Hukum Yang Bermartabat
Hari-hari belakangan ini frasa hukum
telah menjadi sebuah episentrum dalam menjalankan kehidupan bermasyarakat dan
bernegara. Tidak ayal lagi dalam praktiknya kadangkala kita dipertontonkan oleh
berbagai realitas yang dilakukan segelintir oknum dengan dalih menjalankan
hukum, akan tetapi justru tanpa disadari telah melecehkan makna dari hukum itu
sendiri.
Jika hukum dapat dianalogikan sebagai
sebuah “pisau”, maka dalam praktiknya pisau tersebut bisa saja berbeda fungsi
dan penggunaanya, dalam hal ini ketika “orang bijak” yang memfungsikannya
dibandingkan dengan orang yang tidak bijak. Begitu juga dengan hukum, bahwa
terkadang kita dapat merasakan dalam praktik kehidupan sehari-hari hakikat
hukum mampu diwujudkan, baik dari segi keadilan, kepastian, maupun kemanfaatan.
Namun demikian, pada kesempatan yang sama tidak jarang publik turut berasumsi
bahwa akan ada imunitas hukum terhadap mereka yang berkuasa dan mereka yang
memiliki kemampuan finansial.
Perihal ini dapat kita telusuri melalui
suatu peristiwa hukum yang sedang hangat lagi diperbincangkan, yakni ketika
tercorengnya beberapa institusi hukum yang patut diduga telah memperlakukan
hukum sebagai sesuatu yang tidak bermartabat, seakan-akan tanpa adanya keraguan
oleh oknum-oknum tersebut melakukan transaksi atas hukum, dengan kata lain
hukum telah dijadikan komoditi pasar yang dibanderol sedemikian rupa.
Pada prinsipnya atas berbagai realita
yang sudah terlanjur terjadi, tentu sudah sepantasnya publik berparadigma yang
selaras dengan asas praduga tak bersalah. Namun demikian, patut kita
pertanyakan mau sampai kapan berbagai oknum yang mengemban hukum akan
memperlakukan hukum secara tidak bermartabat ?
Berhukum dengan bermoral
Secara normatif, jauh sebelum hukum difungsikan sebagai suatu
norma hukum yang telah memiliki sangsi bagi mereka yang melanggar hukum, ada
fase yang hendaknya diselami yakni nilai yang terkandung di dalam hukum.
Hakikatnya nilai-nilai tersebut perlu dihormati, dirawat serta diagungkan
keberadaanya, sehingga tidak bisa dengan semena-mena mengabaikan atau bahkan
yang lebih miris lagi jika memanipulasi nilai tersebut.
Pada posisi ini dengan berpegang teguh pada moralitas dalam
berhukum, maka secara otomatis telah menghormati dan merawat dari nilai-nilai yang
memformulasikan hukum, baik itu nilai kebenaran, nilai kebaikan, serta nilai
keadilan yang berposisi sebagai nilai hakiki. Dengan demikian suatu keniscayaan
jika hendak berhukum tanpa bermoral, mengingat moral merupakan prinsip yang
melekat ketika mengemban hukum.
Sering kali kita melihat bahwa terkadang seseorang yang sedang
mengemban hukum, dihampiri kondisi dekadensi moral yang tanpa disadari telah
menggiring dirinya kedalam beberapa keadaan, yaitu: Pertama, keadaan immoral
yakni pada prinsipnya sadar tentang norma-norma moral, tetapi dalam bertingkah
laku dan bertindak menentangnya. Kedua, keadaan amoral yakni pada
prinsipnya telah hilang kesadaran tentang adanya nilai-nilai baik dan buruk.
(Yovita A. Mangesti, 2014)
Berbagai kondisi dekadensi moral tersebut faktanya telah
melingkupi berbagai oknum, yang semestinya berperan sebagai garda terdepan
diberbagai institusi hukum, yang nyata-nyata tanpa disadari menjerumuskan
oknum-oknum tersebut, sehingga berani bertindak dan berbuat suatu hal yang secara
tidak langsung telah mendegradasi makna dan hakikat dari hukum.
Menjunjung
Kehormatan
Seiring
besarnya sorotan media dalam kasus-kasus yang dikategorikan kelas “kakap”,
bahkan tidak jarang turut menghentak dan menggemparkan publik karena justru
yang patut diduga terlibat adalah mereka-mereka yang diasumsikan telah memahami
dan mahir atas hukum. Setali tiga uang, hal ini telah mengindikasikan bahwa
para elite di negeri ini umumnya acapkali absen dan tidak mampu memberikan
keteladanan, tidak jarang mereka sering bertindak kebablasan dalam mengemban
hukum, tanpa pernah terlintas mengenai kehormatan dirinya.
Elok
kiranya, jika dalam suatu kesempatan Cicero mengungkapkan suatu prinsip bahwa
menjadikan hidup terhormat sebagai salah satu ikon komunitas hukum. (Cicero
dalam Bernard L. Tanya, 2011) hidup terhormat adalah yang mampu menjaga
integritas, yang setia pada tugas, yang peka pada tanggung jawab, dan tidak
berlaku sewenang-wenang dengan menerobos berbagai koridor hukum. Kehidupan yang
terhormat akan muncul dalam konteks tanggung jawab sebagai seorang individu
dalam posisinya, baik sebagai warga masyarakat umum, maupun sebagai
penyelenggara negara.
Berkaca
pada pandangan Cicero tersebut, seyogyanya dalam praktik penyelenggaraan
kehidupan bernegara dan bermasyarakat, jika para elite mau dan mampu
berparadigma dengan menjunjung kehormatan, maka pada masa-masa yang akan datang
kita tidak akan mendengar lagi adanya berbagai kasus yang patut diduga telah
mencoreng hakikat hukum itu sendiri.
Penutup
Jika para ahli hukum dan penyelenggara negara tidak mampu
menggunakan hukum dengan bermartabat, maka jangan pernah terlintas terlebih
berharap kepada masyarakat umum yang dikategorikan awam atas hukum, untuk
bertindak dan berperilaku agar mampu memartabatkan hukum. Maka pada kesempatan
yang sama, wajar kiranya jika masyarakat umum bersikap apatis atas berbagai
peristiwa hukum yang terjadi di negeri ini.
Terakhir, semoga berbagai rentetan peristiwa yang patut diduga
oleh oknum-oknum tertentu telah berupaya mendegradasi hukum, baik yang
melecehkan maupun yang terang-terangan menodai makna dan hakikat dari hukum
hendaknya cukup sampai disini, jangan lagi praktik-praktik kotor tersebut
menjadi sesuatu yang dibiasakan pada masa-masa yang akan datang.
Pada kesempatan yang sama, sudah seyogyanya para ahli hukum
memberikan suri tauladan, dengan berparadigma konsisten menjalankan berbagai
spirit hukum, baik untuk dirinya, keluarganya, maupun kepada masyarakat umum,
terlebih diharapkan mampu menjunjung kehormatan dirinya dengan tidak
mencoba-coba melakukan berbagai bentuk perbuatan yang patut diduga adalah
perbuatan melawan hukum. Semoga!
*Tulisan ini juga dimuat pada Harian Waspada, Jumat 31 Juli 2015
Tidak ada komentar:
Posting Komentar