khususnya baik modal sebagai barometer perdamaian ? modal sebagai barometer pelaksanaan syariat Islam ? modal sebagai barometer demokrasi ? modal sebagai barometer kesejahteraan rakyatnya ?
Terakhir, semoga dengan gegap gempita memaknai 10 Tahun MoU Helsinki, mari sama-sama kita merawat agar perdamaian yang telah terjalin di Aceh melalui MoU Helsinki kiranya dapat terjaga keutuhannya, tanpa pernah lekang oleh waktu. Dengan demikian, perdamaian di Aceh bukanlah sesuatu yang berjangka waktu, melainkan adalah suatu perdamaian yang hakiki. Semoga!
*Tulisan ini juga dimuat pada Harian Waspada, Jum'at 14 Agustus 2015 



[1]  Penulis adalah PNS Pemkab Aceh Tamiang, email: c4k124@rocketmail.com 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar